20/03/12

Identitas dan Tubuh yang Dilepaskan dari Bahasa

Afrizal Malna
http://publiksastra.net/

DUA lembaga pembacaan sastra hingga kini saling tarik-menarik, menghasilkan negosiasi yang tidak mudah untuk melihat wajah sastra Indonesia masa kini. Yang pertama, lembaga kritik sastra. Saya ingin menyebut lembaga ini sebagai “sastra pertama”. Sastra pertama ini awalnya menghasilkan negosiasi yang gesekannya cukup tajam antara politik dan pandangan-pandangan kebudayaan. Terutama pada masa-masa polemik kebudayaan, dan pandangan antara universilisme sastra dengan sosialisme dan kemudian kontekstualisme. Negosiasi ini kini kian mereda dan cenderung menghasilkan sastra mono kultur.
Infrastruktur Lembaga sastra pertama ini, mekanisme dan konservasinya tidak pernah eksplisit. Umumnya lembaga ini bermain di tingkat redaktur media massa cetak, Dewan Kesenian, Taman Budaya, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pemberi hadiah sastra, perpustakaan sastra dan komunitas-komunitas sastra.

Lembaga kedua adalah pasar, yang dimainkan oleh para penerbit buku dengan permainan pasar yang mereka jalani, entah lewat pelebelan buku best seler dan imij selebriti. Saya menyebut lembaga ini sebagai “sastra kedua”. Negosiasi yang berlangsung dalam sastra kedua ini lebih banyak bergerak di antara kepentingan modal, pasar dan seremoni. Kapitalisasi sastra dan pasar ikut mengambil isu-isu publik di sekitar gaya hidup, politik gender dan eksotisme sejarah maupun agama. Kedua lembaga ini, antara sastra pertama dan kedua, sama-sama tidak eksplisit memperlihatkan prosedur yang mereka jalani maupun politik sastra yang mereka lakukan. Ada kesan cukup signifikan dimana sastra kedua, yaitu pasar, kian kuat dan mengaburkan peran sastra pertama. Dalam beberapa hal, sastra pertama dan kedua mudah untuk melakukan kolaborasi satu sama lainnya. Hal ini misalnya muncul lewat pengarang-pengarang yang memiliki kemampuan membiayai penerbitannya sendiri, dan menggunakan pengantar pada bukunya dari para penulis yang dianggap sudah menjadi ikon pada lingkungan sastra pertama, atau ikut sebagai juru bicara bukunya.

Di antara kedua fenomena itu, kini muncul fenomena “sastra ketiga”, yaitu semua aktifitas sastra yang bergerak di dunia internet maupun mobile phone. Sastra ketiga ini merupakan fenomena baru, memiliki potensi besar menghasilkan komunitas sastra maupun pergaulan sastra tanpa rejim. Sastra ketiga sebenarnya memiliki potensi besar untuk memasuki dunia digital atau elektrik dan menghasilkan estetikanya sendiri dalam kancah politik multimedia. Kalau sastra pertama berhadapan dengan agresi nilai atau mainstream sastra, sastra kedua berhadapan dengan agresi pasar dan publisitas, maka sastra ketiga berhadapan dengan agresi mobilitas, percepatan dan benturan antar disiplin yang lebih massif.

Ketiga sastra di atas memiliki potensi untuk mendorong terjadinya perubahan radikal dalam klaim sastra. Sastra menjadi bagian dari napas publik. Sastra bukan lagi lingkungan tertutup, setiap orang memiliki hak dan potensi untuk menerbitkan karyanya. Demokratisasi sastra ini juga belum tahu akan bergerak kemana. Demokratisasi sastra ini juga belum menghasilkan negosiasi alternatif untuk estetika yang lain. Ia lebih banyak bermain di tingkat kuantitas daripada kualitas. Negosiasi konseptual belum signifikan terjadi. Karena itu demokrasi ini cenderung menghasilkan polusi sastra. Karya sastra bertumpuk di pasar, dan pembaca tidak memiliki mekanisme atau prosedur berdasarkan apa untuk memutuskan buku yang akan mereka konsumsi. Publik cenderung berhadapan dengan “pasar buta” kesusastraan. Publik harus menjadi bagian dari komunitas sastra tertentu untuk tahu karya sastra yang akan mereka konsumsi.

Bagaimanakah melihat kehidupan sastra Jawa Timur di tengah fenomena sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga ini? Pembacaan sastra lewat kawasan administratif dan konteks budaya yang melatarinya seperti ini baru mungkin dilakukan kalau kita mencoba memetakan kawasan administratif sastra ini sebagai kawasan provinsial. Dan pemetaan ini akan memberikan posisi yang signifikan dari bagaimana peranan sastra Jawa Timur dalam peta ini.

Saya merasa tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk membuat peta ini, tetapi pembicaraan ini tidak bisa menghindar dari keharusan dilakukannya pemetaan ini. Pemetaan yang akan saya turunkan di bawah ini sifatnya sementara, sederhana dan apa adanya. Saya lakukan lebih sebagai halte untuk melanjutkan pembicaraan ini.

PETA PUISI
Sumatra Jawa Barat Jakarta

Amir Hamzah Ramadhan KH Yudhistira Adri Nugraha
Chairil Anwar Ajip Rosidi F. Rahardi
Sitor Situmorang AS. Dharta Jefri Al Katili
Rifai Apin Karno Kardibrata
Sutardji Calzoum Bachri Acep Zamzam Noer
Fitri Yani

Jawa Tengah Jawa Timur Dst.

Rendra Abdul Hadi WM
Sapardi Djoko Damono Akhudiat
Darmanto Jatman Zawawi Imron
Wiji Thukul Mashuri
Dorothea Rosa Herliany Mardi Luhung
Joko Pinurbo F. Aziz Manna

PETA PROSA
Sumatra Jawa Barat Jawa Tengah

Hamka Remy Silado Tirto Adisuryo
Ras Siregar Mas Marko
Muchtar Lubis NH. Dini
A.A. Navis Ashadi Siregar
Hamsat Rangkuti Danarto
Triyanto Wirokromo
Gunawan Maryanto

Jawa Timur Jakarta Bali

Idrus Armijn Pane Putu Wijaya
Pramoedya Ananta Toer Sutan Takdir Alisjahbana Oka Rukmini
Budi Darma Ayu Utami
Ratna Sari Ibrahim Jenar Mahesa Ayu
Leres Budi Santoso Nukila Amal
Lan Fang Dian Sastrowardoyo
Fahrudin Nasrulloh

Saya mohon maaf data yang sangat miskin untuk peta ini. Pembaca bisa menambahkan nama-nama dalam peta ini tanpa batas. Karena memang saya hanya membutuhkan tidak terlalu banyak nama untuk pembicaraan yang terbatas ini.

Cara saya menempatkan antara para penulis puisi dengan penulis prosa cukup berbeda. Untuk penulis puisi, faktor geologi, kultur (suku), ideologi, bahasa ibu dan reliji cukup menentukan. Sementara untuk penulis prosa cenderung lebih longgar, lebih menggunakan faktor kota domisili mereka. Penulis-penulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ramadhan KH, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, faktor geologi alam cukup organik dalam puisi-puisi mereka. Penyair seperti Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Ramadhan KH. Karno Kardibrata, Darmanto Jatman, faktor kultur (suku) dan bahasa juga organik dalam puisi mereka. Faktor ideologi bisa kita lihat pada Rifai Apin, AS. Dharta atau Wiji Thukul. Sementara faktor lain kuatnya budaya kreol pada puisi Yudhistira Adri Nugraha, Akhudiat, F. Rahardi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Jefri Al Katili, Mardi Luhung atau F. Aziz Manna. Dalam budaya kreol ini, warna urban merupakan bagian dari fenomena puisi-puisi mereka.

Tubuh Geologi dari puitika Zawawi Imron

Dalam peta itu, D. Zawawi Imron memperlihatkan jejak paling berwarna untuk melihat strategi puitika Jawa Timur dalam peta puisi Indonesia. D. Zawawi Imron banyak dilihat puisi-puisinya organik dengan ikon-ikon alam maupun kultur Madura dan tradisi sastra pesantren, juga menyimpan militansi khas Jawa Timur. Militansi yang bisa ditarik ke daya hidup, mistik, maupun konsekuensi-konsekuensi sosial seperti dalam sajaknya Utang atau Celurit Emas. Militansi yang kadang-kadang menjadi tidak berbatas lagi dengan semacam nihilisme puitik. Melalui puisi-puisinya. kita seperti kembali menyusuri daun-daun kering antara cerita-cerita panji dan candi, menaiki perahu antara laut, sungai dan hutan, menyusuri folklor-folklor pesantren dan menciptakan adanya komunitas literer yang memang berpikir dengan imaji dan bukan dengan logika. Budaya lisan saya kira merupakan seponsor utama untuk lahirnya cara berpikir seperti ini.

Puisi-puisi Zawawi memiliki strategi puitik yang umumnya bergerak dari isu-isu sosial, nilai-nilai lokal atau reliji sebagai “tubuh pertama” dari puitikanya. Isu atau nilai-nilai ini kemudian bergerak mengalami internalisasi dan menghasilkan “tubuh kedua”. Lihatlah sajak Utang karya D. Zawawi Imron ini: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami (dari Ribut Wijato, “Propinsi Para Penyair”, 2002).

Tema utang dalam puisi Zawawi, yang merupakan isu nasional, dalam strategi puitikanya mengalami internalisasi seakan-akan utang telah menjadi tubuhnya sendiri. Melalui tubuh kedua ini, penggemparan dan pengukuhan atas eksplorasi imaji-imaji puisi mulai dilakukan hingga mendapatkan posisinya yang massif dan militan.

Tubuh kedua ini cenderung melakukan distraksi atas isu atau tema yang diangkat. Tema hutang oleh Zawawi dialihkan melalui internalisasi individual: Hutang menjadi aku, hidup dalam tubuhku dan menjadi tubuhku sendiri. Internaliasi yang berlangsung menjadi mistifikasi antara aku dan hutang. Di sini imaji bergerak menjadi tidak terduga, dan unsur-unsur kultur mendapatkan ruang lebih besar untuk digerakkan. Setelah itu “tubuh ketiga” diciptakan untuk mendistribusi metafor ke ruang dan waktu yang lebih luas, menjadi samudra dan anak-cucu. Tubuh ketiga ini menjalan fungsi untuk menyampaikan semacam pesan yang dibawa puisi. Pesan dengan imaji-imaji kewilayahan.

Geologi puisi muncul dalam jeda antara tubuh kedua dengan tubuh ketiga, yaitu munculnya unsur laut. Dalam puisi yang lain munculnya unsur alam dan ikon-ikon kultural maupun reliji. Strategi puitika seperti ini khas mewarnai banyak puisi Zawawi. Kemampuan geologi tubuhnya bahkan dengan mudah ditransfer oleh Zawawi ketika ia menulis puisi-puisi dalam konteks kultul yang lain. Hal ini bisa dilihat ketika Zawawi menulis sajak-sajak dengan kultur bugis. Kultur bugis bertemu dengan tubuh geologi Zawawi lewat laut: bertemunya Bugis dan Madura lewat budaya laut atau pesisir.

Puisi-puisi Zawawi menjadi lebih kaya bila dibaca melalui puisi-puisi Abdul Hadi WM. Irama-irama yang lebih menghujam, tegas, menikam dan dramatik pada puisi Zawawi, mendapatkan koreografi lain bila dibaca melalui imaji-imaji puisi Abdul Hadi yang lebih banyak melanjutkan lirisisme puisi Indonesia.

Tubuh geologi Zawawi itu cenderung tidak menjadi tubuh yang bertanya, melainkan lebih sebagai tubuh yang menyatakan. Berbeda dengan puisi Abdul Hadi yang cenderung hidup sebagai tubuh filosofis yang memainkan pertanyaan-pertanyaan.

Nilai-nilai heroik pada puisi-puisi Zawawi tidak lagi berlangsung pada puisi-puisi Abdul Hadi WM yang cenderung filosifis. Zawawi, misalnya, tidak mengakses asal-usul hutang yang merupakan tema nasional ini: skandal antara ekonomi nasional dengan keuangan internasional. Ia membawa hutang itu ke dalam tubuhnya sendiri. Di balik kerja mistifikasi seperti ini ada daya hidup dan militansi. Militansi yang kadang-kadang menjadi nihilistik juga.

Identitas dan Bonek

Saya tergoda untuk melihat militansi yang tidak bertanya itu ke wilayah politik identitas. Di balik militansi itu, di antaranya terdapat klaim heroisme yang disandang Jawa Timur, terutama melalui Perang Kemerdekaan. Nilai-nilai militan dan klaim militansi itu sendiri bisa dilihat sebagai dua hal yang berbeda. Namun klaim heroisme mendapatkan peluang yang memang jauh lebih luas untuk mengkaitkan dirinya ke dalam tradisi militansi itu. Militansi yang mungkin datang dari elan vital budaya laut atau pesisir dalam menghadapi kerasnya kehidupan di laut.

Atau militansi itu memang menjadi kheos ketika yang dihadapi bukan lagi laut, melainkan politik kolonialisme global yang berlangsung melalui kolonialisme Belanda dan politik internasional yang dijalankan kepentingan Amerika dan Inggris melalui tentara sekutu. Dalam kheos itu, heroisme itu memperlihatkan sisinya sebagai amok massa; berlangsung di luar strategi politik nasional. Hal ini bisa dilihat misalnya melalui penelanjangan revolusi kemerdekaan yang dilakukan Idrus dalam novelnya Soerabaja. Karya ini sendiri cenderung dihindari dalam banyak kajian sastra di sekitar sastra Jawa Timur. Karena karya ini seakan-akan melawan heroisme yang mau dijadikan tradisi dalam wilayah ini.

Heroisme yang kheos itu kini mendalatkan tubuhnya yang lain dalam fenomena bonek. Saya tidak tidak tahu banyak tentang asal-usul tradisi bonek ini. Tetapi bonek saya kira merupakan bagian dari histeria sejarah untuk merdeka, untuk bebas dari penjajahan tanpa strategi pembacaan untuk tahu apa itu kemerdekaan dan apa penjajahan itu sendiri pada masa revolusi kemerdekaan. Bambu runcing digunakan untuk menghadapi mesin perang tanpa takut. Pekik kemerdekaan atau Allahu Akbar sudah membuat kita menjadi heroik walaupun harus mati sia-sia. Mati tanpa tahu apa itu kemerdekaan dan apa itu penjajahan.

Dalam politik identitas, bonek ini merupakan tubuh kheos dari tidak bertemunya antara tubuh budaya dengan tubuh nasional dalam konteks terjadinya perluasan politik identitas melalui Perang Dunia Kedua. Di balik Perang Dunia Kedua ini, politik identitas bergerak dari modernisme Eropa (yang didalamnya terkandung paham-paham sosialisme) ke modernisme Amerika yang kapitalistik dan hegemonis. Sementara itu di tingkat nasional bergerak isu-isu nasional untuk berdiri di atas kaki sendiri melalui perluasan pandangan-pandangan Marhaenisme yang Marxis ala Sukarno dan kemudian militerisme yang dibawa Nasution.

Bonek dalam novel Pramoediya Ananta Toer, Bumi Manusia, dapat kita temukan pada tokoh Minke: monyet pribumi dalam pergaulan kolonial. Juga dapat kita temukan dalam novel Rafilus karya Budi Darma sebagai dunia besi yang keras dan buta. Rafilus merupakan konstruksi realitas sosial yang tidak terjelaskan dan bergerak sebagai mesin sejarah yang buta. Mesin sejarah yang terbuka untuk lahirnya “negeri dusta” seperti yang berusaha dirumuskan oleh Abdul Mukid dalam cerpen dengan judul yang sama, Negeri Dusta.

Dalam novel Lan Fang, Perempuan Kembang Jepun, politik identitas ini bisa kita temukan melalui tokoh Sujono. Sujono merupakan lelaki Jawa yang hidup sebagai kuli. Ia tidak tahu untuk apa seorang lelaki bekerja. Ia bekerja hanya untuk mabuk dan berjudi. Untuknya lelaki itu seharusnya hidup untuk perang. Tetapi ia juga tidak tahu apa itu perang, siapa musuhnya (Belanda, Jepang atau Tentara Sekutu)? Seorang lelaki Jawa yang sebenarnya sangat polos, dan kemudian harus mengalami banyak luka dalam permainan politik identitas di sekitarnya antara dunia kuli, perjudian, mabuk, perempuan, cinta dan pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial antara China, Belanda dan Jepang. Ketika perang berkecamuk, Sujono justru menghadapi perangnya sendiri dalam konflik domistik yang dialaminya.

Pencairan identitas dan perluasan strategi literer

Lestari, Anak Sujono yang lahir dari seorang perempuan Jepang (Matsumi), merupakan tubuh politik identitas yang harus menerima derita dari pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial itu sebagai tubuh korban dalam sejarah. Ia hidup lajang sambil membawa bekas sayatan luka di wajahnya (luka dari konflik domistik). Pencairan atas luka-luka sejarah justru merupakan politik kesadaran yang dilakukan Lestari kepada anak angkatnya, Maya, yang menikah dengan Higashi (seorang lelaki Jepang) pada bulan Desember 2003. Lestari berusaha menyembunyikan sedemikian rupa luka-luka sejarahnya agar anak angkatnya tetapi melihatnya sebagai seorang “orang tua tunggal” yang kuat dan cantik. Tetapi luka itu mudah dibaca lewat sayatan pada wajah Lestari.

Novel Lan Fang ini menurut saya menarik untuk membaca motif-motif “pembersihan diri” dari luka-luka sejarah. Yang menarik kemudian bagaimana politik identitas tidak lagi bergerak sebagai sesuatu yang organik, melainkan dengan mencangkokkannya. Yaitu lewat Maya sebagai anak angkat yang kemudian menikah dengan lelaki Jepang. Lan Fang dengan jelas mencantumkan waktu pernikahan mereka, Desember 2003 di Surabaya. Berarti berlangsung setelah reformasi terjadi.

Identitas yang tidak lagi dilihat sebagai organik atau sesuatu yang terberi itu, berlangsung bersamaan dengan pencairan identitas dan perluasan strategi literer yang berlangsung dalam puisi. Identitas tidak lagi bermain dalam imaji-imaji militan, melainkan melalui koreografi yang lebih bersifat prosaik. Hal ini berlangsung pada puisi-puisi Akhudiat, Arif B. Prasetyo, Mardi Luhung, Mashuri, F. Aziz Manna, R. Adi Ngasiran atau R. Giryadi. Strategi literer yang mereka lakukan sama dengan praktek menulis puisi melalui prosa. Puisi tidak lagi dipraktekkan sebagai genre yang mempertahankan identitasnya pada bentuk. Melainkan sebagai suatu kerja memperaktekan metafora dan bagaimana koreografi atas imaji dilakukan.

Puisi-puisi Akhudiat, yang masih memainkan unsur bunyi yang khas dengan hentakan-hentakan keras Jawa Timur (juga pada puisi Aming Aminoedhin), tidak lagi terjadi pada puisi di bawahnya. Puisi-puisi setelah D. Zawawi Imron dan Akhudiat, memperlihatkan kesan bagaimana bahasa dilepaskan dari tubuh. Bahasa dilihat semata sebagai gerak, dan dengan demikian koreografi atas imaji maupun struktur lebih mudah dilakukan. Beberapa praktek melepaskan bahasa dari tubuh ini memang menghasilkan “pengsumpekan” atau “polusi” puisi melalui bahasa. Bahasa tiba-tiba menjadi ruang yang terlalu luas dengan batas-batas yang tidak jelas lagi: penyair menghadapi semacam agresi dari bahasa yang telah dibuat hiruk-pikuk oleh media-media publik.

Perluasan bahasa seperti ini juga berlangsung pada prosa, terutama pada karya-karya Fahrudin Nasrulloh. Masuknya sekian banyak diksi-diksi baru bahasa Indonesia, dan diksi-diksi ini kemudian mengalami dekorisasi baru melalui dialog-dialog sufistik pada prosa-prosanya.

Fenomena itu memang tidak berdiri sendirian. Di antara puisi-puisi mereka bisa kita lihat puisi Ribut Wijoto yang masih perduli dengan rima, seperti juga yang pernah dilakukan Sabrot D. Maliaboro di antara puisi-puisi Saiful Hajar, R. Timur Budi Raja atau A. Muttaqin. Atau M. Faizi yang menggunakan bahasa dengan jernih.

Politik Geografi Sastra

Melihat politik geografi sastra dalam konteks Jawa Timur, ada 2 hal yang cukup mengherankan saya. Pertama, kehidupan sastra Jawa Timur lebih banyak diramaikan oleh lembaga sastra pertama yang dijalankan oleh komunitas-komunitas sastra, dewan kesenian dan media massa cetak. Pasar atau sastra kedua, lebih banyak diisi justru oleh sastra pertama. Dalam politik georafi ini, batasan kawasan dibuat hampir defenitif. Hampir tidak ada terbitan-terbitan antologi sastra di Jawa Timur yang ikut mengkurasi dirinya dalam konteks peta sastra nasional. Sehingga kawasan ini justru seperti memprotek dirinya untuk terjadinya pembacaan perbandingan secara langsung antara sastra Jawa Timur dengan di luarnya.

Keheranan saya yang lain dalam menghadapi fenomena Arif B. Prasetyo dan Beni Setia. Di kawasan Jawa Timur, Arif dikenal sebagai penyair dan eseis. Sementara di Bali, Arif justru lebih dikenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa. Begitu pula Beni Setia, Puisi-puisi Beni yang saya kenal, cukup dekat dengan musik blues yang sangat Bandung. Saya menduka imaji-imaji musik blues ini telah menjalin koreografi dengan model produk-produk imaji ala Si Kabayan dalam kultur Sunda. Imaji-imaji Kabayan bermain untuk terjadinya semacam perayaan sosial maupun sebagai katarsis dari tekanan-tekanan sosial dalam konteks budaya lisan. Sementara pada Beni, ia mengalami distraksi menjadi perayaan individu.

Kalau kawasan sastra Jawa Timur dibaca lewat pelepasan tubuh dari bahasa, dan mengkoreografi gerak imaji maupun metafor sebagai konsekuensi dari perluasan ruang global, maka kawasan ini seharusnya juga lebih membuka dirinya ke ruang politik pembacaan sastra yang lebih luas lagi, dan menjadi bagian dari demokratisasi sastra yang sedang berlangsung antara sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga. Demokratisasi sastra yang terbuka luas, bahkan untuk menulis puisi tidak lagi melalui media sastra, melainkan media lain yang non-sastra.
______________
Makalah untuk diskusi sastra Jawa Timur di Universitas Airlangga, Surabaya, 20 Juli 2010.
Dijumput dari: http://publiksastra.net/2011/03/identitas-dan-tubuh-yang-dilepaskan-dari-bahasa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita