31/03/12

Puisi Itu Pukulan Bersarung Tinju Beludru

Dorothea Rosa Herliany, Triyanto Triwikromo
http://layar.suaramerdeka.com/

JAWA Tengah wajib bangga memiliki penyair Dorothea Rosa Herliany. Sebab, selain buku puisinya, Santa Rosa, memenangi Khatulistiwa Literary Award 2005-2006, jauh sebelumnya kumpulan puisinya yang lain, Kill the Radio, masuk sebagai lima besar penghargaan paling bergengsi dalam dunia kesusastraan di Indonesia itu pada 2001. Setelah itu, pada 2003 Pusat Bahasa juga memilih dia sebagai pengarang terbaik 2003. Bahkan akhir 2004 Dorothea menerima “anugerah seni” dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Apa makna penghargaan-penghargaan itu bagi perempuan yang pada 1995 pernah mendapatkan Anugerah Seni dari PWI Jawa Tengah ini? Berikut petikan perbincangan dengan dia di Magelang belum lama ini.

Apa makna Khatulistiwa Literary Award bagi dunia gagasan Anda?

Ini adalah semacam pengakuan dari banyak orang terhadap puisi-puisi saya. Ini berarti puisi-puisi saya dinikmati dan dipahami oleh banyak orang. Tentu sangat menggembirakan karena selama ini puisi dianggap terpencil, jauh, dan berada di awang-awang. Ya, dengan penghargaan ini, saya telah bisa membuktikan betapa puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sangat dekat dan peduli pada masyarakat dan kehidupan. Puisi, jika saja mereka tahu, sesungguhnya hal yang pasti membicarakan sesuatu yang ada di masyarakat.

Apa sesungguhnya gagasan-gagasan saya? Barangkali memang sesuatu yang sangat abstrak. Ya, saya memang selalu tergugah atau gelisah oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Karena itu, yang saya tulis adalah kesedihan saya melihat betapa dari waktu ke waktu masyarakat lebih tidak memedulikan dunia ruh, dunia yang lebih dalam pada kehidupan. Manusia hanya mengejar sesuatu yang fisikal, permukaan, kulit, atau gemebyar di luar. Kita tidak lagi ngopeni sesuatu yang lebih berada “di dalam”. Perjuangan manusia untuk menjadi manusia yang lebih baik kemudian tidak dipedulikan lagi. Hal-hal yang bersifat keduniawian memang diperlukan, tetapi jika ia sudah menjadi tujuan, manusia akan hidup dalam dunia yang sangat menyedihkan. Jadi, sekali lagi penghargaan ini kian membuktikan gagasan-gagasan saya tentang hidup yang lebih baik dibaca orang.

Tentu tidak. Kemenangan saya ini juga kemenangan “dunia tafsir”. Setiap kali menulis puisi saya senantiasa menafsirkan nilai-nilai dalam masyarakat dengan cara baru. Saya selalu bertanya, “Apakah nilai ini sudah benar?” Saya juga bertanya, “Apakah sesuatu yang sudah dianggap benar itu tidak bisa diberi penafsiran baru?” Ya, menjadi penafsir segala sesuatu saya kira merupakan tugas utama penyair. Saya tidak ingin sesuatu itu diposisikan sebagai hal yang mutlak. Saya tidak ingin segala hal menjadi dogma atau nilai yang dimutlakkan. Hidup harus ditafsir ulang secara terus-menerus.

Anda ternyata juga melawan tafsir tunggal terhadap berbagai hal yang dijejalkan oleh negara atau agama? Dalam bentuk apa perlawanan Anda?

Aduh! Ini masalah yang sangat sensitif. Saya misalnya pernah menggugat mitos-mitos dalam dunia perkawinan. Dalam dunia perkawinan, selalu ada kewajiban “menikah itu untuk setia”. Dalam kenyataan, komitmen semacam itu, hanya berada di permukaan, tidak berada di hati. Karena itu, ketika saya menulis: ketika menikahimu tak kusebut keinginan untuk setia, banyak orang kaget. Mereka shock. Saya kira puisi memang harus seperti itu. Tugas puisi harus memberi kejutan. Kejutan yang lembut. Puisi itu harus menonjok. Puisi itu harus seperti tinju dengan sarung yang lembut. Jadi, dalam berpuisi dan mengkritik nilai-nilai yang sudah mapan atau dimutlakkan, saya memang memukul dengan lembut. Puisi itu pukulan bersarung tinju beludru.

Ada juga contoh lain. Saya pernah menulis puisi bertajuk “Elegi Sinta”. Dalam puisi itu saya membuat tafsiran kembali terhadap cerita Rama-Sinta. dalam versi lama Rama digambarkan sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Masyarakat Jawa, kita tahu, sangat memihak kepada Rama. Sebaliknya Sinta digambarkan sosok lemah yang membutuhkan perlindungan Rama saat hendak “diperkosa” oleh Rahwana. Ia, pendek kata, berada di bawah tekanan Rama, karena sebelum membakar Sinta, lelaki itu bilang, “Kalau kamu setia akan begini, kalau tidak setia akan begitu”. Ini membuat posisi Sinta menjadi sosok yang terpinggirkan. Dalam puisi saya, saya menghadirkan Sinta sebagai sosok yang kuat menempatkan Rama sebagai sosok peragu. Saya lebih menempatkan Sinta sebagai tokoh yang keras hati dan mampu berjuang.

Di negara kita, hal-hal semacam itu masih dipandang dengan sebelah mata. Negara memang sedikit peduli. Akan tetapi dalam keseharian negara belum secara ikhlas menerima perempuan sebagai sosok yang berpikiran lebih hebat dan berposisi lebih kuat. Ketika Megawati mau jadi presiden masih saja terjadi pro-kontra. Ini menunjukkan negara masih memihak laki-laki. Dengan berkata semacam ini, saya tidak ingin dianggap membela perempuan. Yang, saya lakukan saya membela manusia yang kebetulan berjenis kelamin perempuan.

Saya juga tak sepakat pada cara-cara mutlak-mutlakan memperjuangkan keyakinan tetapi dengan menghancurkan kemanusiaan dan manusia lain. Saya tak habis mengerti kok ada orang-orang yang merasa lebih benar daripada Tuhan. Lebih parah lagi mereka menyatakan tindakan-tindakan yang dilakukan itu dipersembahkan kepada Tuhan. Kemutlakan semacam ini harus ditentang. Saya punya harapan puisi atau sastralah yang bisa menyentuh dan mengingatkan betapa kemanusiaan kita memang terkikis.

Oke…tapi para pengamat kerap menyebut Anda sebagai perempuan yang menggunakan diksi laki-laki untuk mengungkapkan gagasan. Apakah ini tak bertentangan dengan keinginan Anda sebagai manusia yang ingin memperbaiki kualitas kemanusiaan siapa pun tanpa mempersoalkan jenis kelamin?

Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan mengambil metafor dari dunia pertanian. Jika hendak bertani, tentu kita butuh cangkul. Cangkul apa pun. Sebagaimana petani, saat menulis puisi saya membutuhkan berbagai diksi. Diksi apa pun. Tak peduli diksi laki-laki atau perempuan. Diksi yang bergunalah yang saya pakai. Kalau diksi-diksi yang menonjok dianggap sebagai diksi laki-laki, itu kesalahan tafsir laki-laki terhadap puisi-puisi saya. Yang saya inginkan sebenarnya sederhana saja. Saya ingin tujuan saya tercapai.

Nah, kalau begitu, Anda sebenarnya lebih ingin disebut sebagai feminis atau humanis sih?

Humanis! Saya kadang-kadang keberatan jika disebut sebagai feminis. Meskipun demikian, orang selalu bilang, “Kamu menulis tentang perempuan. Itu berarti kamu feminis!”. Terus saja saya menolak anggapan itu. Yang saya perjuangkan bukan persoalan keperempuanan, tetapi lebih kepada kemanusiaan. Laki-laki juga perlu ditolong jika dia lemah. Jadi saya ini lebih baik disebut sebagai pejuang humanisme, bukan feminisme.

Jika bisa distrukturkan, apa saja sih dunia gagasan Anda?

Saya berharap manusia menemukan kembali sisi baik kemanusiaannya. Ini suatu keinginan yang sedehana, tetapi hasilnya masih sayup-sayup.

Anda melihat kemanusiaan kita kian terkikis Lalu dengan cara apa Anda mewartakan kepada publik bahwa situasi kemanusiaan kita berada dalam situasi yang membahayakan?

Barangkali satu-satunya cara penyair untuk bisa “mengingatkan” mereka adalah dengan menulis. Dengan tulisan itu orang digiring memiliki ruang dan waktu untuk berpikir. Dengan tulisan-tulisan itulah, saya mencoba membuat puisi sebagai sesuatu yang menyentuh. Tentu dengan berbuat semacam itu, saya dan penyair lain tidak harus dianggap sebagai satu-satunya sosok yang mengansumsikan diri sebagai pengingat zaman.

O, cukupkah Anda mengubah dunia dengan puisi?

Tentu saja tidak. Dalam kehidupan kita itu banyak hal yang harus dipecahkan dengan hal-hal lain di luar puisi. Dunia indah itu tidak bisa dicapai hanya dengan puisi. Karena itu, saya juga melakukan berbagai tindakan lain. Saya bergerak menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial lain. Termasuk melakukan hal-hal kecil yang saya lakukan di rumah. Perjuangan saya bukan berupa tindakan-tindakan besar. Tindakan-tindakan besar baru terlihat justru ketika kita juga melakukan tindakan-tindakan kecil.

Anda mendidik anak Anda juga dengan cara melakukan tindakan-tindakan kecil yang bermakna?

Tentu. Saya selalu memberi pengertian: sekolah bukan satu-satunya tiket kita untuk menjadi manusia yang baik. Tujuan kita tidak untuk menjadi manusia sukses, tetapi manusia yang baik. Untuk menjadi manusia sukses harus belajar matian-matian menjadi ranking satu di sekolah. Ukuran keberhasilan manusia itu tidak harus menjadi dokter, insinyur, arsitektur, tentara, atau yang lain-lain.

Anda juga bergerak di dunia bacaan. Anda menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial yang mengajari publik untuk hidup dalam budaya baca. Inikah yang juga Anda sebut sebagai tindakan kecil yang penuh makna?

Ya. Membaca dan menulis itu sangat dekat dengan dunia pikir dan rasa. Jika orang tak hidup dalam dunia pikir dan rasa, mereka harus didekati dengan dunia baca dan tulis. Karena kita masih juga hidup dalam budaya lisan, maka perjuangan membawa orang ke dunia baca-tulis-rasa-pikir, masih harus dilakukan secara intens. Itulah yang saya lakukan agar kita semua berada dalam peradaban yang kian maju.

Kini kecenderungan buku Anda muncul dalam dua bahasa. Mengapa Anda tak menulis langsung dalam bahasa Inggris?

Saya punya kepekaan terhadap nuansa bahasa. Saya tahu dengan menulis dalam bahasa Indonesia akan lebih in dan tepat mengutarakan gagasan-gagasan saya. Ada sesuatu yang tertinggal kalau saya langsung menulis dalam bahasa Inggris. Tujuan saya menerbitkan puisi dalam dua bahasa lebih dipicu oleh pertimbangan pasar. Selain itu, saya ingin gagasan-gagasan universal tentang kemanusiaan saya lebih terdistribusi ke masyarakat yang lebih luas tanpa dibatasi oleh bahasa.

Apa sih perjuangan terberat Anda saat mendistribusikan gagasan?

Yang paling berat adalah saat berproses mewujudkan gagasan. Saya selalu berpikir bagaimana agar gagasan-gagasan saya itu mudah diterima tetapi tidak wantah dan dalam balutan keindahan. Ya, buat apa kita menulis jika gagasan-gagasan itu tak sampai di hati orang?

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita