01/04/12

Esensi Puisi Pagar Kenyataan

Khrisna Pabichara
Jurnal Bogor,06/09/2009, Harian Fajar 27/09/2009

KAMI tahu kami makhluk yang kekal. Kami hanya lupa di mana menaruh kunci pagar. Demikian pernyataan TS Pinang—sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya—dalam sajak Kekal (h. 51).

Jika Chairil Anwar menyebut dirinya sebagai “binatang jalang” yang ingin hidup seribu tahun lagi, maka TS Pinang menisbahkan diri sebagai makhluk kekal. Hanya saja, kekekalan itu terhambat oleh dua hal, kunci dan pagar. Jika pagar adalah sekat nilai guna baginya, maka kunci merupakan ruang lapang untuk memanfaatkan nilai guna itu. Dengan demikian, pagar lebih daripada sekadar yang dapat kita pandang sebagai pembatas, seperti kunci yang semestinya berfungsi tidak sebagai pembuka-penutup belaka.

Kunci dan kami, simbol yang digunakan penyair, berfungsi sebagai pemampat jarak, semisal kejauhan dan kedekatan. Sebutan “Kami” mengandung muatan “kita”, dengan “aku” dan “dia” di dalamnya. Bahkan, boleh jadi, “kamu”. Sebutan kami tidak berciri personal, melainkan kolektif. Menyangkut jarak antara kelompok dan kelompok: antara mereka dan kami. kami membuka gerbang langit dengan anak kunci yang kami tempa dari bijih cinta. kami berdoa dengan secawan air tanah dan daun sirih, lalu kami saling menyapa. di depan pintu ini kami membaca salam di ambang gerbang, semoga semua makhluk berbahagia, dan semoga anak-anak kami sehat sentosa (Sajak “Kunci”, 14). Tafsir kita terhadap “gerbang langit” bakal beragam, namun keragaman itu tetap menggunakan kunci yang sama, kunci tempaan “bijih cinta”.

“Kami” adalah rumah atau tubuh ego dengan ruang-ruang lapang, yang tidak secara gamblang menghadirkan koherensi yang mudah dikenali. Kami, baik dalam Kunci, maupun sajak lainnya, menjadi narasi yang bersifat sangat prosaik dengan tidak menaruh “penderitaan” ke kedalaman maknanya. Melainkan, meminjam istilah Sartre, terinspirasi oleh penderitaan-penderitaan dan harapan-harapan itu. Dari penderitaan dan harapan itulah TS Pinang membangun rumah sajaknya.

Sebanyak 62 sajak dalam antologi ini merupakan ajakan sistemis yang mampu membangkitkan hasrat berpikir kita. Begitu penyair “amatir” kelahiran Pati ini membuka antologinya dengan sajak Sumur, kita langsung dijamu dengan sajian khas: ayo kita lihat realitas kehidupan. kami masih bercakap panjang dengan timba dan tambang, hingga lupa berapa kali kami telah pergi dan pulang (h. 1).

Ia juga menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal penting dalam hidup, seperti hak asasi, atau hak milik pribadi. Pergumulan itu disampaikannya lewat tampilan arsitektural yang menarik, kombinasi cantik antara sajak, kritik, dan filsafat. Pergumulan pikiran yang bisa menjebak kita ke dalam semesta yang penuh tanda tanya, terutama tentang realitas. Coba kita simak: lalu kami akan segera pulang ke kampung tempat kami berladang. membawa mentari kembali, ke negeri yang lama kehilangan siang(Sajak Arkade, 7).

Kampung dan ladang langsung menguak kesadaran kita tentang negara agraris, Indonesia, namun terhentak ketika tiba pada negeri yang lama kehilangan siang. Bagaimana rasanya negeri tanpa matahari, tanpa siang? Pasti gelap, karena terus diselubungi malam. Ini alegori. Semacam simile, bahkan sindiran telak, tentang rebaknya pengangguran di negeri ini.

Menarik membaca pandangan penyair tentang negerinya. selamat datang di negeri kami. di sinilah asal mula senyuman dan tangis, ditemukan oleh seorang penyair fakir dalam singgah kembaranya. di sini kami menanam biji tawa dan air mata, lalu menjualnya sebagai hasil bumi ke negeri tetangga (Sajak Jendela, 9).

Negeri rempah-rempah yang tenar karena kesuburan tanahnya dan keragaman hayatinya, ternyata hanya mampu mengekspor tenaga kerja murah ke negeri-negeri tetangga, kemudian mendapat perlakuan “tak senonoh” dari majikan tempat “kami” (TKI) bekerja. “Kami” dikirim ke Malaysia, Timur Tengah, Asia Timur, kemudian “kami” pulang dengan tubuh babak belur dan gaji yang dikebiri. “Kami” menghasilkan banyak devisa, tapi kami kehilangan banyak “hak asasi”. Tetap saja, kami akan pulang, ke negeri ini: ke sana pula kau pulang, kelak di akhir hayat(Sajak Kakus, 11).

Arsitek jebolan UGM ini memiliki nyali berlebih untuk menerabas batas-batas, melanggar tabu-menabu, dan membangkitkan gairah berkehendak yang selama berkurun-kurun tertimbun dalam timbunan mental “inlander”, tidak percaya diri, laksana katak yang terperangkap di bawah tempurung. kami tak secerdas yang kami inginkan, tapi pustaka kami memang bukan untuk mencerdaskan, cukuplah asal membuat kami takut tuhan (Sajak Bibliotek, 13).

Buku baginya, juga alam semesta, tidak berfungsi lebih banyak dalam mengayakan wawasan, malah lebih sering memaksanya berputar pada labirin doktrin: ajakan untuk takut pada tuhan. Lantas, jika “kami” takut pada tuhan, kepada siapa “kami” bisa berteman? Kepada setan?

Masih di sajak yang sama, penyair menohok kita dengan santun: kami tidur dan bercinta di atas buku-buku, majalah kaum lelaki, juga kamasutra versi playboy. “Kamasutra” dan “playboy” yang lazim digunakan sebagai simbol erotik atau panduan strategi perang di atas ranjang, dialih-fungsikan menjadi pengamsalan untuk melabrak penabuan seks, sesuatu yang hanya bisa diobrolkan di ruang sempit tempat tidur, yang cukup dipraktekkan saja, tanpa perlu dibincangkan, apalagi diseminarkan.

Selain itu, seperti dicatat dalam sajak Lampu (h. 16), penyair merancang sajaknya secara guyon dengan kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan: lampu di bilik kami suka mati sendiri, lalu hidup lagi. sebentar, lalu mati lagi. kami memang bukan penggemar api, tapi masih sering terpana oleh lampu kami yang agak sakti: hidup mati sendiri. lampu kami tak lagi patuh pada sakelar atau sekering. mungkin ia sedang mencoba makar, atau cuma humor yang garing. Sajak ini, mengingatkan kita pada kinerja PLN.

Sekarang, coba kita simak. kami menggoreng menumis. menggoreng menumis rempah amarah, merica cinta, bumbu cemburu: gairah yang memburu. begitulah kami memasak pagi, siang, malam, dengan api yang kecil atau besar, dengan nyala yang jinak atau liar. begitulah kami memasak pagi, siang, malam (Sajak Memasak, 57).

Juga, kami berpuasa dari sukacita, kami berpantang tertawa. kami membangun mimpi dari rasa cemas dan rasa takut yang akut. kami berpuasa agar kuat menanggung semua rasa air mata (Sajak Merebus Kesedihan, 36).

Setiap pergeseran waktu, kita dihadapkan pada banyak rintangan dan ketegangan, juga kemalangan. Kita selalu ingin beristirahat dari sergapan rintangan, ketegangan, atau kemalangan itu. Namun, jika itu terjadi, kita malah diburu-buru kebosanan. Maka, tidak heran jika Blaise Pascal (1623-1663) menyatakan bahwa kebesaran manusia adalah karena mengetahui dirinya malang. Segala rintangan-ketegangan-kemalangan-kebosanan itulah yang memproduksi kecemasan dan ketakutan. Sehingga, ada saat-saat di mana bertahan hidup saja sudah merupakan tindakan yang berani.

Bagi TS Pinang, sajak bukan semata membagus-baguskan bahasa dan makna. Sajak tidak hanya merintis jalan penemuan kosakata untuk mewakili kenyataan. Ada nilai lebih yang diburunya. Sajak harus rela merayakan penamaan dan penandaan pergerakan semesta. Segala bentuk pagar yang selama berkurun-kurun telah menyempitkan makna dan keberadaan sajak, harus selekasnya dibuka selebar-lebarnya, agar ia dapat dimasuki oleh sebanyak-banyaknya “kaum sajak”.

Memang, pendapat ini sangat terbuka untuk kita perdebatkan. Stéphane Mallarmé, misalnya, menegaskan bahwa puisi diracik dari bahasa, bukan gagasan. Bagi Mallarmé, puisi adalah soal bahasa dan bukan sesuatu yang diwakilinya, entah itu gagasan tentang dunia, narasi, ataupun ekspresi perasaan. Karena itu, sergah Mallarmé, bahasa puitis membangun dunianya sendiri.

Namun, bagi banyak orang, bahasa menjadi medium penyingkapan, sekaligus penyampaian. Bahasa adalah “sangkar kenyataan”, dan tugas penyair adalah merawat “sangkar-sangkar kenyataan” itu. Maka, tidaklah berlebihan jika banyak orang mengamini, bahwa puisi merupakan sesuatu yang membuat manusia menemukan dunia penghayatan semiotisnya untuk bertahan hidup. Selain itu, dunia puisi menjadi medium penyingkapan kenyataan. Atau, “pagar kenyataan”.

Itulah yang dilakoni TS Pinang. ternyata, siapa saja yang terbang dalam puisi, tak pernah turun kembali (Sajak Terbang, 61). Setiap kali ia berlari menjauh dari puisi, semakin dekat ia pada “maqam-kepenyairannya”.

Ia, juga kita, tidak bisa mengingkari puisi, itulah kuncinya. (*)

Dijumput dari: http://resensikhrisna.blogspot.com/2010/04/esensi-puisi-pagar-kenyataan.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita