06/03/12

MENGGUGAT AKSARA

Muhammad Rain *
http://sastra-indonesia.com/

Salah satu fungsi kritik sastra adalah sebagai bahan tulisan yang memberikan sumbangan pendapat, yang memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan yang tidak baik, yang asli dan yang tidak asli. Untuk selanjutnya bahan tulisan itu dapat dijadikan pertimbangan bagi pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya.

Berkenaan dengan digelarnya diskusi online komunitas ini dengan tema “Menggugat Aksara Dua Puisi : SK Tuhan dan Surat Kepada Bintang II” maka kali ini kebetulan Muhammad Rain (selanjutnya dapat disebut Muhrain) mendapat kesempatan mengajukan gugatan sebagaimana keinginan grup ini. Adapun gugatan aksara yang disampaikan di sini dipakai juga untuk bahan diskusi, sehingga sifatnya dapatlah dianggap gerbang pembuka bagi para sahabat lain untuk menguji dan bahkan membantah serta menawarkan solusi lain terhadap gugatan yang disampaikan.

Kita mulai dengan membedah puisi Tosa Putra berikut ini:

SK TUHAN (Perjanjian Alam)

Matahari, bumi, pohon, bulan, bintang dan rangkaian galaksi dicipta dengan perjanjian mengisi alam yang ditulis dalam kitap perundangan

mengingat: rotasi
menimbang: evolusi
memutuskan:

Pasal 1

1. Bulan adalah satelit bumi, menjadi cermin matahari, memantulkan cahaya-Nya, menerang bumi pada malam meski kadang terhalang awan.
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan. Bulan pun tak tercatat dalam sejarah ketika bumi diam tak berkisah.
3. Di langit gemerlap, bulan dan bintang bersanding sedang bumi sendiri menahan pedih.
4. Di langit terang, bumi mutlak hak matahari, sedang bulan-bintang mesti sembunyi di laci ; tercundi dalam kitab suci milik para sufi.
5. Bumi sabar menanti bulan menerang malam, sedang di langit bulan memilih bercengkrama dengan bintang, bermainan ayunan (menggantuk di atap bumi) dan Cuma cahaya-Nya yang menyapa.

Pasal 2

1. Akar tunggang kokoh mencengram hati agar tak roboh
2. Akar serabut menyedot sari bumi, disalurkan via selang kata bernama cambium makna sampai pada daun kehidupan.
3. Di bawah matahari, klorofil berfotosintesa agar dapat tumbuh-kembang ranting, dahan dan duan rindang untuk menebar keteduhan, kesejukan dan keindahan sampai berakhir di mata gergaji, menjadi laci menelan bulan-bintang dalam kitab suci.

Surat keputusan ini dibuat untuk dijadikan pengajaran makna kesetiaan, kebersamaan dan pengorbanan. Keputusan ini berlaku sejak alam dimuntahkan dari rahim tuhan. Terkait perubahan dan hal yang belum tercantum dalam surat keputusan ini diatur dalam kitab suci.

Lembah hati, awal kehidupan
Atas nama cinta
Tertanda
Sang pencipta.

Trenggalek 12-13 Juni 2011.

Kesan perdana akan serta merta muncul dari sisi visual bentuk sajak di atas, kita kenal dengan istilah tipografi, sebagaimana sikap konvensionalnya pembaca sastra secara umum, maka kelihatan bentuk sajak karya Tosa Putra di atas sangat menyimpang dari kebiasaannya. Sebentar dulu, ini masih kecurigaan kita sebab kita telah biasa disuguhi pola bentuk sajak yang berbait, berbentuk rangkaian larik-larik yang konon dibaca satu nafas, mendapat pemberhentian (jeda) pembacaan secara wajar. Namun sajak di atas sama sekali jauh memengang kendalinya untuk bisa disebut sajak konvensional.

Baiklah, maka selanjutnya berdasarkan fakta visual tekstual tersebut, kita tak dapat mengklasifikasikan puisi ini sebagai puisi umum, konvensional atau biasa yang di dalam sastra tergolong puisi baru. Namun puisi Tosa dapat kita golongkan sebagai puisi kontemporer, yang berusaha merubah unsur-unsur isi dan bentuk untuk tampil berbeda dari karya sajak umum. Bila dibandingkan dengan karya Ayano berikut tampak sekali secara kontras perbedaan puisi secara bentuk sepintas (visual).

SURAT KEPADA BINTANG II
Karya: Ayano Rosie

Malam menjenguk bulan
Melerai bumi dipijakan
Merayu bintang tuk berkedip
: senyap mengusung meteor

Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

Kepada bumi bulan bercahaya
Kisah bintang tak berpola
Larut terik disejuk bumi
: menangis

Ini kisah bintang
Di bulan ranum memendam
Langit jingga di lengkung bumi
: layu lebur.

Berdasarkan dua bentuk yang berbeda dari dua puisi ini, maka tak dapat kita gunakan tangan yang sama dalam menyisih-nyisihkan bentuk itu. Muhrain mengganggap bahwa sajak/puisi Tosa dapat kita dekati sebagai bentuk puisi kontemporer, yang membutuhkan minat kreatifitas untuk menolak sisi bentuk umum puisi konvensional dari karya puisi Ayano.

Pola berbentuk undang-undang, peraturan yang berpasal pula dan berikut berisi penyataan menjadi sesuatu yang mengikat bahwa sajak Tosa bertujuan untuk menggunakan nilai bentuk (bentuk SK) sebagai gaya tarik utama puisinya. Berhasilkah?

Berbicara bentuk (nilai visual) maka karya Tosa jelas kalah saing dengan karya Ayano, alasannya gampang sekali, sebab untuk memunculkan kesan indah, sastra berupa karya indah (su-sastra) kumpulan karya (tulisan) yang indah, nah dengan demikian nilai keindahan lebih dimiliki oleh karya Ayano, berdasarkan pandangan formalitas kaum sastra kita, indah pada pandangan seorang Muhrain tentu kebanyakan sifatnya, indah secara bentuk karena sajak sangat membutuhkan dukungan dari sisi bentuk, yang selanjutnya didukung oleh kekuatan isi.

Berikutnya kita mengkaji nilai keberaksaran kedua karya puisi ini. Perhatikan bagaimana Tosa dalam puisinya menggunakan seluruh nilai bahasa sastra demi meninggikan nilai hasil karya ciptanya. Kelihatan secara nyata karena ia berkehendak menciptakan suatu bentuk surat keputusan, lalu dari sanalah kesan diksi bertujuan menunjukkan surat-surat (kiriman pesan lewat karya tulis) yang merujuk kepada suatu keputusan mulai menggerayangi dunia kreasi Tosa, maka ia mulai memilih kata beraroma tegas, menunjukkan, menyatakan: “Mengingat, Menimbang, Memutuskan” dst.

Bandingkan dengan Ayano dalam menunjukkan minat awal penciptaan karya puisinya. Awalnya kedua sahabat kita ini sudah menyepakati untuk menulis puisi yang punya kaitan dengan tiga kata:

Tiga kata itu yakni bumi, bulan dan bintang. Nah meski ini bukan lomba lalu pilihan-pilihan keduanya memiliki tujuan untuk mengangkat tema yang disepakati kedua Sahabat kita ini. Ayano menulis surat juga rupanya, tapi bukan surat keputusan, apalagi keputusan dari Tuhan (ala Tosa). Surat Ayano bukan kepada kekasihnya atau siapapun yang sejenis makhluk hidup, tapi ia menulis suratnya untuk bintang. Siapakah bintang? maka mulailah Ayano menulis bahasa planet, bahasa semesta, meskipun masih bisa dimengerti oleh manusia, ia memakai kata-katanya sebagai penyampaian berita tentang sikap-sikap antara penghuni semesta, sikab bumi, sikap bulan bahkan sikap sang bintang sendiri yang konon Ayano sedang menulis suratnya untuk sang bintang itu sendiri. Aneh khan? seorang Ayano menulis surat yang menceritakan kisah si bintang, bintang yang bakal menerima suratnya.

Surat Ayano menjadi muskil alias mustahil oleh adanya larik ini, perhatikan:

*Merayu bintang tuk berkedip
*Kepada bintang, bulan tersenyum
*Kisah bintang tak berpola

Tiga larik inilah yang menyumpalkan ketidaklogisan seorang penulis surat kepada bintang ini, Ayano. Logika bahasa seterusnya bekerja dalam menyingkap perjalanan suatu bentuk teks bahasa. Teks bahasa tak mati sebagai teks, ia hidup dalam ruang berbahasa yang multi indra, ia dibaca oleh mata, dilafal oleh mulut, dipahami oleh kemampuan otak dalam mengartikan bahasa, juga seolah diperdengarkan kepada kuping saat kita menjalani proses pembacaan.

Selanjutnya kita akan seterusnya menyikapi nalar-logika kata-kata, kelompok kata bahkan kalimat yang begitu ramai pada bentuk puisi Tosa, dan permainan kata yang tertera pada karya Ayano. Sebab bahasa sastra bukan bahasa planet yang antilogika, bukan bahasa orang yang ngelantur dan cap-cus.

Sapardi Djoko Damono (1975-76 : 299) pernah menyampaikan kira-kira begini bunyinya: (saya penggal untuk menohok tajam)…

Kritik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit menemukan pembahasan yang disampaikan penulis kritik itu…, Kritik tidak berpura-pura untuk mencampuri percakapan yang mungkin terjadi antara sebuah sajak dengan pembacanya. Ia pun tidak menghias sebuah sajak agar nampak lebih menyenangkan, juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu, kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk memperhatikan kembali karya yang “hilang” karena tersapu debu waktu.

Masih menurut Sapardi DD., bagi penyair , kritik yang baik dapat membukakan kesadarannya akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada sajaknya, yang mungkin sekali belum pernah ia ketahui sebelumnya. Barangkali ia bisa mengembangkan lebih jauh beberapa kemungkinan yang diharapkan dapat menaikkan nilai tulisan yang ia hasilkan nanti.

Pantas juga diingat bahwa kritik sastra yang kita baca tidak semata-mata karena isinya, melainkan karena gayanya. Terlepas dari apa yang dibicarakan, maka kritik yang baik tetap enak dibaca.


Tadi kita telah melihat, mendiskusikan, bahkan sudah ada beberapa kawan yang selesai sampai pada kesimpulannya, kali ini biarlah giliran saya menyelesaikan tulisan saya.

Ayano benar telah menyusun kalimat-kalimat, larik, bait dari aksara indah, namun keindahan nanti dulu kita katakan sebagai indah yang maksimal, mari kita cermati keindahan diksi yang berhasil atau tidak berhasil ditumpuk Ayano dalam puisinya:

Atas bumi langit memeluk

: memeluk apa?
Larik yang ini menjadi gantung, antara kita menyebutnya indah atau malah tidak indah. Bandingkan jika misalnya urutan kata kita rombak, dengan bertujuan meraih indah yang lebih kuat, meskipun tidak satu katapun dari larik ini yang dirubah atau diganti. Tanpa merusak kesinambungan makna tentunya dengan larik sebelumnya atau larik sesudahnya.

Atas bumi langit memeluk

kita rombak sembarang saja tanpa bermaksud mengobok-ngobok acak tanpa tujuan:

langit memeluk atas bumi

(awalnya..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

(perubahan..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
langit memeluk atas bumi
beriak di tusukan hari

Persoalan logika bahasa yang saya sampaikan di tulisan awal tadi bahwa Ayano melakukan ketidaktelitian dalam menulis lariknya, baik secara susunan bahasanya apalagi pemaknaannya secara benar.

Manakah yang memeluk di sini? Apakah bumi yang memeluk langit atau langit yang memeluk bumi?

Jawaban logis tentunya langitlah yang memeluk bumi, bukan sebaliknya, bumi lebih kecil di banding langit terutama dari sisi luasnya. Jadi tak bisa bila bumi ternyata malah ingin memeluk langit, ia malah diselimuti oleh langit (dipeluk) keseluruhan bidangnya oleh langit.

Dalam konsep imajinasi, orang tentu ada yang bisa terbang dengan mengandalkan selendang (seperti kisah Jaka Tarup yang menyembunyikan selendang salah satu peri), ada yang terbang bahkan dengan angin dan banyak lagi, itu kita kenal sebagai logika sastra, yakni logika yang hanya akan ada nyata dikawasan sastra. Benar memang sastra itu bebas, tapi bukan bebas mabuk kehilangan nilai rasa logikanya, kehilangan ketentraman jiwanya, mengapa kita sebut ketentraman jiwa? karena ketika kerja bersastra, menulis puisi, merangkai kekuatan bahasa sastra, bahasa indah namun kerja ini malah mengaburkan tuntutan kelogisan bahkan serendah-rendahnya tuntutan berbuat logis itu, maka kita para pesastra sedang mabuk diluar kesadaran, ngoceh dan sayang sekali wahai saudaraku sekalian, ketika kita mulai ngoceh dalam bersastra maka nilai indah menjadi semakin abstrak tak tepahami, seperti kita memandang coretan cakar ayam siswa PAUD, indah mungkin baginya, namun hanya dia sendiri yang mengatakan itu indah, asyik baginya ya, karena dengan asyik dirinya sendiri dalam membela keasyikan dirinya.

Kali ini kita berhadapan dengan pasal-pasal dari Tosa Poetra , dalam puisinya yang telah dengan yakin ia mencap konsep menyusun surat keputusan (SK), maka lalu meskipun itu sk-sk-an ala manusia murni sastra, saya ingin sekali sebenarnya membaca ketegasan Tosa secara berimbang dalam mencap puisinya ini bernafas Surat Keputusan. Pasal-pasal yang dibuka dengan tiga barisan sakti ini:

mengingat : rotasi
menimbang : evolusi
memutuskan :

Di sinilah titik kulminasi, titik pagut pembacaan karya Tosa dimulai, ia menyatakan “mengingat” untuk memberi petunjuk refleksi, “menimbang” untuk menunjukkan nilai kebijaksanaan (saya kira bijaksananya Tuhan), dan lalu Tosa memakai kata terakhirnya dalam tiga rangkai yang sudah mentradisi ini pada banyak jenis SK kaum manusia, ia menyatakan “memutuskan”?

Saudara yang membaca sudah bisa memilah banyak isi pasal, dan yang mana dari yang banyak ini yang berupa keputusan, mari saya hidangkan:

(sepintas yang bisa digolongkan keputusan):

Pasal 1:

1. “Bulan adalah satelit bumi”
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan.
kata “pada” harusnya diganti dengan kata “saat”, guna memperjernih pernyataan.
4. ” …bumi mutlak hak matahari”

sedangkan
nomor 3 dan 5 sama sekali tak berbau keputusan. Silahkan kita cermati lebih jauh.

Pasal 2, semua bagiannya telah tergolong jenis keputusan, karena Sahabat kita Tosa memang telah menelitinya dengan yakin menggunakan korelasi ilmu biologi. Jadi tidak kita temukan hal yang melenceng dari kehendaknya dalam mengkreasikan suatu keputusan.

Penutup dalam mencermati dua puisi (sajak) Saudara kita ini, Ayano dan Tosa, saya menyimpulkan bahwa kita perlu menilai dengan benar kenyataan-kenyataan karya sastra yang hendak dimunculkan terutama ke publik, sehingga penalaran bahasa secara sederhanapun dapat memperoleh keyakinannya. Gugatan aksara yang muncul di sini tak lain sebagai sebuah kehendak bersama dalam mempertinggi kreatifitas dan produktifitas berkarya para pelaku sastra puisi.

Bagian-bagian yang tersampaikan di sini murni mencari titik penggugatan versi Apresiator Utama, dengan maksud menemukan jalan yang telah terhambat dalam kedua karya tersebut, menawarkan refleksi kajian kepenulisan puisi, dan turut sertanya kita seluruh pembaca dalam memberikan dorongan demi temuan-temuan jalan baru selanjutnya bagi saya sendiri selaku penyaji, sebab sayapun sedang tahap belajar, kepada Ayano dan Tosa, juga kepada segala pihak yang berkenan mendapatkan petikan-petikan istimewa grup ini.

Dengan kerendahan hati dan segenap cinta sastra, selamat bersastra saya ucapkan kepada pembaca umum, terima kasih atas kesempatan mengisi laman ini, jumpa kata lagi di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam Bis’shawaf.
Catatan:
1. SK tuhan, Karya Tosa Putra dari Trenggalek
2. Surat Kepada Bintang II, Karya Ayano Rosie dari Makasar

*) Muhammad Rain; bernama asli Muhammad, dilahirkan di Peureulak, Aceh Timur pada tanggal 14 September 1981. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Medan, tahun 2004. Sekarang sebagai staf guru di SMAN 4 Langsa sekaligus dosen di beberapa PTN dan PTS di daerah Langsa maupun Aceh Timur.
Sumber: GRUP (KOMUNITAS) SASTRA: KEBUN SASTRA

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita