01/06/14

Desakralisasi Kata-kata dalam “Mantra Pejinak Ular”

Darwin *
Riau Pos, 29 Des 2013

SIHIR kata-kata adalah kekuatan para sastrawan. Di tangan seorang sastrawan, daya pikat kata adalah unsur terpenting dalam karya sastra, baik itu prosa maupun puisi. Kata-kata biasa bisa menjadi ‘berbunga’ di ujung pena seorang sastrawan. Kata-kata yang basi di mulut politisi, bisa menjadi berisi dalam setiap ucap para sastrawan. Itulah yang dilakukan oleh Sutardji Calzoum Bachri yang populer dengan ‘’puisi mantranya’’. Atau, di seberang lain ada Ayu Utami dengan teknik komposisinya. Tentunya tidak ketinggalan Chairil Anwar dengan permainan diksinya yang sulit mencari pembandingnya di zaman Twitter saat ini. Masih banyak lagi para ‘pemain kata’ yang tidak bisa semuanya disebutkan namanya di sini.


Dalam ranah sastra, masih menjadi perdebatan apakah yang diperlukan itu permainan kata (diksi, metafora, rima dll.), atau kekuatan cerita. Dalam salah satu kesempatan, novelis Muhidin M. Dahlan pernah mengatakan kekuatan cerita lebih penting daripada kekuatan kata-kata. Meskipun ia tidaklah menafikan yang namanya kata-kata. Seorang prosais tidak harus terjebak dengan kata-kata memikat nan manis yang, dalam bahasa Rendra (hanya) bersajak tentang anggur dan rembulan. Tapi sisi ide, penguatan karakter, plot, detail, dan setting juga menjadi penting.

Terserah kita mau berpijak pada ranah yang mana. Tetapi penulis masih yakin kekuatan kata-kata itu sangatlah penting. Mungkin ini dipengaruhi oleh setting di mana penulis lahir, yakni Riau. Kita tahu Riau adalah tempat ‘bersemainya’ kata-kata. Dalam kenduri, upacara pernikahan, acara resmi pemerintah, hingga perbualan keseharian di rumah, orang Melayu Riau selalu disihir oleh kata-kata. Pantun, petatah-petitih selalu menghiasi. Ia sudah menjadi adat-resam, bahkan lebih ekstrem ia adalah periuk-nasi kedua masyarakat Riau. Tidak salah jika dari provinsi ini bermunculan para sastrawan dan budayawan yang ‘gila kata’ semacam Raja Ali Haji, Soeman Hs, Sutardji Calzoum Bachri, Tenas Effendy, Idrus Tintin, Taufik Ikram Jamil, dan sederet nama kondang lainnya.

Novel yang punya kekuatan pada cerita dan ‘abai’ dengan sihir kata bisa kita jumpai dalam Mantra Pejinak Ular (Penerbit Buku Kompas/2013) karya novelis yang juga cendekiawan Muslim, Kuntowijoyo. Novel ini sungguh tidaklah berbusa-busa dalam hal metafora. Bahasanya adalah keseharian kita apa adanya. Namun, novel yang mendapatkan penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) ini mempunyai kekuatan pada ide, plot, setting, karakter, dan detail, serta tentu saja nilai-nilai kehidupan yang terdedahkan di dalamnya. Kekuatan kearifan hidup inilah yang membuat Mantra Pejinak Ular menjadi luar biasa. Ia dipuji, dipercakapkan, dan pada akhirnya penghargaan pun didapatkan.

Mantra Pejinak Ular yang sudah dicetak dua kali ini (cetakan pertama tahun 2000, juga oleh Penerbit Buku Kompas), menceritakan sosok Abu Kasan Sapari, seorang pegawai kecamatan yang juga seorang dalang muda jempolan. Ia ditugaskan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah. Suatu ketika, di saat Abu sedang mengikuti pesta tibanya musim giling tebu, ia bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu membisikkan sesuatu di telinga Abu. Yang dibisikkan itu tak lain adalah mantra pejinak ular.

Jadilah Abu seorang yang ahli dalam menjinakkan ular. Tersebab keahliannya inilah ia dipanggil dukun ular oleh warga. Setiap ular yang ditemuinya selalu dijinakkannya, kemudian dilepaskan kembali. Di sini Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk merefleksikan hidup, di mana mencintai ular berarti adalah mencintai alam, yang dalam bahasa Kunto -begitu ia sering disapa- dalam novel ini: peduli lingkungan. Ini tidak bisa dimungkiri karena setting novel ini adalah menjelang tumbangnya pemerintah Orde Baru (orba).

Mengenai hal ini ada bab khusus (bab IV) yang berjudul: ‘’Cinta Ular Cinta Lingkungan’’.

Berkat dekatnya Abu dengan ular, saat ia dipindahtugaskan di kecamatan Tegalpandan, ia memelihara seekor ular yang disebutnya dengan klangenan (kesayangan) di rumahnya. Rumahnya ini bersebelahan dengan seorang janda muda cantik bernama Sulastri. Ular itu menjadi jinak di tangan seorang Abu. Hal ini dibuktikan dengan penguasaan bahasa isyarat oleh ular itu. Ia mengikuti keinginan Abu hanya dari siulan saja. Bersiul satu kali, ular itu langsung naik di atas meja di rumahnya, bersiul dua kali berarti ular itu harus turun, dan tiga kali artinya ular itu harus membelit tiang tengah (hal. 135).

Di sini dengan piawai Kunto mengangkat nilai-nilai kearifan Jawa. Dalam filsafat Jawa, para lelaki yang telah dewasa dianjurkan mempunyai wisma, wanita, curiga, kukila, dan turangga (rumah, istri, keris, burung, kuda). Nah, di sini Kunto membalik kebiasaan orang Jawa dengan mensubstitusi burung dengan ular. Inilah kelebihan penulis produktif ini. Ia tidak membuat cerita menjadi klise, tetapi selalu menawarkan warna baru.

Mantra Ular dan Mitos

Keahlian Abu lainnya adalah mendalang. Ia adalah dalang handal yang mentas di mana-mana. Acara pernikahan, sunatan, tujuh belasan, kampanye pemilihan kepala desa/lurah, dan acara-acara kecamatan lainnya tidak bisa lepas dari atraksi wayang seorang Abu. Ia dikenal dan dicintai semua orang berkat keahliannya ini. Berkat seni pedalangan pulalah ia terusir dari kecamatan Kemuning. Bermula ketika ia mendukung dengan sangat terpaksa beberapa calon lurah. Ia diminta oleh calon-calon itu untuk wayangan semalam suntuk. Di sinilah muncul keragu-raguan dalam dirinya. Di mana sebenarnya wilayah seni, di mana pula politik? ‘’Kesenian itu otonom. Kesenian adalah keindahan, sedangkan politik adalah kekuasaan. Biarlah orang lain mengotori politik, asal bukan kesenian.’’ (hal. 110). Pada akhirnya, keangkuhan kekuasaan membuat ia dipindahkan karena calon status quo dikalahkan oleh calon-calon yang didukung oleh Abu.

Masih banyak nilai yang menjadi pesan dalam novel bertebal 274 halaman ini. Selain kaya akan filsafat Jawa, novel ini juga berisi wejangan keagamaan dan kritik sosial. Dalam ranah politik -karena setting-nya bernuansa Orba- pemikir keislaman yang juga sejarawan ini dengan sangat memikat menggambarkan detik-detik menjelang kejatuhan Soeharto dengan bahasa simbol. Dalam novel ini dideskripsikan dengan rubuhnya pohon beringin dekat terminal di kecamatan Tegalpandan.

Hal lain adalah berkait concern Kunto dalam wacana keislaman. Untuk diketahui, ia dikenal karena konsep Ilmu Sosial Profetik-nya. Ia mengupas habis surat Ali Imran ayat 110. Etika profetik menurut Kunto terdapat dalam ayat ini. Inti ayat ini amar makruf, nahi munkar, dan tukminunabillah. Amar makruf diderivasikan menjadi humanisasi, memanusiakan manusia. Sedang nahi munkar adalah pembebasan, yakni pembebasan umat manusia dari ketertindasan, kebodohan, dan lainnya. Tukminunabillah berarti transendensi, di mana adanya nilai-nilai ketuhanan yang melandasi dua hal di atas tadi.

Selain itu, ia membagi periode umat Islam Indonesia dengan babakan-babakan; yaitu fase mitos, ideologi, dan ilmu. Bukunya yang mengungkai hal ini berjudul Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (Mizan/2002). Terkait dengan periode umat Islam ini tentunya juga disinggung dalam Mantra Pejinak Ular di halaman 257: ‘’Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra’’. Inilah kata-kata eyang dari Abu Kasan Sapari dalam sebuah mimpinya.

Ular yang dipelihara Abu memang menjadi masalah. Banyak warga kampung yang tidak menyukainya. Akibatnya, pada suatu malam rumah Abu akan digerebek oleh masyarakat kampung. Mereka sudah siap dengan pentungan, parang, golok, batu dan lainnnya. Mereka menginginkan ular itu dan tuannya sekaligus. Ular milik Abu dianggap telah menghabisi ayam dan ternak masyarakat lainnya. Hanya karena Sulastri-lah, janda yang dekat denganAbu itu, penggerebekan batal dilakukan karena Sulastri meyakinkan mereka. Di sinilah dilema terjadi, di satu sisi Abu sangat menyayangi ular itu, pada sisi lain ular itu tidak disenangi masyarakat kampungnya. Lagi-lagi bahasa simbol digunakan oleh Kunto. Mantra ular adalah bagian dari sejarah umat Islam yang disebutnya dalam era mitos, zaman di mana umat Islam didominasi cara berpikir mistis-irrasional yang berlangsung sebelum awal abad ke-20. Membuang mantra ular adalah proses transformasi dari periode mitos menuju periode ideologi dan ilmu.

Di sinilah kelebihan seorang Kunto yang juga seorang cerpenis ini. Ia meramu kata dengan bahasa sehari-hari dalam novelnya ini. Dengan kata lain, ia mendesakralisasi daya pikat kata dalam sastra. Namun, bahasa sehari-hari itu tidaklah mengurangi kualitas novelnya. Nilai-nilai kearifan dan kritik sosial menghiasi novel dengan ide di luar mainstream ini dari lembar pertama hingga akhir. Bandingkan dengan novel-novel seperti Ayat-ayat Cinta, misalnya, sudah bahasanya sederhana, ditambah lagi dengan ceritanya yang klise! Ini peringatan bagi kita jika menulis karya sastra. Tinggalkan yang klise, bikin ide cerita dengan warna baru! Mari mencoba!

*) Darwin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Univ. Muhammadiyah Yogyakarta. Karya terakhir antologi cerpen Pesan Mama Tentang Kematian yang Indah (The Phinisi Press/Yogyakarta/2012), asal Pelalawan.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita