20/09/17

Melirik Dunia Kesunyian Nurel Javissyarqi

Lewat Waktu Di Sayap Malaikat, I-XXXIX dalam Antologi Puisi “Kitab Para Malaikat”
Awalludin GD Mualif

1/
Selepas mengaduk secangkir kopi saya pun menyalakan laptop, kemudian membuka windows media player dan mengisinya dengan beberapa lagu yang saya kehendaki. Sesaat setelah itu saya terkenang dengan salah satu buku antologi puisi bertajuk “Kitab Para Malaikat” buah karya Nurel Javissyarqi. Entah mengapa, malam ini kenang dalam pikir saya tertuju pada karya itu. Baiklah, gumam saya lirih.

Nurel adalah salah satu penyair kelahiran kota Lamongan empat puluh satu silam yang cukup produktif dalam menelurkan buah pikirannya. Mungkin tak sulit untuk menemukan sosok penyair satu ini. Cukup berbekal gadget, lalu mengaksesnya via internet dengan menuliskan namanya pada kolom pencarian, maka kita pun akan dihidangkan seabrek berita terkait dirinya. Singkatnya, kita bisa menemukan sosoknya hanya dengan menggerakkan jari. Karena cukup susah menjumpinya dalam lingkar meja bersama cecangkiran kopi dan kebulan asap benjol-benjol sambil berbagi kata. Karena intensitas kehadiran dirinya dalam dunia kasunyatan sudah berkurang jauh jika dibandingkan era-era tahun 2000-an awal lalu. Bagi saya berjumpa dengannya seperti berjumpa dengan kamus sastra berjalan. Hal inilah yang saya rasakan sejauh pengalaman saya bersua bersamanya. Patrap sikap dan gestur tubuh penyair yang konon berjuluk “Hantu Sastra Indonesia” ini sesungguhnya tak sulit untuk dikenali jika ia masih berpenampilan seperti sepuluh tahun silam. Penyair satu ini memiliki sorot mata tajam, rambut ikal menjuntai hampir sepantat dengan langkah kaki pelan namun penuh percaya diri serta memiliki nada bicara agak sedikit terbata-bata tetapi menusuk tajam kehulu soal, adalah sedikit dari gambaran ragawinya.

Dalam peta sastra Indonesia namanya tak begitu banyak disebut pada lingkar meja sastrawan bermental kerumunan. Tetapi jejak-jejak sastrawinya mudah kita temui lewat para sastrawan yang berjibaku dengan dunia sastra di tahun 90-an akhir sampai dengan 2009-nan. Khususnya di kota Yogyakarta. Penyair satu ini memiliki cara bersastra yang unik. Jalan sunyi sastrawinya menjejak di tempat dan ruang-ruang yang tak lazim dikunjungi oleh kebanyakan sastrawan. Misal, di pekuburan-pekuburan keramat, di sumber-sumber mata air bersejarah, di tempat-tempat peninggalan para pujangga-pujangga terdahulu, di pondok-pondok pesantren dlsb. Selain dari pada ini, Nurel kerap dianggap oleh sebagian masyarakat orang gila (gendeng), sebab seringkali ia mencoba berbicara dengan pepohonan, hewan dan aliran sungai. Jika menilik dari sepintas kabar serupa ini, maka saya menduga bahwa setiap tempat, ruang dan perjumpaan adalah kata-kata baginya. Sekurang-kurangnya hal inilah yang sedikit saya ketahui dari sosok penyair satu ini.

2/
Dalam dunia sastra sebuah nama besar dapat menciutkan nyali dan membuat para kritikus muda mundur teratur saat berhadapan dengan karya-karyanya. Apalagi dengan orangnya. Apa yang membuat hal ini mengada? Lalu gerangan apakah yang membuat para kritikus muda mundur teratur? Nama besarkah? Atau kualitias karyanya? Tentu saja, setiap orang memiliki cara pandang masing-masing terkait hal ini. Bagi saya, tak ada kebesaran yang melebihi kebesaran kita menjadi seorang manusia. Ya, hanya manusia. Bukankah sebagai manusia kita adalah manusia yang sama-sama hidup di tanah, air, dan menginjakkan nafas hidup di bawah atap langit yang sama.

Dewasa ini para kritikus muda dalam bidang sastra mulai bermunculan, tetapi ruang gerak-gerik dan pikiran-pikiran mereka masih terbentur “dinding-dinding” ke-absurd-an pikirannya sendiri yang sesungguhnya mereka sendiri tak begitu mengetahuinya. Bagaimana mungkin kita bisa takut dengan sebuah ‘nama’ yang tak pernah menyakiti kita? Pula takut terhadap sebuah karya yang seharusnya memberikan jalan pencerahan hidup, inspirasi, dlsb bagi kehidupan kita. Artinya ketakutan-ketakutan itu sesungguhnya tak beralasan sama sekali. Ketakutan memperpanjang barisan perbudakan, ujar Widji Tukul. Memang demikian kiranya apa yang disampaikan oleh orang yang menyedekahkan dirinya sebagai busur untuk memanah matahari. Ernes Canneti berkata; orang takut akan hal yang tidak ia ketahui. Rasa-rasanya dua ungkapan dari dua generasi yang hidup di ruang lingkup jaman dan budaya berbeda ini mengerucut pada satu hal, yakni; “Ketakutan atas sesuatu yang tak kita ketahui adalah kemustahilan”. “Yang nyata adalah yang mustahil”, ujar Lacan.

Dalam pada ini saya ingin sedikit melangkah maju, dan berupaya untuk merangkai seikat kata demi menangkupkan pikiran-pikiran atas pengalaman yang saya dapati saat menyelami karya-karya puisi Nurel Javissyarqi yang tergores dalam bunga rampai Kitab Para Malaikat. Salah satu manuskrip yang konon membutuhkan waktu 10 tahun untuk menemukan sari-sari kata-kata yang ia maui. Manuskrip yang ia perjalankan lewat berbagai tempat. Maman S. Mahayana, salah seorang kritikus sastra kenamaan memberi ungkapan yang cukup membuat pembaca mengrenyitkan dahi dan menyiutkan hati saat menyajikan kredonya untuk karya ini, sbb: Temukan Nurel diantara; Socrates, Plato, Aristoteles, Giodano Bruno, Galileo Galilei, Rene Decartes, Copernicus, Ferdinand de Sausure, Roland Barthhes, Derida, Ibnu Tufail, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, Al-Hallaj, Al-Ghazali, Muhammad iqbal, Hamzah Fanzuri, Syech Siti Jenar, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Kahlil Gibran, Sutardji Calzoum Bahri, Afrizal Malna serta ajaran Konfusianisme. Maman menjejalkan Nurel di antara para pemikir dunia. Entah apa yang ingin Maman sampaikan? Apakah Nurel salah satu bagian diantara mereka, ataukah Nurel adalah serpihan-serpihan mozaik dari ceceran pikir para pemikir itu? Sejatinya hanya Maman yang paling tahu terkait ungkapannya tersebut. Pada gilirannya, selain memberikan pengantar kepada pembaca tentang sosok Nurel Javissyarqi, Maman mengomentari Nurel beserta hamparan kata-katamya lewat bahasa retoris yang mengajak pembaca untuk “menafsir” ulang. Maman menulis sbb: “Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan berantakan dalam gerakan dewa mabuk”.

Apakah sosok Nurel Javissyarqi beserta karyanya memang seperti apa yang digambarkan oleh Maman? Mungkin, ya, bagi Maman. Boleh jadi, ya dan tidak bagi sastrawan lainnya, dan bisa sangat jauh berbeda dengan keduanya jika Nurel dan karyanya ini jatuh ke pembaca awam seperti saya yang notabene tak begitu banyak memiliki amunisi dan senjata untuk melihat sebuah karya sastra. Namun, membaca Kitab Para Malaikat memberikan pengalaman tersendiri bagi saya. Suatu pengalaman yang susah saya ungkapkan lewat kata-kata. Pengalaman ini seakan mengajak saya berjalan ke dalam relung-relung jiwa dan kesadaran yang tak hendak menengok ke luar diri, dan secara bersamaan pengalaman ini mengajak saya untuk melihat dari luar apa yang terlanjur menjadi yang terdalam. Keduanya mengada untuk menjadi yang tak saya pahami. Beranjak dari pengalaman ini, kemudian saya bertanya-tanya. Apakah sebuah karya sastra (puisi) harus terpahami secara utuh secara menyeluruh. Ataukah pemahaman itu terletak pada ketidakberhentian kita untuk terus mencari, menggali demi menemukan makna-makna baru. Suatu makna yang bisa jadi berbeda dari si empunya. Wal hasil, untuk sementara waktu ini saya sedikit memahami ujaran Maman terkait frasa “metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk”. Karena pembaca awam seperti saya tak hanya ikut sempoyongan dan mabuk, tetapi sudah menjadi yang sempoyongan dan mabuk saat memasuki hamparan sajak-sajak Nurel. Rupa-rupanya saat kata-kata bungkam dari nalar sadar saya, entah mengalir ke dalam maupun keluar, justru di situlah kata-kata itu mengada menjadi kata-kata tersendiri. Karena bungkam/diam juga bagian dari kata-kata.

Maka seturut pengalaman membaca “Kitab Para Malaikat”, saya tak hendak memasuki sajak-sajak Nurel yang meraung di hutan belantara bahasa, mengelombang di gegulungan ombak samudera yang membisik lirih penuh kecemasan, harap, duka, cita dan doa dengan upacara baku nalar sadar saya. Tetapi berupaya mengihlaskan diri menjadi bagian dari hamparan sajak-sajak ini. Supaya saya tidak tersesat di hutan belantara bahasa atau tergulung mati di gegulungan ombak samudera yang dapat membuat saya menyepi sendiri, sunyi kemudian mati. Karena muskil mengandalkan nalar pikir semata untuk memahami suatu karya yang melepaskan nalar pikir dalam perjalanan prosesnya. Jerit jiwa hanya bisa ditangkap dengan ruang jiwa. Sebagaimana cinta dalam bahasa kalbu hanya dapat ditangkap dengan bahasa kalbu. Di mana pikiran harus rela terpinggirkan untuk sementara waktu.

3/
Sementara itu saya menemukan satu titik pijak sadar dari si empunya di dalam Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat; “Allahumma Sholi ala Sayidina Muhammad; ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga “ (I). Titik sadar yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa Nurel menyadari betul bahwa dia sebagai si empunya Kitab Para Malaikat haruslah berpijak pada dunia insani. Insan kamil (Kanjeng Nabi Muhammad), tepatnya. Sebagaimana sholawat yang menggores di awal sajak. Nurel ingin begelayut pada surban Kanjeng Nabi untuk mengharap syafaat dan ia tak ingin “…menghitung masa bertirakat…” supaya persembahan diri lewat untaian sajak dapat mengusir pandir dan bisa menemu hilir. Dalam Waktu Di Sayap Malaikat.

Lebih lanjut aroma ketertundukan diri pada takdir ilahi tercium mewangi bak bebunga di tetamanan begitu nampak. Nurel menyisir pengalaman hidupnya dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari satu kejadian ke kejadian lainnya untuk menemukan dirinya yang sejati. Kesadaran Man arafah Nafsahu Faqad Arafah Rabbahu sepertinya tengah memusara dalam dirinya saat mencipta. Ia tak ingin hidup sekedar hidup. Mengingatkan saya pada bait pembuka puisi WS. Rendra bertajuk MA; “Ma, bukan maut yang menggetarkan jiwaku. Tetapi hidup dan tdak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya…”. Dalam falsafah jawa dikenal dengan“Sang Kang Paraning Dumadi”. Atau ungkapan Nietzsche “Temukan Dirimu”. Pencarian jati dirinya ia ungkapkan dengan “Sengaja mengunjugi masa silam, puja keagungan di tengah pencarian kesejatian, bertarian Keilahian terpatri di dinding gua sejarah, inilah relief-trelief orang-orang berbudi utama” (XII) Nurel merajut masa yang silam, kini, dan masa mendatang untuk menemukan kekamilan dirinya. Tekad, tumbuh kembang dan tumbangnya semangat pencarian kekamilan diri tersebut telah mengantarkan dirinya menyusuri alam kesunyian.

Kesunyian telah menjungkir balikkan logika berpikir Nurel. Dari yang nyata menjadi tiada, atau berlaku hukum sebaliknya, dari yang tiada menjadi nyata. Yang nyata dan tiada sudah ia leburkan jadi satu. Ia ikat dalam tali benang rasa yang mendorong-dorong dirinya untuk terus menerus beranjak dari satu alam kesunyian menuju alam kesunyian lainnya dan begitu seterusnya. Karena pada alam kesunyian inilah Nurel menegakkan marwah dirinya. Diri yang telah terpusara oleh berbagai kejadian dan pengetahuan itu telah menuntutnya untuk terus meraung-raung menantang dunia.

Kadang kala raung jiwanya pada alam kesunyian itu membuahkan hasil, kadang juga tergolek sia-sia, menjuntai jatuh tanpa makna. Dalam pada ini saya mendapat pengalaman dari sebuah pertarungan yang tak kunjung selesai antara dirinya (Nurel) dengan yang bukan dirinya (Nurel) untuk menemu dirinya (Nurel). Dalam hal ini kesadaran Nurel muncul saat ia berdiri pada pintu gerbang kegamangan yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, saat itu ia bersimpuh meluruhkan raga dan jiwanya pada Rahmat ilahi. Kemudian ia menari-nari bersama sesunyian ilahi dengan berpegangan erat-erat pada surban kanjeng nabi untuk menggoda-goda suratan takdir demi penyelamatan jiwanya yang terkatung-katung di alam kesunyian. “Mengagungkan rahmat-Nya sejauh menimba sumur terdalam, jikalau bersemedi di dalam gua nurani” (XXI).

Kemudian sudahkah ia bertemu dengan dirinya yang hakiki? Pada kumpulan sajak Waktu Di Sayap Malaikat ia memberi siratan kabar itu lewat puisi-puisi di dalamnya bahwa ia pernah berjumpa dengan dirinya yang hakiki dalam satu waktu tertentu, tetapi perjumpaan itu belumlah permanen mematri. Melainkan masihlah parsial. Karena gerak-gerik kesadaran terhadap laku kehidupan dirinya masih harus diperjalankan, dibenturkan ulang, ditempa kembali dengan penuh kesungguhan. Seperti seorang empu yang membuat sebuah keris. Dari mana kita bisa mengatakan sesuatu yang sudah berwujud serupa keris adalah keris? Apakah hanya ketika kita melihat secara materiil (bentuk) bahwa ia memiliki unsur-unsur dari apa yang dinamakan keris? Bukankah kita pun tahu bahwa hal seperti itu masihlah perlu diperiksa ulang? Apakah ia benar-benar sudah bisa dikatakan sebagai keris dalam makna simbolis, falsafi, nilai dan kedalaman-kedalaman yang dimiliki oleh keris dengan berbagai tingkatan dan tata aturan yang menyelimuti keris itu sendiri. Atukah hanya sebatas mengejar wujud. Jika hanya mengejar serupa wujud. Sudah barang tentu keris souvenir pun bisa disebut sebagai keris dalam arti wujud rupa semata.

Selain dari pada itu, Nurel Javissyarqi dalam Waktu Di Sayap Malaikat. Mengabarkan kepada pembaca bahwa suatu kesungguhan tak bisa dicampuradukkan dalam satu wadah yang sama dengan gojek kere (geguyonan). Apa yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa jika kita tengah meniatkan diri untuk mencapai sesuatu, maka jangan pernah anggap remeh sedikitpun segala proses yang mengiringimu. Saya menangkap hal ini pada sajak “Panjangnya layang—layang ditiup bayu, rambut terurai, selendang mendatang yang mendentang, dan wengi melahirkan hikayat di bawah sadar penciptaan” (XXVI). Di sini terlukis bagaimana Nurel membagi pembelajaran pada pembaca untuk menemukan hikmah-hikmah yang tercecer di alam semesta yang dimiliki oleh malam. Gelap adalah terang yang belum nampak. Dan terang adalah gelap menyilaukan. Sekurang-kurangnya saya memaknai pencarian hikmah pada malam seperti itu.

4/
Beberapa sari-sari dari sesarian yang telah Nurel peras dalam barisan sajak bertajuk Waktu Di Sayap Malaikat I-XXXIX dapat saya tangkap dan maknai sebatas pemahaman cetek saya sekurang-kurangnya adalah bahwa puncak kehidupan manusia adalah menemukan diri sendiri. Mengenali tahapan-tahapan dalam menempu dan menempa diri untuk mengenali dirinya sendiri. Berani melawan dan memasuki berbagi dimensi dalam kehidupan yang nampak mustahil. Tidak terlena pada kenyataan yang nampak indah. Mawas diri adalah kunci. Menyerahkan diri adalah jalan. Menekadkan diri adalah senjata. Nurel sepertinya menyadari akan berbagai dimensi dan hal-hal yang berkelindan pada sebuah pencarian diri.

Kodrat manusia tercipta sebagai kalifah sekalian alam, dan manusia yang ‘berhak’ menyandang gelar kalifah adalah manusia yang tuntas melewati proses takhali, taqhali, tajali yang maujud menjadi insan kamil. Oleh karenanya Tuhan menghendaki bahwa manusialah pemimpin sekalian alam (para malaikat). “Kitab”, menjadi pilihan diksi yang menarik sebagai kata awal untuk judul. Kemudian disusul dengan kata “Para Malaikat”. Dari judul yang metaforis ini saya menggumam lirih; bahwa Nurel menghendaki pembacanya atau penikmat karya ini adalah para malaikat atau orang-orang yang sudah berada di maqam kemalaikatan. Atau mengharap para pembacanya dapat mencapai maqam ini setelah menyecap habis hamparan sajak yang berjejal di dalamnya. Sayangnya saya hanya manusia biasa. Heheh.

Mungkinkah antologi puisi bertajuk “Kitab Para Malaikat” ini diandaikan bagi manusia bermaqam malaikat? Sebuah maqamat yang tak mudah untuk diraih oleh sekalian manusia. Apakah malaikat memerlukan sebuah “kitab”? Jika malaikat adalah bagian dari mahluk Tuhan yang keterciptaanya diperuntukkan untuk menjadi abdi manusia, barangkali “kitab” itu perlu adanya. Lantas kemudian perlukah manusia mencipta kitab untuk para malaikat? Lalu manusia sekaliber apakah yang diharapkan dapat melakukannya? Apabila merunut dari ungkapan Budi Darma yang berpendapat bahwa seorang sastrawan (penyair) adalah sang “nabi”, maka Nurel adalah salah satu penyair yang berupaya menjadi. Dan ia pun sudah mengerjakannya.

Ah akhirnya, kopi dalam cangkir sudah mulai menipis dan tembakau dalam bungkusan kertas pun beranjak habis. Pula playlist lagu pada windows media player ikut-ikutan habis. Saya pun undur kata dari Waktu Di Sayap Malaikat untuk mengatur nafas kembali guna memasuki sajak-sajak dalam tajuk “Membuka Raga Padmi.”.

Kopi hitam
Sewon, Bantul, Yogyakarta 2017.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita