12/09/17

Perkembangan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Maman S Mahayana
http://riaupos.co

ENCERMATI situasi pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di negeri ini, segalanya tampak seperti berlangsung baik-baik saja. Kurikulum yang gonta-ganti diterima dengan baik-baik saja, meskipun para guru dibuatnya kelimpungan. Adagium: ganti menteri, ganti kurikulum, dengan berat hati, disikapi, juga dengan baik-baik saja.
Ujian Nasional (UN) yang dalam banyak kasus yang terjadi di beberapa daerah ‘melahirkan tim sukses’ juga saban tahun masih terus berlangsung. Begitulah, pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di semua peringkat sekolah—bahkan juga di perguruan tinggi—, dari tahun ke tahun, menggelinding seperti sebuah rutinitas dengan segala kehebohan dan keluh-kesahnya.

Sejalan dengan situasi itu, tidak sedikit orang merasa prihatin dengan kemampuan keterampilan berbahasa para pelajar—dan mahasiswa—kita. Taufiq Ismail menyebutnya: “Rabun membaca, lumpuh menulis!” Kondisi dan situasi tersebut juga menimpa kesusastraan Indonesia. Masyarakat –dan pemerintah—tidak menganggap penting perkembangan kesusastraan kita. Mungkin lantaran sastra tidak secara langsung menghasilkan materi dan kekuasaan, maka biarlah sastra diurus oleh para sastrawan sendiri, heboh sendiri, sementara masyarakat tetap memasabodohkannya. Survei yang dilakukan Litbang Kompas, 3-5 Juni 2015, memperkuat sinyalemen itu. Disimpulkan, bahwa sebanyak 512 responden yang berdomisili di 12 kota besar di Indonesia dan dipilih secara acak, 67,6 % menyatakan tidak suka puisi.

Mengapa bisa terjadi begitu? Apa akar masalahnya sehingga bahasa Indonesia—sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan—dan kesusastraan Indonesia sebagai ekspresi kebudayaan bangsa, tetap terpinggirkan dalam beberapa dekade perjalanan bangsa Indonesia?  Mari kita coba menengok ke belakang. Saya mulai dari pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berikut ini yang dilontarkan lebih dari sepuluh windu yang lalu: “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.”  Di bagian lain, Alisjahbana mengatakan:

Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.

Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.  Nah, sudah sekian puluh tahun yang lalu STA mengingatkan, bahwa “Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa.” Itulah salah satu sumber masalah, mengapa pelajaran bahasa Indonesia yang mestinya menekankan aspek keterampilan, bergeser menjadi pelajaran pengetahuan tentang bahasa.

Kritik STA jelas ditujukan pada sistem pengajaran dan pada guru-guru Belanda yang mengajar bahasa Melayu. Pertama, pada zamannya belum banyak sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda yang dapat dimasuki penduduk pribumi, kecuali anak-anak keluarga bangsawan. Jadi, bagaimana mungkin para murid terampil berbahasa Indonesia jika sistem pengajarannya lebih menekankan pada tata bahasa dan pengetahuan bahasa. Kedua, belum banyak guru-guru pribumi yang bisa mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Dengan begitu, sasaran kritik STA tentu dialamatkan pada guru-guru Belanda yang kerangka berpikirnya juga Belanda. Ketiga, sudah sistem pengajarannya dengan semangat kolonial Belanda, guru-gurunya Belanda, buku-buku pelajaran bahasa Melayu yang digunakan di sekolah ketika itu, juga buku-buku tata bahasa Melayu karya para pengarang Belanda yang konsepsinya juga bersumber pada buku-buku tatabahasa Belanda.   Jadi, segalanya serba-Belanda. Maka, sangat wajar jika pelajaran bahasa Indonesia  di sekolah diajarkan berdasarkan cara pandang tata bahasa Belanda. Itulah awal mula pelajaran bahasa (Indonesia) di sekolah cenderung lebih menekankan pada pengetahuan linguistik dibandingkan pada keterampilan berbahasa.

Ketika di Padang tahun 1937 terbit sebuah buku berjudul Kitab Ilmoe Sjaraf Melajoe Oemoem karya B.R. Motik, muncul resensi buku yang ditulis Darmawidjaja dalam rubrik Timbangan Buku Majalah Pujangga Baru.  Darmawidjaja menyebutkan hal yang senada sebagaimana yang disampaikan STA. Dikatakannya: “Penulisnya belum lagi dapat melepaskan dirinya dari pada tradisi, yakni tradisi terlalu menyandarkan uraian-uraiannya kepada cara yang selama ini ditempuh: kepada kitab-kitab ‘ilmu bahasa yang telah ada, padahal kitab-kitab itu bersandarkan belaka pada gramatika penjelasan bahasa-bahasa Indo-Jerman. Di mana categorientafel Aristoteles, yang dibuat sendi untuk menerangkan hal-hal yang terdapat dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman masih jauh dari sempurna, apakah yang akan kita harapkan jika categorientafel itu juga yang kita pakai sebagai dasar untuk menerangkan seluk-beluk bahasa Melayu Umum, salah satu dari ranting-ranting bahasa pokok Austronesia yang sangat berbeda dengan bahasa-bahasa Indo-Jerman.” Cara mereka bekerja masih terlalu terikat pada gramatika Latin.

Bagaimana pula tanggapan STA atas buku itu? Saya kutip beberapa bagian pernyataannya berikut ini: Kurang kecakapan dan keahlian itu terbayang pada tiap halaman Ilmu Syaraf ini: constructienya goyah, tidak kokoh padu: definitie banyak tidak tepat, pembahagian kurang kena, kata yang dipilih untuk nama sesuatu verschijnsel (kenyataan, msm) bahasa tidak memuaskan. Tidak ada analyse bahasa yang jelas, sebab itu di atasnya tidak pula mungkin synthese yang memadai.

Begitulah, sebelum Indonesia merdeka, buku-buku yang digunakan sebagai bahan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak lain adalah buku-buku tata bahasa yang konsep dan cara berpikirnya Belanda. Dapat dipahami jika kemudian, pelajaran bahasa Indonesia cenderung lebih berat pada tata bahasa daripada keterampilan berbahasa. Penekanan pada tata bahasa itulah yang terjadi sampai sekarang. Lebih parah lagi, pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar mulai terjerumus ke dunia linguistik.
***

Kondisi pelajaran sastra (Indonesia) di sekolah-sekolah, juga menjadi pelajaran pengetahuan sastra mengikuti model pelajaran bahasa (Indonesia). Bahkan, pelajaran sastra sekadar salah satu bagian dari pelajaran bahasa. Situasi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah itu, tidak berbanding lurus dengan kehidupan kesusastraan. Persoalannya menjadi lebih jelas jika kita coba mencermati perkembangan penerbitan buku-buku sastra.

Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, dasawarsa 1950-an sebenarnya merupakan masa yang paling semarak dibandingkan masa sebelumnya. Berbagai pandangan dan keberagaman sikap dalam mengusahakan kehidupan kesusastraan di masa mendatang, justru lebih ramai pada dasawarsa ini dibandingkan masa Pujangga Baru. Situasi itu dimungkinkan dengan munculnya berbagai majalah dan surat kabar yang menyediakan rubrik-rubrik sastra. Maka, betapapun dalam sepuluh tahun itu, novel yang terbit hanya 49 buku, antologi cerpen 48 buku, puisi 32 buku, drama 90 naskah, dan antologi esai  43 buku, jumlah itu sebenarnya sama sekali tidak mewakili situa¬si kehidupan kesusastraan Indonesia masa itu.

Menurut Sapardi Djoko Damono  yang meneliti  pemuatan cerpen, drama, puisi dan esai dalam 24 majalah yang terbit pada dasawarsa 1950-an, jumlah cerpen tercatat 1823, drama 30, puisi 2930, dan esai 770. Sedangkan cerpen, drama, puisi dan esai terjemahan masing-masing tercatat 331 cerpen, 39 drama, 102 puisi, dan 94 esai. Adapun yang dicatat Kratz,  dalam 55 majalah yang terbit tahun 1950-an adalah 6291 puisi, 5043 prosa (cerpen + cerbung), dan 75 naskah drama. Dari jumlah yang dicatat Damono dan Kratz itu, ada di antaranya yang lalu diterbitkan sebagai buku, tetapi sebagian besar, masih tersimpan dalam lembaran majalah itu.

Data kuantitatif itu, belum termasuk karya sastra yang dimuat majalah yang belum diteliti Damono dan Kratz. Koleksi Perpustakaan Nasional, misalnya, masih menyimpan sekitar 140-an majalah terbitan tahun 1950-an di luar sampel kedua peneliti tadi. Jumlah itu, niscaya akan membengkak jika kita juga meneliti karya sastra yang terbit dalam lembaran-lembaran suratkabar. Dengan begitu, jelas bahwa peta kesusastraan Indonesia waktu itu musta¬hil tergambarkan jika hanya mengandalkan karya-karya sastra yang diterbitkan sebagai buku, sebagaimana dilakukan Teeuw.  Bagaimana hubungannya dengan pengajaran sastra di sekolah?

Kesemarakan kesusastraan Indonesia dalam majalah dan surat kabar itu, ternyata sama sekali tidak didukung oleh penerbitan buku-buku pelajaran sastra yang mengarah pada apresiasi, melainkan sebagai buku pengetahuan sastra dan model-model hapalan. Di samping itu, buku-buku pelajaran sastra, seperti juga buku pelajaran bahasa Indonesia, masih mengandalkan buku-buku karya penulis Belanda.  Ketika pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dijadikan sebagai mata ujian negara waktu itu, penerbit-penerbit swasta memanfaatkannya semata-mata untuk kepentingan mencari untung. Maka terbitlah buku-buku soal-jawab ujian negara yang cuma berisi soal-soal berikut kunci jawabannya.  Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia makin menjadi pelajaran hapalan karena adanya tuntutan ujian negara itu.

Boleh jadi ada pertimbangan praktis bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA waktu itu. Dalam ujian negara pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di semua tingkatan sekolah, tidak ada persyaratan bagi siswa agar memahami karya sastra. Jadi, tuntutannya adalah dapat menjawab soal dengan benar. Dengan begitu, menghapal nama-nama pengarang, judul buku, pembabakan angkatan, tahun penerbitannya, dan berbagai contoh baku gaya bahasa, menjadi lebih penting daripada membaca karya sastranya. Akibatnya, yang dipentingkan adalah: benar menjawab soal dan lulus ujian dan bukan memahami karyanya. Itulah yang juga terjadi dalam pelajaran bahasa Indonesia belakangan ini lantaran adanya Ujian Nasional. Siswa tidak dituntut memahami karya sastra, terampil menulis dan mengapresiasi karya sastra, tetapi cukuplah dapat menjawab soal ujian dengan benar. Boleh jadi, problem itu pula yang terjadi di banyak perguruan tinggi kita yang menyelenggarakan program studi bahasa dan sastra Indonesia.

Bagaimana dampaknya dengan sistem pengajaran sastra yang seperti itu? Secara cerdik penerbit-penerbit swasta yang bermunculan waktu itu memanfaatkan kebutuhan mendesak bahan pelajaran sastra, termasuk di dalamnya soal-soal pelajaran tersebut. Maka, buku-buku model soal-jawab, sari kesusastraan, persiapan ujian, latihan ujian dan buku sejenisnya menjadi produk unggulan para penerbit.

Pada dasawarsa tahun 1950-an itu, dari sekitar 157 penerbit swasta yang tersebar di kota besar di Indonesia, kurang dari 10 penerbit yang menerbitkan buku sastra. Selebihnya sekitar 147 penerbit, menerbitkan buku pelajaran sekolah, termasuk pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sebagai bahan perbandingan, buku sastra (puisi, novel, antologi cerpen, dan drama—termasuk yang dimuat dalam majalah) yang diterbitkan waktu itu berjumlah 237 buah, sedangkan buku pelajaran sastra –tak termasuk buku pelajaran bahasa Indonesia yang di dalamnya juga memuat soal-soal kesusastraan—  tercatat 126 buku. Buku-buku seperti itulah yang kemudian digunakan para guru dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah.        
***

Sementara itu, buku-buku kritik H.B. Jassin, seperti Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang (1948), Gema Tanah Air (1948), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956), pada tahun 1950-an itu sebenarnya dapat digunakan untuk bahan pengajaran sastra di sekolah mengingat di sana disertakan sejumlah karya pengarang kita. Buku H.B. Jassin yang lain, seperti Tifa Penyair dan Daerahnja  (1952) dan Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Essay (1953), meskipun bersifat pengetahuan, kedua buku itu juga dapat dimanfaatkan untuk bahan apresiasi sastra.  Hal yang sama berlaku bagi buku Amal Hamzah, Buku dan Penulis (1950), A. Teeuw, Pokok dan Tokoh (1952), Zuber Usman, Kesusastraan Lama Indonesia (1954) dan Kesusastraan Baru Indonesia (1957). Buku-buku itu yang lebih bersifat pengetahuan dan kesejarahan itu sayangnya tidak dimanfaatkan untuk mendekatkan siswa dengan karya sastranya, tetapi cukup sebatas sebagai pengetahuan belaka. Akibatnya, pelajaran sastra di sekolah tergelincir sebagai pelajaran pengetahuan tentang sastra.
***

Bolehlah dikatakan, bahwa pemancangan pelajaran bahasa dan kesusastraan (Indonesia) dalam dunia pendidikan kita, terjadi pada tahun 1950-an dengan sistem yang seperti itu. Argumennya berikut ini: Pertama, sistem pendidikan kita di awal kemerdekaan lebih menyerupai sistem coba-coba. Dari 17 Agustus  1945 sampai 2 Oktober 1946, jabatan Menteri  PPK telah empat kali gonta-ganti. Sistem pendidikan pun, masih bongkar-pasang. Kedua, pembukaan sekolah lebih mengutamakan sekolah kejuruan teknik mengingat kebutuhan tenaga kerja praktis sangat mendesak. Ketiga, pembagian ilmu untuk perguruan tinggi, yaitu ilmu alam, ilmu kebudian dan ilmu sosial, telah menempatkan pendidikan kesusastraan makin terpojok; terkesan sebagai pelengkap.  Sistem pendidikan itulah yang terus bergulir hingga kini yang ekornya menempatkan pengajaran sastra cuma sebagai pelengkap; sebagai pelajaran sampingan.
***

 Demikianlah, harapan agar pengajaran bahasa dan kesusastraan Indonesia di sekolah tak menekankan segi linguistik melainkan keterampilan, menghindar bentuk hapalan, dan lebih bersifat apresiatif, tetap akan terbentur pada sistem pendidikan kita yang selalu memicingkan mata terhadap keterampilan menulis dan pendidikan moral lewat pengajaran kesusastraan ini. Benturan lainnya datang pula dari guru-guru yang lebih suka cari praktisnya; membuat soal yang jawabannya sudah baku. Atau, guru-gurunya sendiri yang terlalu malas menulis dan membaca khazanah kesusastraan kita, apalagi mengikuti perkembangannya.

Lalu, langkah apa yang mesti diambil untuk memecahkan masalahnya? Inilah (mungkin) solusinya: Pertama, peninjauan  kembali (atau perombakan) sistem pengajaran bahasa dan sastra di semua tingkat pendidikan, teristimewa pendidikan untuk mencetak guru sastra. Kedua, pelibatan sastrawan secara aktif dalam pengajaran sastra di semua sekolah, termasuk di sekolah kejuruan. Ketiga, pemisahan pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia. Jika mungkin, pelajaran bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar dihapuskan dan diganti dengan pelajaran Mengarang dalam bahasa Indonesia dan Apresiasi Sastra Indonesia.

Meski begitu, semuanya cuma mungkin terlaksana dengan baik, jika pihak pemerintah sendiri menanggapi secara positif masalah itu. Selama pemerintah menyepelekan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan memicingkan mata terhadap kesusastraan bangsanya, selama itu pula keprihatinan berkepanjangan akan terus muncul sebagai asap; hilang dalam sekejap. Itulah kondisi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam dunia pendidikan kita.***

*) Maman S Mahayana adalah pengajar di FIB Universitas Indonesia
http://riaupos.co/3097-spesial-perkembangan-pendidikan-bahasa-dan-sastra-indonesia.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita