Maman S Mahayana
http://riaupos.co
ENCERMATI situasi pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di negeri ini, segalanya tampak seperti berlangsung baik-baik saja. Kurikulum yang gonta-ganti diterima dengan baik-baik saja, meskipun para guru dibuatnya kelimpungan. Adagium: ganti menteri, ganti kurikulum, dengan berat hati, disikapi, juga dengan baik-baik saja.
Ujian Nasional (UN) yang dalam banyak kasus yang terjadi di beberapa daerah ‘melahirkan tim sukses’ juga saban tahun masih terus berlangsung. Begitulah, pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di semua peringkat sekolah—bahkan juga di perguruan tinggi—, dari tahun ke tahun, menggelinding seperti sebuah rutinitas dengan segala kehebohan dan keluh-kesahnya.
Sejalan dengan situasi itu, tidak sedikit orang merasa prihatin dengan kemampuan keterampilan berbahasa para pelajar—dan mahasiswa—kita. Taufiq Ismail menyebutnya: “Rabun membaca, lumpuh menulis!” Kondisi dan situasi tersebut juga menimpa kesusastraan Indonesia. Masyarakat –dan pemerintah—tidak menganggap penting perkembangan kesusastraan kita. Mungkin lantaran sastra tidak secara langsung menghasilkan materi dan kekuasaan, maka biarlah sastra diurus oleh para sastrawan sendiri, heboh sendiri, sementara masyarakat tetap memasabodohkannya. Survei yang dilakukan Litbang Kompas, 3-5 Juni 2015, memperkuat sinyalemen itu. Disimpulkan, bahwa sebanyak 512 responden yang berdomisili di 12 kota besar di Indonesia dan dipilih secara acak, 67,6 % menyatakan tidak suka puisi.
Mengapa bisa terjadi begitu? Apa akar masalahnya sehingga bahasa Indonesia—sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan—dan kesusastraan Indonesia sebagai ekspresi kebudayaan bangsa, tetap terpinggirkan dalam beberapa dekade perjalanan bangsa Indonesia? Mari kita coba menengok ke belakang. Saya mulai dari pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berikut ini yang dilontarkan lebih dari sepuluh windu yang lalu: “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” Di bagian lain, Alisjahbana mengatakan:
Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.
Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah. Nah, sudah sekian puluh tahun yang lalu STA mengingatkan, bahwa “Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa.” Itulah salah satu sumber masalah, mengapa pelajaran bahasa Indonesia yang mestinya menekankan aspek keterampilan, bergeser menjadi pelajaran pengetahuan tentang bahasa.
Kritik STA jelas ditujukan pada sistem pengajaran dan pada guru-guru Belanda yang mengajar bahasa Melayu. Pertama, pada zamannya belum banyak sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda yang dapat dimasuki penduduk pribumi, kecuali anak-anak keluarga bangsawan. Jadi, bagaimana mungkin para murid terampil berbahasa Indonesia jika sistem pengajarannya lebih menekankan pada tata bahasa dan pengetahuan bahasa. Kedua, belum banyak guru-guru pribumi yang bisa mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Dengan begitu, sasaran kritik STA tentu dialamatkan pada guru-guru Belanda yang kerangka berpikirnya juga Belanda. Ketiga, sudah sistem pengajarannya dengan semangat kolonial Belanda, guru-gurunya Belanda, buku-buku pelajaran bahasa Melayu yang digunakan di sekolah ketika itu, juga buku-buku tata bahasa Melayu karya para pengarang Belanda yang konsepsinya juga bersumber pada buku-buku tatabahasa Belanda. Jadi, segalanya serba-Belanda. Maka, sangat wajar jika pelajaran bahasa Indonesia di sekolah diajarkan berdasarkan cara pandang tata bahasa Belanda. Itulah awal mula pelajaran bahasa (Indonesia) di sekolah cenderung lebih menekankan pada pengetahuan linguistik dibandingkan pada keterampilan berbahasa.
Ketika di Padang tahun 1937 terbit sebuah buku berjudul Kitab Ilmoe Sjaraf Melajoe Oemoem karya B.R. Motik, muncul resensi buku yang ditulis Darmawidjaja dalam rubrik Timbangan Buku Majalah Pujangga Baru. Darmawidjaja menyebutkan hal yang senada sebagaimana yang disampaikan STA. Dikatakannya: “Penulisnya belum lagi dapat melepaskan dirinya dari pada tradisi, yakni tradisi terlalu menyandarkan uraian-uraiannya kepada cara yang selama ini ditempuh: kepada kitab-kitab ‘ilmu bahasa yang telah ada, padahal kitab-kitab itu bersandarkan belaka pada gramatika penjelasan bahasa-bahasa Indo-Jerman. Di mana categorientafel Aristoteles, yang dibuat sendi untuk menerangkan hal-hal yang terdapat dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman masih jauh dari sempurna, apakah yang akan kita harapkan jika categorientafel itu juga yang kita pakai sebagai dasar untuk menerangkan seluk-beluk bahasa Melayu Umum, salah satu dari ranting-ranting bahasa pokok Austronesia yang sangat berbeda dengan bahasa-bahasa Indo-Jerman.” Cara mereka bekerja masih terlalu terikat pada gramatika Latin.
Bagaimana pula tanggapan STA atas buku itu? Saya kutip beberapa bagian pernyataannya berikut ini: Kurang kecakapan dan keahlian itu terbayang pada tiap halaman Ilmu Syaraf ini: constructienya goyah, tidak kokoh padu: definitie banyak tidak tepat, pembahagian kurang kena, kata yang dipilih untuk nama sesuatu verschijnsel (kenyataan, msm) bahasa tidak memuaskan. Tidak ada analyse bahasa yang jelas, sebab itu di atasnya tidak pula mungkin synthese yang memadai.
Begitulah, sebelum Indonesia merdeka, buku-buku yang digunakan sebagai bahan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak lain adalah buku-buku tata bahasa yang konsep dan cara berpikirnya Belanda. Dapat dipahami jika kemudian, pelajaran bahasa Indonesia cenderung lebih berat pada tata bahasa daripada keterampilan berbahasa. Penekanan pada tata bahasa itulah yang terjadi sampai sekarang. Lebih parah lagi, pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar mulai terjerumus ke dunia linguistik.
***
Kondisi pelajaran sastra (Indonesia) di sekolah-sekolah, juga menjadi pelajaran pengetahuan sastra mengikuti model pelajaran bahasa (Indonesia). Bahkan, pelajaran sastra sekadar salah satu bagian dari pelajaran bahasa. Situasi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah itu, tidak berbanding lurus dengan kehidupan kesusastraan. Persoalannya menjadi lebih jelas jika kita coba mencermati perkembangan penerbitan buku-buku sastra.
Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, dasawarsa 1950-an sebenarnya merupakan masa yang paling semarak dibandingkan masa sebelumnya. Berbagai pandangan dan keberagaman sikap dalam mengusahakan kehidupan kesusastraan di masa mendatang, justru lebih ramai pada dasawarsa ini dibandingkan masa Pujangga Baru. Situasi itu dimungkinkan dengan munculnya berbagai majalah dan surat kabar yang menyediakan rubrik-rubrik sastra. Maka, betapapun dalam sepuluh tahun itu, novel yang terbit hanya 49 buku, antologi cerpen 48 buku, puisi 32 buku, drama 90 naskah, dan antologi esai 43 buku, jumlah itu sebenarnya sama sekali tidak mewakili situa¬si kehidupan kesusastraan Indonesia masa itu.
Menurut Sapardi Djoko Damono yang meneliti pemuatan cerpen, drama, puisi dan esai dalam 24 majalah yang terbit pada dasawarsa 1950-an, jumlah cerpen tercatat 1823, drama 30, puisi 2930, dan esai 770. Sedangkan cerpen, drama, puisi dan esai terjemahan masing-masing tercatat 331 cerpen, 39 drama, 102 puisi, dan 94 esai. Adapun yang dicatat Kratz, dalam 55 majalah yang terbit tahun 1950-an adalah 6291 puisi, 5043 prosa (cerpen + cerbung), dan 75 naskah drama. Dari jumlah yang dicatat Damono dan Kratz itu, ada di antaranya yang lalu diterbitkan sebagai buku, tetapi sebagian besar, masih tersimpan dalam lembaran majalah itu.
Data kuantitatif itu, belum termasuk karya sastra yang dimuat majalah yang belum diteliti Damono dan Kratz. Koleksi Perpustakaan Nasional, misalnya, masih menyimpan sekitar 140-an majalah terbitan tahun 1950-an di luar sampel kedua peneliti tadi. Jumlah itu, niscaya akan membengkak jika kita juga meneliti karya sastra yang terbit dalam lembaran-lembaran suratkabar. Dengan begitu, jelas bahwa peta kesusastraan Indonesia waktu itu musta¬hil tergambarkan jika hanya mengandalkan karya-karya sastra yang diterbitkan sebagai buku, sebagaimana dilakukan Teeuw. Bagaimana hubungannya dengan pengajaran sastra di sekolah?
Kesemarakan kesusastraan Indonesia dalam majalah dan surat kabar itu, ternyata sama sekali tidak didukung oleh penerbitan buku-buku pelajaran sastra yang mengarah pada apresiasi, melainkan sebagai buku pengetahuan sastra dan model-model hapalan. Di samping itu, buku-buku pelajaran sastra, seperti juga buku pelajaran bahasa Indonesia, masih mengandalkan buku-buku karya penulis Belanda. Ketika pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dijadikan sebagai mata ujian negara waktu itu, penerbit-penerbit swasta memanfaatkannya semata-mata untuk kepentingan mencari untung. Maka terbitlah buku-buku soal-jawab ujian negara yang cuma berisi soal-soal berikut kunci jawabannya. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia makin menjadi pelajaran hapalan karena adanya tuntutan ujian negara itu.
Boleh jadi ada pertimbangan praktis bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA waktu itu. Dalam ujian negara pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di semua tingkatan sekolah, tidak ada persyaratan bagi siswa agar memahami karya sastra. Jadi, tuntutannya adalah dapat menjawab soal dengan benar. Dengan begitu, menghapal nama-nama pengarang, judul buku, pembabakan angkatan, tahun penerbitannya, dan berbagai contoh baku gaya bahasa, menjadi lebih penting daripada membaca karya sastranya. Akibatnya, yang dipentingkan adalah: benar menjawab soal dan lulus ujian dan bukan memahami karyanya. Itulah yang juga terjadi dalam pelajaran bahasa Indonesia belakangan ini lantaran adanya Ujian Nasional. Siswa tidak dituntut memahami karya sastra, terampil menulis dan mengapresiasi karya sastra, tetapi cukuplah dapat menjawab soal ujian dengan benar. Boleh jadi, problem itu pula yang terjadi di banyak perguruan tinggi kita yang menyelenggarakan program studi bahasa dan sastra Indonesia.
Bagaimana dampaknya dengan sistem pengajaran sastra yang seperti itu? Secara cerdik penerbit-penerbit swasta yang bermunculan waktu itu memanfaatkan kebutuhan mendesak bahan pelajaran sastra, termasuk di dalamnya soal-soal pelajaran tersebut. Maka, buku-buku model soal-jawab, sari kesusastraan, persiapan ujian, latihan ujian dan buku sejenisnya menjadi produk unggulan para penerbit.
Pada dasawarsa tahun 1950-an itu, dari sekitar 157 penerbit swasta yang tersebar di kota besar di Indonesia, kurang dari 10 penerbit yang menerbitkan buku sastra. Selebihnya sekitar 147 penerbit, menerbitkan buku pelajaran sekolah, termasuk pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sebagai bahan perbandingan, buku sastra (puisi, novel, antologi cerpen, dan drama—termasuk yang dimuat dalam majalah) yang diterbitkan waktu itu berjumlah 237 buah, sedangkan buku pelajaran sastra –tak termasuk buku pelajaran bahasa Indonesia yang di dalamnya juga memuat soal-soal kesusastraan— tercatat 126 buku. Buku-buku seperti itulah yang kemudian digunakan para guru dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah.
***
Sementara itu, buku-buku kritik H.B. Jassin, seperti Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang (1948), Gema Tanah Air (1948), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956), pada tahun 1950-an itu sebenarnya dapat digunakan untuk bahan pengajaran sastra di sekolah mengingat di sana disertakan sejumlah karya pengarang kita. Buku H.B. Jassin yang lain, seperti Tifa Penyair dan Daerahnja (1952) dan Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Essay (1953), meskipun bersifat pengetahuan, kedua buku itu juga dapat dimanfaatkan untuk bahan apresiasi sastra. Hal yang sama berlaku bagi buku Amal Hamzah, Buku dan Penulis (1950), A. Teeuw, Pokok dan Tokoh (1952), Zuber Usman, Kesusastraan Lama Indonesia (1954) dan Kesusastraan Baru Indonesia (1957). Buku-buku itu yang lebih bersifat pengetahuan dan kesejarahan itu sayangnya tidak dimanfaatkan untuk mendekatkan siswa dengan karya sastranya, tetapi cukup sebatas sebagai pengetahuan belaka. Akibatnya, pelajaran sastra di sekolah tergelincir sebagai pelajaran pengetahuan tentang sastra.
***
Bolehlah dikatakan, bahwa pemancangan pelajaran bahasa dan kesusastraan (Indonesia) dalam dunia pendidikan kita, terjadi pada tahun 1950-an dengan sistem yang seperti itu. Argumennya berikut ini: Pertama, sistem pendidikan kita di awal kemerdekaan lebih menyerupai sistem coba-coba. Dari 17 Agustus 1945 sampai 2 Oktober 1946, jabatan Menteri PPK telah empat kali gonta-ganti. Sistem pendidikan pun, masih bongkar-pasang. Kedua, pembukaan sekolah lebih mengutamakan sekolah kejuruan teknik mengingat kebutuhan tenaga kerja praktis sangat mendesak. Ketiga, pembagian ilmu untuk perguruan tinggi, yaitu ilmu alam, ilmu kebudian dan ilmu sosial, telah menempatkan pendidikan kesusastraan makin terpojok; terkesan sebagai pelengkap. Sistem pendidikan itulah yang terus bergulir hingga kini yang ekornya menempatkan pengajaran sastra cuma sebagai pelengkap; sebagai pelajaran sampingan.
***
Demikianlah, harapan agar pengajaran bahasa dan kesusastraan Indonesia di sekolah tak menekankan segi linguistik melainkan keterampilan, menghindar bentuk hapalan, dan lebih bersifat apresiatif, tetap akan terbentur pada sistem pendidikan kita yang selalu memicingkan mata terhadap keterampilan menulis dan pendidikan moral lewat pengajaran kesusastraan ini. Benturan lainnya datang pula dari guru-guru yang lebih suka cari praktisnya; membuat soal yang jawabannya sudah baku. Atau, guru-gurunya sendiri yang terlalu malas menulis dan membaca khazanah kesusastraan kita, apalagi mengikuti perkembangannya.
Lalu, langkah apa yang mesti diambil untuk memecahkan masalahnya? Inilah (mungkin) solusinya: Pertama, peninjauan kembali (atau perombakan) sistem pengajaran bahasa dan sastra di semua tingkat pendidikan, teristimewa pendidikan untuk mencetak guru sastra. Kedua, pelibatan sastrawan secara aktif dalam pengajaran sastra di semua sekolah, termasuk di sekolah kejuruan. Ketiga, pemisahan pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia. Jika mungkin, pelajaran bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar dihapuskan dan diganti dengan pelajaran Mengarang dalam bahasa Indonesia dan Apresiasi Sastra Indonesia.
Meski begitu, semuanya cuma mungkin terlaksana dengan baik, jika pihak pemerintah sendiri menanggapi secara positif masalah itu. Selama pemerintah menyepelekan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan memicingkan mata terhadap kesusastraan bangsanya, selama itu pula keprihatinan berkepanjangan akan terus muncul sebagai asap; hilang dalam sekejap. Itulah kondisi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam dunia pendidikan kita.***
*) Maman S Mahayana adalah pengajar di FIB Universitas Indonesia
http://riaupos.co/3097-spesial-perkembangan-pendidikan-bahasa-dan-sastra-indonesia.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar