Sutejo
Karya Darma, 28 Des 1994
Kelahiran KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang semula bernama “Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat”, pada mulanya dilandasi oleh dua asumsi dasar yang mengukuhkan keberadaannya. Pertama, adanya fenomena kecenderungan pembangunan di tahun 70-an yang berpusat di kota, sementara di desa, yang sebenarnya adalah basis kekuatan bangsa, justru dianaktirikan.
Karenanya kecil kemungkinan pembangunan ketika itu mampu menyentuh pelosok desa. Dan kedua, adanya alasan filosofis untuk tidak membiarkan mahasiswa ternina bobokkan dalam pengembaraan intelektualnya, untuk menurunkannya dari menara gading.
Orientasi dan isu
Bagaimanakah sebenarnya potret KKN yang sudah berumur lebih dari dua dasa warsa ini? Masih relevankah asumsi dasar pengembangan KKN yang mengukuhkan kelahirannya? Tentu hal demikian menjadi sangat menarik untuk direnungkan kembali. Mengingat semakin menjamurnya PTS di Indonesia (lebih dari 1.000 PTS), yang tentunya dalam tulisan ini kita asumsikan juga melaksanakan KKN ditambah dengan seluruh PTN kecuali ITB, IKIP Jakarta, dan UI yang sampai saat ini belum melaksanakannya.
Permasalahannya sekarang efektif dan efisienkah pelaksanaan KKN selama ini? Tiap semester desa-desa kita dibanjiri pada “urbanis” yang datang dengan seombyok konsep keilmuan dan setumpuk lagi pemikiran ideal.
Sebagaimana nyaring terdengar di telinga kita tentang label mahasiswa, yang tak luput disebut-sebut sebagai katalisator, motivator, dinamisator, dan inovator masyarakat, seperti sebuah puisi yang indah dipandang dari berbagai segi.
Idealisasi itu, jika kita kembangkan dalam konteks masa kini, dalam wacana konseptualisasi, sungguh menjadi sangat menarik. Bukankah sampai saat ini banyak pihak yang mempersoalkan desa miskin, “pembredelan” tempat-tempat prostitusi ala khas penduduk margin kota? Karenanya, bahasa KKN menjadi lebih urgensif tanggung jawab mahasiswa KKN, panggilan nuraninya sebagai makhluk sosial, logikanya justru semakin berat terbeberkan di pundaknya.
Namun tulisan ini, tentunya tidak bermaksud menyembunyikan sumbang sih mahasiswa yang dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara makro telah berandil besar. Seperti tuntutan penghapusan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), demo pembebasan dan penggusuran tanah, sampai dengan demo sial perburuhan dan hak asasi manusia.
Konseptualisasinya KKN itu bertujuan baik, namun tidak demikianlah halnya apa yang terjadi di lapangan. Bagaimana indahnya tujuan KKN manakala kita membaca deskripsi tujuan KKN dalam “Buku KKN IKIP Surabaya” misalnya. Ada empat hal pokok orientasi KKN (i) terperolehnya keterlibatan belajar mahasiswa dalam masyarakat yang secara langsung menemukan, merumuskan, memecahkan dan menanggulangi permasalahan pembangunan secara pragmatis dan interdisipliner, (ii) agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi pemikiran sesuai dengan ilmu, teknologi, dan seni dalam upaya menumbuhkan dan mempercepat gerak serta mempersiapkan kader-kader pembangunan; (iii) terciptanya sarjana pengisi teknostruktur dalam masyarakat yang menghayati kondisi, gerak, dan permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam pembangunan, dan (iv) terciptanya peningkatan hubungan PT dengan pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat sehingga PT lebih dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan nyata dalam masyarakat.
Dari orientasi dan tujuan KKN di atas tersirat bahwasannya mahasiswa dan PT masih segala-galanya dibandingkan dengan masyarakat desa. PT adalah lembaga intelektual yang andal. Desa seakan kurang dengan sejumlah kelompok pemikir. Mahasiswa agen dan motor perubahan. Desa tidak. Masih relevankah pemikiran demikian sebagai landasan berpijak dikembangkannya KKN dalam wacana kekinian? Sejauh manakah sumbang sih KKN selama ini? Sudah adakah sarana komunikasi dan alat evaluasi untuk memonitor hasil KKN secara langsung?
Tampaknya belum ada alat ukur yang “valid”. Apalagi semacam sarana komunikasi antara desa sasaran dengan lembaga. Laporan akhir KKN dapat dan mudah dimanipulir. Kedatangan dosen pembimbing yang tidak rutin semakin tidak efektif. Komunikasi desa dengan mahasiswa KKN sering tidak utuh. Penduduk desa begitu “santun” dan merendah. Sementara mahasiswa cenderung merasa tahu dan bisa. Orang desa realistis-praktis sifatnya, mahasiswa cenderung idealis. Sungguh dalam berbagai komunikasi mereka tidaklah utuh.
Tidaklah jarang mahasiswa KKN memberikan penyuluhan dan informasi yang menganggap orang desa “bodoh” dan tidak mengerti. Memberikan suatu materi bangunan tanpa menghargai masyarakat sebagai “pemilik negeri”. Apalagi sikap dan perilaku mahasiswa yang, ketika, di desa sering tak bisa “empan papan”. Sehingga tak jarang sebenarnya desa-desa sasaran KKN yang enggan menerima mereka. Dan ini wajar, sebab orang desa masih ‘njawani’, istilah mereka, “ngono yo ngono, nanging ojo ngono!”. Karenanya, mahasiswa sebenarnya dapat belajar akan sikap mereka seperti halnya keyakinannya untuk senantiasa “mawas diri”, “mulat sarira”, apalagi sikap “tepo seliro”-nya yang sering lebih memilih diam, atau menghindar, manakala harus berbaur dengan idealisme mahasiswa.
Tak mengherankan bahwasannya mahasiswa yang selama ini begitu diharapkan mampu mendinamisasikan pembangunan desa namun dalam prakteknya Nol Besar. Yang terjadi adalah senjangnya idealisasi KKN dengan realitasnya di lapangan. Banyak para mahasiswa, usai KKN berkelakar dengan menyebutnya dengan “Klunthang Klunthung Nganggur”, “pindhah turu”, atau bahkan semacam kesempatan untuk menciptakan prosa cinta. Demikian burukkah potret KKN kini?
Tidaklah mengherankan kalau dalam “seminar Lokakarya”, Pengelolaan dan Pengembangan KKN, di IKIP Malang, dan dosen-dosen di lingkungan Kopertis VII dan VIII, banyak dikemukakan input-input menarik. Dari senjangnya idealisasi dengan operasionalnya di lapangan antara PTN dan PTS, efektivitas dan efisiensinya, sampai dengan romantika mahasiswa KKN di desa. Seorang peserta dari PTS terkenal di Surabaya misalnya, mengemukakan bahwasannya ada mahasiswa KKN-nya yang suka “berburu ayam lokal” (maaf, baca: lokalisasi).
Potret KKN akhirnya dengan mudah kita amati: pembuatan papan nama jalan, tulisan di gardu pos kampling, 10 segi pokok PKK, pembentukan dasa wisma, arisan, dan tahlil. Di sebagian Universitas, datang kemudian mendirikan menumen tugu masuk desa, batas antar RT, penampungan air minum, kemudian sudah. Tanpa kesederhanaan dengan penduduknya.
Dalam wacana sosial dan ekonomis akhirnya KKN dinilai oleh banyak pihak sebagai kemubadziran karena gerak dan warna yang dari tahun ke tahun hanya begitu-begitu saja. Mitos agen perubahan dan dinamisator perubahan sepertinya hanya menjadi baju yang dikenakan, namun tak pernah ditengok kembali bagaimanakah kotoran akut yang melekat padanya.
Maka yang menjadi pertanyaan sekarang, sekaligus jawaban adalah, masih relevankah mitos dan asumsi KKN yang dikembangkan sebagai dasar pelaksanaannya dewasa ini? PT sebagai simbol berkumpulnya para cerdik, pandai, desa kekurangan orang pandai. PT agen perubahan dan pemikiran, desa begitu statis karenanya selalu menjadi sasaran perubahan.
Wacana Akhir
Barangkali kita memang patut prihatin manakala menengok objektivitas KKN selama ini. Di mana lebih dari dua dasa warsa pelaksanaan KKN, namun tak mampu mengemban amanat dan tujuan sebagai ancangan dasar pengembangannya. Simpulan demikian mengisyaratkan tidak adanya alat pantau yang efektif, yang arif, yang senantiasa memberikan cerminan jujur menyadarkan kita kembali.
Akhirnya memang, KKN tak lebih sebuah proses monotonis dari serentetan kegiatan yang seakan-akan bergerak dinamis, namun realitasnya hanya berjalan di tempat dan tidak memberikan hasil dan perubahan yang berarti.
*) Penulis adalah alumnus IKIP Malang, Staf Pengajar di lingkungan Kopertis VII Surabaya.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/sebuah-gerak-monotonis-makhluk-kkn/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar