22/10/14

Arus Balik Nusantara: Pram, Pengagum Kemanusiaan

 Arie MP Tamba
Jurnal Nasional, 3 Nov 2013

‘Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia.‘ (Pramudya Ananta Toer, Tempo, 1999)
KETIKA Alice Munro, cerpenis Kanada yang piawai mengolah dan mengurai “jiwa perempuan” sampai ke sela-sela terdalamnya, dan menampilkannya ke permukaan dalam untaian cerita bergaya realis yang memukau menyabet Nobel Sastra 2013, seorang penulis di dunia maya menulis, “Saya suka, tapi saya tetap menjagokan Pramudya Ananta Toer.” Suatu pernyataan yang bagi saya “membangunkan” pertanyaan dan mengingatkan saya pada sebuah tulisan tentang karya Pram, Arus Balik.


Kenapa Nobel Sastra hanya diberikan kepada para sastrawan yang masih hidup? Itulah pertanyaan sekaligus gugatan, karena hal tersebut mengakibatkan banyak sastrawan besar yang karya-karyanya gemilang kehilangan kesempatan mendapatkan penghargaan ‘layak‘ minimal dari komunitasnya. Karena mereka telah pergi lebih dulu, meninggalkan karya-karya besar besar yang masih saja dibaca hingga kini. Sebut saja Mishima dari Jepang, Borges dan Cortazar dari Argentina, dan…Pram dari Indonesia. Sedikit nama besar yang meninggalkan jejak sastra yang masih jadi sumber inspirasi bagi sastrawan kemudian dan pembaca sastra umumnya.

Banyak buku telah mengurai panjang lebar perihal sosok Pram dan perjalanan keseniannya, namun untuk tulisan ini saya mengutip biografi singkat Pram dari buletin sastra online Pawon.

Pram dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung. Ayahnya seorang guru dan ibunya pedagang nasi. Pram meneruskan sekolahnya pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, Pram mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Pram menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia jadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Masa itu, Pram mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.

Pram banyak melakukan kritik terhadap pemerintahan Jawa-sentris, dan pernah mengusulkan agar ibukota Indonesia dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an Pram ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang beredar, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pram merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang .

Pram dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu Pram menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Pram telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa.

Banyak dari tulisan Pram menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambarkan pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors’ Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya Pram aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pram menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku karya-karya Pram. Pameran itu sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pram. Pameran bertajuk “Pram, Buku dan Angkatan Muda” menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 bukunya yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pram meninggal dunia pada 30 April 2006 (usia 81 tahun).

Kepada seorang kawan sesama blogger, beberapa waktu berselang saya mengakui, bahwa novel Indonesia yang masih membuat saya terkenang-kenang sampai saat ini adalah Arus Balik-nya Pram. Saya memang mengakrabi karya-karya besar Pram lainnya, khususnya tetralogi Bumi Manusia. Tapi saya semakin menyadari, keraksasaan Pram sebagai pengarang paling menonjol adalah di Arus Balik. Untuk mengenangnya, saya pun mencoba menunjukkan penghargaan melalui uraian ini.

Arus Balik secara gemilang memperlihatkan situasi dan proses kehidupan yang kompleks sekitar abad XVI di Nusantara, terutama di sekitar Tuban, Jepara, Demak, sebagai pusat-pusat kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, dalam persinggungannya dengan ekspansionisme Portugis dan Spanyol ke berbagai pelosok dunia yang ternyata sampai juga ke wilayah Nusantara.

Arus Balik sebagai judul sekaligus tema menggambarkan secara ilustratif, bahwa pada zaman Majapahit, arus ekonomi, politik, dan budaya “bergerak” dari selatan ke utara. Pada zaman Gajah Mada ini (bagian kedua abad ke-14), keagungan dan kekuasaan Majapahit membesar di kawasan yang makin meluas, bahkan sampai melampaui batas negara Indonesia sekarang. Namun, selama abad ke-15, kejayaan itu makin mundur, dan pada awal abad ke-16, ketika cerita Arus Balik dimulai, gerak “arus balik”, yaitu arus kekuasaan, ekonomi, dan budaya termasuk agama, dari utara makin deras.

Pertama, arus agama Islam menggelombang dari ‘atas angin’, menyebar di Nusantara, berangsur-angsur menyingkirkan agama Hindu-Buddha yang selama 1000 tahun berkibar di daerah Jawa-Bali. Kedua, munculnya kekuasaan Eropa yang dilambangkan oleh jatuhnya Kesultanan Malaka dan datangnya Portugis ke Nusantara. Dengan begitu, disimpulkan bahwa keruntuhan keagungan Jawa bukanlah sebuah perkembangan sejarah yang tak terhindari atau nasib yang tak terelakkan. Melainkan, karena Jawa sendiri “memungkinkan” orang utara mengambil alih kepemimpinan di daerah Nusantara. Pemimpin Jawa, tidak lagi punya visi dan wibawa seperti pendahulunya, terutama negarawan unggul semacam Patih Majapahit, Gajah Mada.

Arus Balik melibatkan banyak tokoh cerita dengan jalinan kausalitas kehidupan yang erat, mulai dari Galeng (yang kemudian menjadi Wiranggaleng), Idayu, Pada (yang kemudian menjadi Mohammad Firman), Rama Cluring, Sayid Habibullah Almasawa (syahbandar baru), Ki Aji Benggala (syahbandar lama yang kemudian bergelar Sunan Rajeg), Adipati Unus, Adipati Tuban, Gelar, Jafar, dan banyak lagi, yang merentang plot dan karakter dari lapisan jelata sampai ningrat, dari wilayah “garong” sampai “agamawan”, penduduk desa dan kota, dari suku bangsa Jawa, Sunda, Banten, Melayu, dan bangsa Arab, Cina, Portugis, Spanyol. Berada dalam kerangka waktu penceritaan yang sama, dengan persoalan kehidupan yang berbeda-beda, dan respon yang saling berbeda-beda pula dalam menanggapi situasi yang sama maupun berlainan.

Pada bagian pembukaan Arus Balik menyajikan beberapa peristiwa yang selanjutnya menjadi ciri khas pada setiap halamannya: kesertamertaan (simultan dan paralel). Langit cerah, cahaya bulan menyinari hutan, laut, hewan, manusia; bumi gelisah dan resah; laut Jawa gelisah; kapal peronda pantai meluncur cepat dengan tiga orang penumpang yang gelisah (juru tinjau, nakhoda, dan Patragading, putra keduaratus empat puluh satu raja atau Adipati Tuban); anjing hutan merenungi langit, membaung menyeru rembulan; seorang tua memberi wejangan pada masyarakat Awiskrambil, wilayah perbatasan Tuban, dan di antara masyarakat itu terdapat dua tokoh utama cerita: Galeng dan Idayu.

Arus Balik bercerita tentang masa-masa akhir kerajaan Tuban akibat ancaman Portugis dari laut, ancaman Demak yang sudah menguasai Jepara, wilayah Tuban. Kerajaan Demak, melalui Pati Unus, berusaha menyerang Portugis di Malaka, Adipati Tuban tak mau ikut serta dan membantu dengan ikhlas, bahkan berusaha merangkul Portugis. Untuk tujuan tersebut, Tuban menggantikan syahbandarnya yang lama dengan syahbandar baru pelarian dari Malaka yang dianggap dapat berkomunikasi dengan Portugis atau Spanyol.

Adipati Tuban adalah orang yang berikhtiar memegang status-quo tanpa menyadari bahwa masa lalu sudah lewat untuk selamanya. Adipati Tuban menjadi lambang sikap pemimpin Jawa masa itu: hidup dalam keratonnya, ingin tahu berita-berita baru tentang apa yang terjadi di dunia luar, senang berfilsafat tentang peredaran zaman, tapi tidak berani atau tidak sanggup menarik kesimpulan dari berita yang ia terima atau mengambil tindakan tegas untuk mencegah “arus balik” yang langsung mengancam status-quonya.

Sementara itu, Tuban sedang menyambut kedatangan Idayu, penari kesayangan raja yang berasal dari Awiskrambil dan juga pegulat perkasa yang bernama Galeng yang sekaligus kekasih Idayu.

Pada awalnya, Galeng buta politik; satu-satunya pegangannya ialah wejangan dan ajaran Rama Cluring tentang panggilan yang harus diemban angkatan muda Tuban. Ketika Adipati Tuban memaksanya menetap di kota Tuban, ia merasa sangat berbahagia, apa lagi ia selalu dicemoohkan dan dihinakan para pembesar Tuban, sebagai anak dusun yang bodoh dan picik, hanya mempunyai kekuatan fisik sebagai pegulat. Tapi berangsur-angsur Galeng belajar banyak tentang hubungan politik dan tentang sikap pemimpin Tuban dan lain-lain. Adipati sebenarnya sangat cemburu dan tersinggung sebab tak berhasil mengambil Idayu sebagai selirnya. Si penari yang memukau beragam laki-laki itu tetap setia kepada Galeng. Dan Adipati Tuban juga terpaksa mengakui keberanian dan kepandaian Galeng menghadapi serangan Sunan Rajeg dan mengangkatnya sebagai panglima.

Namun, Wiranggaleng sendiri bukanlah pahlawan ideal yang berhasil mengalahkan semua lawan, mampu mewujudkan angan-angannya, sekalipun memahami prioritas seorang raja Jawa: berani memperjuangkan cita-cita keagungan dan kejayaan Jawa, khususnya Tuban, untuk mana, ia siap mengorbankan segalanya. Wiranggaleng juga harus mengalami penderitaan terpisah dari istri dan anak-anaknya, untuk suatu “perang politik” Adipati Tuban yang menilai orang lain tidak sejajar dengan dirinya. Dan lebih jauh, Galeng nyaris menjadi prototipe protagonis kesayangan Pram: telah melawan, meskipun sia-sia, sebagaimana Minke, Ontosoroh, dan tokoh-tokoh penting lainnya dalam novel-novel maupun cerpen-cerpen Pram.

Dan Wiranggaleng memang telah mengorbankan banyak, termasuk “pasrah” menerima Idayu yang “diperkosa” oleh Sayid Habibullah Musawa menggunakan obat bius, ketika Galeng di medan perang. (Si syahbandar yang pandai berkata-kata dan licik ini, menurut Arus Balik, adalah tokoh pembawa “jagung” pertama ke Pulau Jawa dan Nusantara. Wiranggaleng mengangkat dirinya sendiri sebagai senapati, karena senapati lama ragu menyerang bekas Syahbandar Tuban yang kemudian menghimpun kekuatan di pedalaman. Tuban berhasil menaklukkan pemberontak itu. Seterusnya, kota Tuban menjadi semakin sepi dan Galeng serta Idayu kembali ke desa, memutuskan menjadi rakyat biasa, setelah lelaki itu terlibat dalam pertempuran yang gagal dalam usaha mengatasi ancaman dari laut maupun dari darat.

Masalahnya, Adipati Tuban memang bermaksud lain. Seperti disebutkan, Adipati Tuban memilih menyimpang di perjalanan kerja sama politik dengan Demak dalam menghadapi Portugis. Ia memang mengirimkan pasukannya membantu pasukan Demak ke Malaka, namun ia mengirimnya terlambat. Hingga, karena bantuan yang tidak ikhlas ini, Tuban ikut menentukan kekalahan serangan Pati Unus ke Malaka, yang membuat Pati Unus menjadi cacat, namun masih terus berusaha menyiapkan diri untuk sekali lagi menyerang Portugis di Malaka. Namun, begitu Pati Unus meninggal dunia dan Raden Trenggano menggantikannya sebagai penguasa Demak, kebijakan politik Demak berubah.

Perhatiannya tidak tertuju ke pembangunan armada angkatan laut, melainkan berusaha memperluas kekuasaannya atas tanah dengan angkatan daratnya memerangi raja-raja lainnya. Pembalikan orientasi demikian, kemudian membuat kekuatan laut Demak runtuh, berganti dengan ekspansinya ke lingkungan bangsa sendiri (melingkar ke dalam). Dengan kata lain, terjadi pula “arus balik‘ dalam kebijakan raja Demak yang pada gilirannya membuat kerajaan tak lagi berdaya menghadapi Portugis, dan sibuk berperang melawan kerajaan-kerajaan lain di daratan yang sama.

Begitulah, novel Arus Balik kaya dengan berbagai cerita individu maupun bersama, mampu menggambarkan peperangan secara detail dan perlengkapan perang secara memukau, mengalirkan perdebatan filosofis maupun liku-liku psikologis yang mengasyikkan, memaparkan tata cara pergaulan masyarakat Tuban dengan gamblang, tata cara hubungan antara raja dengan rakyatnya, kaya gambaran mengenai pakaian, adat istiadat, dan berbagai perilaku dalam pergaulan masyarakat Tuban pada waktu cerita digulirkan. Dan di antara rangkaian cerita yang memusat dan terkonsentrasi pada plot yang ketat itu, sering pula terungkap kata-kata bijak, bergerak dari kekayaan variasi permukaan keseharian, yang sesekali masuk ke dalam persoalan esensi kehidupan.

Pada penghujung cerita, dikisahkan bahwa Wiranggaleng memang sempat mengusir Peranggi, namun cerita sesungguhnya habis. “Arus balik‘ tidak dapat dicegah dan Wiranggaleng mengundurkan diri untuk kedua kalinya, menjadi petani kembali. Dalam visi peristiwa politik masa 1511-1530 itu, ditunjukkan ketidakmampuan pemimpin Jawa menanggulangi perubahan akibat zaman baru, karena mereka mendua hati, kurang visi, kurang tabah, terikat pada cita-cita dan norma-norma kolot, atau menjadi hamba keserakahan dan hawa nafsu. Itulah sosok Adipati Tuban, yang hadir kontradiktif dengan sosok Wiranggaleng sebagai wakil rakyat jelata Jawa. Polos, berpegang pada norma dan nilai esensial kemanusiaan, yang sejak dulu menentukan hidup masyarakat Jawa dan tetap dipermaklumkan oleh guru Rama Cluring di desa Awiskrambil.

Dengan Arus Balik ini, Pram menjadikan kekuatan fiksi sebagai “landasan” sebentuk sejarah. Fiksi dan fakta, khususnya yang mengangkat masa lalu, berdamai menawarkan renungan-renungan kemanusiaan. Untuk mencapai ini diperlukan kemauan sekaligus kecintaan studi sejarah yang serius. Sisi yang menonjol dalam kehidupan maupun karya-karya Pram.

Dan Arus Balik juga seperti menegaskan kembali, bahwa jiwa manusia bisa korup, tergerus kekuasaan, harta-benda, dan kesenangan duniawi. Sementara, orang kecil yang tak memiliki banyak hal kecuali kesetiaan dan pengabdian pada kemanusiaan, acap kali memancarkan aspek tak bercela dari moral kemanusiaan. Hal yang menjanjikan harapan, pada tujuh ratusan halaman Arus Balik.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/11/artikulasi-arus-balik-nusantara-pram.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita