Sutejo
Majalah Dinamika PGRI
Dalam tafsir Ibnu Katsir jilid 4 (hal. 774), ada penafsiran menarik terkait dengan pentingnya menulis. Penjelasan ayat [yang merupakan sumpah Allah], Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis; terdapat uraian yang menggetarkan saya. Untuk lebih afdalnya dikutipkan sebagai berikut.
Demi kalam, pada zahirnya, ia adalah jenis pena yang dipakai untuk menulis. Hal ini seperti firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan…. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling mulia. Yang telah mengajarkan dengan kalam. Yang telah mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahuinya.” Kalau begitu, kalam dalam ayat ini merupakan sumpah dari Allah dan peringatan bagi hamba-hamba-Nya tentang nikmat yang telah diberikan kepada mereka berupa pengajaran menulis, yang menjadi wasilah umat mendapatkan berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Dan apa yang mereka tulis.” Dikatakan, maksudnya ialah pena yang merupakan makhluk yang pertama, dalilnya adalah sabda Rasulullah saw, “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah kalam…” (Muhammad Nasib Ar-Rifai, 2005:774).
Sungguh menggetarkan! Mengapa kebanyakan muslim tidak menulis? Berturut-turut tulisan ini akan mengkaji tentang: (i) simbol-simbol Islam akan pentingnya membaca dan menulis, (ii) sejarah peradaban ditentukan oleh geliat ilmu, dan (iii) pentingnya berguru pada masa lalu yang penuh dengan pergulatan keilmuan.
Membaca Simbol
Kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam, Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan menulis). Surat-surat ini diurutkan dalam urutan diterima nabi. Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis. Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu melalui proses wasilah menulis. Al-Muzammil adalah simbol untuk belajar secara intensif (bukan untuk ibadah!). Al-Mudatstsir adalah simbol untuk beribadah (karena proses kerasulan dimulai dari surat ini, yang kemudian diikuti turunnya surat Al-Fatihah –yang menjadi inti dari bacaan shalat–.
Marilah kita eksplorasi keempat simbol itu lebih jauh. Surat Al-‘Alaq dan Al-Qalam adalah simbol pentingnya membaca dan menulis. Isyarat Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-Qalam). Konteks surat Al-‘Alaq sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit— karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.
Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan [lebih intensif baca tulisan penulis “Membaca itu Wajib, Guru!” yang pernah dimuat Dinamika.
Selanjutnya, mengapa Al-Muzammil simbol belajar intensif? Coba ikuti tafsir surat itu! Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Bukankah Al-Quran adalah sumber segala ilmu? Metaforik dari perintah bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan. Apalagi, kita diperintahkan untuk bangun malam, di sepertiga malam. Sesungguhnya, hemat saya, ayat ini adalah perintah untuk belajar secara intensif, bukan beribadah. Sebagian banyak kita menafsirkan bangun malam ini untuk ibadah mahdzah. Padahal, konteks surat ini adalah belajar. Mengapa? Karena perintah ibadah baru muncul setelah surat Al-Mudatstsir, seiring dengan perintah kerasulan yang diterima nabi. Apalagi, surat itu didahului dengan surat sebelumnya: Al ‘Alaq dan Al Qalam.
Hal-hal inilah kemudian yang menyadarkan kita, ternyata membaca dan menulis itu menjadi intisari kerasulan nabi, bahkan nabi kita diajari langsung oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga masalah wudlu dan sholat, nabi Muhammad diajari langsung oleh Jibril sebagaimana hadis yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudlu dan sholat”. [detailnya, baca buku Agus Mustofa: Metamorfosis Sang Nabi, dari Buta Huruf Menjadi Ilmuwan Jenius, Padma Press, 2008].
Sejarah Peradaban, Sejarah Ilmu
Pelajaran yang sangat menarik dapat dipetik adalah ketika nabi membebaskan tawanan musyrik dalam Perang Badar dengan menggantinya mengajari membaca menulis kepada kaum muslim. Luar biasa keteladanan nabi! Mengapa? Karena masyoritas umat Islam saat itu buta huruf. Inilah gerakan awal yang dilakukan nabi. Sebuah konsep yang diorentasikan agar umat Islam mencapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan.
Di sinilah maka sahabat nabi, Zaid bin Tsabit, adalah contoh sahabat yang mengungguli para sahabat lainnya. Termasuk mampu menggungguli Abu Hurairah (sahabat nabi lain yang luar biasa hafalannya) sampai-sampai dalam hadist Imam Bukhari diuangkapkan, “Tidak ada sahabat nabi yang hafalan haditsnya melebihi aku.” Akan tetapi, Abu Hurairah kalah dibandingkan Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit mampu menjadi sekretaris pribadi Rasulullah dan menjadi penerjemah bahasa Suryani dan Ibrani. Ini semua karena kemampuan membaca dan menulis yang dimilikinya. Ia adalah penulis wahyu Rasulullah yang kemana pun dan di manapun nabi berada selalu ada Zaid bin Tsabit.
Pengalaman “peradaban” inilah kemudian yang menjadi perjalanan kebudayaan Islam berkembang sangat cepat. Sebuah ruh ilmu pengetahuan yang ironisnya kini ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam. Perintah Islam bukan untuk berbicara, tetapi untuk membaca dan menulis!
Berguru kepada sejarah (Islam) dengan simbol nabi Muhammad, maka kita hanyalah buih laut yang sungguh tidak memiliki arti apapun! Sebuah kesadaran futuristik, sampai-sampai nabi mengatakan “carilah ilmu sampai negeri Cina”. Pada zaman nabi, memang sudah banyak sahabat yang berdagang sampai ke negeri Cina. Nabi Muhammad adalah pemimpin yang sangat mementingkan pendidikan dan ilmu! Sampai, metode pembebasan tawanan perang akan dibebaskan kala mereka mampu mengajarkan membaca dan menulis kepada kaum Muslim. Sungguh, luar biasa.
Sejarah Nabi adalah sejarah perjalanan ilmu pengetahuan. Nabi pun pernah berkata, “Saat seorang alim bersandar di tempat tidur untuk memperdalam ilmunya adalah lebih baik daripada ibadah seorang hamba selama enam puluh tahun.” Skenario apakah ini? Sebuah ruh spiritualitas ilmu yang menggerakkan! Bahkan, nabi pun sampai mengatakan, “tinta seorang sarjana lebih suci daripada darah syuhada.” Dan “mencari ilmu hukumnya wajib bagi seorang Muslim.” Tidak saja itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh HR Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan orang yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat, yaitu para nabi, kemudian para ulama (orang-orang berilmu, –bukan sekadar ilmu agama karena Al-Quran banyak memberikan tuntunan inspiratif tentang ilmu pengetahuan–), dan para syuhada.”
Simbol-simbol ajaran nabi ini, tentunya menjadi inspirasi bagi para sahabat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Diawali dengand runtuhnya Dinasti Ummayah (750) menuju kegemilangan Dinasti Abbasiyah. Apa yang menarik? Inilah yang dapat kita petik dalam membaca sejarah peradaban untuk semangat perubahan di masa depan!
Berguru: Membaca dan Menulis
Setelah pemimpin Islam, khalifah pertama Bagdad (kepindahan simbol kepemimpinan dari Damaskus ke Bagdad), Abu Abbas As-Saffah, awalnya disibukkan dengan pestabilan pilitik paca tergulingnya Dinasti Umayyah kemudian mengambil langkah-langkah strategis peradaban yang mencengangkan! Al-Mansur, khalifah kedua Bagdad kemudian menerjemahkan dan menyerap ilmu pengetahuan dari Persia, Cina, Romawi, India, dan Yunani. Saat itulah, temuan-temuan penting dimulai!
Sampai kemudian memunculkan polymath (orang yang menguasai lebih dari satu ilmu) Islam (Eko Laksono, 2006:39). Al-Khawarizmi yang menguasai ilmu Matematika (Algoritma, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan Geografi sekaligus. Al-Kindi, menguasai Filsafat, Matematika, Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik, dan Metalurgi. Al-Farabi, yang menguasai Sosiologi, Logika, Politik, dan ahli musik. Al-Razi yang menguasai ilmu Kedokteran, Kimia, dan Astronomi. Al-Biruni yang menguasai Astronomi dan Matematika. Ibnu Shina yang menguasai Kedokteran, Filsafat, Matematika, dan Astronomi. Al-Ghazali yang mengusai Sosiologi, Teologi, dan Filsafat. Ibnu Rusyd yang menguasai Filsafat, Teologi, Hukum, Kedokteran, dan Astronomi. Ibnu Khaldun yang menguasai Sosiologi, Sejarah, Filsafat, dan Politik.
Di samping penemu-penemu keilmuan macam Ibn Haitham (965-1040) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Optik” karena berhasil merumuskan secara saintifik sistem penglihatan manusia. Ini merupakan temuan hasil eksperiman yang didasarkan pada kepercayaan ilmuwan Yunani macam Ptolemy dan Euclid yang memandang bahwa manusia bisa melihat karena mata mengirimkan cahaya ke benda. Kemudian Ibn Al-Nafis yang menjadi ilmuwan pertama yang berhasil secara rinci menggambarkan sistem sirkulasi darah, urat nadi, dan arteri manusia pada pertengahan abad ke-13 di Andalusia Spanyol. Al-Batani (850-923) dikukuhkan juga sebagai ahli yang berhasil menghitung panjang satu tahun matahari yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.
Alangkah mengerikannya ketika kita membaca peradaban dunia sesungguhnya berasal dari Islam? Peradaban tua Yunani, Romawi, India, dan Cina memang ada; tetapi revolusi dan temuan-temuan penting lahir dalam sejarah keilmuan Muslim.
Di sinilah, maka mulai abad ke-12 kebudayaan dan peradaban keilmuan Islam mulai ditiru Barat. Puncaknya adalah jatuhnya wilayah-wilayan Muslim ke tangan Kristen dengan epos “Perang Salib”. Di Andalusia (Spanyol), 1080 Toledo direbut Kristen, 1236 Cordoba dikuasi, 1248 Seville. Kemudian Granada yang mampu bertahan hingga 2,5 abad pun akhirnya jatuh pada 1492. Mereka memiliki program pengadilan agama untuk menghabisi Islam dan Yahudi.
Sejak ambang abad ke-15 itulah Eropa terus mengalami perkembangan zaman yang luar biasa setelah tenggelam dalam kegelapan sekian abad. Awalnya, tulis Eko Laksono, mereka (Eropa) mengalami masa-masa keterbelakangan, bahkan sampai 1.000 tahun lamanya (2006:66). Eropa melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan kaum Muslim dalam masa perubahan peradaban: menerjemahkan buku, risearch, dan belajar ke belahan Timur (Islam) untuk menciptakan peradaban baru!
Demikian, juga apa yang dilakukan Jepang, Korea, dan Cina sebagai penguasa imperium ketiga melakukan hal yang sama sebagaimana bangsa Muslim dan Eropa sebelumnya. Nah, bagaimana makna belajar sejarah peradapan ini agar dunia pendidikan kita tergerak untuk melahirkan peradaban baru yang kokoh? Akankah ini sebuah utopia yang nyaris tidak mungkin? Atau semacam isapan jepol dan igauan siang hari karena himpitan mimpi tersembunyi?
Mari Ciptakan Peradaban Baru
Jika kita menengok perubahan peradaban besar sebelumnya, maka ada beberapa kunci penting yang menarik untuk dipelajari: (1) lahirnya kultur baca tulis, (2) pelibatgandaan etos dan motivasi, (3) haus dan kompetitif, dan (4) hindarkan ilmu peradaban dari kencingan politik dan kekuasaan.
Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikian Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam) dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).
Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban manusia.
Berguru pada sejarah peradaban itu, maka siapa pun kita (organisasi, lembaga, atau individu) pentingnya untuk merenungkan alternatif langkah berikut. Pertama, mancapkan kesadaran bahwa perubahan peradaban itu dimulai dari membaca dan menulis. Nabi saja meletakkan orang yang mahir membaca dan menulis (Zaid bin Tsabit) sebagai tangan kanannya mengalahkan penghafal hadist sahih Bukhori, Abu Hurairah. Mengapa kita tidak pandai belajar dari tabir isyarah demikian?
Langkah PGRI mengadakan bursa buku dapat menjadi inspirasi organisasi lain untuk menancapkan peradaban. Sebagaimana diketahui, November ini PGRI bekerjasama dengan Radar Madiun dan Buka Buku Production merintis kultur baru berorganisasi dengan organ kreatif di dalmnya. Andaikan kegiatan ini menjadi agenda rutin daerah, dinas-dinas terkait, dan ormas lainnya; maka peradaban yang berubah dapat kita impikan. Lambat laun, nuansa Islami kembali ke akarnya yang paling dalam: membuminya tradisi baca tulis!
Sejarah peradaban Islam dengan nabi sebagai inspirasi adalah kemultakan yang tak dapat dikesampingkan. Di sinilah, maka nabi memandang penting (wajib) untuk belajar (tentunya melalui membaca dan menulis) di satu sisi dan di sisi lain nabi juga menasbihkan etos pencarian itu dengan ungkapan hadist, “Tuntutlah ilmu sampai negeri Cina.” Sebuah simbol etos gerak yang dalam dalam sejarah!
Jika Jepang dalam dekade mutakhir mampu mengubah bangsanya menjadi bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298); sesungguhnya ini hanyalah meniru apa yang telah dilakukan pada Dinasti Abaasyiah dan era Eropa abad ke-14 yang banyak menerjemahkan buku-buku keilmuan Muslim.
Kedua, adanya gerakan tak henti (baik individu dan kolektif) dalam membudayakan gerakan belajar (membaca dan menulis). Apapun dan bagaimanapun ia adalah mutiara perabadan yang telah teruji berabad-abad. Bahkan sejarah kekokohan imperium I, II, dan III penanda utamanya adalah dunia keilmuan ini. Sekadar mengingatkan, nabi Muhammad ketika menerima wahyu ayat tentang ilmu pengetahuan (Ali Imran: 190-191), beliau menangis semalaman. Bahkan ketika harus mengimami shalat subuh, beliau tidak hadir hingga dijemput oleh bilal. Metafornya adalah penting mana ilmu dan ibadah? Wallahu a’lam.
Apalagi jika kita menengok ulang kutipan surat Al-Muzammil sebagai simbol belajar yang intensif. Surat ini diturunkan dalam rangkaian surat Al ‘Alaq dan Al Qalam. Perintah bangun malam sesungguhnya adalah perintah untuk belajar, bukan untuk beribadah mahdah. Coba ingat kembali terjemahan kutipan surat Al-Muzammil berikut: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Ketika Al-Quran sebagai sumber segala ilmu, maka perintah membaca bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan (karena butuh penafsiran lebih jauh, lebih dalam, dan lebih eksploratif). Karena hidden meanning bacaan Al-Quran sungguh dalam. Jika Tuhan saja penting mengingatkan secara langsung, alangkah durhakanya kita kala ingkar akan perintah suci tentang membaca dan menulis demikian?
Dalam sejarah peradaban Muslim (para ulama terdahulu) banyak kisah-kisah menakjubkan tentang pergulatan membaca dan menulis ini. Ada yang hingga buta karena hobi membacanya luar biasa. Ada yang menjual rumah untuk membeli buku. Ada yang setiap berjalan pasti di tangannya tergantung kitab. Ada yang setiap tertidur di dada atau mukanya tertelungkup buku. Dan masih banyak lagi kisah luar biasa ulama Islam dalam peradaban Muslim.
Terakhir, siapa pun kita perlu menyusun gerakan jihad baru: jihad membaca dan menulis. Bukankah menuntut ilmu adalah sebuah jihad? Mari kita alihkan jihad fisik ke jihad yang jauh lebih filosofis untuk perubahan peradaban baru. Untuk cipatakan kearifan masyarakat yang baru. Mudah-mudahan –siapapun kita—sedikit dapat berenung dalam memandang sejarah kemudian mengalungkan niat berubah demi kehidupan yang lebih maslahah.
Berguru pada Simbol Islam
Dalam buku Spiritual Reading: Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca (Aqwan, 2007:140- ) diungkapkan tentang pentingnya empat kunci membaca: sabar, amalkan, konsentrasi, dan sistematika.
“Sesungguhnya, ilmu itu diperoleh dengan belajar”, hadist diriwayatkan oleh Al-Khatib (142). Menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis adalah contoh-contoh peradaban Islam yang luar biasa. Al-Hasan Al-Lu’lui berkata, “Saya telah melalui masa selama empat puluh tahun bersama buku yang selalu berada di dadaku, baik ketika bangun maupun tidur.” ((Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa wa Fadhilihi: 2/1231) dalam Raghib As-Sirjani (Aqwan, 2007:143).
Ibnul Qayyim menuturkan, “Saya pernah mengenali orang yang mengalami sakit kepala dan demam, sementara buku senantiasa berada di kepalanya. Kalau ia sadar, ia akan membacanya. Kalau ia sakit lagi, ia kan meletakkan buku tersebut.” ((Raudhatul-Muhibin (hal. 70) dalam Raghib As-Sirjani (Aqwan, 2007:143).
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar