(Membandingkan Esai Wan Anwar, Afrizal Malna dan Goenawan Mohamad)
Cepi Zaenal Arifin
cepizaenal.blogspot.com
Seperti peraturan pemerintah tentang otonomi daerah, yang menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan memberdayakan daerahnya, begitupun dengan Sastra mempunyai otonomi tersendiri yang berdiri tegak dalam wilayah dengan aturan-aturan keindahan yang menggambarkan kehidupan yang ada dalam masyarakat, begitu juga dikubu politik yang mempunyai wilayah yang mengatur keberlangsungan kehidupan bermasyatakat, berbangsa, dan bernegara yang identik dengan “simbol kekuasaan”.
Seperti layaknya daerah yang mempunyai perbatasan bedekatan selalu saja ada sengketa yang tak akan surut diterpa perubahan zaman, selalu ada dan tak akan pernah selesai. Sastra yang identik dengan seni dan kebebasan yang indah selalu menggambarkan kehidupan bermasyarakat termasuk kehidupan politik dengan campur tangan kreatif sang pengarang, sedangkan politik dianggap sebagai catur orang-orang yang haus akan kekuasaan yang membelenggu jiwa.
Sastra tidak hanya berupa karya hasil imajinatif seorang pengarang, namun sastra adalah salah satu cara menikmati peristiwa-peristiwa politik yang begitu mendominasi kehidupan kita, satra selalu hadir dengan muka yang berbeda dengan muka-muka politik, memiliki pilihan yang berbeda, pandangan berbeda, inilah yang membuat persoalan menjadi rumit, masalahnya adalah Politik yang selalu mengekang kretifitas pelaku seni pada masa revolusi maka disini sastra sebagai pemberontak terhadap kekuasaan politik, dari masa ke masa selalu terjadi pemberontakan misalnya, pada tahun 1926 perlawanan Rustam Effendi dengan novel bebasari yang mendapat kecaman dari berbagai pihak yang membaca novel tersebut. Dalam novel tersebut menggambarkan bagaimana seorang pemuda melawan belenggu orang tuanya sendiri untuk melepaskan putri Bebasari yang menyimbolkan ibu pertiwi, pemerintahan kolonial yang pada saat itu masih berada di Nusantara dengan kekuasaan penuh membelenggu setiap kreatifitas yang ada, rakyat Indonesia pada saat tu tak ada yang berani menatap keatas, apa lagi sampai mengkritik pemerintahanya, bahkan pada saat itu buku-buku yang tidak sesuai keinginan politik kolonial tidak akan mendapat izin terbit. dalam esai Afrizal Malna tidak begitu menjelaskan tentang sastra dan politik, namun lebih menonjolkan bagaimana sastra terbelenggu oleh tradisi yang dibuat oleh monopoli kekuasaan kolonial, Afrizal menggambarkan “beberapa penyair yang dalam puisinya pernah memperlibatkan semangat pemberontakan”.
Tujuan pemberontakan dalam esai “pembaca tidak memesan sastra modern” ini sebetulnya pemberontakan terhadap keterbatasan akibat terbelenggu dan mencari kemungkinan untuk perkembangan yang baru, yang menjadikan sastra indonesia menjadi lebih baik, sastra tidak selalu menyerang politik, sastra membicarakan politik karena politik yang terlebih dahulu membuat keadaan yang tidak pantas, sehingga sastra terpaksa untuk berdiri dan bersuara lantang, selain sastra memang siapa yang lebih berani menyuarakan suara rakyat kecil dengan begitu tegas, namun tetap pada aturan yang ada dalam sastra yaitu seni dan kreatifitas yang indah sehingga menarik untuk dibaca, dari pembaca ini lah sastra menumbuhkan pemberontakan terhadap kekuasaan yang kurang baik dalam pemerintahan.
Persengketaan yang lebih besar menurut saya adalah tentang manifesto kebudayaan konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para seniman dan cendikiawan Indonesia pada tahun 1963. Manifes ini bertujuan melawan momopoli dan tekanan dari golongan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Manifesto Kebudayaan juga dijuluki sebagai Manikebu. didalam Manifes Kebudayaan tersebut adalah tentang cita-cita politik nasional, lebih lengkap mengenai isi Manifes Kebudayaan sebagai berikut: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami”. dengan ditandatangani oleh para sastrawan dan cendikiawan Indonesia salah satunya adalah Goenawan Muhamad. Manifes ini tidak berjalan begitu saja, seperti suatu hal yang baru pasti menimbulkan prokontara diantara pendukung dan penolaknya, tidak lama setelah itu Presiden Sukarno melarang adanya Manifes Kebudayaan ini dengan alasan sudah ada Manifesto Politik Republik Indonesia yang telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin ada yang berdiri mendampingi Manifesto ini, selain itu para sastrawan dan cendikiawan ini menunjukan sikap yang kurang setuju dengan “Revolusi” karena revolusi dianggap menjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh partai politik pada saat kejadian besar itu terjadi. Perlawananpun menyeruak dikalangan sastrawan Manikebu. Lekra dengan pandangan realis sosialis yang mengangkat tentang kebudayaan rakyat dan pembebasan kaum tertindas, lekra layaknya boneka politik hanya sebagai alat untuk menarik perhatian rakyat agar percaya terhadap politik yang dijunjungnya. Ini akan mengancam prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan karya seni pada alat politik untuk menarik hati masyarakat.
Kita lirik esai Wan Anwar yang berjudul “menggali akar, menuju luar” memperlihatkan bagaimana superior kekuasaan orde baru yang menutup semua kemungkinan bagi sastra untuk berkembang menjadi bunga teratai yang indah, pada masa ini tidak ada yang berani yang menggoyahkan pohon beringin yang tertancap kedasar perut bumi, sastrawan pada saat itu seperti malu-malu mengungkapkan isi pikirannya, dengan bahasa yang sangat gelap mereka semata-mata ingin bersuara dan menolak belenggu yang mengikat ini, bahasa-bahasa yang digunakan sangat tidak dimengeti oleh masyarakat awan karena disana memiliki kerumitan yang dibuat agar tidak diketahui maksudnya oleh pemerintah pada saat itu.
Contoh puisi pamflet yang digunakan oleh Rendara pada masa pembangunan, saya menemukan dalam “Tempo online” tentang sekelumit sastra dan politik: “kumpulan sajak Rendra Potret Pembangunan Dalam Puisi (terbitan LSP, 1980). Dalam buku itu Rendra menulis pamflet. Pamflet bukan tabu bagi penyair, katanya. Di situ, alhasil, kita hanya menemui “sisa-sisa” kebagusan puisinya yang lama. Yang hendak ditonjolkannya adalah pesan-pesan politik. Sebagai “risalah potitik” ia tajam. Sebagai bacaan tetap punya tempat dan daya tarik kuat. Sebagai penyair Rendra nampaknya memang bukan penyair “puritan”. Setiap bentuk puritanisme mengandung ketidakbebasan. Ternasuk ketidak-bebasan untuk mengatakan sesuatu yang “jorok”, mengekspresikan sesuatu secara apa maunya. Dalam hubungan ini pamflet Rendra agaknya tak tepat hanya didekati sebagai karya sastra. Melintasi itu, ia lebih menekankan soal keterlibatannya pada masalah “pembangunan””. Yang dimaksud dengan “puritan” disini adalah orang yang hidup menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai sesuatu yang salah atau dosa. Rendra sebagai sastrawan yang bebas menugkapkan gagasan kedalam puisi sebagai respons politik yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan yang dilakukan Rendra bukanlah eksistensi kebaruan yang dirumuskan secara negatif, tetapi lebih untuk mendapatkan format realitas masa kini, begitulah yang dikatakan Afrizal pada esainya.
Sastra pada masa tahun 90-an terjebak pada permainan permainan politik dan pengaruh kapitalisme yang menjadi raksasa, dengan iklan-iklan yang memikat, para sastrawan harus bekerja keras untuk menulis dan mempertahankan sastra sebagai sastra. Bagaimana tidak, pada masa reformasi hampir semua sastrawan menulis tentang reformasi, apakah itu sastra bukan hanya sebagai catatan tentang reformasi, jauh sebelum reformasi para sastrawan bayak menulis karya-karya yang menggugat rezim yang otoriter yang memicu sengketa-sengketa antara sastra dan politik. Wan Anwar menyarankan sastra agar tidak terpaku terhadap realitas politik atau respon terhadap politik yang terjadi pada saat itu, namun Wan Anwar mengatakan: “sesungguhnya ada di daerah-daerah yang masih menyimpan kekayaan tradisi, kearifan lokal, dan sejumlah problem yang khas milik lokal-lokal itu”. Sastra monoton menyoroti kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk kepentingan rakyat, tapi juga mengakat kearifan lokal yang mungkin belum terjamah oleh karya sastra, sehingga sastra Indonesia menjadi lebih luas, tidak hanya mengungkap hal-hal basi yang ada di dalam politik seperti korupsi, nepotisme, kebijakan yang tidak relefan dengan keadaan rakyat, dan lain sebagainya.
Sastrawan seringkali terjerumus oleh pancingan politik dan akhirnya sastrawan atau seniman malah terlibat dalam aktivitas seni yang menunjukan sisi politik daripada ke arah seni keindahan yang menjadi porsi mereka, memang jika bukan sastra yang menjadi penyuara suara rakyat siapa lagi? Anggota wakil rakyat seharusnya yang tau keluh kesah rakyat, tapi semuanya hanya sebuah nama yang didalamnya tidak memiliki arti menunjukan itu wakil rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk penguasa, toh itu yang terjadi pada negara ini memang demikian, bagamana mungkin sastra tidak angkat bicara pada masalah politik yang seperti itu.
Selepas dari kejadian demi kejadian yang memperkeruh keadaan antara politik dan sastra. Sastra seakan tidak bisa membuka sayap untuk terbang tinggi mengejar sastra dunia, bahkan dianggap tidak ada karya yang menjadi aroma harum, sastra Indonesia selalu diwarnai oleh warna-warna hitam tinta politik yang bergejolak di Negeri ini.
Seharusnya bagaimana sastra lebih berwarna karena di Indonesia masih banyak yang belum terjamah oleh keindahan sastra, menaggapi politik yang selalu mengepung pikiran para sastrawan untuk menyorot sisi-sisi yang memang harus untuk disorot, memang sastra adalah sastra, dan politik adalah politik tidak mungkin ada satu titik terang yang akan mempersatuka keduanya.
Sejak lahirnya Revormasi sampai saat ini sudah tidak terdengar lagi persengketaan antara politik dan sastra, bahkan sastra seolah tak ingin lagi merespons keadaan yang terjadi dikancah politik saat ini, malah sekarang yang lebih aktif menggembor-gemborkan masalah politik adalah media masa, bahkan banyak sekali pemberitaan yang mengkritik tentang politik, apakah sastrawan seperti Rendra sudah tidak ada lagi?, jika begitu siapa yang akan berteriak lantang menyuarakan suara rakyat.
Dimasa ini orang-orang hanya menganggap sastra hanya sebagai bacaan yang ringan dan menarik untuk dibaca karena mengandung cerita-cerita seperti disinetron, banyak sekali puisi-puisi romantisme, feminisme juga makin mendominasi sastra sekarang ini, hanya saja orang-orang yang mengerti sastra tidak ada yang bergerak dalam penulisan yang mengkritik bagaimana pemerintahan yang menempatkan orang-orang miskin diselokan, seperti yang dikatakan oleh Rendra pada masa Suharto dulu, banyak sekali komunitas-komunitas yang bergerak dibidang sastra, tetapi hanya menulis karya-karya novel best saller yang bertemakan tidak jauh dari cinta, agama, dan cita-cita, memang sangat disayangkan jika manusia-manusia zaman sekarang sudah tidak peduli lagi dengan urusan politik yang mengatur mereka dalam sebuah negara yang mereka tempati ini, hanya memikirkan bagaimana bisa sarapan, bisa makan siang, dan bisa makan malam ditepi pantai, sedangkan masih banyak orang-orang yang tertindas oleh otoritas politik yang membelenggu jiwa, politik merubah ustad menjadi pemimpin partai, artis menjadi wakil gubernur dan wakil rakyat, pengusaha menjadi mentri, dan masih banyak lagi, semenarik itukah politik sekarang, sampai-sampai banyak yang memutar haluan hidupnya demi politik.
Mungkinkah sastrawan jaga ikut dengan tren yang saya sebut tren politik masa kini, dengan gaya politik korupsi tiada akhir, dunia ini seperti sudah diparodikan oleh orang-orang yang bermain peran dalam opera, tidak aneh memang jika orang-orang yang bermain opera parodi seperti ini selalu membuat lelucon yang aneh untuk sebagian orang yang tidak mengerti tentang seni pertunjukan. Yang penting bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak, melihat politik bagaikan melihat sinetron yang bisa berubah sesaat, yang tadinya lawan bisa jadi lawan, begitupen sebaliknya. Inilah pekerjaan rumah para cendikiawan dan sastrawan khususnya, untuk beranjak dan langkah kedepan menyuarakan suara-suara yang hilang setelah Rendra meninggal.
Pekerjaan besar yang dihadapi sastra Indonesia pada periode ini adalah bagaimana cara melangkah kedepan dan tidak menunggu polemik kebudayaan yang selalu membuat posisi sastra dilihat oleh khalayak, Sastra Indonesia hanya berjalan ditempat belum ada gerakan yang mampu membuat sastra Indonesia dilirik oleh Negara lain dan bahkan dibaca oleh orang-orang yang ada diluar negeri, hal ini harus dimulai dari aktivitas pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah sampai tingkat universitas, dalam segala tingkatan sastra digabungkan dengan bahasa Indonesia, baru dalam tingkatan universitas ada jurusan sastra, di kampus-kampus sastra dianggap sebagai jurusan yang mudah dibandingkan dengan jurusan-jurusan yang lain. Dalam kehidupan sehari-haripun sastra tidak lagi hangat seperti diera 6o-an.
Demikian bagaimana sengketa demi sengketa yang terjadi dalam perjalanan sastra dan politik di Indonesia, tentu saja sastra Indonesia tidak ingin berjalan ditempat yang itu-itu saja. Mungkin bila nanti politik negara ini sudah seimbang dan membuat rakyat yang berada didalamnya sudah menjadi sejahtera, setidaknya bisa melangkah satu langkah saja dari tahap ini, sastra Indonesia akan ikut melangkah beriring dengan politik yang berjalan. Sesungguhnya perkembangan sejarah sastra dunia pun mengikuti perkemabangan politik dunia, jadi sebetulnya sastra bisa berkembang jika sastrawan terhimpit oleh belenggu politik yang ada disekitar masyarakat.
Esai-esai yang saya baca mengenai sastra dan politik tidak jauh dari persengketaan, dalam esai Wan Anwar berbicara mengenai sebuah respons sekaligus kritik terhadap situasi politik pada era 90-an, serta menyarankan untuk menggali kearifan lokal yang belum terjamah para sastrawan. Sedangkan dalam esai Afrizal Malna yang berjudul “Pembaca Tidak Memesan Sastra Modern” mengenai semangat pembaruan individualis seorang Rustam Effendi yang telah dijelaskan diatas, dan dalam esai GM menyinggung Manifes Kebudayaan yang berisikan perdebatan sengit antara kubu realis sosialis (LEKRA) dengan kubu Manifes kebudayaan yang sering disebut Manikebu.
Sudah saatnya kita berjalan berdampingan saling menguntungkan, saling berjabat tangan untuk masa depan sastra dan politik bangsa Indonesia yang lebih maju dan dapat diterima oleh masyarakat disemua kalangan, ditengah pluralisme yang ada sastra harus mampu untuk diterima dimanapun.
Serang, Juni 2012
Dijumput dari: http://cepizaenal.blogspot.com/2012/06/sengketa-sastra-dan-politik.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar