Abu Salman
http://dunia-awie.blogspot.com/
Dulu, mungkin sekitar delapan atau tujuh tahun yang lalu, saya masih teringat betapa saya merasa seperti membaca sebuah narasi yang memprovokasi batin saya ketika menikmati “Panggil Aku Kartini Saja” nya Pramoedya Ananta Toer (PAT), meskipun bukan sebuah provokasi, hanya batin saya saja yang mudah terpengaruh dan tidak dapat menahan gemuruh dan geram di dada hingga akhirnya seperti terdengar terikan yang tertahan “kejam!!”
Barangkali bagi saya pribadi adalah salah apa yang dikatakan bahwa “One man death is a tragedy, but million death is a statistic” (Nikita Khruschev). Justru pada paragraph-paragraf “data-data statistik” itulah yang membuat saya tak henti-henti berpikir ketika itu, saat membaca angka-angka statistic yang dinarasikan oleh PAT dalam karyanya tersebut, yaitu angka-angka jumlah penduduk pulau Jawa semasa zaman colonial Belanda saat menerapkan culture stelsel atau tanam paksa.
Betapa untuk membangun negeri Dam(ed) harus dengan menggunakan tidak hanya kekayaan nusantara, namun juga darah dan air mata manusia di bumi nusantara. Seperti tercermin dari data-data yang disajikan dalam karya tersebut yang dari waktu ke waktu mengalami penurunan drastis saat sebelum sampai dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa. Akibat kebijakan tak manusiawi dari colonial Belanda tersebut banyak rakyat yang meninggal baik akibat didera kelaparan karena tanah para penduduk harus ditanami dengan tanaman yang ditetapkan oleh Belanda sehingga tidak dapat bercocok tanam tanaman pangan sesuai kebutuhan mereka.
Dengan membaca saja rasanya saya seperti memikul beban sejarah yang memilukan dan menyesakkan dada. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana bila saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri jejak-jejak kemewahan dan kemegahan yang dibangun dari keringat darah rakyat Indonesia ditempat sumber keserakahan itu berasal.
Apalagi bagi seorang penyair yang katanya berhati peka ketika menyaksikan jejak sejarah yang pernah membuat bangsanya menderita selama beberapa abad.
Lalu bagaimanakah seorang D. Zawawi Imron menyikapi momen tersebut. Yaitu momen ketika sang penyair asal Madura tersebut berinteraksi langsung dengan alam dan generasi keturunan orang-orang dari bangsa yang pernah menyengsarakan bangsanya.
Refleksi itulah yang diungkapkan penyair yang terkenal dengan sebutan Celurit Emas dalam sebuah buku kumpulan puisi bertajuk “Refrein di Sudut Dam”. Sebuah buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, Juni 2003 yang terdiri dari XIV + 104 halaman, memuat 101 sajak.
Sebagaimana yang dikemukakan sang penyair dalam pengantarnya bahwa terciptanya sajak-sajak dalam buku kumpulan puisi ini merupakan salah satu hasil dari memenuhi undangan pembacaan puisi dalam festival Winternachten, sebuah festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag. Tanpa menghadiri acara tersebut, maka puisi-puisi dalam buku ini tidak akan pernah lahir.
Sang penyair tak sendiri dalam menghadiri undangan acara tersebut. Bersama sejawat sastrawan/penyair lain seperti: Joko Pinurbo, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Secara bersama-sama mereka berangkat ke Den Haag menghadiri festival Winternachten sebuah festival sastra dan seni musim dingin berpusat di Den Haag yang bertaraf internasional tersebut..
Menyebut nama Festival Winternachten, saya jadi teringat sebuah catatan dari penyair/esseis Yogyakarta, Saut Situmorang dalam esainya/artikelnya di mailing list yang “memprotes” kehadiran orang-orang dari kelompok tertentu saja yang mewakili sastrawan Indonesia menghadiri festival tersebut atau festival internasional lainnya.
Bagi D. Zawawi Imron puisi merupakan sesuatu yang digunakan sebagai proses pembelajarannya dalam menyelami jiwa kemanusian dan ayat-ayat Tuhan, maka tak heran banyak sajak-sajaknya yang bernuansa religius atau pembacaan atas sikap batinnya sendiri. Puisi bagi sang penyair tersebut juga merupakan salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrabi semangat hidup.
Diawali dengan sebuah sajak bertajuk ”Jakarta – Amsterdam, 10 Januari 2002” seolah-olah membuka karya ini dengan sebuah sikap kepasrahan kepada Tuhan, kepasrahan atas permainan pikiran yang diusik oleh berbagai kekhawatiran yang dipicu oleh berbagai peristiwa kehidupan yang didengar atau dilihat atau dialami oleh sang penyair.
Pesawat pun melesat
Menuju entah berentah
Tapi di atas segala entah
Ada pangkuan keabadian
Menilik dari judul sajak tersebut yang tidak jauh waktunya dengan peristiwa 11 September 2001 saat dihancurkannya Menara WTC di Amerika oleh para teroris yang dipimpin oleh Osamah bin Ladin dengan membajak dua buah pesawat, maka saja tersebut merupakan bentuk rasa khawatir bila peristiwa tragis serupa juga menimpanya.
”Bagaimana kalau pesawat ini dibajak
atau digunakan menghantam gedung raksasa?
Permainan pikiran memang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia ”Kekhawatiran mungkin, hanya awan hitam pada khayal” katanya.
Namun hal itu dapat memicu manusia untuk berperilaku negatif. Betapa rasa khawatir itu telah menjadikan manusia sebagai makhluk serakah. Karena takut kehilangan, takut kelaparan, takut sengsara dan seabrek rasa ketakutan lainnya membuat manusia memproteksi diri dengan egoismenya tak ingin berbagi kepada manusia sesamanya.
Disisi lain ketakutan juga dapat memicu perilaku positif yaitu kepasrahan kepada Yang Mahatahu segala sesuatu. Seperti tercermin dari kutipan sajak diatas ”Tapi diatas segala entah / Ada pengkuan keabadian”
Sebagai orang asing yang berkunjung ke suatu tempat yang baru dilihat ada kekaguman-kekaguman pada alam sekelilingnya seperti salju dan merpati seperti tertuang dalam sajak “Pertama Datang”
Pertama datang aku bertanya
Siapa yang menyapu salju sebelum waktunya
Kelepak merpati di udara
menerjemahkan musim yang layak jenuh
Yang penting zaman berjalan utuh
Sebagai sebuah pertemuan seni/sastra internasional tentu merupakan momen berkumpulnya para sastrawan dari berbagai penjuru dunia.
Berkumpulnya sastrawan dari berbagai belahan dunia berarti membawa warna budaya lokal dari asal masing-masing negara.
Hal menarik terjadi ketika dalam acara ramah tamah saat sang penyair ditanya kenapa dia tidak minum anggur dalam jamuan yang telah disediakan namun hanya menikmati air putih dalam acara tersebut. Peristiwa tersebut dituangkan dalam sajak “Ramah Tamah”
setelah tiba saatnya
gelas-gelas bersentuhan di udara
Ting, bunyinya. Kami semua minum
Persaudaraan memekarkan senyum
“Mengapa kau minum air bukan anggur merah?”
tanya sahabat Karibia
Aku jadi tertuduh. Lalu jawabku:
“Yang kuminum barusan ini
adalah anggur murni
yang belum dicemari warna dan aroma”
Sebagai negara yang pernah menduduki dan mengusung kekayaan alam dan budaya Nusantara selama ratusan tahun ke negerinya, jejak-jejak itu dapat dilihat di museum-museum negeri Belanda yang memang sebagai negara maju sangat terawat dan diperhatikan dengan baik. Persentuhan sang penyair dengan jejak-jejak itu direkam dalam sajak Museum.
Sajak-sajak tersebut seperti menyajikan kembali penderitaan-penderitaan yang dialami oleh Orang-Orang Jajahan yang harus kehilangan harta, harapan, dan diri sendiri sebagai martir untuk kehidupan mewah para penjajah.
Waktukah yang keramat
atau pelaku sejarah?
Tentu saja keringat
yang sesekali lebih mahal dari darah
(Museum I)
Disini museum
Bukan untuk orang kagum
Tapi sejenis sumur untuk mengulur
atau mengukur
Kental darah pada anggur
(Museum II)
Dan pedang algojo itu
tak cuma bikin gagah
juga bikin nurani malu
sampai nanti
ada permulaan sehabis letih
Harus dibayar semua yang ditagih
(Museum III)
Sajak lain yang serupa yang menarik angan sang penyair pada penderitaan masa lalu dimasa penjajahan adalah pada sajak Di Simpang Jalan.
Mungkin yang kumiliki sejenis trauma
yang diwariskan narasi hati yang luka
Mengingat Daendels
jadi teringat kakek moyangku
yang mati kerja rodi
membuat jalan dari Anyer ke Panarukan
Masih di simpang jalan
Aku tegak
tapi tak mampu menghitung lada dan pala
yang dulu diangkut kemari
Memang tidak semua persinggungannya dengan Negeri Belanda mengorek pada luka lama. Ada juga semacam jeda yang membawa sang penyair pada Tuhan, kedamaian, keindahan, persahabatan, simbol kerja keras dan disiplin, mengingat ibu dan kerinduan pada tanah air yang tercermin dalam sajak-sajaknya.
Seperti dalam sajak “Bertemu Gadis Negro” mengguratkan kesan damai dari orang tak dikenal yang ditemui dalam perjalanan: Mata begitu / adalah kedalaman samudra / paduan embun lima benua.
Sedangkan dalam sajak lainnya mengusung tema persahabatan dengan sastrawan lain sebagai orang yang senasib, sama-sama berasal dari dunia ketiga.
“apakah itu kerinduan jiwa dunia ketiga?
Selamat malam!” katamu
“Sekarang sudah pagi, Frank!
kenapa selamat malam?”
“Aku novelis dan kau penyair
Malam selalu ada dalam diri kita
Begitu senja tiba dan senyap cahaya
Kata-kata kita nyalakan sebagai ganti cahaya.
(Frank Martinus Arion)
Dalam hal kedisiplinan dan menghargai waktu, negara semaju Belanda memang patut ditiru. Dalam masalah tersebut sang penyair bisa merasakannya betapa “hanya” terlambat lima detiksaja harus tertinggal oleh kereta dan harus menuggu jadwal kereta berikutnya.
“kita terlambat lima detik”
ujar Joko Pinurbo
Kami hanya bisa tersenyum kecut
dan harus menuggu kereta berikutnya
dengan waktu setengah jam lagi”
“Keterlambatan ini”,
kata seorang tua,
“agar kamu bisa memaknai lima detik”
dengan hukuman setengah jam.
Tentu akan kontras bila dibandingkan dengan jadwal kereta di negeri sang penyair berasal, seperti dalam petikan lagu Iwan Fals: ……kereta tiba pukul berapa? / biasanya terlambat tiga jam…..
Demikian pula soal penegakan aturan atau hukum, tentu bagai bumi dan langit dengan negeri Indonesia raya tercinta sebagaiman tercermin dalam sajak “Percakapan Tak Enak”.
“Sebagai tamu, aku telah berupaya mematuhi aturan. Di mana sepatu menapak di situ gedung kusanjung. Bungkus permen, puntung rokok dan sampah-sampah kecil kuselamatkan ke dalam saku. Kebersihan di sini bukan tulisan di tembok-tembok, tapi memang bagian dari iman”
“Untuk itu periksalah paspormu. Hukum di sini bukan tanah lempung, tak kenal sajak apalagi pantun. Kalau visamu berakhir hari ini, pulanglah! Jangan tunda sampai besok pagi”
Mendapat pengalaman tak mengenakkan tersebut, penyair seolah-olah seperti melayangkan protes sebagaimana dalam lanjutan sajak tersebut: “Moyangmu dulu lebih tiga abad menempati tanahku, dan melakukan segala yang tidak kumau, tanpa paspor dan visa”
Sajak lain yang seolah-olah menyajikanironi atas negeri yang dikunjungi adalah potret seorang pemuda pengemis yang diambil oleh sang penyair lewat kamera puisinya dalam sajak “Pengemis”.
Seolah-olah seperti mengabarkan ironi ditengah kemajuan bangsa Belanda masih saja tersisas Orang-Orang Kalah sebagaimana juga terjadi di negeri-negeri lain baik negara maju maupun berkembang.
musim dingin tapi siang cerah
membuat anak muda itu semakin gagah
Ia mengemis
karena menolak untuk menangis
senyumnya, apa benar minta dikasihani
atau sekedar mengejek orang-orang kaya?
(Pengemis, hal 83)
Meskipun sebagai anggota masyarakat dari sebuah negeri yang pernah dijajah oleh Belanda dengan luka lama yang dapat muncul kembali ketika melihat jejak-jejaknya toh Penyair D. Zawawi Imron tidak mau berlarut-larut dalam dendam kesumat sejarah. Karena sang penyair yakin adanya keadilan Tuhan yang akan membalas segala yang ditabur oleh semua makhluk didunia. Semua yang ditabur anak manusia akan dituai suatu saat dikemudian hari.
Begitulah sikap sang penyair yang religius ini dalam menyikapi apa yang telah terjadi pada bangsanya pada masa lalu dengan menyerahkannya pada pangkuan keabadian, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Rasa dendam dan benci memang tidak dapat mengembalikan penderitaan-penderitaan yang telah dialami bangsanya menjadi sebuah kebahagiaan. Mengubur dendam sejarah, menghapus narasi luka karena adalah sia-sia memberhalakan duka dan derita. Luka dan derita ditanah asing itu akan lebur dengan menyemai cinta di hati yang suci.
Sikap itu tercermin dalam Sajak Refrain di Sudut Dam yang juga sebagai judul buku kumpulan puisi karya penyair ini.
Refrein di Sudut Dam
Amsterdam bagiku
memang sebuah terminal
dengan detik-detik yang terasa mahal
Masa silam dan masa depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik gagal
Matahari yang juga mata waktu
mendesakku menjadi kaca manggala
untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan sejenis debu
Menyanyi buku-buku, kertas arsip
hendak turut memutar tasbihku
Jangan dulu! Di sini Amsterdam
Akan kukubur dendam sejarah
Sia-sia memberhalakan derita
Ibu dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas tabir saja
Segenap keasingan akan lebur
dengan menyemai cintake hati salju
Terbayang pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan sembunyi
Olle ollang
darahku makin bergelombang.
Buku kumpulan puisi ini ditutup dengan Sajak Di Atas Angkasa yang juga masih membuat was-was pada sang penyair ketika dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat terbang.
Senyum pramugari yang menyajikan kopi itu
Tak mampu mencerminkan kedalaman laut
E, sorri, kedalaman Maut
Tidak seperti dalam buku kumpulan puisi lain yang pernah penulis baca seperti Di Pamor Badik, dalam kumpulan puisi ini D. Zawawi Imron seperti menyajikan sajak-sajak terang dengan sedikit metafora-metafora yang dipergunakan sehingga tidak sulit untuk dipahami.
Gresik, September 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar