Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/
Seminggu yang lalu, setelah lelah dari pagi sampai sore kerja di bengkel, saya langsung pulang. Biasanya saya jalan-jalan dulu sebelum pulang. Ya, hari itu memang diharuskan saya segera pulang, karena hari itu di rumah ada acara genduri setahun Yudistira, anak laki-laki saya yang kecil. Sampai di rumah, saya melihat ada paket di meja belajar saya, kiriman dari saudari saya yang bekerja di Hongkong.
Seusai acara genduri saya membukanya, berisi buku berjudul “Jejak Mata Pena”, yang memuat kumpulan puisi karyanya dan kawan-kawannya sesama pekerja di Hongkong, saudari-saudari saya juga. Buku setebal 172 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Abatasa, Pekalongan-Jateng pada bulan April kemarin. Buku itu memuat 102 judul puisi yang terbagi atas 6 tema yang digarap bersama oleh delapan putri Kemboja. Sedari itu “Jejak Mata Pena”, menemani kemanapun saya dan menghibur saya di sela kepusingan meneliti Karya WS Rendra. Kadang saya jadi tersesat sehingga tidak dapat keluar dari buku itu untuk kembali ke note-book karena terlalu asik membacanya.
Sungguh indah para putri Kemboja menyusun tiap larik kata, semua tema yang disuguhkan menarik dan sungguh menggoda ingin untuk menulis dan mengatakan ketertarikan saya dengan memberikan apresiasi dengan cara dan pemahaman saya. Namun karena terbatasnya waktu, dalam kebingungan saya memilih mau menulis tentang yang mana, saya akhirnya memilih mengapresiasi dengan tema “Suara Hati Rakyat”, karena ada satu hal yang lebih saya kagumi. Pada tema tersebut mereka, para putri Kemboja, di tengah kesibukannya bekerja, masih sempat menulis, menyuarakan hatinya, suara-suara hati rakyat, yang itu sungguh menunjukkan keperdulian mereka pada Bumi Pancasila. Saya dapat mengira-ngira betapa sibuk mereka bekerja, dan hanya menulis itu hiburan mereka, yang tentunya dilakukan dengan mencuri-curi waktu dari majikannya, sebab dari cerita seorang saudari di sana, majikan ada yang tidak memperkenankan mereka memakai HP, sehingga mereka terpaksa menyembunnyikan HP.
Memang ada juga majikan yang memberikan kemudahan, memperbolehkan pakai HP bahkan memakai laptop, selama dapat mengatur waktu dan tidak mengganggu pekerjaan. Saya dapat membayangkan betapa susah perjuangan hidup mereka di sana. Seorang menceritakan pada saya kalau pagi dia cuma cuci muka, mandi sehari sekali, itu pun mandi tengah malam sambil membersihkan kamar mandi seusai majikannya mandi. Ya karena katanya di sana susah air, air mahal. Tidur mereka di sana pun susah, tak ada kamar kusus buat mereka, memang disediakan dipan sederhana, tapi tempatnya di ruang tamu, maklum karena di sana rumah kecil-kecil karena sempitnya tanah, itu pun di apartemen. Bahkan dari salah satu puisi di dalam buku “Jejak Mata Pena”, saya melihat ketika “Babu Mencubit Presiden”, dan menanyakan pada Presidenya, apakah akan tega jika anak yang di sayanginnya tidur di sudut ruangan, berbantal sapu dan berselimut kain pel. Oh, sungguh memilukan perjuangan mereka, namun mereka iklas melakukannya untuk orang-orang yang disayanginya di kampung halaman, untuk masa depan.
Satu hal yang menggelitik saya, mereka saja yang jauh di sana, yang seakan terpenjara, masih dapat menyuarakan suara hatinya, suara hati rakyat? Bagaimana dengan kita yang bebas di negeri yang katanya telah merdeka sejak tahun 45? Tidakkah kita juga bisa memiliki kepedulian seperti mereka? Apakah pemimpin negeri ini perduli pada mereka? Pada suara mereka? Dan tidak cuma sibuk menghitung devisa.
Saya mendengar. Minggu, 20 Mei nanti, buku tersebut akan diloncing di Victoria, sebuah taman di Hongkong. Louncing tersebut di-isi dengan bincang-bincang sastra dan baca puisi. Ah sungguh menarik sekali, dapat bertemu para pejuang dan penyair, dapat mendengar penuturan proses kreatifnya dalam menulis, dapat menjabat tangan mereka yang halus, melihat wajahnya yang cantik-cantik dan senyumnya yang sumringah. Mungkin jika saya ada di sana saya juga akan berpartisipasi membacakan dua atau tiga judul puisi, memberikan komentar sederhana, kemudian meminta tanda tangan dan foto bersama. Sayang terlalu mahal bagi jazad seorang kuli untuk menjangkau Victoria, untuk menjangkau jemari para putri Kemboja yang suci. Ya mungkin suara saya dapat menjangkau pesta mereka, setidaknya tulisan saya ini dapat menjangkau kesucian hati mereka, sebagaimana suara hati mereka telah menjangkau jiwa saya dan sebagaimana pena mereka telah meninggalkan jejak di hati saya.
Mungkin baiknya saya tidak terlalu ngelantur kemana-mana, sudah hampir dua halaman saya cuma berkelakar, padahal 17 suara hati rakyat harus saya baca dan ceritakan ulang dengan gaya bahasa saya. Tuhan menciptakan segalanya berpasangan, siang-malam, matahai-bulan, lelaki-perempuan, demikian pula baik-buruk. Dari 17 judul yang ada pada suara hati rakyat, jika kita mencari kekurangan, pasti ditemukan kekurangan itu entah sekecil apa, tapi bukankah kita hendaknya memandang orang lain dari segi positifnya, bukan dari negatifnya saja? Toh kesempurnaan hanya milik-Nya. Ya mungkin kekurangan itu juga harus dikatakan, tetapi bukan untuk menjatuhkan, melainkan memberikan masukan untuk periode yang akan datang agar dapat lebih baik. Ah rupanya dua halaman A4 sepasi 1,5 Timesnewroman 12, telah benar-benar saya habiskan cuma untuk berkelakar, ya semoga tidak menjadikan bosan membaca tulisan saya ini, seperti saya juga tidak pernah bosan membaca karya kalian.
17 suara hati rakyat itu dimulai pada halaman 71, cukup unik dan filosofis. Apakah jumlah 17 itu merupakan simbol kemerdekaan sebagaimana negara Pancasila merdeka pada angka 17, simbol ketaatan sebagaimana jumlah rekaat dalam sehari semalam yang wajib kita tunaikan. Apakah angka 71 merupakan pernyatan bahwa mereka bertujuan satu. Sungguh indah dan tentu hal itu sudah dirancang dengan mapan. Ah, mari melangkah saja membaca surat pertama, surat pada Presiden yang ditulis Rahma. Di sana dia mengatakan dia bukan srigala rimba yang mencari mangsa, dia tidak se-elok kepala kelinci, juga bukan peri, dia hanya kucing rumahan, hanya babu, hanya marmut kecil tapi tidak takut mengingatkan Presidennya agar melihat berapa jumlah TKI yang mati digantung dan menderita disiksa, agar tidak hanya menghitung devisa, agar mau melakukan pembelaan. Pada halaman kedua Rahma mengajak berjuang untuk merebut keadilan dari para manusia bertopeng, manusia bertopeng tentunya adalah para pemimpin yang berkedok baik, mengatakan bermaksud baik, tapi untuk memudahkan dirinya sendiri menumpuk kekayaan.
Pada halaman 73, saya melihat Luluk mendengar rintihan kelam dari lorong sepi di ruang tunggu yang berkata ”Aku adalah sampah, najis dan tiada guna”, kemudian Luluk mencari tahu dan bertanya, siapakah itu? (Mungkin itu adalah aku dan dia Luk!). Di halaman 73 Luluk melihat genduri di ruang diskusi, dan menanyakan apa yang terjadi? Ah kurasa kau tahu pa yang terjadi Luk!. He he he, kritik pedas pada bapak DPR yang tidur, yang melamun saat sidang. Pada halaman 75, Luluk melihat tumbal kedudukan? Ah, memang harus ada tumbal Luk! Harus ada korban, sayangnya yang jadi korban anak-anak kecil, rakyat kecil dan para pemimpin telah lupa ketika mereka mengais suara dari tempat-tempat kumuh untuk mendapatkan kedudukannya (seperti yang kau katakan).
Pada halaman 77, saya melihat bagaimana para pahlawan devisa menggenggam erat sekeping rasa dan jiwanya yang gersang berkelana, sementara para serigala negeri mencari kepuasannya sendiri, kenyang perutnya sendiri, lidah meraka basi, cuma obral janji. Dan, pada halaman 76, Asrti mengatakan tentang kobar kebebasan, bahwa pada bulan Desember telah berpulang Sondang Hutagalung, mengharumkan nama bangsa, tetapi para pemimpin negeri sibuk menghitung aset. Sayangnya saya belum sempat mencari tahu siapa sondang Hutagalung, dan lupa peristiwa yang terjadi di Jakarta akhir tahun lalu. Pada halaman 79 saya melihat penderitaan Yulia yang demi meraup dolar, mendapatkan cacian dari majikan setiap hari, tapi dia rela demi pelita jiwanya. Pada halaman 80, Yulia menceritakan tentang negeri badut, yang dipimpin badut-badut berdasi, negeri dagelan-negeri fantasi, dimanakah negeri itu? Tentu di negeri yang pemimpinnya hanya mengobral janji.
Pada halaman 81, Adhe memberikan kritikan pada pengadilan yang dapat direkayasa dengan uang, ketika penguasa yang bersalah hukumannya tak seberapa, tapi ketika rakyat kecil yang bersalah hukumannya melimpah. Adhe menuntut pada pemerintah agar menghentikan pembangunan gedung bertingkat tanpa manfaat, saya ingat Desember tahun lalu, pemerintah sibuk memikirkan pembangunan toilet gedung dewan. Adhe mengingatkan bahwa pembangunan jalan lebih penting, gedung sekolah lebih penting, banyak sarana dan prasarana lain yang rusak karena bencana bertubi-tubi di negeri ini, mulai Merapi, Mentawai, Gempa bumi dan sunami. Adhe menuntut pembangunan jalan, jembatan dan sekolah, agar dapat kesekolah lancar, agar anak-anak dapat pintar, sebab anak-anakk yang akan meneruskan perjuangan bangsa.
Pada halamman 84, Lintang mencubit Presiden, sebelunya dia mencubit dengan puisi, kemudian mencubit dengan aksara yang ditulis di selembar tisu dapur. Dia menceritakan bahwa para BMI rela meninggalkan anak, suami dan orang tua dan sebaliknya untuk masa depan, terakhir dia ingin melanjutkan luahan hatinya, tapi dia masih mau mengelap panci dan wajan, agar besok dapat memasak untuk majikan yang memberi makan, makan untuknya dan keluarganya di kampung. Pada halaman 85, Lintang menyuruh melihat dan mendengarkan teriakannya yang siap mencabik kebohongan, dan jika masih saja berdusta dia akan meninggalkan bisa demi membela nasib. Mengingatkan pemimpin agar berlaku jujur, juga mengingatkan para pembaca berlaku jujur. Ya, tak baik menyimpan dusta, kejujuran harus dikatakan walau menyakitkan, kita harus berkata jujur walau harus hancur.
Pada halaman 87, Lentera mengatakan kemarahannya melihat keserakahan para pemimpin, Lentara menanyakan: dimana mata para pemimpin? Tidakkah melihat rakyat sekarat dan melarat, sementara mereka cuma duduk manis ketika rapat. Dan pada halaman 88, Lentera mengawali suratnya dengan menceritakan dirinya yang mencari rezeki jauh dari keluarga, tapi para penguasa bagaikan lintah yang terus menghisap darah rakyat tak perduli rakyat semakin terkapar dan lapar. Kemudian menanyakan dimana nurani mereka? Dan Lintang mengingatkan bahwa kelak semua akan diperhitungkan dan mendapat balasan.
Pada halaman 89, Mei menulis surat untuk tuan budiman, yang berbaju mewah dan berdasi, tinggal di rumah mewah, bermobil mewah dan uangnya melimpah yang itu didapat dari menguras keringat rakyat, kemudian Mei mengingatkan pada janji mereka, bahwa mereka adalah pemimpinnya, penghulu birokrasi dan penentu nasib rakyat, kemudian Mei menanyakan tentang kehormatan bangsa yang dihina bangsa lain. Lalu mengajak bekerjasama agar dapat terlaksana apa yang diamanahkan. Dan terakhir berpesan agar tidak membiarkan hati bersifat jahanam. Ya, semoga hati pemimpin kita tidak jahanam dan hati kita juga tak jahanam, sebab jahanam tinggalnya kelak di neraka jahanam. Pada halaman 91, halaman terakhir dari suara hati rakyat, Mei menuliskan suara rakyat, mengingatkan pada para penjilat harta negeri bahwa kelak akan datang karma.
Demikan apa yang dapat saya baca, saya mengerti dan saya raba secara sederhana. Dan sebuah karya yang berkualitas adalah karya yang meskipun berulang kali di baca, di kaji akan di dapatkan temuan-temuan baru. Karya-karya pada Jejak Pena menyediakan berbagaimacam tema dan hal lain untuk dikaji, baik dari segi struktural maupun isi. Dari gaya bahasa, rima, citraan, religiusitas, nilai-nilai agama, nilai pendidikan, cinta kasih, pemberontakan dan sebagainya. Terakhir saya katakan bahwa saya membenarkan bahwa penulis pada Jejak Pena Telah berhasil menulis sebagaimana hal yang saya tahu: penulis akan menulis dengan hal yang tidak jauh dari dirinya, mereka dekat dengan lap dan panci maka hal itulah yang mereka jadikan sebagai diksi. Dan mereka telah berhasil menyuarakan suara hatinya, suara rakyat, suara untuk para pemimpin, untuk keluarga, untuk orang-orang tercinta juga untuk masyarakat, agar dapat diambil hikmah, pelajaran dan manfaat.
Dengan membaca Jejak Mata Pena karya para puteri Kemboja, kita juga dapat banyak tahu dan merasakan penderitaan yang mereka rasakan, menjadikan kita dapat semakin mendewasakan pikir dan lebih arif serta bijak dalam meniti jalan kehidupan yang kita pijak. Mohon maaf atas kesalahan, baik penulisan, maupun penafsiran. Lima halaman telah saya habiskan. Terakhir, izinkan saya memetik dari hal yang ada pada pena. “di negeri badut, tak kan pernah terhenti tarian mata pena selaras retas harap wujudkan asa sebab api itu masih menyala, dan terus menyala”. Sukses buat Jejak Mata Pena. Salam sastra budaya.
Surabaya, 18 Mei 2012
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar