01/06/14

BERGURU PADA SEJARAH, MEMETIK HIKMAH BERUBAH

Sutejo
Majalah Dinamika PGRI

Dalam tafsir Ibnu  Katsir jilid 4 (hal. 774), ada penafsiran menarik terkait dengan pentingnya menulis. Penjelasan  ayat [yang merupakan sumpah Allah], Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis; terdapat uraian yang menggetarkan saya. Untuk lebih afdalnya dikutipkan sebagai berikut.


Demi kalam, pada zahirnya, ia adalah jenis pena yang dipakai untuk menulis. Hal ini seperti firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan…. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling mulia. Yang telah mengajarkan dengan kalam. Yang telah mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahuinya.” Kalau begitu, kalam dalam ayat ini merupakan sumpah dari Allah dan peringatan bagi hamba-hamba-Nya tentang nikmat yang telah diberikan kepada mereka berupa pengajaran menulis, yang menjadi wasilah umat mendapatkan berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Dan apa yang mereka tulis.” Dikatakan, maksudnya ialah pena yang merupakan makhluk yang pertama, dalilnya adalah sabda Rasulullah saw, “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah kalam…” (Muhammad Nasib Ar-Rifai, 2005:774).

Sungguh menggetarkan! Mengapa kebanyakan muslim tidak menulis? Berturut-turut tulisan ini akan mengkaji tentang: (i) simbol-simbol Islam akan pentingnya membaca dan menulis, (ii) sejarah peradaban ditentukan oleh geliat ilmu, dan (iii) pentingnya berguru pada masa lalu yang penuh dengan pergulatan keilmuan.

Membaca Simbol

Kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam, Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan menulis). Surat-surat ini diurutkan dalam urutan diterima nabi. Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis. Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu melalui proses wasilah menulis.  Al-Muzammil adalah simbol untuk belajar secara intensif (bukan untuk ibadah!). Al-Mudatstsir adalah simbol untuk beribadah (karena proses kerasulan dimulai dari surat ini, yang kemudian diikuti turunnya surat Al-Fatihah –yang menjadi inti dari bacaan shalat–.

Marilah kita eksplorasi keempat simbol itu lebih jauh. Surat Al-‘Alaq dan Al-Qalam adalah simbol pentingnya membaca dan menulis. Isyarat Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian  pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-Qalam). Konteks surat Al-‘Alaq sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit— karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.

Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan [lebih intensif baca tulisan penulis “Membaca itu Wajib, Guru!” yang pernah dimuat Dinamika.

Selanjutnya, mengapa Al-Muzammil simbol belajar intensif? Coba ikuti tafsir surat itu! Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.

Bukankah Al-Quran adalah sumber segala ilmu? Metaforik dari perintah bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan. Apalagi, kita diperintahkan untuk bangun malam, di sepertiga malam. Sesungguhnya, hemat saya, ayat ini adalah perintah untuk belajar secara intensif, bukan beribadah. Sebagian banyak kita menafsirkan bangun malam ini untuk ibadah mahdzah. Padahal, konteks surat ini adalah belajar. Mengapa? Karena perintah ibadah baru muncul setelah surat Al-Mudatstsir, seiring dengan perintah kerasulan yang diterima nabi. Apalagi, surat itu didahului dengan surat sebelumnya: Al ‘Alaq dan Al Qalam.

Hal-hal inilah kemudian yang menyadarkan kita, ternyata membaca dan menulis itu menjadi intisari kerasulan nabi, bahkan nabi kita diajari langsung oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga masalah wudlu dan sholat, nabi Muhammad diajari langsung oleh Jibril sebagaimana hadis yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudlu dan sholat”. [detailnya, baca buku Agus Mustofa: Metamorfosis Sang Nabi, dari Buta Huruf Menjadi Ilmuwan Jenius, Padma Press, 2008].

Sejarah Peradaban, Sejarah Ilmu

Pelajaran yang sangat menarik dapat dipetik adalah ketika nabi membebaskan tawanan musyrik dalam Perang Badar dengan menggantinya mengajari membaca menulis kepada kaum muslim. Luar biasa keteladanan nabi! Mengapa? Karena masyoritas umat Islam saat itu buta huruf. Inilah gerakan awal yang dilakukan nabi. Sebuah konsep yang diorentasikan agar umat Islam mencapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan.

Di sinilah maka sahabat nabi, Zaid bin Tsabit, adalah contoh sahabat yang mengungguli para sahabat lainnya. Termasuk mampu menggungguli Abu Hurairah (sahabat nabi lain yang luar biasa hafalannya) sampai-sampai dalam hadist Imam Bukhari diuangkapkan, “Tidak ada sahabat nabi yang hafalan haditsnya melebihi aku.” Akan tetapi, Abu Hurairah kalah dibandingkan Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit mampu menjadi sekretaris pribadi Rasulullah dan menjadi penerjemah bahasa Suryani dan Ibrani. Ini semua karena kemampuan membaca dan menulis yang dimilikinya. Ia adalah penulis wahyu Rasulullah yang kemana pun dan di manapun nabi berada selalu ada Zaid bin Tsabit.

Pengalaman “peradaban” inilah kemudian yang menjadi perjalanan kebudayaan Islam berkembang sangat cepat. Sebuah ruh ilmu pengetahuan yang ironisnya kini ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam. Perintah Islam bukan untuk berbicara, tetapi untuk membaca dan menulis!

Berguru kepada sejarah (Islam) dengan simbol nabi Muhammad, maka kita hanyalah buih laut yang sungguh tidak memiliki arti apapun! Sebuah kesadaran futuristik, sampai-sampai nabi mengatakan “carilah ilmu sampai negeri Cina”. Pada zaman nabi, memang sudah banyak sahabat yang berdagang sampai ke negeri Cina. Nabi Muhammad adalah pemimpin yang sangat mementingkan pendidikan dan ilmu! Sampai, metode pembebasan tawanan perang akan dibebaskan kala mereka mampu mengajarkan membaca dan menulis kepada kaum Muslim. Sungguh, luar biasa.

Sejarah Nabi adalah sejarah perjalanan ilmu pengetahuan. Nabi pun pernah berkata, “Saat seorang alim bersandar di tempat tidur untuk memperdalam ilmunya adalah lebih baik daripada ibadah seorang hamba selama enam puluh tahun.” Skenario apakah ini? Sebuah ruh spiritualitas ilmu yang menggerakkan! Bahkan, nabi pun sampai mengatakan, “tinta seorang sarjana lebih suci daripada darah syuhada.” Dan “mencari ilmu hukumnya wajib bagi seorang Muslim.” Tidak saja itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh HR Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan orang yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat, yaitu para nabi, kemudian para ulama (orang-orang berilmu, –bukan sekadar ilmu agama karena Al-Quran banyak memberikan tuntunan inspiratif tentang ilmu pengetahuan–), dan para syuhada.”

Simbol-simbol ajaran nabi ini, tentunya menjadi inspirasi bagi para sahabat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Diawali dengand runtuhnya Dinasti Ummayah (750) menuju kegemilangan Dinasti Abbasiyah. Apa yang menarik? Inilah yang dapat kita petik dalam membaca sejarah peradaban untuk semangat perubahan di masa depan!

Berguru: Membaca dan Menulis

Setelah pemimpin Islam, khalifah pertama Bagdad (kepindahan simbol kepemimpinan dari Damaskus ke Bagdad), Abu Abbas As-Saffah, awalnya disibukkan dengan pestabilan pilitik paca tergulingnya Dinasti Umayyah kemudian mengambil langkah-langkah strategis peradaban yang mencengangkan! Al-Mansur, khalifah kedua Bagdad kemudian menerjemahkan dan menyerap ilmu pengetahuan dari Persia, Cina, Romawi, India, dan Yunani. Saat itulah, temuan-temuan penting dimulai!

Sampai kemudian memunculkan polymath (orang yang menguasai lebih dari satu ilmu) Islam (Eko Laksono, 2006:39). Al-Khawarizmi yang menguasai ilmu Matematika (Algoritma, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan Geografi sekaligus. Al-Kindi, menguasai Filsafat, Matematika, Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik, dan Metalurgi. Al-Farabi, yang menguasai Sosiologi, Logika, Politik, dan ahli musik. Al-Razi yang menguasai ilmu Kedokteran, Kimia, dan Astronomi. Al-Biruni yang menguasai Astronomi dan Matematika. Ibnu Shina yang menguasai Kedokteran, Filsafat, Matematika, dan Astronomi. Al-Ghazali yang mengusai Sosiologi, Teologi, dan Filsafat. Ibnu Rusyd yang menguasai Filsafat, Teologi, Hukum, Kedokteran, dan Astronomi. Ibnu Khaldun yang menguasai Sosiologi, Sejarah, Filsafat, dan Politik.

Di samping penemu-penemu keilmuan macam Ibn Haitham (965-1040) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Optik” karena berhasil merumuskan secara saintifik sistem penglihatan manusia. Ini merupakan temuan hasil eksperiman yang didasarkan pada kepercayaan ilmuwan Yunani macam Ptolemy dan Euclid yang memandang bahwa manusia bisa melihat karena mata mengirimkan cahaya ke benda. Kemudian Ibn Al-Nafis yang menjadi ilmuwan pertama yang berhasil secara rinci menggambarkan sistem sirkulasi darah, urat nadi, dan arteri manusia pada pertengahan abad ke-13 di Andalusia Spanyol. Al-Batani (850-923) dikukuhkan juga sebagai ahli yang berhasil menghitung panjang satu tahun matahari yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.

Alangkah mengerikannya ketika kita membaca peradaban dunia sesungguhnya berasal dari Islam? Peradaban tua Yunani, Romawi, India, dan Cina memang ada; tetapi revolusi dan temuan-temuan penting lahir dalam sejarah keilmuan Muslim.

Di sinilah, maka mulai abad ke-12 kebudayaan dan peradaban keilmuan Islam mulai ditiru Barat. Puncaknya adalah jatuhnya wilayah-wilayan Muslim ke tangan Kristen dengan epos “Perang Salib”. Di Andalusia (Spanyol), 1080 Toledo direbut Kristen, 1236 Cordoba dikuasi, 1248 Seville. Kemudian Granada yang mampu bertahan hingga 2,5 abad pun akhirnya jatuh pada 1492. Mereka memiliki program pengadilan agama untuk menghabisi Islam dan Yahudi.

Sejak ambang abad ke-15 itulah Eropa terus mengalami perkembangan zaman yang luar biasa setelah tenggelam dalam kegelapan sekian abad. Awalnya, tulis Eko Laksono, mereka (Eropa) mengalami masa-masa keterbelakangan, bahkan sampai 1.000 tahun lamanya (2006:66). Eropa melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan kaum Muslim dalam masa perubahan peradaban: menerjemahkan buku, risearch, dan belajar ke belahan Timur (Islam) untuk menciptakan peradaban baru!

Demikian, juga apa yang dilakukan Jepang, Korea, dan Cina sebagai penguasa imperium ketiga melakukan hal yang sama sebagaimana bangsa Muslim dan Eropa sebelumnya. Nah, bagaimana makna belajar sejarah peradapan ini agar dunia pendidikan kita tergerak untuk melahirkan peradaban baru yang kokoh? Akankah ini sebuah utopia yang nyaris tidak mungkin? Atau semacam isapan jepol dan igauan siang hari karena himpitan mimpi tersembunyi?

Mari Ciptakan Peradaban Baru

Jika kita menengok perubahan peradaban besar sebelumnya, maka ada beberapa kunci penting yang menarik untuk dipelajari: (1) lahirnya kultur baca tulis, (2) pelibatgandaan etos dan motivasi, (3) haus dan kompetitif, dan (4) hindarkan ilmu peradaban dari kencingan politik dan kekuasaan.

Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikian Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam) dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).

Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban manusia.

Berguru pada sejarah peradaban itu, maka siapa pun kita (organisasi, lembaga, atau individu) pentingnya untuk merenungkan alternatif langkah berikut. Pertama,  mancapkan kesadaran bahwa perubahan peradaban itu dimulai dari membaca dan menulis. Nabi saja meletakkan orang yang mahir membaca dan menulis (Zaid bin Tsabit) sebagai tangan kanannya mengalahkan penghafal hadist sahih Bukhori, Abu Hurairah. Mengapa kita tidak pandai belajar dari tabir isyarah demikian?

Langkah PGRI mengadakan bursa buku dapat menjadi inspirasi organisasi lain untuk menancapkan peradaban. Sebagaimana diketahui, November ini PGRI bekerjasama dengan Radar Madiun dan Buka Buku Production merintis kultur baru berorganisasi dengan organ kreatif di dalmnya. Andaikan kegiatan ini menjadi agenda rutin daerah, dinas-dinas terkait, dan ormas lainnya; maka peradaban yang berubah dapat kita impikan. Lambat laun, nuansa Islami kembali ke akarnya yang paling dalam: membuminya tradisi baca tulis!

Sejarah peradaban Islam dengan nabi sebagai inspirasi adalah kemultakan yang tak dapat dikesampingkan. Di sinilah, maka nabi memandang penting (wajib) untuk belajar (tentunya melalui membaca dan menulis) di satu sisi dan di sisi lain nabi juga menasbihkan etos pencarian itu dengan ungkapan hadist, “Tuntutlah ilmu sampai negeri Cina.” Sebuah simbol etos gerak yang dalam dalam sejarah!

Jika Jepang dalam dekade mutakhir mampu mengubah bangsanya menjadi bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298); sesungguhnya ini hanyalah meniru apa yang telah dilakukan pada Dinasti Abaasyiah dan era Eropa abad ke-14 yang banyak menerjemahkan buku-buku keilmuan Muslim.

Kedua, adanya gerakan tak henti (baik individu dan kolektif) dalam membudayakan gerakan belajar (membaca dan menulis). Apapun dan bagaimanapun ia adalah mutiara perabadan yang telah teruji berabad-abad. Bahkan sejarah kekokohan imperium I, II, dan III penanda utamanya adalah dunia keilmuan ini. Sekadar mengingatkan, nabi Muhammad ketika menerima wahyu ayat tentang ilmu pengetahuan (Ali Imran: 190-191), beliau menangis semalaman. Bahkan ketika harus mengimami shalat subuh, beliau tidak hadir hingga dijemput oleh bilal. Metafornya adalah penting mana ilmu dan ibadah? Wallahu a’lam.

Apalagi jika kita menengok ulang kutipan surat Al-Muzammil sebagai simbol belajar yang intensif. Surat ini diturunkan dalam rangkaian surat  Al ‘Alaq dan Al Qalam. Perintah bangun malam sesungguhnya adalah perintah untuk belajar, bukan untuk beribadah mahdah. Coba ingat kembali terjemahan kutipan surat Al-Muzammil berikut: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.

Ketika Al-Quran sebagai sumber segala ilmu, maka perintah membaca bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan (karena butuh penafsiran lebih jauh, lebih dalam, dan lebih eksploratif). Karena hidden meanning  bacaan Al-Quran sungguh dalam. Jika Tuhan saja penting mengingatkan secara langsung, alangkah durhakanya kita kala ingkar akan perintah suci tentang membaca dan menulis demikian?

Dalam sejarah peradaban Muslim (para ulama terdahulu) banyak kisah-kisah menakjubkan tentang pergulatan membaca dan menulis ini. Ada yang hingga buta karena hobi membacanya luar biasa. Ada yang menjual rumah untuk membeli buku. Ada yang setiap berjalan pasti di tangannya tergantung kitab. Ada yang setiap tertidur di dada atau mukanya tertelungkup buku. Dan masih banyak lagi kisah luar biasa ulama Islam dalam peradaban Muslim.

Terakhir, siapa pun kita perlu menyusun gerakan jihad baru: jihad membaca dan menulis. Bukankah menuntut ilmu adalah sebuah jihad?  Mari kita alihkan jihad fisik ke jihad yang jauh lebih filosofis untuk perubahan peradaban baru. Untuk cipatakan kearifan masyarakat yang baru. Mudah-mudahan –siapapun kita—sedikit dapat berenung dalam memandang sejarah kemudian mengalungkan niat berubah demi kehidupan yang lebih maslahah.

Berguru pada Simbol Islam

Dalam buku Spiritual Reading: Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca (Aqwan, 2007:140-   ) diungkapkan tentang pentingnya empat kunci membaca: sabar, amalkan, konsentrasi, dan sistematika.

“Sesungguhnya, ilmu itu diperoleh dengan belajar”, hadist diriwayatkan oleh Al-Khatib (142). Menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis adalah contoh-contoh peradaban Islam yang luar biasa. Al-Hasan Al-Lu’lui berkata, “Saya telah melalui masa selama empat puluh tahun bersama buku yang selalu berada di dadaku, baik ketika bangun maupun tidur.” ((Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa wa Fadhilihi: 2/1231) dalam Raghib As-Sirjani  (Aqwan, 2007:143).

Ibnul Qayyim menuturkan, “Saya pernah mengenali orang yang mengalami sakit kepala dan demam, sementara buku senantiasa berada di kepalanya. Kalau ia sadar, ia akan membacanya. Kalau ia sakit lagi, ia kan meletakkan buku tersebut.” ((Raudhatul-Muhibin (hal. 70) dalam Raghib As-Sirjani  (Aqwan, 2007:143).
***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita