24/06/13

Antara Tragedi dan Gurau Senda

Pementasan ”Hikayat Puyu-puyu” oleh Sanggar Teater Mara
Jefri al Malay *
http://www.riaupos.co/

Pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ oleh Sanggar Teater Mara pada 27-28 April 2012 di Anjung Seni Idrus Tintin merupakan sebuah pentas teater yang kisahnya terinspirasi dari cerita rakyat Bengkalis yang berjudul ‘’Syair Ikan Terubuk’’. Dikisahkan dalam syair yang begitu dekat dengan masyarakat Bengkalis itu, Putri Puyu-puyu menolak keinginan Ikan Terubuk untuk mendapatkan cintanya dengan alasan mereka hidup di dua alam yang berbeda. Terubuk hidup di air asin sedang Putri Puyu-puyu hidup di air tawar. Penolakan itu mengakibatkan Terubuk murka dan akhirnya membuat keputusan menyerang Putri Puyu-puyu.
Di tangan Hang Kafrawi sebagai penulis naksah sekaligus sutradara dalam pentas teater “Hikayat Puyu-puyu”, menemukan celah baru untuk dijadikan tafsiran yakni pada kata “penolakan”. Ia merumuskan bahwa penolakan dengan kesadaran akan kebenaran serta keteguhan hati adalah sebuah perjuangan yang di sini tentu saja diperuntukkan bagi kaum tertindas yang terwakili dalam pentas tersebut oleh Putri Puyu-puyu. Sedang yang berkuasa dan menindas adalah Terubuk dan pasukannya. Terubuk dengan kekuasaannya merasa bisa melakukan apa saja apalagi bila kehendaknya tak terpenuhi. Dari sinilah Hang Kafrawi meramu ceritanya.

Tentu saja sebagai sebuah karya seni yang notabene lahir dari penggambaran kembali dan pencerminan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dalam hal ini, Hang Kafrawi memotret peristiwa yang belum lama terjadi di tanah Tanjung Padang, di mana sebuah perusahaan besar ingin meluluh-lantakkan keseimbangan di pulau tersebut dengan menanam tumbuhan yang tak sesuai habitatnya, semata-mata memenuhi keperluan produksi perusahaan.

Bila disimak, bukankah ada keterkaitan erat dari kedua peristiwa antara ‘’Syair Ikan Terubuk’’ dan tragedi Tanjung Padang baru-baru ini di mana setting tempatnya sama-sama terjadi di Pulau Padang. Sama ada hal itu sebuah kebetulan belaka atau seperti yang dikemukakan Hang Kafrawi bahwa karya seni (sastra) adakalanya tak hanya jadi cerminan atas apa yang berlaku pada hari ini, tapi seringkali jadi “ramalan” untuk masa yang akan datang atau berisi gagasan yang futuristik. Lihat saja karya “Syair Ikan Terubuk” yang lahir berabad yang lalu seolah-olah menggambarkan peristiwa yang berlaku pada masa kini di tanah Tanjung Padang, meski dalam bentuk yang berbeda. Karenanya dapat pula dikatakan, Hang Kafrawi tak hanya menjadikan “Syair Ikan Terubuk” sebagai inspirasi dalam pentasnya tapi juga melakukan tafsiran ulang atas cerita rakyat Kabupaten Bengkalis tersebut.

Aspek Pemanggungan
Lalu, bagaimana berbagai perihal di atas dikemas jadi sebuah pentas teater? Seperti kita ketahui, ada banyak gagasan untuk dijadikan sandaran sebuah pentas teater dinilai baik. Misalnya dengan menimbang unsur kebenaran dari penalaran suatu situasi yang bisa diterima akal sehat. Adanya unsur kejujuran dan pementasan yang bicara artinya sebuah pentas teater hendaklah menambah wawasan terhadap diri dan orang lain, memberi arti pada kondisi manusia. Dan yang tak kalah pentingnya adalah unsur tontonan, dalam artian menarik minat, perhatian serta bisa memberi pengalaman berharga. Unsur tontonan tentu saja tak hanya bicara sebatas hiburan belaka tapi juga memberi kesempatan pada penonton untuk mengindentifikasi dirinya dengan pribadi yang berada dalam pementasan yang dapat mereka pahami, berfaedah dan menarik.

Sehubungan dengan itu, dapat pula dijelaskan aspek yang tersusun menyatu dalam batang tubuh pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Di mana pementasannya diawali musik yang ditata Ridho. Suguhan musik pembukanya cukup menarik, dengan eksplorasi atas irama-irama maulud, berdah, barzanji dan marhaban yang disenandungkan beberapa orang otomatis mengajak imajinasi penonton masuk ke ceruk wilayah Riau pesisir. Ditambah syairnya yang telah diubah-suaikan dengan syair kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ dalam pementasan tersebut. Lalu tak berapa lama, masuk semua aktor, melakukan gerakan melingkar menggunakan gerak-gerak teater tradisi Mak Yong. Memang gerakan berjalan dan menari yang melingkar dalam teater tradisi Mak Yong dilakukan pemain untuk keluar masuk panggung dalam sebuah adegan yang ditingkah gendang panjang bertalu-talu.

Yang mengejutkan setelah itu adalah pemain membentuk format pola lantai tarian dan dengan suguhan musik masa kini, mereka melakukan gerakan tari ala boys band. Terlepas apa hubungannya dengan konsep garapan, tapi setakat ini tepukan penonton yang rata-rata remaja bergemuruh menyaksikan hal itu. Memang unsur tarian begitu beragam dan cukup memberi warna dalam pementasan teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Menurut saya, itu sengaja jadi pilihan bentuk atau konsep garapannya karena secara teks, ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang ditulis Hang Kafrawi yang notabene juga seorang penyair, dialog-dialognya sarat kata-kata puitis, membincangkan peristiwa demi peristiwa menggunakan perlambangan kata-kata. Kontan saja bila tak ada upaya menjelajahi unsur-unsur pemanggungan, teks naskah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ akan jadi begitu monoton di atas pentas. Karena proses perpindahan teks ke panggung sudah tentu menjadi kerja yang lain pula di tangan seorang sutradara.

Pilihan tarian yang barangkali jadi ciri khas pementasan bagi sanggar teater Mara adalah upaya menjaga tempo pementasan agar tak jadi tontonan yang menjenuhkan. Tarian yang disuguhkan adalah bentuk-bentuk gerakan yang menggambarkan kisah atau adegan yang terjadi dalam pementasan. Artinya, gerak tari tak berdiri sendiri tapi menyatu dalam adegan-adegan pemanggungan teater, salah satu misalnya bagaimana penjelajahan gerak tari membungkus penutup pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’, yakni proses penyerangan Terubuk dan pasukannya terhadap pasukan Puyu-puyu.

Pada pemilihan tokoh dan karakter, sutradara juga memberi sebuah tawaran yang menurut saya cukup menyegarkan. Sesungguhnya kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ adalah sebuah kisah yang bertemakan tragedi. Tapi lagi-lagi saya menyaksikan ada upaya lain untuk menguatkan unsur tontonan dari pentas tersebut. Digambarkan misalnya pada beberapa karakter pemain yang menggunakan gaya bermain bangsawan atau The Great Style dan juga ada beberapa aktor yang bermain sangat santai atau kalau boleh saya katakan gaya realisme ala Melayu. Di sinilah titik terang untuk mengatakan pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ merupakan peristiwa antara tragedi dan gurau senda.

Bagaimana tidak? Beberapa aktor yang bermain dengan gaya realisme ala Melayu yang saya katakan tadi, dalam hal ini terwakili oleh peran Fahrudin sebagai Malung, Jumadi sebagai Senunggang dan Sulaiman sebagai Bawal. Mereka ini merupakan pasukan Terubuk yang bermain sangat santai tak ubah seperti keseharian orang-orang Melayu Pesisir, baik dari logat maupun bahasa tubuh. Gurau senda tak lepas dari permainan atau akting mereka tapi sesungguhnya yang sedang mereka bicarakan adalah peristiwa tragedi. Ini yang saya kira moment atau sisi ironisnya. Bukankah hal itu merupakan gambaran realita dalam keseharian kita? Betapa banyak orang-orang yang kini melakukan kesewenangan, penindasan, dan maksiat lainnya hanya sembari bergurau senda dan menganggap hal itu cuma permainan belaka? Mereka tak lagi memperhitungkan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka, dengan kesempatan dan kekuasaan yang dimiliki bahkan sambil tertawa terbekah-bekah, semuanya bisa tercapai dengan tidak bersusah payah.

Sedang di pihak Puyu-puyu, Riki yang berperan sebagai Badar dan Jamal sebagai Keli. Mereka adalah pengawal yang juga bermain dengan karakter lepas atau santai. Dalam ketakberdayaan dan kesedihan, suasana gurau senda tak lepas dari permainan mereka meski di satu sisi, Tuan Putri Puyu-puyu dalam keadaan cemas dan gundah. Barangkali ini juga menggambarkan sebuah situasi di mana tatkala manusia berada di ambang kegelisahan dan kesedihan bahkan ketidakberdayaan, gurau senda menjadi salah satu pilihan untuk menyikapinya. Namun demikian bukanlah sikap itu menunjukkan kekalahan yang mutlak tapi bergurau pada batasnya. Ketika sebagai pengawal yang kemudian dititahkan oleh pimpinannya Puyu-puyu untuk mempertahankan hak dan marwah mereka sampai ke titik darah penghabisan, kedua pengawal itu juga dengan tegas ikut menegakkan keyakinan dan kebenaran yang mereka junjung.

Selebihnya adalah karakter atau tokoh-tokoh dalam pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang mengkerucutkan pentas ini menjadi tontonan tragedi. Di antaranya Terubuk yang diperankan Deni Afriadi, Ridwan sebagai Tenggiri, Zulfa sebagai Kurau, Syarifuddin sebagai Belut, Siti Aminah sebagai Puyu-puyu dan Rosi sebagai Tapah. Dapat dikatakan, masing-masing ketokohan mereka membangun puncak atau klimak dari pementasan ini. Tapi kemudian apa yang dapat disimpulkan di akhir pementasan ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ ini adalah peran Belut yang kemudian menurut hemat saya, dialah menjadi tokoh sentral. Karena penyerangan yang dilakukan Terubuk terhadap Puyu-puyu semata-mata disebabkan sifat Belut yang bermuka dua. Bahkan ia terkesan mengadu-domba kedua belah pihak. Belutlah dalang penyerangan tersebut. Adapun pesan inilah yang saya kira merangkum dari keseluruhan pementasan sebab begitu banyak pihak atau orang-orang yang memiliki sifat seperti belut di zaman sekarang ini. Menangkap keuntungan baik berupa materi atau kepuasan batin atas penderitaan orang lain. Dia merasakan kepuasan yang tak terkira bila rencana busuknya berjalan mulus.

Demikianlah berbagai aspek pemanggungan yang diramu Hang Kafrawi dalam pentas teaternya ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Segala bentuk penjelajahan ataupun penawaran yang dihidangkan tentu saja menjadi sajian yang dinikmati penonton dengan berbagai aneka rasa, tergantung dari mana dan siapa yang mengapresiasikannya. Dan saya kira begitulah seharusnya karya seni sampai ke pangkuan penonton. Tak ada kepastian mutlak untuk mengatakan sebuah karya seni menjadi sempurna selain dari penikmatnya masing-masing yang menentukan. Setidaknya Hang Kafrawi dan kawan-kawan telah melakukan sebuah upaya memotret peristiwa keseharian dan kemudian menjadikan karya dalam bentuk komunikasi seni pada khalayak. Begitulah salah satu kerja seniman seperti yang pernah dikatakan Rendra bahwa fenomena yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat bisa diolah dan diberi ruang tafsir secara kreatif. Dengan demikian seniman bisa menunjukkan jati dirinya karena kesenian mereka yang otentik, unik serta relevan dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia. Terakhir, sebagai penonton dan penikmat teater, saya ucapkan syabas pada sanggar Teater Mara atas pementasannya. Jaya selalu teater di Riau.***

*) Jefri al Malay, Penikmat teater dan alumni AKMR Jurusan Teater. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu sekaligus mengabdi di SMA 2 Bengkalis sebagai guru. /6 Mai 2012

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita