Asarpin
Seperti jiwa manusia aku tak terikat
Pada lambang-lambang bilangan-
Aku tak terikat pada masa dan keluasan
Pada pergantian dan tahun kabisat
–Muhammad Iqbal, Nyanyian Waktu
Pada suatu hari seorang Pendeta Agung singgah di sebuah majelis pumpun sambil mengajukan teka-teki kepada hadirin: “Apakah di antara yang ada di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus juga paling pendek, paling cepat namun paling lambat, paling terbagi-bagi tapi paling luas, paling disepelekan tapi paling disesalkan. Tanpa hal tersebut, tak satu pun bisa dilakukan. Dia melahap segala sesuatu yang kecil, tapi mengabadikan yang besar”.
Hadirin tampak berpikir untuk menemukan jawaban. Lalu seorang berdiri, dan dengan amat meyakinkan ia menjawab: Kekayaan. Si pendeta menggelengkan kepala. Lalu seorang lagi mengacungkan telunjuk sambil menyebut cahaya. Seorang lagi menjawab kabut. Ada juga yang menyebut asa. Tapi semua jawaban itu salah. Yang betul adalah jawaban Zadig: Waktu.
Dengan waktu, kata Zadig yang sedikit berfilsafat, maka tak ada yang dirasakan lebih panjang, sebab waktu adalah ukuran keabadian. Dengan waktu, tak ada yang lebih pendek karena selalu kurang untuk melaksanakan rencana-rencana kita; tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu; tak ada yang cepat berlalu untuk mereka yang sedang menikmati hidup. Waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi-bagi dalam satu ukuran sekecil-kecilnya. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan yang pantas dikenang menjadi abadi.
***
Teka-teki dan jawaban dengan sedikit retorika itu, saya kutip dari satu bab roman Voltaire dalam versi Indonesia: Suratan Takdir (judul aslinya Zadig). Apa sesungguhnya waktu? Zadig mungkin akan tetap menjawab: panjang. Kita hidup dalam waktu, dan sejak lama melahirkan persekutuan dan angkatan. Tapi apakah sebenarnya waktu di situ?
Kita tak tahu persis jawaban apa yang akan diberikan. Namun hampir tak ada penyair yang tak pernah menulis puisi tentang waktu. Minimal pernah sekali dalam hidupnya ia memikirkan waktu dan menuliskannya ke dalam bentuk sajak.
Dari sekian banyak penyair yang menulis tentang waktu, hanya sedikit sajak yang sungguh-sungguh menghadirkan pergulatan tentang waktu. Kalau Voltaire membayangkan waktu sebagai ukuran keabadian, sesuatu yang panjang, maka saya ingin menandaskan bahwa waktu dapat dijadikan bahan tes bagi otentisitas seseorang. Kalau dia penyair, maka keontentikan dirinya sebagai penyair akan terlihat ketika ia menggarap soal waktu. Otentik atau tidak puisi yang dihasilkannya, juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca ketika ia membicarakan soal waktu.
Salah satu penyair yang tak begitu dikenal, namun telah menghasilkan satu buku kumpulan sajak yang unik dan bentuk yang menyempal, adalah saudara Nurel Javissyarqi. Lewat analekta sajak bertajuk Kitab Para Malaikat (2007) Nurel menghadirkan tafsiran waktu dalam bingkai filsafat dan ajaran kebatinan Jawa yang tak mudah dicerna, namun dari segi tema, terasa otentik.
perihal bentuk, sajak-sajak Nurel cukup unik tapi sekaligus janggal. Setiap ujung larik sajaknya ditandai dengan huruf atau angka romawi. Tentu saja kita bisa berdebat tentang fungsi angka-angka romawi dalam baris larik sajaknya. Bisa jadi hal itu hanya sekadar tempelan, seni dekorasi, dan tak memiliki maksud dan makna apa-apa. Atau bisa juga sebuah kelatahan, sekadar pemenuh garis kalimat, sebagaimana kita bisa juga memperdebatkan tanda baca yang tumpangtindih dan sepintas mubajir dan menyalahi aturan seperti yang dimaui para penggiat bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kalau saya boleh berbaik sangka, tentu saja semua keanehan itu dikerjakan dengan perhitungan yang mengandung misi tertentu. Angka-angka itu mungkin tak lagi sekadar kenenesan atau keisengan serta sekadar pemenuh garis kalimat. Bisa jadi ia memiliki hubungan yang terencana dengan sesuatu yang kita sebut sebagai penanda waktu.
Secara tematik, selain persoalan waktu, Kitab Para Malaikat banyak menampilkan tema seputar eksistensi. Namun menyelam tema saja tak cukup untuk menegaskan hakikat keindahan sebuah puisi. Kita mesti juga berenang menyusuri arus bentuk dan wawasan estetik sang penyair. Dan sajak-sajak Nurel tampak memberikan kesan “menyempal” dilihat dari segi bentuk. Di dalamnya kita temukan campur-baur berbagai gaya dan pengucapan. Beberapa bagian tampak si penyair begitu asyik dengan aforisme, dengan saran dengan petuah, dengan perbalahan, dengan doa dan mantra.
Karena telisik ini lebih memfokuskan pada penyelaman karakter tema, dengan fokus pada persoalan waktu, maka jadilah telisik ini amat sempit dan picik. Keputusan menjadikan waktu sebagai lahan garapan di sini karena cukup banyak dijumpai isyarat tentang waktu. Ketika si aku sedang asyik melakukan tamasya bahasa ke berbagai lumbung, si aku merasakan kekaguman terhadap waktu. Ada waktu di mana ia mengagumi setiap mil yang pernah dijelajahinya, setiap makanan yang pernah dicicipinya, setiap pribadi yang pernah dikenalnya, atau “ditidurinya”. Semua itu menggodanya, lalu dicatatnya, kemudian menjelma sebuah sajak.
Sebagai (salah satu) bahan tes bagi otentisitas, waktu karena itu bukan hal sepele dan main-main dalam sajak-sajak Nurel. Bahkan banyak sekali urusan di muka bumi yang terpaut dengan waktu muncul di situ. Banyak hal yang bahkan begitu tergantung dengan detik, menit, hari atau tahun. Kita bisa saja tak memahami ucapan seorang tokoh dalam sajaknya ketika menyebut “waktu di sayap malaikat”, atau ketika ia menulis “waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala ”, namun karena kita merasakan penghayatan sang penyair terhadap waktu begitu intens dan syarat makna, maka layaklah kita memberi predikat otentik terhadap larik sajak tersebut.
Atau kita ambil contoh satu larik lagi, ketika Nurel bicara tentang perempuan dan waktu. Seorang perempuan dibayangkan sebagai gerbang menuju ke ketinggian, mendaki ke puncak pohon lotus terjauh. “Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari”, tulis Nurel.
Apa yang dimaui sang penyair dengan larik semacam itu? Adakah ia hendak menegaskan bahwa puisinya memiliki hubungan tersembunyi dengan proses penciptaan makhluk perempuan?
Waktu di sana dibayangkan sebagai timbangan, mizan. Sebuah tinanda sekaligus isyarat tentang kejadian sesuatu. Waktu juga diandaikan sebagai ukuran terhadap hal-ikhwal. Ia bisa dinyatakan lewat bilangan, lewat angka, atau waktu kuantitas. Tapi ada juga waktu kualitas yang tak terkait dengan angka atau bilangan. Waktu psikologis atau waktu eksistensialis, atau waktu filosofis, adalah penanda waktu di luar urusan kuantitas, tapi bisa terpaut dengan sifat atau karakter.
Seorang filsuf pernah menulis begini: “Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu”. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat. Di sini waktu bisa bermakna penantian, ibarat waktu di ruang tunggu. Waktu dibayangkan sebagai seutas tali kebisuan.
Sementara Nurel merasakan kesuntukan dan kegersangan yang nyaris tak terkatakan ketika hendak berenang terus-menerus dalam arus waktu kehidupan. Dalam sebuah halaman ia menulis:
“Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII:LXXXIV)
Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
Terpotong tanggul kakikaki mungilmu (XIII:LXXXV)
Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan
Terlempar arus kesadaran berasal hempasan (XIII:LXXXVI)
Dalam larik itu, ada pautan waktu, juga tentang harapan atau obsesi. Apa harapan dan obsesi yang dimaui sang penyair? Mari dengarkan senandung jawaban dalam lembar berikutnya: ”Waktu tertinggal mengekalkan kebaikan, tertulis hasrat suci mendekatkan diri/Sebelum sayap-sayap kaku, ujung-ujung tenggorokan hampa, izinkan mengucap kalimah sakti, teguh menguliti nasib mengisi, demi membuka kilauan tabir penciptaan”.
Penyair sepenuh-penuhnya berpaling kepada waktu ketika kata mulai dirasakan kian tak berdaya menyalurkan hasrat dan rasa haus estetis yang telah menyembul di kerongkongan. ”Kata-kata tidaklagi memuaskan mereka, kau tahu ruang kejujuran, keheningan suci tiada bercak keangkuhan”, tulisnya.
Dengan waktu, si aku merasakan pedihnya kesendirian, kesepian, hingga ia menandaskan kepada lawan bicaranya. “rasakan diamnya di dalam dirimu tersebab pribadi tidak menentu, maka mustahil pecahkan guratan batu di kening sejarah waktu”. Memang, seperti sering dikatakan orang, kita hidup dalam pergulatan terus-menerus dengan sejarah waktu. Atau mungkin lebih tepatnya: dalam arus waktu yang kian tak menentu.
Nurel seakan hendak menggenapkan waktu dengan menghubungkannya dengan sejarah dan kata serta membayangkan waktu masih berupa potongan-potongan tahun cahaya. “di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?/mewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,/siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya?”
Di sana dimensi waktu terasa jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Sebab, seperti juga pernah dikatakan seorang penyair lirik terkemuka di negeri ini, puisi tak terikat oleh waktu, dan tidak dapat pula dibelenggu oleh waktu. Ia bisa melintasi waktu, melampaui dimensi waktu. Dan Malaikat, kita tahu, bukan makhluk sejenis manusia yang kasatmata yang terikat oleh ruang dan waktu manusiawi. Dan kita juga tahu peran Malaikat dalam penyebaran wahyu dan misi kenabian dalam agama-agama dunia.
Malaikat adalah makhluk yang sejajar dengan setan atau iblis. Dan kita tahu, seandainya tak ada malaikat di surga, apa arti wahyu bagi manusia dan kemanusiaan. Seandainya tak ada iblis di surga yang menggoda Adam, mungkin kita takkan mengenal kitab suci di dunia, dan mungkin juga dunia takkan pernah dihuni manusia.
Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang waktu: baik waktu sebagai angka hari, bulan, dan tahun, maupun waktu sebagai sejarah atau waktu dalam arti makna dan pemahaman. “Aku sengaja melempar dadu“ untuk “mencari padanan waktu”, tegas Nurel.
Sanga penyair agaknya mulai merasakan kejengahan terhadap waktu. Maka ia pun mulai sedikit bermain-main dengan waktu untuk menuju dan menemu waktu di luar sejarah dan pemahaman. Atau barangkali itu hanya strategi untuk menaklukkan waktu. Sebab dalam sajak-sajaknya terdapat isyarat tentang waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis, dan sebagainya.
Ketika terpaut dengan sejarah, makna waktu menjadi serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme, waktu tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2010 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.
Makna waktu menjadi kian rumit ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel pernah mengingatkan akan pentingnya waktu kualitatif, karena menurutnya: banyak sekali persoalan manusia dan alam raya yang tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger lain lagi: ia memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.
Waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran. Ratusan tahun lampau al-Hallaj sudah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.
Kalangan fisika kuantum konon mampu kembali ke waktu 1 miliar tahun lampau. Seorang kritikus pernah menelusuri persoalan waktu dalam konteks ini melalui pertemuan dengan sajak Padamu Jua dari pujangga Amir Hamzah. puisi itu menurutnya memiliki hubungan dengan skala waktu geologi yang kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri, katanya, telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”.
Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup pujangga Amir Hamzah—demikian ia sering disebut—manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik.
Sementara pujangga Nurel Javissyarqi mencoba menafsirkan riwayat sang kala dengan imaji sepersekianjuta tetes cahaya kepak sayap Mailaikat. Di bagian akhir kitabnya ia mengutip satu pernyataan Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi dalam ”Daqooiqul Akbar”: ”Malaikat Jibril as mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu dari zafaron. Matahari seakan berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gemintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah Subhanahu Wataallah menjadikan dari setiap tetes tersebut wujud Jibril as., mereka sama bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka Malaikat Ruhaniyyuun”.
Selanjutnya Nurel mengingatkan pembaca sambil meyakinkan lewat seruan: ”Saudara tentu tidak menyangka ketika kelepakan sayap malaikat menyentuh lapisan langit pertama, terciptalah kata, kata-kata itu dipungutinya sendiri bagi saudara-saudaranya, para Malaikat Ruhaniyyuun yang ditugaskan tuhan mengatur segala urusan dunia. Kata-kata tersebut bukan wahyu hendak disampaikan kepada para nabi, tapi murni pengalaman perjalanan bolak-balik. Hasil lawatannya itu diidentifikasi sendiri, bagaimana watak insan penghuni bumi. Ini catatan memahami sifat insan demi permudah malaikat menjalani perintah-Nya, menjaga ruh hayat lestari, juga demi insan mengerti cahaya malaikat berkreasi”.
Itulah kesaksian-kesaksian Nurel, atau goresan-goresan pengalaman kreatif yang melatari lahirnya antologi puisi yang penuh imaji kesufian yang liar ini. Ia tak puas jika tak menjelaskan apa dan bagaimana serta dimana sajak-sajak ini mengendap dan kemudian lahir sebagai sebuah kitab sajak yang jalin-menjalin antar berbagai tema dan pengalaman. Baik pengalaman luka maupun bahagia, baik pengalaman sakit maupun sehat, kekosongan maupun kepenuhan.
Kita, pembaca, diajaknya ikut merasakan, mengarungi, mengidentifikasi untuk kemudian mencoba mendekati seintim mungkin pengalaman-pengalaman puncak yang nyaris tak terkatakan itu. Bukan sekadar membaca, tentu saja, tapi membaca untuk bergulat ikut merasakan getar-getar pengalaman batin yang menggelora, juga mempesona. Sebagai penyair, tugasnya telah selesai, dan kini sajaknya berada di tangan pembaca, diambil-alih oleh pembaca melalui apa yang disebut kewenangan tafsir.
Sebagai penyair, Nurel tak seradikal Sutardji yang mengajak pembaca untuk memeras keringat hati dan otak dalam memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam sajak-sajaknya. Sebab soal paham dan tidakpaham, soal makna dan ketanpamaknaan sebuah sajak, bagi Nurel, adalah perkara lain lagi. Dengan bijak ia bersaran kepada pembaca untuk menemu tafsir yang bisa ditafsirkan lagi, memahami yang bisa terpahami saja lagi, atau—mengutip kata-katanya sendiri—”ambil yang saudara mengerti & selidiki yang belum terketahui”, lagi.
Tapi, sebagai pembaca, tak mudah lagi untuk mengambil bagian mana dari larik sajak yang dimengerti dan mana yang takdimengerti. Lagi pula kalau sudah dimengerti tak perlu lagi diselediki, atau masih ada gunanyakah menyelidiki sesuatu yang sudah telanjang kasatmata, atau yang sudah terang-benderang? Justru karena sifat sajak-sajak yang balam-balam itu, maka pembaca ditantang untuk berenang-renang ke tengah mengarungi tepi-tepi terakhir sebelum karam digulung ombak suak ujung sajak.
***
Walhasil, Kitab Para Malaikat adalah buku puisi yang mengambil bentuk prosa kefanaan: kehidupan dan kematian. Juga tentang doa dan waktu, serta waktu dan keabadian. Kitab ini tak mudah ditangkap hanya lewat pandangan saja, apalagi pandangan mata seorang kritikus yang tak siap untuk paham.
Bagi saya, hakikat waktu dalam sajak-sajak Nurel tak lengkap jika tak dilacak hingga ke akar-akar ”kebudayaan tradisional”. Sebab dalam ”masyarakat tradisi”, waktu tak terpisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan metereologis. Pencarian religius orang Hindu lama, misalnya, mengikuti jejak waktu spiritual. Mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Sementara ajaran Budha mirip dengan Hindu yang menggambarkan keadaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu ternyata melahirkan parinirwana—fase ketika tak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.
Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, misalnya, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional yang berulang. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis, yaitu sosok astrologi.
Selama berabad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam An Essay on Man, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani.
Namun para pemikir Yunani masih juga kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari pengalaman inderawi ini.
Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menganggap ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.
Sementara Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.
Pemikiran astronomi dan matematika yang semula masih berbau metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka agama sedemikian jauh terpisah dari ilmu. Sebab itu, tak heran jika ’Alija ’Ali Izetbegovic—mantan presiden Bosnia—pernah tertarik untuk mengamati hubungan seni dan ilmu atau ilmu dan agama. Jika kita menyimak fenomena alam, katanya, maka di sana ada susunan yang terdapat dalam sebuah mesin, atau sebuah melodi. Keduanya, bukan dalam analisis terakhir, tak bisa direduksi menjadi satu sumber yang sama. Yang pertama adalah kombinasi hubungan dan bagian spasial atau kuantitatif yang sesuai dengan alam, logika dan matematika. Yang kedua mempertahankan kombinasi nada atau kata-kata dalam sebuah melodi atau puisi. Kedua susunan ini memiliki dua kategori yang beda—ilmu dan agama, atau dari sudut pandang ini, ilmu dan seni…Maka jika hanya ada satu dunia, maka seni tidak akan mungkin. Setiap karya seni merupakan kesan dunia yang bukan tempat tinggal atau asal kita, dan yang di dalamnya kita ’kehilangan tempat kita’.
Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.
Pandangan Nurel tentang waktu dalam Kitab Para Malaikat mengikuti pandangan kosmologi Jawa klasik yang dikawinkan dengan pandangan Islam. Dalam pemikiran tradisional Jawa, memang terdapat keselarasan alamiah antara gerakan kehidupan manusia dan gerakan kosmos. Roda yang berputar adalah suatu gambaran gerak dan ketenangan, berangkat dan pulang kembali. Bentuk dari waktu universal adalah satu dari ciptaan dan destruksi, dan berulang lagi ciptaan dan destruksi lagi. Dan manusia dilahirkan dalam zaman yang fana, hidup seumur-umurnya dan kemudian kembali kepada zaman yang baka lagi. Perputaran berhenti dan generasi yang lain memulai putaran baru lagi.
Simak bunyi larik akhir buku Kitab Para Malaikat: sekalipun ”ada saatnya perjalanan musti dihentikan kala menemui pantai doa ibunda”, namun ”ini babak peleburan mengulum bibir rindumu, serupa kematian berulang/nikmatnya terus terberi, sedang energinya tak pernah habis selesai”.
Tak habis-selesai? Ya, sebab waktu adalah masa silam yang serempak mengada dengan masa depan dalam masa kini. Dalam gerak-diam waktu, kejadian tak pernah habis-selesai. Tak ada lagi pengulangan yang persis sama dalam arus gerak waktu. Nurel mengingatkan kita akan ketidakmungkinan manusia untuk berenang dua kali dalam sungai yang sama. Dengan menempatkan ”waktu di sayap malaikat”, Nurel tampak ingin menyarankan agar manusia membebaskan diri dari waham bernama politik lokasi tunggal. Waktu adalah kondisi umum kehidupan organis yang terdiri dari tiga modus yang telah disebutkan, dan ingin saya sebutkan lagi, yakni: waktu lampau, kini, dan nanti.
Nurel meletakkan waktu yang statis, beku, dan menunjukkan apresiasi terhadap tradisi Jawa sewaktu ia dituntut untuk tidak lagi hidup dengan tradisi kuna yang panjang umur itu. Berbeda misalnya dengan para penganut kemajuan, sebuah pemuja semangat progres, waktu ditempatkan sebagai gerak-maju yang dinamis dan lurus-liner. Spiritualitas waktu sebagai pertarungan hidup mati umat manusia. Masalah sastra—puisi khususnya—menyangkut masalah paling eksistensial tentang bagaimana mengolah ladang waktu, menguasai ladang waktu, dan manusia bisa jaya terhadap waktu.
Dalam kalender Jawa yang dipengaruhi Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi ini, waktu dalam pemahaman Nurel merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu ia mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.
Dalam ajaran panca maha butha, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus yang terputus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi, itulah makna keabadian sejati, seperti yang pernah disinggung Voltaire dalam kitabnya yang saya kutip di awal telisik ini.
Tapi pemaknaan waktu semacam itu perlahan-lahan bergeser. Dan ini mulai dirasakan sebagai kecemasan oleh Nurel. Sebagai seorang ”titisan kebatinan Jawa”, Nurel merasakan kegelisahan tatkala waktu spiritual mulai bergeser menjadi ”waktu rasional”, atau antara ”metafora dan matematika”. Akar pergeseran ini bisa dilacak sejak kekuasaan raja-raja Jawa dihapus dan Islam menjadi patokan di segala bidang. Akibatnya, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme yang jadi falsafah hidup sebagian besar orang Jawa mulai tergusur. Penanggalan Jawa kuna yang memiliki pertalian dengan India, akhirnya berubah, terutama sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan tradisi, ruang dan waktu, mengalami kodifikasi.
Lantaran itu, Kitab Para Malaikat sebetulnya tak hanya bicara soal waktu dalam konteks kebudayaan Jawa, tapi dunia. Di sana kita disuguhkan pula perbincangan filosofis tentang waktu dalam konteks kosmologi. Waktu dari alam bukan waktu arloji atau waktu kalender, melainkan hadirat atau waktu yang menyekarang. Dalam waktu arloji tidak ada perbedaan jam satu siang dengan jam satu malam, jarum arloji menunjuk pada angka yang sama. Waktu alam ialah mengalir. Karena itu, waktu bisa mandek, bisu, beku. Sementara ruang bisa tembus pandang dan menjelah bidang liputan.
Kalau pandangan ini dilanjutkan, maka corak alam tak lain adalah keseluruhan prinsip-prinsip dan pengaturan relasi sesuai dengan dorongan vital dari manusia yang mengkonstitusikan alam. Tendensi mengasimilasikan benda-benda dalam hampir semua sajak di buku ini, bukan menampilkan ekspansi difusi sebagaimana sering disinggung para kritis postmodernis, melainkan aliran vital yang berjalan teratur.
Tendensi puisi yang kembali ke alam tradisionil, dalam hal ini, berarti kembali menunjukkan persoalan ketidaksadaran. Semakin berkurang kesadaran seseorang, semakin ia kembali kepada tradisionalisme. (Sebagai contoh, buku Kitab Para Malaikat banyak menggunakan kata pujangga, bukan penyair, dan kitab ini dibuka dengan kalimat yang mengingatkan kita pada kitab-kitab lama yang berisi doa purba: ”Allahhumma shalli ’ala sayyidina Muhammad; ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga (I)”.
Dan itu diulangi secara ritmis. Semua titik peralihan menentukan batas relasi. Sampai batas itu, alam seakan membuka diri baginya. Seakan menjelma doa-doa. Sementara di luar dirinya, ia mencoba memilih posisi yang lain. Pengalaman berdasarkan relasi antara kita dan benda-benda, tetapi relasi itu tak bisa ditempel atas benda-benda itu. Dengan pengalaman saja, pengaruh dari benda-benda sudah selesai sehingga pengaruh dialami secara absolut.
Namun, sebagaimana terbaca dalam beberapa sajak, doa dan waktu dari alam itu kini mengalami perubahan seiring ditemukannya pengolahan yang serba-mesin. Di zaman sekularisasi yang menciptakan demistifikasi terhadap manusia dan desakralisasi terhadap hal-ikhwal yang disucikan ini, sebuah puisi memang tak sepenuhnya bisa diharapkan menjadi remedi bagi luka besar kemanusiaan. Sekalipun Nurel bertekad untuk “memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu”, toh, sajak-sajaknya memiliki keterbatasannya sendiri. Dan, sebagai pembaca, saya hanya bisa berdoa: semoga kau berhasil dan berbahagia terbang bersama para malaikat ruhaniyyuunmu.
Bandarlampung-Kota Agung, Maret 2011
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar