Asarpin
Sastra-indonesia.com
Pada tahun 1987, Partai Komunis Vietnam menyerukan kepada para penulis dan jurnalis untuk menghilangkan kekakuan, gaya formal realisme sosialis yang telah dipaksakan kepada mereka, dan meneguhkan kembali peran mereka sebagai pemegang kontrol sosial. Dalam atmosfir keterbukaan inilah, sebagian sastrawan dan intelektual Vietnam meresponnya dengan beragam karya sastra, film, novel dan teater yang secara terang-terangan mulai melontarkan kritik atas kebijakan partai Komunis.
Salah satunya adalah Duong Thu Huong, penulis Novel Tanpa Nama (2003), dengan dengan terang-terangan mengkritik kebijakan partai Komunis Vietnam. Pada tahun 1989 para pejabat partai konservatif Vietnam tiba-tiba menghentikan seruan tersebut dan mencanangkan kembali politik “ketertiban” dan menyensor buku-buku yang dianggap tidak sepaham. Novel-novel Duong Thu Huong menjadi sasaran kemarahan rezim karena itu dilarang terbit.
Duong Thu Huong adalah sosok feminis sekaligus penulis penuh kontroversi. Melalui novel-novelnya, Huong tak henti-hentinya mengkampanyekan semangat keterbukaan dan menentang segala bentuk sensor yang dibuat oleh rezim penguasa. Novel Sorga bagi si Buta (Indonesiatera, Oktober 2004), adalah contoh novel yang secara spesifik mengkritik kebijakan-kebijakan partai Komunis yang memberlakukan kebijakan reformasi tanah yang dipaksakan kepada rakyat jelata. Mengambil setting di era 1980-an, dengan narator seorang perempuan muda Vietnam, Hang, novel ini mengalunkan kisah mencekam dan teror yang menakutkan. Sebagian besar novel ini bertempat dalam angan-angan Hang ketika ia tengah melakukan perjalanan dengan kereta api menuju Moskow untuk mengunjungi pamannya, Ho Chi Minh, seorang kader partai Komunis yang kelak menjadi musuhnya. Dari tempat kelahirannya, di sebuah desa kumuh di pinggiran sebelah utara Hanoi, Hang memulai kisah panjang tentang peristiwa revolusi, kediktatoran partai Komunis dan sikap sastrawan penganut realisme sosialis yang sering memaksakan kehendak.
Paman Chinh adalah kader yang bertanggungjawab bagi pendidikan ideologis di belahan utara kota Quang Ninh. Di mata kader partai Komunis, ideologi adalah profesi yang mulia, lebih tinggi dari segala-galanya. Guru dianggap sebagai orang terpelajar, yang menyalurkan pencerahan dan pemikiran berharga yang tak dapat dibeli dengan uang. Slogan-slogan mereka begitu elitis bagi kalangan petani dan pedagang kecil seperti ibu dan tetangga-tetangganya yang hanya butuh sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. Gerakan mogok massal, pertentangan kelas antara kapitalisme dengan komunisme, imperialisme, gerakan kaum buruh, gerakan revolusioner, Front Nasional dan sejenisnya, terdengar asing dan menakutkan bagi penduduk setempat.
Selama empat puluh lima tahun, Duong Thu Huong menyaksikan teror dan horor yang ditimbulkan oleh kampanye reformasi tanah. Kisah ini merupakan bagian permulaan yang paling besar menimbulkan kekecewaannya pada praktik pemerintah Komunis yang otoriter dan diktator. Sebagaimana digambarkan Duong, kampanye reformasi tanah (1953-1956)–yang sebagian besar terinspirasi oleh revolusi Cina yang dipimpin oleh Mao Zedong–telah memancing gelombang kekerasan: tindakan mengerikan para penduduk desa yang menggulingkan “tuan tanah” tetangga mereka, juga keluarga ayahnya, sebagian hanya karena memiliki tanah beberapa akre saja–telah ditangkap, dipermalukan dan diusir dari tanah moyangnya.
Di antara “tuan tanah” itu banyak yang merupakan penduduk desa yang baik, orang-orang yang hanya sedikit memiliki tanah, yang menghargai ladang padinya sebagai darah daging mereka sendiri, hanya dengan satu pernyataan yang kejam mereka tersingkir, terlempar dari sekadar penonton tak berdosa menjadi pihak tertuduh. Teror yang ditimbulkan oleh pengikut partai Komunis telah menelan korban ratusan ribu nyawa. Ironisnya, kampanye idologi yang hendak menghapus sistem kepemilikan pribadi, ternyata diikuti oleh hasrat menumpuk kekayaan dari kaum elit partai. Sebagian lainnya mengambil keuntungan dibalik kesempitan mereka yang terguling. Karena itu, slogan-slogan “demi perbaikan ekonomi kaum proletar”, “tuan tanah musuh abadi kaum tani”, “hidup proletariat”, “gayang para borjuis” , “kepalkan tangan” adalah slogan-slogan yang terdengar klise dan kehilangan daya sihirnya.
Absurdnya reformasi tanah dan kampanye ideologi patai Komunis telah menimbulkan berbagai dampak psikologis yang patal bagi penduduk setempat. Bagi Duong Thu Huong, yang berasal dari keluarga kelas pekerja dan sempat menjadi anggota partai Komunis itu sendiri, Vietnam menjadi negeri yang dilanda rasa takut yang mencekam, dimana darah seorang telah berubah menjadi putih lantaran perang yang berkepanjangan, sempoyongan di jurang kelaparan, dan tiba-tiba harus mempertahankan diri mereka melawan pemimpin mereka sendiri. Huong dengan lantang mengutip teriakan-teriakan dan khotbah-khotbah para kader partai Komunis dengan penuh semangat. Ada sikap marah, kecewa dan terkadang terdengar putus asa menghadapi orang-orang yang menghamba pada sebuah ideologi licik dan pengecut yang menghalalkan segala cara. Itulah sikap yang ditunjukkan oleh paman Chinh yang ternyata tak kalah rakusnya dari kaum elit borjuis lainnya, hidup dan tinggal di rumah mewah di atas penderitaan orang lain.
Ketika pemerintahan Viet Minh mulai mendengar kritik dan teror yang disebabkan oleh kampanye-kampanye partai Komunis yang dianutnya, dia mengumumkan permintaan maaf, mengakui bahwa reformasi tanah adalah sebuah “kesalahan” dan mengelompokkan para petani kembali melalui kampanye “Perbaikan Kesalahan”. Mereka yang selamat dari kamp buruh dikirim kembali ke desa mereka di bawah perintah untuk “memaafkan dan melupakan”. Dengan ketajaman nalurinya, ajakan untuk memafkan kesalahan dari rezim yang berkuasa tetap belum mampu melupakan ingatan akan betapa pedih masa lalu keluarganya . Meski secara de facto, hidup yang dialami Huong jauh lebih bebas dari tahun-tahun ketika perang dan pertentangan ideologi dirayakan, kenyataan pahit tetap menjadi memori kolektif yang sulit dilupakan. Duong Thu Huong dan kisah dalam novel ini, betapa pun pedih pada awalnya, ia tetap menjadi ikon bagi pejuang hak asasi manusia di Vietnam. Huong adalah seorang feminis yang terluka oleh perang dan pertentangan ideologi yang tak kenal menyerah. Kejujuran dan keberaniannya, tak jarang menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rezim yang sedang berkuasa. Novel-novel Huong menjadi saksi sejarah betapa ideologi dan politik tak selamanya bisa diserbatunggalkan.
Hingga saat ini, ada tiga novel karya Duong Thu Huong yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia; Novel Tanpa Nama (2003), mengisahkan gambaran yang liris dan subtil tentang orang-orang ‘tanpa nama’ dalam perang berabad-abad dan tanpa akhir di Vietnam. Novel Sorga bagi si Buta (2004) dan Menembus Mimpi Hampa (2004), mengisahkan perjalanan pahit dua orang perempuan yang hidup di tengah-tengah huru-hara perang dan pertentangan ideologi politik yang berlarut-larut. Juga penderitaan sebagian perempuan Vietnam dalam menghadapi dominasi ideologi patriarkal yang meletakkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki, menjadi sisipan kisah indah sekaligus menggugah.
Buku Novel Tanpa Nama konon mendapat sambutan luar biasa di Vietnam. Namun, di sini, novel yang diterbitkan hampir dua tahun lalu, dengan mudah masih kita temukan di rak-rak toko buku. Novel Sorga bagi si Buta dalam versi Inggrisnya, konon terjual 40. 000 eksemplar. Novel Menembus Mimpi Hampa dalam waktu yang tak sampai dua pekan, sudah habis terjual 60. 000 eksemplar. Sebuah prestasi yang gemilang yang jarang ditemukan di negeri ini. Betapa pun indah dan kuat pesan moral yang ditawarkan Duong Thu Huong dalam novel-novel terjemahan ini, dari segi tematis, tak ada yang baru. Tema pertentangan kelas dan ideologi Komunisme sudah banyak digarap oleh para sastrawan, politikus dan kaum cerdik-cendikia lainnya. Sekedar menyebut beberapa contoh, buku Milovan Djilas (The New Class), adalah buku debutan yang meramalkan komunisme akan hancur karena ia mengabdi kepada kepentingan kelas pelaksana (aparatchik), terbukti sudah. Czeslaw Milosz (The Captive Mind), penulis Polandia ini mendeskripsikan hilangnya kebebasan bangsa dan manusia Polandia. Maka menurutnya, betapa nyeri proses penyesuaian diri para intelektual dan seniman terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur, yang jatuh ke dalam orbit kekuasaan Uni Soviet setelah Perang Dunia. Padahal negara-negara Eropa Timur itu dulunya adalah bangsa-bangsa yang bebas, dan nasionalisme mereka sendiri yang kuat dan teguh seperti Polandia,, Hongaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Buku dalam tema yang sama, namun terhitung masih baru, adalah novel Arundhaty Roy (The God of Small Things), sebuah novel debutan yang sempat heboh lantaran kritiknya atas partai Komunis India.
Pengamatan Djilas, Milosz dan Arundhaty Roy sebenarnya sudah didahului oleh sebuah pandangan lain dari Antonio Gramsci, seorang teoritikus komunis Italia yang meninggal dunia tahun 1927. Ia mengajukan kritik pedas kepada gerakan komunis waktu itu, yang telah kehilangan pesonanya lantaran mencampakkan spiritualitas dan wajah kemanusiaan. Namun konteks dan sudut pandang yang berbeda, membuat tema semacam ini tetap layak diapresiasi dan menarik untuk terus didiskusikan, menjadi bahan refleksi betapa bahayanya ideologi yang menghamba pada kepentingan kelas.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2011/10/feminis-yang-terluka-oleh-komunis/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar