Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
“Jodoh, Rizqi, Mati, iku mung siji, tapi sewu dalane.”
A. Prolog
Kaidah filsafat Jawa di atas, sepintas ndemel terdengar, tapi akan terus menguntit-ngiang di telinga orang yang serius mendalami filsafat dan apalagi jika hendak menjadikan konsep pemikiran dan laku hidup. Coba fikirkan sejenak! Jodoh dimaksutkan untuk menyebut idiom pertemuan dua hal atau lebih yang saling menguntungkan (simbiosis mutualis).
Di mana pertemuan yang bersifat sinergial tersebut berimbas ke saling melengkapi kebutuhan berkehidupan. Pada skala yang lebih luas, jodoh dapat kita simulasikan ke pertemuan belbagai hal, semisal: Sosial, Politik, Budaya bahkan Asmara dll. Namun lebih khusus, istilah ‘satu’ yang disebut jodoh adalah pertanda awal sebuah pertemuan yang berhubungan ruang dan waktu, diperlukan batasan jelas sejak kapan pertemuan itu terjadi.
Demikian juga Rizqi, adalah pertambahan nilai dalam berbagai hal baik secara finansial atau psikis yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan, menyelesaikan klise-klise nisbi, kekoteran, atau kelengkapan yang semakin melengkapi dan melingkupi bagi kelangsungan hidup. Hanya saja pada tataran nilai tertentu, rizqi kemudian dibagi menjadi rizqi yang barokah dan tidak barokah. Kedua jenis rizqi tersebut jika hendak dihadapkan pada efek eksternal, sebab-akibat yang kemudian berpengaruh praktis pada diri dan lingkungan di luar tubuh yang disebut becik ketitik-olo ketoro.
Sederet dengan Jodoh dan Rizqi adalah Pati-Mati. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam eksistensi kehidupan, bahwa ketiga rumus Jodoh, Rizqi dan Pati, adalah proses baku yang disyaratkan pada yang bernama ‘Hidup’. Mati, begitu bunyinya, lepasnya ruh dari jasad. Di mana sejak ‘mati’ itu terjadi, tidak berfungsi lagi seluruh perangkat jasad dalam pertaruhan eksistensi kehidupan riel. Untuk menyebut istilah mati, orang Jawa sering memakai ungkapan lugas “lakon uripe wes entek (tugas seseorang untuk hidup sudah berakhir).” Tentu, tidak sertamerta mati itu terjadi, ada suatu proses terlebih dulu menuju mati yang disebut ‘ke-mati-an, gejala yang mengarah ke kejadian mati. Nah, menuju titik temu pada satuan Jodoh, satuan Rizqi dan satuan Pati inilah banyak cara hingga seribu macam jalan.
B. Sastra Tan Rudydov Berbaris Penulis Lamongan
Dari prolog di atas, Saya hendak menggiring ke satu titik pembicaraan mengenai perjodohan sahabat Tan Rudolf. Berangkat dari kegemaran menulis, lelaki kelahiran Lamongan ini bertemu jodoh hidupnya berkat tulisan yang rajin ia publikasikan di buku elektro (kitab google).
Meski tidak berbentuk uraian-uraian panjang, tulisan Tan Rusydov tergolong bermuatan pemikiran-pemikiran yang menteg (berbobot), hasil pemahaman yang diulet sedemikian rupa, Ia tuangkan mirip puisi Haiku Jepang.
Jika suatu saat Tan sempat meng-antologikan tulisannya, akan sejalan dengan langkah yang ditempuh Nurel Javissyarqi (Penyair Lamongan) dalam buku Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga 2007). Dalam buku KPM, Nurel Javissyarqi sengaja menyuguhkan karya sedikit nyleneh, berbeda bentuk dari kelaziman metode kepenulisan. Kalimat-kalimat pendek yang ditemukan Nurel dalam setiap tempat dan waktu, Ia susun menyerupai ayat-ayat, dalam arti, satu kalimat yang berhasil ia rampungkan, menjadi satu ayat khusus beserta muatan intuisi dan tafsirnya yang belum tentu bersinggungan dengan kalimat berikutnya. Jika Nurel menandai khusus sebentuk kalimat puisinya dengan angka Romawi, Tan memberi tanda dalam satu kalimat pemikirannya dengan kata ‘Kawat’.
Jika Tan Rusydov (=) Nurel Javissyarqi, maka keduanya (=) menempati barisan penulis Lamongan lain yang telah menggegerkan jagat kesusastraan Indonesia. Di bencah Lamongan yang dahulu masyarakat Jombang akrab menyebut dengan istilah daerah yang “lek ketigo gak iso cewok, lek rendeng gak iso ndodok” ternyata bermunculan penulis berbobot, sebut saja di antaranya Rodli TL dengan garapan naskah teaternya, A. Syauqi Sumbawi dengan berbagai antologi Puisi, Cerpen dan Novelnya, Javed Paul Syatha, Imamuddin SA, Alang Khoirudin, Mohammad Alif Mahmudi, Herry Lentho, Denny Mishar, Agus B. Harianto, Bambang Kempling, ZTF Boy Pradana, Mashuri, Supaat I. Lathief, …dll. Hanya saja Tan dan Nurel akan lebih kecil (Lorong Gelap Yang Mengasyikkan. Dalam prolog KPM itu Maman S. Mahayana membariskan Nurel sealiran dengan Socrates, Plato, Giodano Bruno, Galileo Galelei, Rene Descartes, Copernicus, Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, Ibnu Thufail, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, Al-Hallaj, Al-Ghazali, Muhammad Iqbal).
Sebagaimana Nurel, Tan dan penyair umumnya dijaring dan ditangkap Maman S. Mahayana dalam paragraf pertama dalam prolog KPM: “Hamparan semangat menggelegak. Manakala ia tak dapat ditahan dan pecah, seketika itu pula ekspresinya muncerat berhamburan, bercipratan, menerabas apa pun. Lalu hinggap di berbagai tempat yang dijawilinya sesuka hati. Mungkin sama sekali ia tak bermaksud melakukan tegur-sapa, say hallo, atau bahkan juga gugatan. Ia sekedar hendak mempresentasikan gumpalan kegelisahan yang lama bersemayam dan mengeram dalam kerajaan gagasannya. Boleh jadi ia lahir atas kesadaran, bahwa gagasan yang sekian lama dipenjara, bakal berakibat buruk pada denyar pikiran dan denyut batinnya. Mungkin juga ada kesadaran lain, bahwa tuhan tidak melarang makhluknya berkisah tentang apa pun. Bukankah tidak ada undang-undangnya yang menyatakan bahwa tuhan kelak akan menghukum manusia yang mengumbar imajinasinya, bergentayangan ke berbagai imajinasi yang lain? Bahkan, sebaliknya, tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain, justru antara faktor imajinasi itu.”
Berikut adalah tulisan Tan Rusydov yang Ia susun dengan kode-kode ‘Kawat’-nya. Meski ada beberapa pemikiran yang tergolong liar dan nakal atau sekedar senda-gurau, namun semuanya terlihat jelas bahwa Tan berbasis Sastra Arab yang Ia rampungkan selama kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lulusan tahun 2008.
// Kawat | Ide
Kita tidak harus menjadi Platon-(Athena, 428/427-347/346 SM), jika di Indonesia sering ditulis dan diucapkan Plato (tanpa n), karena filsafat masuk negeri ini lewat bahasa Belanda, sedangkan kata Yunaninya Pla/twn (Platon)-jika ingin menjadi penulis, pemikir dan perenung yang murung. Kita bisa menciptakan-merubah-melahirkan ide sesuai batas kemampuan kita, sebenarnya tak ada “batas” yang abadi dalam proses hidup ini, yang ada adalah “langkah yang berhenti”, artinya kita dengan segala kemampuan dan ketidakmampuan itu ada, karena kita mau untuk mewujudkannya dan kita pasti akhirnya tahu.
Orang-orang yang tak mengenal alat-alat tulis, dan tak pernah mengucapkan a, b, c dan 1, 2, 3…itu juga bisa kita sebut perenung dalam kehidupannya, tentu saja mereka menjadi filosof di lingkar hidupnya.
Orang-orang yang selalu merenung, mengenang, menyesali dan menangis karena cinta yang sepele itu juga bisa dikategorikan filosof-filosof romantika di jalinannya dengan kekasihnya yang hilang atau lebih tepatnya berganti medan hati.
Penonton yang setia di depan layar televisi adalah pembaca yang cermat kalau tidak bisa disebut pelotot iklan-iklan pembohong besar dalam kenyataannya.
Kuli-kuli pasar yang letih dan berkeringat adalah filosof jail saat melihat bokong-bokong wanita baik janda atau anak gadis kita.
Dewan yang-katanya terhormat-duduk di gedung kura-kura dan Nusantara adalah perancang-peramu-pelaku dalam sarang Koruptor dan Kleptokrat, tentu saja yang tersisa yang baik yang tak terlihat dari mata telanjang kita.
Dan masih banyak lagi yang bisa kita tulis jika ingin menulis dengan ada “ide” atau “tanpa ide”, hanya saja “melangkah” itu perlu tapi juga bertahap, kita ingat perkembangan anak-anak.
Kita menatap tembok kosong, putih dan retak-retak kecil, juga bisa menjadikan kita seorang Platon di tempat dan waktu yang berbeda.
Sepandai apapun orang dalam tempurung otaknya, ia akan dilupakan dalam sejarah hidupnya, paling lama ia dikenang oleh orang-orang yang dekat dan kemudian hilang-lenyap kalau saja tak ditulis oleh orang lain.
Tulislah sederet nama iklan dalam setiap hari kita temukan, bisa merk sampo, sabun, pembalut, pasta gigi, jajanan pabrik dan pasar, nama-nama mantan pacar dan orang-orang yang dilupakan, maka akan menjadi sebuah tulisan yang menarik, dan tentu saja akan menjadi puisi yang bagaimanapun ia bisa membacanya, bahkan yang mati suri, tak percaya? Buktikan saja dengan tulisanmu!
Salam budaya!
Kawat Status Bersanding 2 (Aforisme)
Di atas tanah Arab tidak pernah ada sejarah kedamaian, setidak-tidaknya perang terselubung. Arabisme kok dibanggakan.
Bangsa ayam paling menderita di mulut manusia, dari jenisnya. Ayam bersahabat dengan tikus dan manusia menjadikan musuh.
Tanpa mempercayai hari akhir (Kiamat, Yaumul akhir, dan nama Kepunahan lain) tanpa sadar manusia menciptakan sendirinya. Keimanan itu datang saat ketakutan dengan sedikit sembunyi ke diri tiap manusia.
Bumi merasa takut saat manusia dilahirkan kembali, ia sedikit lega dengan kematian satu-satu manusia. Satu bumi dipeluk hampir 7 miliar manusia dengan segala tangannya.
Aku paling suka meraba tanah, kupikir aku membangun rumah semuat seekor semut dan kubuat sekalian kuburan, ya persis pada Pic-Prof Tan Rusydov.
Je-ja(ring So)sial. sebenarnya laut sudah membiru di layar saat ikan-ikan dan terumbu karang mengubah diri jadi sastra-politik-agama-filsafat dalam sejarah budayanya sendiri. Ada (laut) Facebook yang tidak melaut? mungkin saja.
Kata ayahku; lebih baik cerewet di Facebook daripada cerewet di mimbar khotbah, seminar atau senayan….*_^.
Surau-surau dan masjid itu membuat telingaku berdarah mendengar puisi yang muntah, apakah tidak ada puisi yang berbisik ya…
Aku sudah berjalan di bawah yang hampir purnama, ada petir di halaman_ku. Aku lebih tertarik dengan purnama puisi senyummu, kenapa ya, mungkin engkau bisa membuat_ku malu. *_^.
Barang siapa yang mampu menguasai bahasa puisi, ia menguasai dunianya….yeah, meskipun dianggap gila dengan ketelanjangannya.
Entah ya, setiap yang kulihat dari aneka rupa wajahmu adalah puisi, dan itu pasti membuat_ku berdiam diri sambil diam-diam mencatat apa yang pantas menjadi diksi dan artikulasi, padahal aku ini paling tak paham dengan teori puisi. ^_*.
Ada yang bilang bahwa humor paling tinggi dan paling abadi adalah bahasa-puisi, meskipun sang penyair ditusuk nisan sendiri atau ia dibakar dengan marahnya api.
Siapa bilang puisi itu rumit, ibaratkan saja tangisan bayi di pagi hari/ Siapa bilang puisi itu sepi, anggap saja lalu-lalang transportasi/ Siapa bilang puisi itu rasa, ah, mungkin saat ini engkau kelaparan. ^-^.
Bahkan gigitan nyamuk kubaca sebagai puisi yang meminta ejakulasi dini, apalagi gigitanmu.
Garis hidup puisi tidak ditentukan oleh si penyair, tidak juga buku dan pasar. Ia termaktub di kehidupannya sendiri, bisa lapar, marah, kenyang, gembira juga bisa ngantuk. Selamat tidur puisi. Oh ya, salam buat pacar gelapmu. ^_^.
Kopi pagi dan puisi, semacam wanita muda merona dengan si dingin lelaki, hendak merengkuh embun yang dipeluk lekuk puisi.
Tiap pagi di pasar, yang kutemukan jajanan puisi, penyair janda, lidahnya menjulur kemana-mana, sampai ke dada keringku.
Kata siapa wanita di Facebook kesepian, ia datang dengan puisi. Lelaki yang paling kesepian meski sudah beristri.
Orang utan, simpanse, bonobo, gorila : Great Apes/ Siamang dan Owa : Lasser Apes/ Manusia : Apes doank, pemicunya.
Panca Sila itu puitis sekali….dan Tan Rusydov salah satu penggalinya. ^_^.
Sewaktu Sekolah Dasar, Tan Rusydov menjadi delegasi Cerdas Cermat dengan topik P4, kalah tapi dengan kepala tegak, karena itu bukan perlombaan puisi, lebih baik tahu diri. ^_^.
Beginilah, jam burung Tan Rusydov kembali pulang ke sarang, merehatkan puisi, namun terjangkit insomnia kelas tinggi. *_^.
Sudah dengan bantuan Bob Acri dengan Sleep Away_nya…Jazz 2004…masih juga puisi jingkrak-jingkrak di kepalaku.
Ayamku telah bertelur 9 puisi, sampai malam ini ia angkrem dan seringkali kuintip untuk membaca tiap telurnya.
Puisi adalah kegelapan, siapa yang ingin gelap ia berpuisi.
Begini ya, kalau ada yang tidak paham dengan maksud, anggap saja itu puisi.
Kalau ada yang membiasakan “maaf” dalam hidup, selama itu pula terbiasa dengan “lupa” dalam hidupnya.
Penyair itu kapal kertas kecil/ Puisi menjadi samudera tanpa tepi/ Bumi adalah kata, lalu maknalah yang membentang angkasa.
Menu masih sama; Nietzsche. Aku oseng-oseng dan kujepit dengan irisan tempe. Karbohidrat cukup. Secangkir zam-zam Bengawan Solo. Syukur itu sedikit makmur.
Puisi itu kekuasaan, manusia menjadi budaknya.
Fenomena itulah puisi paling indah di mataku, ia juga paling dalam di hatiku, ia sangat perkasa di putaran otakku. Tidak ada selain fenomena itu sendiri, termasuk puisi.
Puisi paling banyak menawarkan janji daripada mulut politisi/ Puisi bisa ditepati/ Politisi ingkar janji/ Selamat pagi!
….Kehendak untuk Berkuasa….puisilah panglimanya. tanpa penyair tak perlu pembaca.
Keimanan itu puisi, artinya apa, iman tak akan bisa diperdebatkan. Omongkosong dengan aliran, faham, madzhab dan semua.
Puisi mestinya tak diajarkan, puisi tidak ada sejarahnya dan nirkepunahan. Hanya kedunguan yang bisa mengujarkannya.
apakah puisi juga mandi, mungkin makna apek dan kecut yang mengajak manis menghampiri. senandung senja dan kopi kekasih.
puisi = aforisme/ tidak ada kelengkapan atas fenomenanya dan diterima/ditolak begitu saja.
Sejatinya politik itu puisi anak tiri, ia rakus dan angkuh, tapi malas bekerja. Puisi selalu membawa pesan perlawanan!!
Tidak ada jalan puisi kembali, sebab ia tidak punya kamus kerja-rodi. Dan di setiap perjalanannya selalu dengan darah, airmata, juga keringatnya sendiri.//
Setelah mengenal Tan, semakin bertambah data Saya mengenai jumlah penulis Lamongan yang terangkum dalam buku Antologi Sastra Lamongan Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga 2008).
C. Tan Rusydon Bertemu Jodoh
Berperantara teman Amrulloh (peminat sastra dan seni yang sedang menyelesaikan S2 Ekonomi di Undar-Jombang) saya mengenal Tan. Yang menarik bagi Amrulloh hingga bercerita ke Saya adalah bagaimana tulisan ‘Kawat’ Tan bisa ditunggu para penggemarnya. Bahkan, ketika media blogs yang dipakai khusus untuk mengunggah Kawat-Kawat Tan, terblokir, peminat tulisan Tan, hingga mencari dan bertanya-tanya. Yang paling berharga bagi Tan atas tulisannya ialah ketika tuangan rasa dan pemikirannya menyentuh hati Siti Muamalah, dara jelita kelahiran Ploso-Jombang yang telah lama berdomisili dan sukses di Nusa Dua Bali. Bagi Mala, betapa anugerah hidup tersempurna jika ceruk palung hatinya bisa dipenuhi Tan hingga akhir hayat. Lebih dari itu, Mala merasa, dalam diri Tan ada nilai tak terhingga bagi umat manusia yang ia merasa perlu turut merawatnya.
Berkaca dari jati diri tulisan, Tan dan Mala kemudian saling menziarai belantara jiwa masing-masing hingga ke wilayah pedalaman sekali pun. Betapa keduanya saling terpukau menyaksikan bunga warna-warni dalam berbagai pertamanan perdu yang menyeruakkan wewangian semerbak. Taman-taman yang menghampar luas. Tentu sangatlah mudazir jika kemudian keduanya tidak menjadi sepasang kupu-kupu berasayap jelita yang terbang beriringan ke sana-ke mari, hinggap di kelembir berhelai-helai dedaunan dan kelopak. Bukan sekedar keasyikan ke dua kupu-kupu dengan adanya bunga, melainkan penyejuk teduh bagi setiap pelupuk mata yang memandang. Apalah arti taman dan kupu-kupu tanpa pelupuk mata, meski keduanya sudah indah sedari asali.
Tan, sang lelaki kemudian bercericit, mengibaskan sayap, menggelar keindahan tiap helai bulu-bulunya di bawah tenggaran matahari. Sang pemilik spermatozoon sejati itu pun bergerak aktiv keluar menemui ovarium yang bersifat menunggu. Alkhasil, pada 29 Agustus 2011, sehari menjelang puasa, Tan berhasil menemui Mala. Dari pertemuan pertama tersebut kemudian terbentanglah sajadah panjang bagi lamunan kedua muda-mudi ini untuk meletakkan dahi saling mensujudi gelaran hidup sepanjang massa. Tentu bukan saling menyembah setara Tuhan, melainkan saling mengagungkan atas hasil karya Tuhan yang teramat indah (jodoh) dan dipersembahkan atas diri mereka.
Nyanyian cinta segera bersenandung di antra ke duanya. Mereka tak bosan mengeja ulang ayat cinta yang berserakan. Dunia hilang menjelma kekasih. Apa pun yang di hadapannya tampil sebagai wajah kekasih, bayangan menguntit ke mana pun diri berada. Seperti Kahlil Gibran, ke duanya terjangkit Gairah Asmara sedemikian hebat (Diva Press 2004): Laksana setangkup gandum, cinta menyatukanmu dengan wujudnya, mengulitimu sampai engkau bugil-bulat, menyerutimu sampai engkau terbebas dari lapis luarmu, meleburkanmu demi memutihkanmu, menghancurkanmu sampai engkau menjadi liat, dan akhirnya menuntunmu memasuki api sucinya, lalu engkau pun menjelma roti suci sebagai perjamuan bagi Tuhan // Cinta dan semua yang dipercikkannya, pemberontakan dan semua yang ditumpahkannya, kebebasan dan semua yang diterbitkannya, adalah bagian dari Tuhan, dan Tuhan adalah ketakterbatasab pikiran dalam semua keterbatasan dunia // Aku memiliki kawan dari diriku sendiri yang melipurku ketika malapetaka hari hari kian mengganas. Ia menemaniku manakala musibah demi musibah kehidupan menimpa.
Seri berikutnya, Tan mulai membuka beberapa kitab kajian wanita, katurangganingnya, untuk menyelami lubuk terdalamnya. Wanita, sosok makhluk unik yang tak kunjung selesai dibaca. Wanita yang oleh kawan Mardi Luhung hingga usia sepuh itu tetap mengatakan ‘Aku Jatuh Cinta Lagi Pada Istriku’. Pun juga yang diterawang Nurel dalamKPM pada bab: Membuka Raga Padmi. Perempuan itu kembang di pertamanan mimpi, siapa tandas menghirup kedalamannya, misteri kelembutan bakal sampai // wanita membawa ruhmu ke puncak padang padat pasir lamunan bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian // Jangan memegang sayap kekupu, nanti meronta tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja, lantaran dirinya telah memahami semerbak angin di udara.
Atau, Tan mengulangi gelombang sejarah Adam pada hari Tarwiyah dan Arafah. Di tengah kejumudan menyisir bentangan samudera dan benua untuk menemukan Hawa sang kekasih hati, teman surga-dunia dari tulang rusuk sendiri, Adam tepekur lelah di Jabal Rahmah. Ia duduk bersendeku, dagu tepat di tengkuk lutut, sedang telapak tangan merangkul ke dua kaki dan bersilang di atas telapak kaki (depan mata kaki). Ketika itulah keputusasaan Adam memuncak. Nisbi rasanya menemukan jodoh yang tercipta sejak di surga dulu. Tiba-tiba angin semilir dari bukit sebelah, angin yang berhembus membawa aroma Hawa. Seketika Adam jenggirat, lek teko ambune gak panggling, ini mesti aroma Hawa sedang berada di sekitar Jabal Rahmah. Adam pun berdiri sembari melepas bidik matanya ke bebukitan sekeliling. Ketika itu samara-samar dan sayup-sayup terlihat sekelebat Hawa. Sepontan Adam berteriak sekeras halilintar yang terpercik dari kerinduan menggumpal berabad-abad, menyeruak dalam dada. Alkhasil keduanya pun berpelukan di Jabal Rahmah pada hari Wuquf tanggal 9 Dzulhijjah.
Saat kerinduan memuncak, kebimbangan pun mengiringi. Pada sisi tersebut, Tan bertemu ruas dengan apa yang dijelentrehan Alang Khoirudin dalam bukunya: Percikan-Percikan Cinta Kado Pernikahan Untuk May (istri Alang Khoirudin), Pustakailalang 2006. Dalam buku yang tersusun 11 bab itu, Alang mengulas khusus perihal kelemahan wanita yang berkarakter seperti tulang rusuk, keras dan cenderung membengkok. Maka, jika kasar meluruskan, akan patah. Pun juga demikian, jika tidak diluruskan akan terus mblarah. Wanita identik dengan anting-anting yang tak henti bergoyang. Terlebih dihadapkan pada bahjat menyatukan dua hal yang berbeda. Di situ akan tumbuh dua ego bertabrakan, yakni ego ‘aku’, dan ego ‘dia’. Untuk menghilangkan ‘aku’ dan ‘dia’, maka ke duanya harus melebur menjadi ‘Dia’, Yang Maha Sejati. Di sanalah tataran berumahtangga dipertanyakan, opo gunane rabi lek gak iso ngajak anak-bojo nyedak marang Gusti.
Lain Tan, lain Mala. Sebagai wanita, Mala pun ingin mengamalkan hadist-hadist dan ayat yang terangkum dalam kitab Uqudul Lijjaini, kitab basis bagi perempuan jika berumahtangga karya Imam Nawawi Benten. Atau kitab serupa yang lebih moderat, yakni Qolat Li Jaddati karya Muhammad Rasyid al-Uwald yang di-Indonesiakan oleh M. Abdul Rahiem Mawardi, (Dar Ibnu Hazm, Beirut, Libanon 1415 H / 1994 M). Buku tersebut memuat rumus-rumus bahwa wanita sebagai power ruh pengendali keutuhan rumahtangga.
Pendambaan naluriyah bagi setiap insan adalah terwujudnya kebahagiaan berumahtangga, sebuah nilai yang tak sebanding ditukar berapa pun, dengan apa pun. Kesalahan mendasar bagi penghuni kehidupan adalah ketika meletakkan standart ke-bahagiaan di atas harta-benda. Maka lahirlah rumus: jika bergelimangan harta ia akan bahagia, namun jika tidak akan susah. Padahal, ada banyak kemerdekaan hidup cukup mengolah: kaya dalam kemiskinan, terang dalam kegelapan. Dengan kata lain, sugeh yo gak sombong, mlarat yo gak susah, biasa wae, sing penting bahagia.
Jika saatnya terjadi, kapan Mala ditakdir mendampingi Tan, tidaklah berlebihan yang dituntut dan dilakukan Mala, kecuali sekedar sebagai sosok istri dalam Novel The Home and the Word, Rabindranath Tagore (Penerima Nobel Sastra tahun 1913): “suami-istri itu sama haknya dalam bercinta atas pasangan.” Aku tidak membantah dalam hal ini. Tetapi hatiku berkata bahwa pengabdian bukan berarti ketidakbersamaan, justru malah meninggikan derajat kebersamaan. Karena kenikmatan kebersamaan yang tinggi itu akan selalu abadi, dan tidak akan menjadi kebersamaan yang rendah dan vulgar.
Cintaku, sungguh mulia hatimu, karena tidak mengharapkan pengabdianku. Tetapi bila engkau mengingat pengabdianku, itu berarti anugerah bagiku. Kamu perlihatkan cintamu dengan menghiasiku, mendidikku, memberi apa yang kuminta, bahkan apa yang tidak kuminta. Aku melihat kedalaman cinta dari kelopak mata ketika kau memandangku. Aku juga rasakan kepedihanmu dalam menjaga cintamu padaku. Kau cintai tubuhku seperti bunga dari surga. Kau cintai keseluruhan diriku seolah-olah benda berharga milikmu yang tak ada duanya di dunia.
Aku bangga dengan persembahanku padanya, karena inilah kekayaanku yang membuat suami bersujud di gerbang pintuku. Tetapi kebanggaan seperti ini bisa menghalangi penyerahan total cinta perempuan. Andai pun aku duduk di tahta ratu yang menerima persembahan, maka persembahan itu menuntut semakin banyak hal yang tak terpuaskan. Adakah kebahagiaan sejati bagi seorang perempuan yang berkuasa atas diri laki-laki? Hanya dengan merendahkan diri dalam pengabdianlah maka jiwa perempuan akan terselamatkan.
Wanita dengan adat ketimuran masih berpeluang dibanggakan suami. Kesetaraan derajat dengan kaum laki-laki yang dipahami wanita Timur ialah bagaimana wanita berposisi sama dengan suami, mewujudkan cinta yang ditemukan bersama hingga berkembang dan melebar berupa keturunan anak cucu, beserta keharmonisanya. Konsep wanita Timur sedemikian detail mengamping perkembangan anak cucu untuk mencapai pribadi tangguh. Yakni pribadi yang muncul dari keseimbangan kasih-sayang atas keutuhan rumahtangga. Tidak sekedar menemukan cinta lalu membubarkannya. Membincang harapan wanita Indonesia, Saya menulis khusus dalam judul: Wanita Indonesia, Tiang Ibu Pertiwi (lacak google).
Sangat berbeda dengan kebudayaan wanita Barat kontemporer, di mana kebanggaan wanita Amerika dalam hal pernikahan hanya sebatas penghapus julukan bahwa dirinya sangkal jodoh, perawan morek yang gak payu rabi. Setelahnya akan memilih jalan single parent/ menjanda dengan dalih tuntutan wanita karier. Wanita Barat lebih enjoi dari tuntutan kewajiban sebagai istri yang mereka nilai terlalu ribet mengganggu kepuasan dirinya. Pola hidup semacam ini meletakkan batu pertama kegagalan menjadikan keturunan tangguh, sebab sejak awal anak sudah diajari mental pengecut yang tidak berani bertanggungjawab terhadap kodrat bahwa dirinya adalah wanita.
Ada banyak pertimbangan sesungguhnya antara Tan dan Mala sebelum memasuki dunia penyatuan mereka, namun keduanya sepakat menghadapi segala rintangan bersama. Sehingga pada Selasa, 01 Nopember 2011, mereka melangsungkan pernikahan di desa Sentul, kecamatan Tembelang-Jombang. Tidak sebatas itu, sang istri sedang mengurus visa hendak mentraktir suami berbulan madu ke Negeri Kanguru-Australia.
Dengan niat suci mengikuti kesempurnaan sunnah Rasul dan ridlo semua pihak, semoga bahtera rumahtangga Tan-Mala sampi di wilayah mawaddah wa rahmah. Seperti apa konsep mawaddah wa rahmah tercapai? Dari beberapa buku tuntunan berumahtangga, Saya tertarik pemikiran radikal Emha Ainun Nadjib pada suatu Pengajian Padhang mBulan yang menyinggung khusus soal be-rumahtangga. Emha memaparkan bahwa konsep mawaddah wa rahmah ialah aturan rumahtangga yang dibentuk dan dipatuhi anggota keluarga. Bukan suami atau istri yang menjadi pemimpin dalam rumahtangga, melainkan hukum yang sudah disepakati keduanya. Artinya, baik suami, istri, anak, harus patuh pada hukum rumahtangga yang diterapkan pada suatu keluarga. Dalam konsep demikian, siapa yang melanggar aturan, ia akan terhukum oleh aturan itu sendiri.
Emha mencontohkan satu kinerja konsep mawaddah wa rahmah semisal: suami mendapat uang berapa pun dari hasil kerjanya, diserahkan sepenuhnya pada sang istri tanpa sisah sedikit pun. Bukan istri sebagai istri, namun istri sebagai menejer PT Mamawaddah Wa Rahmah yang mereka jalankan. Sebaliknya, jika suami ingin membeli hal sepeleh pun harus meminta uang pada sang istri. Bukan sebagai istri suami meminta, melainkan pada menejer PT Mawaddah Wa Rahmah. Kelebihan teori Emha tersebut pada ketersangkutan istri-menejer-keluarga dalam kiprah di luar mereka, ketika suami berada terpisah dalam tugas, ia memberi sebatang rokok pada teman, atau bersedekah pada orang tertentu, uang yang suami pakai bukan dari kantong sendiri, melainkan dari keuangan PT Mawaddah Wa Rahmah. Artinya, meskipun memberi sereceh uang pada pengemis, atau sebatang rokok pada teman, pahalanya tercatat hingga seluruh keluarga. Konsep Emha inilah yang orang Jawa bilang istri itu suwargo nunut, neroko katut. Maka suami harus pandai menyertakan keluarganya memasuki batas wilayah surga.
Dalam pertemuan pengantin Jawa, ada tradisi Jago-an, yakni pengantin laki-laki disimbolkan se-ekor ayam Jago yang bernama Sawung Seto Wono (sawung = ayam jantan, seto=putih, wono= alas / hutan). Artinya, pengantin laki-laki, diidamkan seorang ksatria yang sudah melanglangbuana ke berbagai perguruan suci, ilmu sejati. Ayam pejantan ini sengaja mencari sosok ayam betina yang bernama Sekar Joyo Mulyo, sing durung rontok saripatine (sekar= kembang, joyo=jaya, mulya=mulya). Durung rontok saripatine=belum terkonstaminasi berbagai teori yang meruntuhkan derajat kewanitaan sebagai wanita. Sastra-sastra Jawa tersebut khusus diudal ketika acara pertemuan pengantin yang menggelar Roro Pangkon yang selengkapnya bisa dibaca pada tulisan bahasa nJombangan Saya yang berjudul Bubak Kawak-Roro Pangkon (lacak google). Namun sekelumit pengharapan masyarakat Jawa pada sejoli yang menikah, tergambar pada sebagian tulisan Saya berikut:
Pangkringane: Kajeng Krudo Mandero
Peturone: Dalem adi gondo, bantal piwulang, kemul pitutur
Kurungane: Lahir lan bathin
Mudune: Nduk jengkar guling, kursi gading, artine sak jerone gerdin, dodo siji tinawonan.
Turune: Nduk jero bakupon sing isi putri kewudanan, sang putro nibo pangkon.
Kluruk’e: Wayah jam 8 isuk, metu nduk pengayomane Sidodadi ngadep nang bapak Naib, diapit poro priyayi laras karo agomone.
D. Tan Rusydov Hibah Perpustakaan
Selama kuliah di Yogyakarta, Tan tergolong mahasiswa yang peduli dengan buku. Sekian uang saku yang dikirim ayahnya (H. Pasrah), ditabung dan dibelanjakan buku yang ia lacak dari gang perbukuan di Yogya. Hingga pada titik Tan menikah, seperti yang dituturkan pada Amrul, “hai Bro! Tolong jaga dan manfaatkan dengan baik buku-buku saya ya! Aku membelinya dulu sekitar 50 juta-an.”
Inisiatif Tan memberikan buku perpustakaannya pada Amrul, seorang kawan lama yang berdomosili di Kwadungan-Badas-Sumobito, setelah menemukan kesepakatan dengan Mala perihal kepulangan setelah menikah. Dengan perhitungan cermat akhirnya terputuskan bahwa Tan akan mengikuti sang istri di/ke Pulau Dewata. Sementara keluarga di rumah yang tidak ada militansi terhadap dunia perbukuan, tentu akan membuat sekian buku perpustakaan Tan mandeg dan mubazir. Agar lebih efektif, terawat dan lebih bermanfaat besar orang lain, seluruh buku perpustakaan Tan akhirnya diberikan, dititipkan, dihibahkan atau apa pun namanya, yang jelas pada 12 Oktober 2011 lalu, ia mengusung bukunya hingga satu colt penuh ke kediaman Amrul di Kwadungan.
Belajar dari cara Tan memberlakukan perpustakaan di atas, kita dapat menilai arti sebuah konsistensi terhadap dunia perbukuan. Di mana Tan, berfikir kemanfaatan komulatif, yakni fungsi sebuah buku dibaca tersebar di masarakat. Artinya, semakin banyak bacaan yang beredar di masyarakat, semakin luas pula penyebaran berbagai ilmu yang dipahami masyarakat. Sikap Tan tersebut melahirkan wacana bahwa yang membeli buku belum tentu membaca. Meski bagi kolektor buku pasti ada saatnya buku yang ia beli akan dibaca. Sementara di sisi lain, yang mengalami keterbatasan membeli buku, akan terbagi bisa membaca.
Sikap Tan yang demikian termasuk ‘pustakawan’berhati kaya. Meski ia belum membaca buku yang dibeli, sedang orang lain mendahului mendapatkan ilmu dari buku yang ia beli, tidak rugi sedikit pun baginya, sebab tujuan utama bagi penjelajah ilmu adalah meningkatkan pengetahuan secara merata.
Era-percetakan yang hadir sebelum era-google, sertamerta menciptakan militansi yang luar biasa terhadap pencari wawasan. Tidak bisa dipungkiri. Hingga era media elektonik yang lebih efektif dan efisien: praktis, ringan, tidak memerlukan bahan kertas ber-ton ton untuk memuat sebuah tulisan, pemangkasan biaya produksi kertas yang apalagi dikuasai kapitalisme produksi (perdagangan), masih kita jumpai pustakawan ’konyol’. Pustakawan jenis ini berulah menumpuk buku persis burung membikin sarang. Tidak memperhitungkan siapa dan apa sempat dirinya membaca. Bahkan demi terpandang sebagai kolektor buku, beberapa dosen membangun buku pustakanya dengan ‘meminta’mahasiswa dengan alasan ‘titip dibelikan’ saat mencari referensi skripsi. Tentu saja sang mahasiswa akhirnya sungkan meminta uang harga buku, takut kalau skripsinya mendapat kendala.
Tentu dari kedua jenis pustakawan di atas ialah seberapa mereka bersikap seperti gerobak keledai mengusung buku, apa arti sebuah buku pada tempat yang tidak berkaitan dengan pembelajar.
E. Saya Membaca Puisi Antologi Pernikahan Tan-Mala
Sengaja Tan menampung puisi kiriman teman jejaring yang ia kenal untuk diantologikan khusus sebagai kado pernikahannya dengan Mala. Tentu tidak berharap banyak bagi pengirim tulisan untuk kado pernikahan Tan-Mala, kecuali jika setiap kata berfrekuensi do’a, puisi itu merupakan entri point tersendiri bagi mempelai. Syukur berfungsi sebagai energi positif yang menguatkan sendi-sendi kekokohan rumahtangga kedua mempelai. Di antara pengirim tercatat nama Yeni Francisca, Arasandi, Taufik Jokolelono, Sulis Gingsul, Umi Widiarti, Hazil Aula, Fidelis Situmorang dll. Saya sendiri mengirim puisi ‘Istriku’dalam antologi tersebut. Tidak hanya mengirim, Saya yang sempat hadir pada malam resepsi juga didaulat membacakan puisi di sela-sela gebyar orkes elektrunan.
Istriku
istriku
engkaulah bulan ndaru yang jatuh di sepertiga malamku
bulan kemerahan
turun menempa tempayan ubun-ubunku
setelahnya
terhiaslah warna-warni permadani
pada tahta cinta yang kuhuni
singgasanalah cinta
aku raja dan kau ratunya
kasih sayang menjelma dayang-dayang
berkerumun mengerubuti
risau dan rindu menyembah, mengabdi
istriku
gravitasi ‘kita’ sedemikian hebat
penyatuan yang menghilangkan ‘aku’ dan ‘kau’ mejadi ‘kita’
hingga partikel atom terkecil pun
kita adalah suluk asmorondonotirtodauno
aku angin dan engkau hawa
aku semilir mencari kesejatian
panas-dingin
dingin-panas
anak ke tujuh
ibu bumi
bapak mentari
lahirlah
sejuk-sejuk
damai-damai
bersahaja
dalam istana cinta tak ada kita
melebur
menyatu
satu, satu, satu
anak kita
para pangeran
yang rambutnya mirip denganku
sedang alisnya mirip denganmu.
Di antara berbagai acara yang memperkenankan Saya membaca puisi, merupakan kebanggan tersendiri bisa membaca di resepsi pernikahan, sebab di sana Saya menyaksikan kebahagiaan pertemuan dua insan yang saling menyinta. Selain itu, puisi yang selama ini hanya dinikmati komunitas tertentu, di sana puisi dapat didengarkan masyarakat ndeso klutuk yang terperangah.Tidak besar harapan Saya dengan keterlibatan membaca puisi tersebut, kecuali sekedar menghantarkan Tan-Mala pada kesadaran yang: -Nyawa mereka sudah dijodohkan sejak berjuta-juta tahun lalu di Suralaya
-Anak mereka sudah lahir di Cakrawala
-Mata mereka akan bertatapan berabad-abad
-Hingga maut datang menjemput
-Namun cinta tak akan larut.
*) Sabrank Suparno. Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Bergiat di Lincak Sastra-Jombang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar