M. Harir Muzakki
http://sastra-indonesia.com
BAB I
Filsafat manusia Ibn ‘Arabi bercirikan konsep “Manusia Sempurna” yang disimbolkan Adam, yang Tuhan menciptakan sesuai dengan citra-Nya sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Ciri khas utama dari antropologinya adalah faham antroposentris yang terletak pada sisi ontologi. Dia menggunakan beberapa tema dan pembahasan yang lazim bagi sufi masa awal. Sungguh, faham antroposentris bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam, maupun tradisi Yahudi-Kristen.
Namun, Ibn ‘Arabi membahas faham antroposentris berdasarkan filsafat dan menafsirkan ulang beberapa tema dalam Injil, Perjanjian Lama dan al-Qur’an dengan metafisika dan memberikan makna-makna baru dari tema-tema lama pada masa itu. Dengan cukup berhati-hati, antropologinya mememiliki beberapa kesamaan yang menonjol dengan para pendeta Kristen sebelumnya, Dia juga menafsirkan cerita-cerita Injil dengan filsafat Hellenis dan menawarkan umat Kristen sebuah keyakinan dasar filsafat. Dalam bab ini, pertama kami akan mengkaji latar belakang faham antroposentris sebelum Islam dan teologi citra pada masa awal sufisme sebelum Ibn ‘Arabi, misalnya al-Hallaj dan Ruzbihan Baqli Shirazi, yang menggunakan sumber-sumber pemikiran al-Hallaj dan mengembangkan idenya, dan al-Ghazali yang lebih dekat dengan Ibn ‘Arabi, juga termasuk di antara para Sufi yang lebih awal terkait dengan teologi citra (Tuhan).
Tradisi Sebelum Islam
Perjanjian Lama
Faham antroposentris secara jelas termuat dalam Perjanjian Lama, misalnya dalam Genesis. Semua makhluk hidup diciptakan untuk manusia, manusia diberi kelebihan dari seluruh makhluk hidup.1 Kenyataannya bahwa manusia merupakan tujuan akhir penciptaan, lebih-lebih manusia diperkuat oleh pernyataan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.2 Maksud pernyataan ini menjadi teka-teki beberapa generasi teologi, baik dalam Yahudi maupun Kristen dan sejumlah penjelasan telah diberikannya.3 Edmund Schlink menyimpulkan persoalan sekitar tema Imago Dei dengan cara sebagai berikut: 4
1. Dimana letak kesamaan citra ?
2. Siapa yang memiliki kesamaan citra ? dan siapakah citra Tuhan ?
Dalam konteks Perjanjian Lama, jawaban untuk pertanyaan yang pertama masih tidak jelas. Hubungan antara manusia dengan Tuhan secara tegas tidak pernah dinyatakan. Nampaknya, jarak antara makhluk dan pencipta masih tetap jauh. Sedangkan pertanyaan kedua secara umum disepakati bahwa dalam hal ini, Adam melambangkan manusia secara umum dan kesamaan citra masih tetap benar, meskipun setelah turunnya Adam.5
Dalam pandangan Yahudi masa selanjutnya, muncul penafsiran tema etika-antropologi.6 Sesuai dengan prilaku individu dan tingkat kepatuhannya terhadap Hukum, manusia dapat melestarikan atau menghilangkan kesamaan citra. Untuk memiliki citra yang sama dengan Tuhan berarti menjadi orang yang berguna bagi citra-Nya. Namun, haruslah diperhatikan bahwa dalam hal ini tidak ada dualisme antara raga dan jiwa. Dualis radikal ini pertama diperkenalkan ke dalam tradisi Yahudi-Kristen oleh faham Gnostisisme (ma’rifah) dengan mitos antropologinya yang masyhur.
Gnostisisme
Faham Gnostis memperkenalkan beberapa gagasan penting penafsiran tema Imago Dei. Di sini kami menyebutkan gagasan-gagasan ini, berikut analisis Schwanz:7
1. Konsep citra diterapkan untuk makhluk Tuhan yang dibedakan dengan kemutlakan Tuhan. Makhluk Tuhan ini yang dinamakan Antropos, Sophia, atau Logos, dikategorikan sebagai citra Tuhan.
2. Konsep citra mengekpresikan persamaan dan perbedaan hubungan sifat Tuhan yang absolut. Hubungan antara keduanya dijelaskan dengan teori emanasi neo-Plato.
3. Teori wahyu dan soteriologi dibatasi dengan konsep citra. Wahyu memberitahu bahwa sisi terdalam manusia, diri manusia, memiliki benih ketuhanan dan dengan pengetahuan ini, manusia dapat memperoleh keselamatan.
4. Jiwa dan raga secara tegas dibedakan. Raga termasuk alam fisik dan merupakan penjara bagi jiwa. Alam fisik diciptakan dan merupakan kejahatan. Jiwa berasal dari Tuhan, namun jiwa tidaklah diciptakan dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi jiwa merupakan pancaran dari Tuhan.
5. Istilah “Citra” terkadang diterapkan pada sisi terdalam manusia. Jadi, pada saat yang sama istilah ini memiliki makna bentuk dan salinan.
Kami dapat membuat skema teori Gnostis citra sebagai berikut:8
Tuhan — Citra Tuhan — Manusia
(Asli)— (Copy)
———-(Asli) — (copy)
Philo Alexandria
Di antara penafsiran tema Imago Dei sebelum Islam, penafsiran Philo adalah paling menarik dan berpengaruh.9 Wolfson memandang Philo sebagai penggagas filsafat agama abad pertengahan dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam.10 Meskipun demikian, posisi penting Philo terlalu berlebihan. Tidak diragukan bahwa teorinya tentang citra dalam penafsirannya dari Genesis mempengaruhi para filosof Patristik, seperti Origen dan Gregory Nyssa. Filsafat Philo terkadang dicap sebagai Platonisme abad pertengahan, kadang-kadang sebagai Stoicisme. Terdapat persamaan tertentu antara Philo dan Gnostisisme, khususnya dalam masalah doktrin citra.
Spekulasi Philo tentang citra Tuhan bermula dari perbedaan antara manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Tuhan dan manusia yang diciptakan dari tanah, yang didasarkan atas dua penjelasan yang berbeda dalam Genesis. Manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan, yang dinamakan manusia Tuhan (antrhopos theou), ditafsiri dengan dua cara. Pertama adalah intelejensi manusia yang membimbing jiwa dan mengatur tubuh seperti Tuhan. Kedua dikatakan bahwa manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Tuhan merupakan sebuah ide, benih, atau tanda (sphragis) nyata, tidak bersifat jasmani, tidak laki-laki dan perempuan, tidak dapat dirusak oleh alam. Dia adalah Adam yang bersifat langit (sebenarnya), jika dibandingkan Adam duniawi yang tercipta dari tanah.
Lebih jauh, Philo menghubungkan konsep citra dengan doktrin logos-nya yang terkenal, akan tetapi hubungan hakekat Logos dengan Adam yang sebenarnya juga masih bersifat tidak jelas. Di satu sisi, dia (Adam) disamakan dengan Logos dan di sisi lain, Logos merupakan citra Tuhan dan manusia ideal (Adam yang sebenarnya) merupakan citra logos, yaitu bentuk dari citra Tuhan.
Adalah aneh bahwa ketika Philo menyamakan Adam yang sebenarnya dengan Logos, dia tidak berpendapat bahwa Adam yang bersifat duniawi diciptakan sesuai dengan Logos, yaitu citra Tuhan. Menurut Philo, manusia yang bersifat duniawi selalu dipandang terbuat dari tanah, akal manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan, namun manusia sebagaimana tidak pernah terfikirkan diciptakan menurut citra-Nya. Juga perlu diperhatikan bahwa dalam beberapa tulisan, Philo berpendapat bahwa alam semesta diciptakan sesuai dengan citra Logos, yaitu bentuk dari citra Tuhan.11
Sumbangan lain antropologi Philo untuk masa berikutnya adalah rumusannya yang jelas atas dua sifat manusia. Adalah Manusia yang bersifat duniawi, yang dia katakan sebagaimana pemilik dua sifat.
Bentuk manusia yang bersifat individu, objek pengertian, adalah suatu komposisi yang terbuat dari subtansi duniawi dan dari unsur ketuhanan; oleh karena itu, dikatakan bahwa tubuh terbuat dari sari pati tanah dan menjadikan darinya bentuk manusia, namun jiwanya berasal dari sesuatu yang tak tercipta dari apapun, tetapi dari Tuhan yang memerintah semua; karena itu yang Dia tiupkan tidak lain dari nafas ketuhanan… Dengan demikian, barangkali secara tepat dikatakan bahwa manusia adalah batas wilayah (methorios) antara yang bersifat sementara dan abadi, sejauh masing-masing ini diperlukan, dan pada saat yang sama dia diciptakan bersifat sementara dan abadi, bersifat sementara terkait dengan tubuh dan bersifat abadi terkait dengan akal (dianoia).12
Masa Awal Kristen
Teologi citra pada masa awal Kristen banyak dipengaruhi oleh faham Gnostis dan Philo. Namun, perbedaan penting terletak dalam Cristiologi, yang mana para pendeta Kristen pada masa awal memasukkan ke dalam teologi mereka.
Menurut St. Paul bahwa citra Tuhan adalah Kristus dan homo imago Dei maksudnya adalah Kristus, yaitu bentuk utama manusia.13 Meskipun secara potensial manusia memiliki citra Tuhan, kesamaan citra ini hanya teraktualisasikan lewat Kristus. Jadi, karakter etika-agama berada di awal pembahasan. Hanya manusia baru, jiwa manusia yang dilahirkan kembali dalam Kristus, dalam kenyataannya dapat dikatakan citra Tuhan. Di sini istilah “citra” diterapkan pada Kristus (bentuk) dan manusia (salinan).
Pada masa St. Paul, doktrin Logos Kristen belum menjadi baku. Adalah para pendeta masa awal yang mengintegrasikan doktrin Logos ke dalam teologi citra. Di antara mereka, Irenaeus dipandang sebagai pendiri teologi citra.14 Menurutnya, meskipun Adam diciptakan sesuai dengan citra Tuhan, dia kehilangan kesamaan citra ini ketika Adam berbuat dosa dan diusir dari surga. Walaupun hanya Kristus, Logos, citra Tuhan par excellence, bahwa manusia dapat memperoleh kembali kesamaan citra yang asli. Dalam hal ini, aspek soteriologi sangat menonjol.
Di sini bukanlah tempatnya untuk meneliti setiap pendeta Kristen yang memberikan sumbangan atas perkembangan teologi citra, seperti Origen,15 Gregory Nazianzus,16 dan Gregory Nyssa.17 Oleh karena itu, kami akan meringkas ciri-ciri teori citra mereka sebagai berikut:
1. Tuhan dan citra-Nya benar-benar berbeda. Tuhan adalah Ayah dan citra-Nya adalah Kristus, Logos.
2. Manusia diciptakan sesuai dengan citra itu, oleh karena itu dia (Adam) bukanlah citra Tuhan, bahkan dia adalah bentuk dari citra Tuhan.
3. Seperti Philo, mereka menekankan dua aspek manusia. Pandangan St. Paul tentang sisi batin manusia atau manusia baru disamakan dengan jiwa manusia, yang diciptakan sesuai dengan citra-Nya, sementara tubuh terbuat dari tanah. Karena bahasan ketidakjelasan manusia dalam pandangan Gregory Nazianzus, Anna-Stina Ellverson menulis sebagai berikut:
… manusia tercipta dari tanah dan ruh. Dia sedikit dari tanah yang memiliki jiwa, tiupan Tuhan, digabungkan… Dia tampak dan tidak nampak, bersifat duniawi dan surgawi, abadi dan tidak kekal, rendah dan tinggi. Kami memahami Gregory yang menekankan penduaan manusia dengan cara bertentangan. Berkat sifat manusia yang mendua ini, lebih jauh dapat dikatakan (manusia) memiliki dunia atau lingkungan yang berbeda, material juga spiritual dan surgawi. “Aku besar dan kecil, tinggi dan rendah, abadi dan sirna, bersifat duniawi dan surgawi. Suatu keadaan, dimana aku sama dengan dunia bawah ini, yang lain sama dengan Tuhan, yang satu sama dengan daging dan yang lain sama dengan jiwa.”18
4. Menurut Origen, kesamaan citra berarti subtansi dari semua intelek sama dengan Tuhan, karena mereka merasakan intelligibelitas yang sama. Jadi, kesamaan pengetahuan dan objek pengetahuan adalah dasar kesamaan citra.
5. Citra Tuhan juga dipandang sebagai sumber pengetahuan. Berkat kesamaan citra, pengetahuan diri manusia mengarah pada pengetahuan Tuhan. Henri Crouzel menjelaskan teori ini dalam Origen sebagai berikut:
“Puisque I’intelligence est une image intelectuelle de Dieu, par elle on peut connaitre queique chose de la nature de la devinite.” Il suffit pour cela que I’esprit se regarde lui-meme et y constate le “desir de pieth et de communion avec Dieu.”19
Dalam hal ini, Delphic Maxim, “kenalilah dirimu sendiri” dikombinasikan dengan teologi citra.
Tema Manusia sebagai Citra Tuhan dalam Sufisme
Hadis yang berbunyi “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya” terdapat dalam berbagai macam kumpulan kitab hadis.20 Munculnya konotasi anthropomorpis (faham yang menyamakan Tuhan dengan manusia) dari hadis di atas menimbulkan sejumlah perbedaan penfasiran, dan para ahli teologi berusaha keras menjelaskan hadis itu dengan menafsirkan kata ganti orang ketiga “citra-nya” sebagai orang lain selain Tuhan.21 Hadis ini juga dipakai oleh kelompok sufi untuk menegaskan kedekatan afinitas yang nyata antara Tuhan dan manusia.
Alasan mengapa hadis ini banyak diperbincangkan oleh para ahli teologi dan sufi tidak semata-mata bahwa hadis ini memberikan isyarat faham antropomorpis. Terdapat ungkapan-ungkapan antropomorpis yang bersifat lebih jelas dalam al-Qur’an, seperti “Tangan Tuhan” dan “Wajah Tuhan.” Juga terdapat beberapa hadis yang bersifat antropomorpis, seperti “Aku melihat Tuhan dalam bentuk yang sangat indah…”.22 Namun alasan sesungguhnya popularitas hadis ini, kelihatannya diperkenalkan oleh teologi citra yang begitu lazim pada masa awal Kristen hingga masa Islam. Ketika hadis ini diperkenalkan ke Islam dari Perjanjian Lama, maka lebih masuk akal berpendapat bahwa seluruh tradisi penafsiran ayat dari Perjanjian Lama ini masuk ke Islam. Sesungguhnya, pengaruh Kristen yang berkaitan dengan tema imago Dei secara jelas dapat dilihat dalam penafsiran beberapa aliran Shi’ah ekstrim, dikatakan bahwa Adam diciptakan oleh Kristus sesuai dengan citra-Nya (Kristus).23
Dalam beberapa hal, faham antroposentris, yang menjadi latar belakang tema ini, tidak sedikit dalam Islam sejak dari awal. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia diberi kelebihan atas segala makhluk hidup yang ada di langit dan bumi, Tuhan menciptakan Adam sebagai khalifah-Nya di muka bumi dan Dia mengajarkan Adam semua nama yang ada di bumi, dan para malaikat diperintah untuk bersujud kepada Adam. Ayat-ayat al-Qur’an ini seringkali dikutip oleh para sufi untuk menjelaskan hadis imago Dei.
Penjelasan tentang hadis ini yang paling mengagumkan pada masa awal sufi adalah penjelasan Shibli, yang dikutip al-Ghazali dalam Imla’.24 Menurut Shibli, Adam diciptakan sesuai dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan, bukan Esensi-Nya. Ini merupakan sebuah perkembangan baru Islam dalam sejarah teologi citra, dan menjadi penafsiran yang paling masyhur dalam sufi. Perbedaan antara Esensi dan Nama-Nama atau Sifat-Sifat berasal dari teologi Islam. Nama-Nama atau Sifat-Sifat menempati posisi tengah antara Tuhan yang bersifat absolut dan makhluk yang bersifat baru, berkaitan dengan pandangan Philo dan para pendeta Kristen tentang Logos.
Seperti contoh awal spekulasi tema imago Dei, dalam faham sufi, pertama kami akan mengkaji teori al-Hallaj. Kemudian membahas pemikiran Ruzbihan Baqli Shirazi sebagai pendahulu Sufisme Hallajian. Selanjutnya penafsiran al-Ghazali tentang hadis imago Dei akan dijelaskan secara mendetail.
Al-Hallaj
Affifi telah menyatakan bahwa pemikiran al-Hallaj sangat mempengaruhi pemikiran Ibn ‘Arabi dan menyimpulkan sembilan hal yang sama antara keduanya.25 Namun, sebagaimana diakui sendiri oleh Affifi, al-Hallaj memiliki tingkat mistis yang berbeda dengan Ibn ‘Arabi. Sebagian besar kesamaan yang disebutkan Affifi adalah persamaan yang tidak terlalu penting dari al-Hallaj. Misalnya, ide-ide dunia yang bersifat fenomenal merupakan sebuah tabir dari yang sebenarnya atau tak terketahuinya Tuhan atau penafsiran al-Qur’an yang bersifat batin dapat ditemukan dalam beberapa pemikiran Sufi dan sejumlah aliran teologi. Di sini, kami akan memfokuskan teori al-Hallaj tentang Adam yang diciptakan sesuai dengan citra-Nya.
Louis Massignon dalam bukunya Magnum Opus yang berjudul, La passion de Hallaj, membahas enam halaman pada bab yang berjudul I’image de Dieu.26 Setelah dia menjelaskan otensitas hadis imago Dei dalam dua versinya, “dalam citra-Nya” dan “sesuai dengan citra Zat Yang Maha Penyayang,” dia membahas berbagai macam mazhab penafsiran dan memasukkan al-Hallaj termasuk di antara pada teolog yang hanya menerima pandangan pertama dan menafsirkan “nya” merujuk pada Adam; a son image-selon la forme meme qu’ll avait preparee pour iui…, Le type de cette image est donc en dieu comme une pure frame intellible, une et simple, intellible, a la fois, pour Lui.” Louis Massignon mengambil pernyataan ini yang dikutip dari al-Hallaj dalam Tafsir Sulami.27 Di sini, hadis imago Dei dikutip dan dijelaskan sebagai berikut: “yaitu, menurut citranya dimana Tuhan membentuk (sawwara) nya, dan yang terbaik adalah bentuknya.”
Namun, konsep Adam yang bersifat surgawi dan berhubungan antara manusia dan Tuhan tidak sedikit dalam pandangan al-Hallaj, meskipun dia tidak menggagas beberapa doktrin tentang hadis imago Dei. Dia membedakan dua aspek dalam diri Tuhan: Lahut, transenden, alam ketuhanan yang tidak dapat dicapai yang menjadikan atom-atom hidup, dan nasut, alam kemanusiaan yang mulia. Nasut adalah wujud yang diambil dari firman Tuhan sebelum penciptaan. Ia adalah pakaian-pakaian (kiswa) dari kesaksian abadi (syahid al-qidam) yang telah mengikrarkan perjanjian. Jadi, Adam dilambangkan sebagai nasut Tuhan atau ketuhanan dalam pakaian-pakaian kemanusiaan, khususnya pada saat perjanjian, dan ini berhubungan dengan figur Yesus yang bersifat eskatologis pada Hari Kebangkitan.28 Namun, hubungan antara “Adam surgawi,” yaitu nasut Tuhan dan manusia yang bersifat dunia ini tidaklah jelas dalam pandangan al-Hallaj.
Juga teori al-Hallaj tentang huwa-huwa (identitas, kesamaan) menyatakan indentifikasi tertinggi antara manusia dan Tuhan. Teori ini terlestarikan dalam kata-kata Dailami dan Ruzbihan Baqli Shirazi (kata-kata Dailami dalam bahasa Arab dan kata-kata Ruzbihan dalam bahasa Arab dan Persi).29 Di sini, bukanlah tempatnya mengkaji pemikiran mistis al-Hallaj secara mendetail, namun hanya diberikan ringkasan singkat. Bagian yang pertama menjelaskan hubungan antara Esensi Tuhan dengan Sifat-Sifat-Nya dengan satu bahasa puisi mitos yang tinggi. Titik tekan pemikirannya adalah sebelum penciptaan dan dalam aspek kemutlakan-Nya, Sifat-Sifat tidak terpisah dari Esensi-Nya dan tidak juga identik dengannya (doktrin Asy’ariah). Dia mengetahui Sifat-Sifat-Nya dengan pengetahuan dan penglihatan atas diri-Nya sendiri. Setiap Sifat mencangkup Sifat-Sifat yang lain. Tuhan menghubungkan masing-masing Sifat dan memaknai masing-masing Sifat melalui hubungan dengan diri-Nya sendiri. Di antara Sifat-Sifat-Nya ini, Maha Pengasih adalah paling menonjol (ini ciri khas aliran Hallajian). Akhirnya Tuhan ingin memanifestaskan Sifat-Sifat-Nya di luar diri-Nya sendiri secara terpisah.
Kemudian Tuhan ingin menjadikan Sifat-Sifat-Nya ini muncul (berawal) dari Kasih Sayang dalam keterpisahan (infirat), sehingga Dia dapat melihatnya dan berbicara dengannya. Dia melihat sebelum keabadian dan memciptakan suatu citra, yang mana citra-Nya dan Esensi-Nya, karena jika Tuhan melihat sesuatu makhluk, Dia menjadikan padanya suatu citra dari-Nya dan dan citra tersebut akan tetap melalui keabadian, dan dalam citra tersebut akan terpelihara Pengetahuan, Kekuasaan, Gerak, Keinginan dan seluruh Sifat-Sifat-Nya melalui keabadian. Ketika Dia mewujudkan diri-Nya sendiri secara abadi pada seorang (syakhs), Dia menjadi sama (huwa-huwa) dengannya, dan Dia melihat [pada orang itu berabad-abad tahun bersama keabadian …. Dia mengkhususkannya dengan sifat-sifat yang sama bagi orang-orang yang memiliki tindakan-Nya, sifat-sifat yang Dia ciptakan dari makna manifesatasi (zuhur) dalam pribadi orang tersebut yang Dia ciptakan sesuai dengan citra yang Dia miliki. Jadi, dia (orang tersebut) menjadi pencipta (khaliq) dan pemberi rizki (raziq). Dia memuji dan memuliakan, dan menjadikan sifat-sifat dan tindakan nyata. Dengan cara semacam ini, dia menjadikan hakekat-hakekat dan keajaiban yang sesungguhnya dan (Tuhan) membawanya ke dalam kerajaan-Nya, dan memanifestasikan diri-Nya padanya dan darinya.30
Mungkin sulit untuk menerjemahkan bahasa puisi mitos al-Hallaj ke dalam bahasa filsafat dengan jelas dan sistematis, paling tidak dapat dinyatakan dalam rumusan sebagai berikut:
1. Meskipun dia menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “penciptaan” (ibda’) atau “manifesatsi” (zuhur) dari “bentuk” dan “pribadi,” dia tidak menyebutkan baik Adam maupun manusia secara jelas. “Citra” atau “pribadi” dapat ditafsirkan secara tepat sebagai “intelek” atau “jiwa.”
2. “Wujud” in concreto tidaklah disebutkan secara keseluruhan. Karena tidak ada ontologi, tidak ada perbedaan antara dunia nyata dan alam fisik yang begitu lazim dalam paham neo-Plato. Oleh karena itu, secara pasti kita tidak bisa menyamakan wujud konkrit dengan citra atau pribadi.
3. Esensi Tuhan dan citra secara jelas tidaklah dibedakan. Citra yang diwujudkan Tuhan dinamakan citra Tuhan dan Esensi Tuhan. Dalam teologi Yahudi-Kristen tentang citra, citra Tuhan merupakan suatu entitas yang secara jelas dibedakan dari ketuhanan, yaitu Esensi Tuhan.
(Bersambung)
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/teologi-citra-tuhan-ibnu-arabi-bagian-i/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar