M. Harir Muzakki
http://sastra-indonesia.com
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan konsep tentang “kedekatan” (qurb), yang berhubungan dengan tingkat kesempurnaan (kamal). Seorang yang lebih sempurna menjadi, orang yang lebih dekat dengan Kesempurnaan Absolut, yaitu Tuhan. Dia berada di tingkat eksistensi sesuai dengan tingkat kesempurnaan. Eksistensi-eksistensi itu dibagi ke dalam dua tingkat: hidup dan mati. Keadaan hidup lebih sempurna dari keadaan mati.
Selanjutnya hidup dibagi ke dalam tiga tingkatan (darajat): malaikat, manusia dan binatang. Manusia berada pada tingkat pertengahan antara malaikat dan binatang. Tingkat pertengahan ini karena bagian dari sifat-sifat yang dimiliki manusia, baik sifat-sifat malaikat maupun binatang.71 Malaikat adalah lebih tinggi dalam tingkatannya karena persepsi mereka tidak dipengaruhi oleh kedekatan atau jarak dari objek, dan tindakan mereka tidak didorong oleh nafsu atau amarah. Manusia merupakan makhluk tengah karena dia memiliki tubuh dan dikuasai oleh persepsi luar, nafsu, amarah. Namun, jika muncul dalam dirinya keinginan untuk menjadi sempurna, dia dapat mengalahkan keinginan-keinginan lain, dan menjadi sama dengan malaikat.
Sifat-sifat hidup merupakan persepsi dan tindakan, yang kemungkinan besar bersifat tidak sempurna, sedang dan sempurna. Jika lebih banyak kamu meniru para malaikat dalam sifat-sifat ini, maka lebih jauh kamu dari sifat-sifat binatang dan lebih dekat kepada malaikat. Malaikat-malaikat itu lebih dekat dengan Tuhan. Jadi, seorang yang dekat dengan malaikat, maka dia dekat dengan Tuhan.72
Pembahasan di atas adalah tentang masalah kewajiban moral untuk mendapatkan sifat ketuhanan, yang sebagaimana kita lihat dalam Ihya’, adalah bersifat rahasia, persesuaian batin antara Tuhan dan manusia. Namun, pada pembahasan ini tiba-tiba muncul pengalihan permasalahan. Argumen di atas menunjukkan bahwa jika seorang memperoleh sifat ketuhanan, dia menjadi sama dengan Tuhan. Namun, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an, tidak ada yang menyamai Tuhan. Jawaban al-Ghazali terhadap kritik ini, dia menyatakan dengan tegas transendensi kemutlakan Tuhan. Jika dua benda memiliki gambaran sama, hal ini tidaklah secara pasti menunjukkan kesamaannya. Agaknya, semua benda yang bertentangan dapat memiliki nama-nama yang sama. Contohnya, “hitam” dan “putih” sama-sama gambaran yang bersifat umum dari “warna,” “aksiden” dan “dapat ditangkap mata.” Meskipun manusia dan kuda dapat memiliki sifat yang sama “ketampanaan” (kiyasa), namun kuda tidak sama (mithal) dengan manusia, karena “ketampanaan” merupakan aksiden yang berada di luar esensi (mahiya), yang terdapat dalam esensi manusia. Esensi Tuhan, kebenarannya bersifat wajib, tidak dapat diketahui manusia dan tidak dapat disamakan dengan esensi manusia. Sifat-sifat Tuhan yang sama dengan manusia tidak terkait dengan Esensi-Nya, oleh karena tidak ada kesamaan (mumathala) antara manusia dan Tuhan. Dalam pengertian ini, tak seorang pun dapat mengetahui sifat esensi Tuhan, kecuali Tuhan sendiri, dan al-Ghazali mengutip kata-kata Junaid, “tak seorangpun mengetahui Tuhan kecuali Tuhan sendiri.”73
Mengenai argumen tersebut berubah dari ajaran etika hadis imago Dei menjadi penegasan teologi tak terketahuinya Esensi Tuhan. Dengan perubahan ini, Sifat-Sifat itu dalam pembahasan juga berubah dari kualitas-kualitas moral menjadi penghindaran Sifat-Sifat kualitas moral, seperti “hidup,” “melihat” dan seterusnya. Dalam hal ini, kelihatannya al-Ghazali menerima kemungkinan pengetahuan manusia tentang Sifat-Sifat Tuhan yang non-esensial. Jadi, di samping perkataan Junaid di atas, dia juga sependapat dengan pernyataan, “Aku tidak mengetahui sesuatu pun kecuali Tuhan,” pada tingkat yang berbeda. Dia memberikan contoh sebagai berikut:
Jika kamu memperlihatkan seorang secarik tulisan, dan menanyakan apakah dia mengetahui penulisnya, dan dia menjawab “tidak,” jawaban itu adalah benar. Dan jika dia berkata “tahu,” tentu penulis adalah seorang yang masih hidup, pandai, dapat mendengar, melihat, dan memiliki tangan, mengetahui seni tulis, dan aku mengetahui ini semua tentangnya (dia), sehingga bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya? Di sini lain, jawaban ini juga benar.74
Dalam kutipan di atas, secarik tulisan dibandingkan dengan ciptaan, yaitu alam semesta. Dari ciptaan, kita dapat memahami bahwa Tuhan memiliki ciptaan dan kualitas-kualitas semacam itu. Namun demikian, bukanlah berarti bahwa dia benar-benar mengetahui Tuhan, siapakah sesungguhnya Dia, sebagainama orang itu dalam contoh di atas tidaklah mengetahui penulis sebenarnya, siapakah sesungguhnya dia. Dengan cara ini, al-Ghazali menegaskan bahwa Nama-Nama Tuhan berasal dari Sifat-Sifat, yang sesungguhnya bukan mencerminkan Esensi-Nya. Adalah seolah-olah seseorang bertanya apakah ini, dengan menunjuk beberapa binatang, dan mendapatkan jawaban bahwa ia adalah panjang, atau ia berwarna putih. Jadi, Nama-Nama seperti “Yang Berkuasa,” “Yang Mengetahui” semata-mata menunjukkan bahwa zat yang tak terketahui dan yang ghaib memiliki sifat-sifat mengetahui dan berkuasa. Ringkasnya, pandangan ini digunakan al-Ghazali untuk menjaga kemutlakan Tuhan dengan cara membedakan Esensi-Nya secara radikal dari Sifat-Sifat-Nya. Kita hanya dapat mengetahui Sifat-Sifat-Nya melalui makhluk-Nya.75
Kemudian dipertanyakan oleh al-Ghazali, apakah cara (sabil) tersebut untuk mengetahui Tuhan? Nampaknya, pertanyaan itu diulang kembali, karena jawabannya telah diberikan pada pembahasan di atas. Akan tetapi, jawaban yang diberikannya sungguh berbeda. Bahkan, di sini al-Ghazali menolak kemungkinan mengetahui Sifat-Sifat itu, karena makna Sifat-Sifat Tuhan dan makna sifat-sifat itu yang kita fahami mengacu pada sifat-sifat yang kita miliki adalah secara mendasar berbeda.
Pertama, al-Ghazali membedakan dua bentuk pengetahuan: pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung dan pengetahuan yang diperoleh dengan penalaran. Contoh yang dia berikan adalah tentang pengetahuan kenikmatan sek. Kenikmatan sek dapat diketahui dengan pengalaman atau penalaran, misalnya dengan membandingkannya dengan kenikmatan yang dialami ketika seseorang makan gula. Tentu, hanya bentuk pengetahuan pertama merupakan pengetahuan yang sebenarnya. Namun, bentuk pengetahuan ini bagi manusia terkait erat dengan pengetahuan Tuhan. Bentuk pengetahuan kedua mengarah kepada ilusi (tawahhum, iham), karena seorang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang dalam kenyataannya sunggguh berbeda. Contohnya, antara sek dan gula tidak memiliki kesamaan sama sekali, meskipun keduanya dapat digambarkan sebagai kenikmatan (ladhdha). Keduanya hanya memiliki kesamaan nama (musharaka fi ‘I-ism), namun dalam kenyataannya tidak ada kesamaan (munasaba) antara keduanya. Kemudian dia menerapkan teori ini bagi sifat-sifat Tuhan. Hidup Tuhan dan hidup kita hanya sama dalam ungkapan, keduanya dalam realitasnya berbeda sebagaimana perbedaan antara kenikmatan sek dan gula. Untuk mengetahui hidup Tuhan melalui hidup kita adalah semustahil mengetahui kenikmatan sek melalui kenikmatan makan gula.76
Selanjutnya, faham agnotismenya tertuju pada setiap hal yang kami tidak memiliki pengalaman langsung, dari pengetahuan tentang kenabian, Surga, dan Neraka hingga pengetahuan tentang sihir. Kita hanya dapat mengetahui Tuhan dengan penalaran dari nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam diri kita dan kita juga dapat mengetahui surga dan neraka hanya dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat dari dalam diri kita.77 “Sihir hanya dapat dimengerti oleh tukang sihir sendiri.”78 Maka tujuan akhir pengetahuan tentang Tuhan adalah untuk mengetahui ketidakmungkinan (mengetahui-Nya). Dia mengutip ungkapan masyhur yang disandarkan kepada Abu Bakar,” ketidakmungkinan mendapatkan pengetahuan itu adalah pengetahuan itu sendiri.”79
Selanjutnya permasalahan tersebut lebih jauh ditanyakannya mengapa, meskipun kenyataannya bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak mungkin sama sekali bagi makhluk, masih terdapat perbedaan tingkat pengetahuan antara malaikat, nabi, orang-orang saleh dan manusia biasa. Dalam menjawab permasalahan di atas, al-Ghazali berubah dari seluruh faham agnotis kepada kemungkinan pengetahuan sifat-sifat melalui makhluk. Lebih dalam seorang memahami ciptaan-Nya di alam semesta, dia menjadi lebih tinggi pengetahuannya tentang Tuhan. Contohnya, dia membandingkan penjaga pintu pengetahuan Syafi’i dengan muridnya. Juru kunci mengetahui bahwa Syafi’i adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang syari’ah, dia menulis banyak buku, dan dia menjadi petunjuk bagi makhluk Tuhan, namun muridnya yang membaca bukunya dan memahaminya mengetahui Shafi’i dalam arti yang sebenarnya80.
Contoh di atas bertentangan dengan contoh dia sebelumnya tentang sek dan gula, karena pengetahuan murid tentang gurunya merupakan pengetahuan yang sesungguhnya, sementara pengetahuan kenikmatan sek dengan membandingkan menjadi suatu ilusi dan pengetahuan yang tidak sempurna. Untuk mengetahui Tuhan melalui ciptaan-Nya dan untuk mengetahui-Nya lewat memahmi penarikan dengan sifat-sifat kita merupakan dua hal yang berbeda, namun al-Ghazali menempatkannya sejajar antara keduanya.
Jadi, hubungan inti Kekuasaan Tuhan bagi kita, yaitu suatu sifat (wasf) dan hasilnya serta pengaruhnya adalah eksistensi makhluk. Nama “kekuasaan” diungkapkan untuk masalah ini, karena ini terkait dengan kekuasaan kita, namun kenikmatan sek berhubungan dengan kenikmatan gula. Kekuasaan kita secara keseluruhan berbeda dari realitas kekuasaan Tuhan. Benar, suatu pengabdian yang lebih menambah pemahaman rincian-rincian objek kekuasaan kreatif-Nya dan keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya dalam kekuasaan Tuhan yang bersifat langit (malakut al-samawat).
Bagiannya yang lebih banyak menjadi terkait dengan pengetahuan sifat kekuasaan, karena hasil menunjukkan seorang yang membawa hasil (muthmir). Dengan cara yang sama, seorang murid yang lebih meningkatkan pemahaman terhadap rincian-rincian pengetahuan dari gurunya dan tulisan-tulisannya, maka baginya pengetahuannya tentang gurunya menjadi lebih sempurna dan pemahamannya menjadi lebih sempurna.81
Pengetahuan tentang ciptaan-Nya, yaitu alam semesta, secara khusus tidak mengarah pada pengetahuan tentang esensi-Nya, tetapi hanya berkaitan dengan Sifat-Sifat-Nya. Nampaknya, ini dimaksudkan bahwa Sifat-Sifat-Nya merupakan agen-agen penciptaan alam semesta, alam semesta merupakan efeknya. Pengetahuan seorang murid tentang gurunya lewat karyanya muncul sebagai contoh lain mengenai pengetahuan manusia tentang pencipta dengan mengetahui ciptaan-Nya. Namun, contoh ini masih berbeda dengan perumpamaan pengetahuan seorang tentang penulis dengan memahami dari sekelumit tulisannya. Adalah mungkin bagi seorang murid untuk meningkatkan pengetahuannya dan menjadi sama dengan gurunya. Jika seorang murid mencapai tingkatan tersebut, guru dan murid memiliki pengetahuan dan objek pengetahuan yang sama. Dan ini adalah kesamaan yang nyata antara manusia dan Tuhan, sebagaimana kita lihat dalam Origen yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Meskipun demikian, al-Ghazali membedakan ketika dia menjelaskan sebab akibat hubungan antara Tuhan dan alam semesta. Contoh yang dia ajukan adalah metafor neo-Platonis, matahari dan cahaya.82 Sebagaimana matahari memancarkan cahaya, yang menjadikan warna-warni dan bentuk muncul di depan mata, cahaya Tuhan berada pada semua objek alam semesta, apapun yang kita lihat adalah cahaya matahari, cahaya berasal dari matahari, dan juga tidak berbeda dengannya. Oleh karena itu, kita dapat mengakatakan bahwa kita tidak melihat sesuatu kecuali matahari itu. Ini berarti bahwa perkataan yang dikutip di atas, “aku tidak mengetahui apapun kecuali Tuhan” harus ditafsirkan, karena “Tuhan adalah sumber kehidupan, yang memancar pada setiap sesuatu, tidak ada wujud apapun kecuali Tuhan.83 Faham monisme eksistensial bukan merupakan masalah yang asing bagi al-Ghazali. Pemikiran yang sama juga ditemukan dalam kitab Misykat al-Anwar.84
Tujuan kami di sini bukanlah untuk menjelaskan perbedaan dan menyusun pemikirannya. Agaknya, kami menyimpulkan pokok pemikirannya sebagai berikut:
1. Esensi Tuhan tidak diketahui manusia.
2. Kesamaan nama-nama dan sifat-sifat antara Tuhan dan manusia bukanlah dalam arti yang sesungguhnya. Mengetahui Tuhan lewat nama-nama dan sifat-sifat yang kita pahami dengan mengembalikan kepada diri kita tidaklah cukup, dan sungguh bersifat ilusi.
3. Pengetahuan tentang Tuhan melalui ciptaan-Nya adalah mungkin. Eksistensi alam semesta berasal dari Tuhan dan melalui cara ini Tuhan menunjukkan eksistensi-Nya. Jadi, mengetahui alam semesta membimbing untuk mengetahui Tuhan.
Misykat al-Anwar
Misykat al-Anwar dipandang sebagai salah satu karya esoterik al-Ghazali. Karya ini dibagi dalam dua bagian: bagian pertama berkaitan dengan penafsiran ayat Cahaya (24:35), sedangkan bagian kedua berhubungan dengan penafsiran hadis tentang tujuh ratus tabir.
Dalam karya ini, hadis imago Dei muncul tiga kali. Yang pertama Pembahasan tentang hadis ini terdapat pada bab pertama. Pertama al-Ghazali menyatakan bahwa di samping mata fisik, manusia memiliki mata batin, yang bermanfaat dan sesuai dengan nama “mata.” Ini adalah intelek.85 Kemudian secara jelas dia menyatakan bahwa istilah “spirit” (ruh) dan “jiwa” (nafs), keduanya merujuk kepada intetelek. Mata fisik tidak dapat melihat objek-objek yang sangat dekat atau sangat jauh, namun jarak tidaklah menghalangi intelek untuk memahami objek, karena intelek tak dibatasi oleh ruang.
Intelek merupakan salinan (unmudhaj) Cahaya Tuhan, dan salinan sama sekali tidak sama (munakat), bahkan seolah-olah ia tidak muncul sebagai puncak persamaan (musawat). Dan ini barangkali dapat memahami rahasia hadis Muhammad, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.”86
Meskipun al-Ghazali terlihat ragu memberikan penjelasan lebih jauh, namun paling tidak kita dapat mengetahui poin-poin berikut dari pernyataan di atas. Pertama, hadis imago Dei mengacu kepada intelek manusia. Kedua, hadis tersebut mengungkapkan bentuk salinan yang saling berhubungan. Salinan itu adalah intelek dalam diri kita, dan citra itu adalah Cahaya Tuhan. Hubungan ini menunjukkan kesamaan, tetapi tidak sama.
Kedua, hadis imago Dei dikutip pada bagian yang paling sulit untuk difahami, dan dinamakan oleh Altman sebagai “Puncak penafsiran mistis al-Ghazali tentang pengetahuan diri.”87 Di sini al-Ghazali membahas pengalaman sufi tentang penyatuan yang sempurna dengan Tuhan, yaitu fana’, atau lebih tepatnya, fana’ al-fana’, karena dalam tingkatan ini seorang tidak memiliki kesadaran tentang fana’.88 Meskipun beberapa orang menamakan tingkatan ini ittihad (penyatuan), namun dia lebih suka menamakannya tauhid (penyatuan, penggabungan). Tidak ada tingkatan yang lebih tinggi untuk naik (ke maqam berikutnya) bagi seorang sufi yang telah mencapai derajat ini. Hanya mungkin baginya adalah turun ke langit yang lebih rendah (nuzul ila sama’ al-dunya). Selanjutnya, dia mengutip kata-kata orang-orang bijak sebagai berikut secara jelas, “turun ke langit yang lebih rendah adalah turun dari (derajat) malaikat (nuzul malak), sementara dia tidak setuju dengan pendapat orang-orang bijak, “turunnya Tuhan itu, misalnya Tuhan turun menggunakan makna-makna mistis dan memindahkan tubuhnya.”89 Bagi al-Ghazali, pendapat yang kedua merupakan suatu ilusi (tawahhum) bagi orang-orang yang tenggelam dalam kemenanggulan Tuhan (fardiya). Namun, mereka yang mengklaim turunnya Tuhan mengacu pada hadis nawafil, “Aku menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, penglihatannya ketika dia melihat, dan mulutnya ketika dia berbicara”, dan firman Tuhan kepada Musa, “Aku sedang sakit, tetapi kamu tidak mejengukkku.” Pandangan yang ditolak oleh al-Ghazali itu adalah teori reinkarnasi (hulul) al-Hallaj.
Perjalanan-perjalanan orang yang mencapai kesempurnaan penyatuan (muwahhid) ini berasal dari langit yang lebih rendah, dan inderanya seperti pendengaran dan penglihatan, dari langit atasnya, dan inteleknya dari langit yang lebih tinggi, dan ia muncul dari langit intelek akal naik ketingkat makhluk yang paling tinggi (muntaha mi’raj al-khala’iq). Kerajaan kemanggulan (mamlakat al-fardaniya) merupakan akhir tingkat ketujuh (sab’ tabaqat). Setelah tingkat ini, Dia berada di atas Singgasana Absoluditas Penyatuan (wahdaniya), dan dari sana dia mengatur urusan tingkat tujuh dari langit-Nya. Mungkin, seorang melihat seperti suatu mistis dan menerapkan kepadanya (Adam) kata-kata, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra Zat Yang Maha Pengasih.” Namun, jika seorang merenungkannya secara mendalam, maka dia mengetahui bahwa kata-kata di atas memiliki penafsiran (ta’wil) seperti ungkapan, “Aku adalah Tuhan,” “Keagunganku,” dan firman Allah kepada Musa, “Aku sedang sakit, dan kamu tidak menjengukku,” dan “Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya dan mulutnya,” tetapi saat ini saya harus menghentikan penjelasan ini sampai di sini.90
Jadi, hadis imago Dei mengungkapkan, pemikiran yang salah, reinkarnasi Tuhan ke dalam tubuh seorang sufi. Bagi al-Ghazali, reinkarnasi merupakan ilusi sufi, dan hadis imago Dei memerlukan suatu penafsiran, seperti (ungkapan) shathiyat mistik. Walaupun penafsiran yang benar tidak diberikan olehnya, perkataan orang-orang bijak, “turun dari (tingkat) malaikat,” yang dibenarkan al-Ghazali, nampaknya menjadi penafsirannya. Pada bagian yang dikutip di atas, dia menjelaskan keadaan batin yang sempurna berhubungan dengan perjalanannya, indera dan intelek. Akalnya diangkat ke langit Kerajaan Kesatuan yang lebih tinggi.
Adalah mungkin bahwa di langit ini, dia menjadi sama dengan malaikat. Kita telah melihat bahwa dalam kitab Maqsad, manusia menempati posisi antara malaikat dan binatang.91 Seorang yang lebih sempurna menjadi lebih dekat, dimana dia menyamai tingkat malaikat. Jadi, seorang yang mencapai tingkat lebih tinggi dari makhluk menjadi sama dengan malaikat. Altman berpendapat bahwa kesatuan mistis bukan dengan Tuhan, namun dengan intelek yang paling tinggi.92 Oleh karena itu, akal yang paling tinggi sama dengan malaikat menurut para filosof Muslim. Mungkin al-Ghazali juga berpendapat bahwa malaikat merupakan akal yang paling tinggi. Sebagaimana kita ketahui dalam Madsaq bahwa ciri-ciri malaikat itu memiliki akal.93
Bagian ketiga dan terakhir adalah sangat penting, dimana secara khusus hadis imago Dei dijelaskan, karena pada bagian ini, hadis tersebut digabungkan dengan hadis Delphic, “Barang siapa yang mengetahui dirinya .…”94 Pada bagian ini, al-Ghazali menjelaskan hubungan (munasaba) dan kesinambungan (muwazana) antara dunia yang lebih tinggi, yang juga dinamakan dengan “dunia spiritual” dan “dunia yang bisa dimengerti,” dan alam semesta yang tampak.
Inti hubungan adalah lambang (tamsil); alam yang tampak merupakan simbol (mishal) bagi dunia yang lebih tinggi. Setelah dia menjelaskan bahwa matahari, bulan, planet-planet, gunung dan lembah-lembah dari dunia nyata melambangkan dunia yang lebih tinggi, kemudian dia meneruskan (penjelasannya) sebagai berikut:
Terdapat dalam intelek (yaitu, kehadiran Tuhan, hadra al-rububiya), sesuatu yang dengan bergai ilmu secara rinci diukir dalam subtansi-subtansi (jiwa) yang dapat diterima, dan lambangnya (mithal) adalah Pena. Jika di antara penerimaan beberapa (subtansi) yang mendahului lainnya dalam penerimaan, dan darinya (ilmu-ilmu ini) disebarkan ke yang lain, simbolnya adalah Lauh Mahfudh. Jika di atas pengukir ilmu (yaitu, beberapa Pena), ada sesuatu yang mengatur (Pena), maka simbolnya adalah tangan. Dan kehadiran ini, yang terdiri dari Tangan, Catatan, Pena, Buku, memiliki susunan teratur (tartib manzum), lambangnya adalah citra, sura (yaitu, alam semesta yang lebih tinggi secara simbolis dapat dikatakan memiliki citra). Jika suatu jenis susunan yang sama ditemukan dalam citra manusia (sura insiya), kemudian ia (citra manusia) berada dalam citra Zat Yang Maha Pengasih. Terdapat suatu perbedaan antara kata-kata “dalam citraTuhan,” dan “dalam citra Zat Yang Maha Pengasih,” karena ia merupakan Rahmat Tuhan (rahma ilahiya) yang menjadikan Kehadiran Tuhan (al-hadra al-ilahiya) dengan citra ini. Kemudian Tuhan menganugerahkan suatu kebaikan kepada Adam dan menjadika Adam sebagai sebuah bentuk ringkas (sura mukhtasara) yang mencangkup (jami’a) semua spesis yang ada di alam semesta, sehingga seolah-olah, dia adalah segala sesuatu yang ada di alam semesta, atau dia merupakan salinan (nuskha) alam kecil. Citra Bentuk Adam –Saya maksud bentuk ini – ditulis dengan tulisan Tuhan …. Jika bukan karena kasih sayang Tuhan ini, maka manusia tidak akan dapat mengetahui Tuhannya, karena tak seorangpun dapat mengetahui Tuhannya kecuali orang yang mengetahui dirinya sendiri. Karena ini disebabkan (athar) oleh Rahmat Tuhan. Kehadiran Tuhan (hadrat al-ilahiya) berbeda dari kehadiran Kerajaan (hadrat al-mulk) dan juga dari Keilahiahan… Jika bukan karena sebab ini, maka harus dikatakan “dalam citra-Nya”; “meskipun demikian, hadis shaheh yang terdapat dalam Shahih Bukhari adalah “dalam citra Zat Yang Maha Pengasih.”95
Jalan pemikiran al-Ghazali di atas tidak mudah difahami. Pada bagian pertama, dia menghubungkan persesuaian antara dunia yang lebih tinggi, yang di sini dinamakan “Kehadiran Ilahiyah,” dan dunia yang lebih rendah, yaitu alam nyata. Namun, tiba-tiba topik berubah menjadi persesuaian antara dunia yang lebih tinggi dan manusia. Keduanya memiliki suatu susunan yang bersifat analogis, yaitu keduanya memiliki sebuah bentuk yang sama. Oleh karena itu, manusia dapat dikatakan bahwa dia diciptakan dalam bentuk yang lebih tinggi. Tetapi, pada bagian kedua, persesuaian antara manusia dan alam dirinci; manusia merupakan salinan kecil alam semesta dan mencangkup segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Pendapat al-Ghazali tidak begitu jelas, apakah alam semesta berarti dunia yang lebih tinggi atau dunia yang lebih rendah, yaitu dunia nyata. Namun, permasalahan ini, tidaklah penting, karena terdapat persesuaian yang dekat antara dua dunia; seorang merupakan simbol bagi lainnya. Jadi, dunia yang lebih tinggi, alam yang nyata, dan kesejajaran manusia, karena bentuknya adalah disamakan. Berkat persesuaian, pengetahuan manusia ini dapat membimbingnya menuju pengetahuan Tuhannya. Haruslah diperhatikan bahwa pengetahuan ini tidak berarti pengetahuan tentang Tuhan, esensi-Nya. Pada kutipan di atas, al-Ghazali menekankan perbedaan antara “citra Tuhan (Allah)” dan “citra sifat Kasih Sayang (Rahman).” Nama-Nama Tuhan harus dibedakan terkait dengan manusia dan alam nyata. “Kasih Sayang,” “Kerajaan” dan “Keagungan” memberikan beberapa efek bagi manusia dan alam semesta yang berbeda. Dunia yang lebih tinggi adalah kehadiran (hadarat) Nama-Nama Tuhan yang berbeda. Jadi, jika manusia yang mengetahui dirinya sendiri, maka ia mengetahui Kehadiran Tuhan, yaitu mengetahui Nama-Nya, “Tuhan,” bukan Nama-Nya, Allah. Kenyataannya bahwa manusia memiliki susunan yang sama dengan susunan alam semesta merupakan akibat dari Nama-Nya, “Kasih Sayang.” Jadi, manusia diciptakan dalam citra sifat Kasih Sayang.
Al-Madnun al-Saghir
Al-Madnun al-Saghir merupakan karya esoteris lain al-Ghazali. Namun, pengarangnya seringkali tidak disebutkan.96 Karya ini memuat tentang berbagai pertanyaan dan jawaban terkait dengan penciptaan Adam.
Karya ini dimulai dengan penjelasan arti “pembentukan” (taswiya) dan “peniupan” (nafkh) dalam ayat al-Qur’an, “Ketika Aku ciptakan dia dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku” (15:29, 38:72). Selanjutnya, al-Ghazali membahas tentang sifat ruh manusia.97 Ruh merupakan subtansi (jawhar). Buktinya sebagai berikut……..
Kemudian, al-Ghazali menyatakan bahwa ciri-ciri ruh juga menjadi ciri-ciri Sifat-Sifat Tuhan. Beberapa kelompok yang secara terbuka, seperti mazhab Karramiyah dan Hanbaliyah menolak eksistensi di luar tubuh, dan berpendapat bahwa Tuhan memiliki tubuh.99 Beberapa kelompok seperti mazhab Asy’ariyah dan Mu’tazilah menegaskan sifat-sifat transenden yang telah disebutkan di atas hanya mengacu pada Sifat-Sifat Tuhan. Dan mereka memandang orang-orang yang menyamakan sifat-sifat ini sama dengan ruh manusia dihukumi kafir, dengan mengatakan bahwa mereka yang mengatakan seperti itu, berarti mengakui ketuhanan dalam diri mereka. Pandangan mereka yang salah berasal dari pendapat bahwa jika dua benda yang menempati ruang yang sama memiliki sifat-sifat yang sama, keduanya tidak dapat dibedakan, jadi keduanya adalah sama. Al-Ghazali menolak pendapat ini, dengan mengatakan bahwa terdapat tiga cara untuk membedakan dua benda yang memiliki sifat yang sama, misalnya dengan ruang, waktu dan batasan (hadd).100 Tentu saja, pembedaan antara Tuhan dan ruh manusia dapat dilakukan melalui batasan dan esensi. Ciri-ciri yang dimiliki Tuhan dan ruh, seperti “tidak terbatas pada ruang dan waktu” (al-bara’a ‘an al-makan wa al-jiha), bukanlah ciri-ciri esensi Tuhan, yang hanya milik Tuhan. Ciri esensi Tuhan adalah bahwa Dia penopang seluruh makhluk (qayyum) yang hidup karena Esensi-Nya (qa’im bi-dhatihi). Seluruh eksistensi yang lain beruwujud melalui-Nya. Mereka meminjam wujud dari Tuhan. Dalam hal ini, ruh manusia memiliki sifat-sifat makhluk. Al-Ghazali menolak pendapat pra-eksistensi ruh manusia. Seperti makhluk-makhluk lain, ruh diciptakan oleh Tuhan.101
(Bersambung)
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/teologi-citra-tuhan-ibnu-arabi-bagian-iii/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar