Afrizal Malna
http://publiksastra.net/
DUA lembaga pembacaan sastra hingga kini saling tarik-menarik, menghasilkan negosiasi yang tidak mudah untuk melihat wajah sastra Indonesia masa kini. Yang pertama, lembaga kritik sastra. Saya ingin menyebut lembaga ini sebagai “sastra pertama”. Sastra pertama ini awalnya menghasilkan negosiasi yang gesekannya cukup tajam antara politik dan pandangan-pandangan kebudayaan. Terutama pada masa-masa polemik kebudayaan, dan pandangan antara universilisme sastra dengan sosialisme dan kemudian kontekstualisme. Negosiasi ini kini kian mereda dan cenderung menghasilkan sastra mono kultur.
Infrastruktur Lembaga sastra pertama ini, mekanisme dan konservasinya tidak pernah eksplisit. Umumnya lembaga ini bermain di tingkat redaktur media massa cetak, Dewan Kesenian, Taman Budaya, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pemberi hadiah sastra, perpustakaan sastra dan komunitas-komunitas sastra.
Lembaga kedua adalah pasar, yang dimainkan oleh para penerbit buku dengan permainan pasar yang mereka jalani, entah lewat pelebelan buku best seler dan imij selebriti. Saya menyebut lembaga ini sebagai “sastra kedua”. Negosiasi yang berlangsung dalam sastra kedua ini lebih banyak bergerak di antara kepentingan modal, pasar dan seremoni. Kapitalisasi sastra dan pasar ikut mengambil isu-isu publik di sekitar gaya hidup, politik gender dan eksotisme sejarah maupun agama. Kedua lembaga ini, antara sastra pertama dan kedua, sama-sama tidak eksplisit memperlihatkan prosedur yang mereka jalani maupun politik sastra yang mereka lakukan. Ada kesan cukup signifikan dimana sastra kedua, yaitu pasar, kian kuat dan mengaburkan peran sastra pertama. Dalam beberapa hal, sastra pertama dan kedua mudah untuk melakukan kolaborasi satu sama lainnya. Hal ini misalnya muncul lewat pengarang-pengarang yang memiliki kemampuan membiayai penerbitannya sendiri, dan menggunakan pengantar pada bukunya dari para penulis yang dianggap sudah menjadi ikon pada lingkungan sastra pertama, atau ikut sebagai juru bicara bukunya.
Di antara kedua fenomena itu, kini muncul fenomena “sastra ketiga”, yaitu semua aktifitas sastra yang bergerak di dunia internet maupun mobile phone. Sastra ketiga ini merupakan fenomena baru, memiliki potensi besar menghasilkan komunitas sastra maupun pergaulan sastra tanpa rejim. Sastra ketiga sebenarnya memiliki potensi besar untuk memasuki dunia digital atau elektrik dan menghasilkan estetikanya sendiri dalam kancah politik multimedia. Kalau sastra pertama berhadapan dengan agresi nilai atau mainstream sastra, sastra kedua berhadapan dengan agresi pasar dan publisitas, maka sastra ketiga berhadapan dengan agresi mobilitas, percepatan dan benturan antar disiplin yang lebih massif.
Ketiga sastra di atas memiliki potensi untuk mendorong terjadinya perubahan radikal dalam klaim sastra. Sastra menjadi bagian dari napas publik. Sastra bukan lagi lingkungan tertutup, setiap orang memiliki hak dan potensi untuk menerbitkan karyanya. Demokratisasi sastra ini juga belum tahu akan bergerak kemana. Demokratisasi sastra ini juga belum menghasilkan negosiasi alternatif untuk estetika yang lain. Ia lebih banyak bermain di tingkat kuantitas daripada kualitas. Negosiasi konseptual belum signifikan terjadi. Karena itu demokrasi ini cenderung menghasilkan polusi sastra. Karya sastra bertumpuk di pasar, dan pembaca tidak memiliki mekanisme atau prosedur berdasarkan apa untuk memutuskan buku yang akan mereka konsumsi. Publik cenderung berhadapan dengan “pasar buta” kesusastraan. Publik harus menjadi bagian dari komunitas sastra tertentu untuk tahu karya sastra yang akan mereka konsumsi.
Bagaimanakah melihat kehidupan sastra Jawa Timur di tengah fenomena sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga ini? Pembacaan sastra lewat kawasan administratif dan konteks budaya yang melatarinya seperti ini baru mungkin dilakukan kalau kita mencoba memetakan kawasan administratif sastra ini sebagai kawasan provinsial. Dan pemetaan ini akan memberikan posisi yang signifikan dari bagaimana peranan sastra Jawa Timur dalam peta ini.
Saya merasa tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk membuat peta ini, tetapi pembicaraan ini tidak bisa menghindar dari keharusan dilakukannya pemetaan ini. Pemetaan yang akan saya turunkan di bawah ini sifatnya sementara, sederhana dan apa adanya. Saya lakukan lebih sebagai halte untuk melanjutkan pembicaraan ini.
PETA PUISI
Sumatra Jawa Barat Jakarta
Amir Hamzah Ramadhan KH Yudhistira Adri Nugraha
Chairil Anwar Ajip Rosidi F. Rahardi
Sitor Situmorang AS. Dharta Jefri Al Katili
Rifai Apin Karno Kardibrata
Sutardji Calzoum Bachri Acep Zamzam Noer
Fitri Yani
Jawa Tengah Jawa Timur Dst.
Rendra Abdul Hadi WM
Sapardi Djoko Damono Akhudiat
Darmanto Jatman Zawawi Imron
Wiji Thukul Mashuri
Dorothea Rosa Herliany Mardi Luhung
Joko Pinurbo F. Aziz Manna
PETA PROSA
Sumatra Jawa Barat Jawa Tengah
Hamka Remy Silado Tirto Adisuryo
Ras Siregar Mas Marko
Muchtar Lubis NH. Dini
A.A. Navis Ashadi Siregar
Hamsat Rangkuti Danarto
Triyanto Wirokromo
Gunawan Maryanto
Jawa Timur Jakarta Bali
Idrus Armijn Pane Putu Wijaya
Pramoedya Ananta Toer Sutan Takdir Alisjahbana Oka Rukmini
Budi Darma Ayu Utami
Ratna Sari Ibrahim Jenar Mahesa Ayu
Leres Budi Santoso Nukila Amal
Lan Fang Dian Sastrowardoyo
Fahrudin Nasrulloh
Saya mohon maaf data yang sangat miskin untuk peta ini. Pembaca bisa menambahkan nama-nama dalam peta ini tanpa batas. Karena memang saya hanya membutuhkan tidak terlalu banyak nama untuk pembicaraan yang terbatas ini.
Cara saya menempatkan antara para penulis puisi dengan penulis prosa cukup berbeda. Untuk penulis puisi, faktor geologi, kultur (suku), ideologi, bahasa ibu dan reliji cukup menentukan. Sementara untuk penulis prosa cenderung lebih longgar, lebih menggunakan faktor kota domisili mereka. Penulis-penulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ramadhan KH, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, faktor geologi alam cukup organik dalam puisi-puisi mereka. Penyair seperti Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Ramadhan KH. Karno Kardibrata, Darmanto Jatman, faktor kultur (suku) dan bahasa juga organik dalam puisi mereka. Faktor ideologi bisa kita lihat pada Rifai Apin, AS. Dharta atau Wiji Thukul. Sementara faktor lain kuatnya budaya kreol pada puisi Yudhistira Adri Nugraha, Akhudiat, F. Rahardi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Jefri Al Katili, Mardi Luhung atau F. Aziz Manna. Dalam budaya kreol ini, warna urban merupakan bagian dari fenomena puisi-puisi mereka.
Tubuh Geologi dari puitika Zawawi Imron
Dalam peta itu, D. Zawawi Imron memperlihatkan jejak paling berwarna untuk melihat strategi puitika Jawa Timur dalam peta puisi Indonesia. D. Zawawi Imron banyak dilihat puisi-puisinya organik dengan ikon-ikon alam maupun kultur Madura dan tradisi sastra pesantren, juga menyimpan militansi khas Jawa Timur. Militansi yang bisa ditarik ke daya hidup, mistik, maupun konsekuensi-konsekuensi sosial seperti dalam sajaknya Utang atau Celurit Emas. Militansi yang kadang-kadang menjadi tidak berbatas lagi dengan semacam nihilisme puitik. Melalui puisi-puisinya. kita seperti kembali menyusuri daun-daun kering antara cerita-cerita panji dan candi, menaiki perahu antara laut, sungai dan hutan, menyusuri folklor-folklor pesantren dan menciptakan adanya komunitas literer yang memang berpikir dengan imaji dan bukan dengan logika. Budaya lisan saya kira merupakan seponsor utama untuk lahirnya cara berpikir seperti ini.
Puisi-puisi Zawawi memiliki strategi puitik yang umumnya bergerak dari isu-isu sosial, nilai-nilai lokal atau reliji sebagai “tubuh pertama” dari puitikanya. Isu atau nilai-nilai ini kemudian bergerak mengalami internalisasi dan menghasilkan “tubuh kedua”. Lihatlah sajak Utang karya D. Zawawi Imron ini: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami (dari Ribut Wijato, “Propinsi Para Penyair”, 2002).
Tema utang dalam puisi Zawawi, yang merupakan isu nasional, dalam strategi puitikanya mengalami internalisasi seakan-akan utang telah menjadi tubuhnya sendiri. Melalui tubuh kedua ini, penggemparan dan pengukuhan atas eksplorasi imaji-imaji puisi mulai dilakukan hingga mendapatkan posisinya yang massif dan militan.
Tubuh kedua ini cenderung melakukan distraksi atas isu atau tema yang diangkat. Tema hutang oleh Zawawi dialihkan melalui internalisasi individual: Hutang menjadi aku, hidup dalam tubuhku dan menjadi tubuhku sendiri. Internaliasi yang berlangsung menjadi mistifikasi antara aku dan hutang. Di sini imaji bergerak menjadi tidak terduga, dan unsur-unsur kultur mendapatkan ruang lebih besar untuk digerakkan. Setelah itu “tubuh ketiga” diciptakan untuk mendistribusi metafor ke ruang dan waktu yang lebih luas, menjadi samudra dan anak-cucu. Tubuh ketiga ini menjalan fungsi untuk menyampaikan semacam pesan yang dibawa puisi. Pesan dengan imaji-imaji kewilayahan.
Geologi puisi muncul dalam jeda antara tubuh kedua dengan tubuh ketiga, yaitu munculnya unsur laut. Dalam puisi yang lain munculnya unsur alam dan ikon-ikon kultural maupun reliji. Strategi puitika seperti ini khas mewarnai banyak puisi Zawawi. Kemampuan geologi tubuhnya bahkan dengan mudah ditransfer oleh Zawawi ketika ia menulis puisi-puisi dalam konteks kultul yang lain. Hal ini bisa dilihat ketika Zawawi menulis sajak-sajak dengan kultur bugis. Kultur bugis bertemu dengan tubuh geologi Zawawi lewat laut: bertemunya Bugis dan Madura lewat budaya laut atau pesisir.
Puisi-puisi Zawawi menjadi lebih kaya bila dibaca melalui puisi-puisi Abdul Hadi WM. Irama-irama yang lebih menghujam, tegas, menikam dan dramatik pada puisi Zawawi, mendapatkan koreografi lain bila dibaca melalui imaji-imaji puisi Abdul Hadi yang lebih banyak melanjutkan lirisisme puisi Indonesia.
Tubuh geologi Zawawi itu cenderung tidak menjadi tubuh yang bertanya, melainkan lebih sebagai tubuh yang menyatakan. Berbeda dengan puisi Abdul Hadi yang cenderung hidup sebagai tubuh filosofis yang memainkan pertanyaan-pertanyaan.
Nilai-nilai heroik pada puisi-puisi Zawawi tidak lagi berlangsung pada puisi-puisi Abdul Hadi WM yang cenderung filosifis. Zawawi, misalnya, tidak mengakses asal-usul hutang yang merupakan tema nasional ini: skandal antara ekonomi nasional dengan keuangan internasional. Ia membawa hutang itu ke dalam tubuhnya sendiri. Di balik kerja mistifikasi seperti ini ada daya hidup dan militansi. Militansi yang kadang-kadang menjadi nihilistik juga.
Identitas dan Bonek
Saya tergoda untuk melihat militansi yang tidak bertanya itu ke wilayah politik identitas. Di balik militansi itu, di antaranya terdapat klaim heroisme yang disandang Jawa Timur, terutama melalui Perang Kemerdekaan. Nilai-nilai militan dan klaim militansi itu sendiri bisa dilihat sebagai dua hal yang berbeda. Namun klaim heroisme mendapatkan peluang yang memang jauh lebih luas untuk mengkaitkan dirinya ke dalam tradisi militansi itu. Militansi yang mungkin datang dari elan vital budaya laut atau pesisir dalam menghadapi kerasnya kehidupan di laut.
Atau militansi itu memang menjadi kheos ketika yang dihadapi bukan lagi laut, melainkan politik kolonialisme global yang berlangsung melalui kolonialisme Belanda dan politik internasional yang dijalankan kepentingan Amerika dan Inggris melalui tentara sekutu. Dalam kheos itu, heroisme itu memperlihatkan sisinya sebagai amok massa; berlangsung di luar strategi politik nasional. Hal ini bisa dilihat misalnya melalui penelanjangan revolusi kemerdekaan yang dilakukan Idrus dalam novelnya Soerabaja. Karya ini sendiri cenderung dihindari dalam banyak kajian sastra di sekitar sastra Jawa Timur. Karena karya ini seakan-akan melawan heroisme yang mau dijadikan tradisi dalam wilayah ini.
Heroisme yang kheos itu kini mendalatkan tubuhnya yang lain dalam fenomena bonek. Saya tidak tidak tahu banyak tentang asal-usul tradisi bonek ini. Tetapi bonek saya kira merupakan bagian dari histeria sejarah untuk merdeka, untuk bebas dari penjajahan tanpa strategi pembacaan untuk tahu apa itu kemerdekaan dan apa penjajahan itu sendiri pada masa revolusi kemerdekaan. Bambu runcing digunakan untuk menghadapi mesin perang tanpa takut. Pekik kemerdekaan atau Allahu Akbar sudah membuat kita menjadi heroik walaupun harus mati sia-sia. Mati tanpa tahu apa itu kemerdekaan dan apa itu penjajahan.
Dalam politik identitas, bonek ini merupakan tubuh kheos dari tidak bertemunya antara tubuh budaya dengan tubuh nasional dalam konteks terjadinya perluasan politik identitas melalui Perang Dunia Kedua. Di balik Perang Dunia Kedua ini, politik identitas bergerak dari modernisme Eropa (yang didalamnya terkandung paham-paham sosialisme) ke modernisme Amerika yang kapitalistik dan hegemonis. Sementara itu di tingkat nasional bergerak isu-isu nasional untuk berdiri di atas kaki sendiri melalui perluasan pandangan-pandangan Marhaenisme yang Marxis ala Sukarno dan kemudian militerisme yang dibawa Nasution.
Bonek dalam novel Pramoediya Ananta Toer, Bumi Manusia, dapat kita temukan pada tokoh Minke: monyet pribumi dalam pergaulan kolonial. Juga dapat kita temukan dalam novel Rafilus karya Budi Darma sebagai dunia besi yang keras dan buta. Rafilus merupakan konstruksi realitas sosial yang tidak terjelaskan dan bergerak sebagai mesin sejarah yang buta. Mesin sejarah yang terbuka untuk lahirnya “negeri dusta” seperti yang berusaha dirumuskan oleh Abdul Mukid dalam cerpen dengan judul yang sama, Negeri Dusta.
Dalam novel Lan Fang, Perempuan Kembang Jepun, politik identitas ini bisa kita temukan melalui tokoh Sujono. Sujono merupakan lelaki Jawa yang hidup sebagai kuli. Ia tidak tahu untuk apa seorang lelaki bekerja. Ia bekerja hanya untuk mabuk dan berjudi. Untuknya lelaki itu seharusnya hidup untuk perang. Tetapi ia juga tidak tahu apa itu perang, siapa musuhnya (Belanda, Jepang atau Tentara Sekutu)? Seorang lelaki Jawa yang sebenarnya sangat polos, dan kemudian harus mengalami banyak luka dalam permainan politik identitas di sekitarnya antara dunia kuli, perjudian, mabuk, perempuan, cinta dan pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial antara China, Belanda dan Jepang. Ketika perang berkecamuk, Sujono justru menghadapi perangnya sendiri dalam konflik domistik yang dialaminya.
Pencairan identitas dan perluasan strategi literer
Lestari, Anak Sujono yang lahir dari seorang perempuan Jepang (Matsumi), merupakan tubuh politik identitas yang harus menerima derita dari pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial itu sebagai tubuh korban dalam sejarah. Ia hidup lajang sambil membawa bekas sayatan luka di wajahnya (luka dari konflik domistik). Pencairan atas luka-luka sejarah justru merupakan politik kesadaran yang dilakukan Lestari kepada anak angkatnya, Maya, yang menikah dengan Higashi (seorang lelaki Jepang) pada bulan Desember 2003. Lestari berusaha menyembunyikan sedemikian rupa luka-luka sejarahnya agar anak angkatnya tetapi melihatnya sebagai seorang “orang tua tunggal” yang kuat dan cantik. Tetapi luka itu mudah dibaca lewat sayatan pada wajah Lestari.
Novel Lan Fang ini menurut saya menarik untuk membaca motif-motif “pembersihan diri” dari luka-luka sejarah. Yang menarik kemudian bagaimana politik identitas tidak lagi bergerak sebagai sesuatu yang organik, melainkan dengan mencangkokkannya. Yaitu lewat Maya sebagai anak angkat yang kemudian menikah dengan lelaki Jepang. Lan Fang dengan jelas mencantumkan waktu pernikahan mereka, Desember 2003 di Surabaya. Berarti berlangsung setelah reformasi terjadi.
Identitas yang tidak lagi dilihat sebagai organik atau sesuatu yang terberi itu, berlangsung bersamaan dengan pencairan identitas dan perluasan strategi literer yang berlangsung dalam puisi. Identitas tidak lagi bermain dalam imaji-imaji militan, melainkan melalui koreografi yang lebih bersifat prosaik. Hal ini berlangsung pada puisi-puisi Akhudiat, Arif B. Prasetyo, Mardi Luhung, Mashuri, F. Aziz Manna, R. Adi Ngasiran atau R. Giryadi. Strategi literer yang mereka lakukan sama dengan praktek menulis puisi melalui prosa. Puisi tidak lagi dipraktekkan sebagai genre yang mempertahankan identitasnya pada bentuk. Melainkan sebagai suatu kerja memperaktekan metafora dan bagaimana koreografi atas imaji dilakukan.
Puisi-puisi Akhudiat, yang masih memainkan unsur bunyi yang khas dengan hentakan-hentakan keras Jawa Timur (juga pada puisi Aming Aminoedhin), tidak lagi terjadi pada puisi di bawahnya. Puisi-puisi setelah D. Zawawi Imron dan Akhudiat, memperlihatkan kesan bagaimana bahasa dilepaskan dari tubuh. Bahasa dilihat semata sebagai gerak, dan dengan demikian koreografi atas imaji maupun struktur lebih mudah dilakukan. Beberapa praktek melepaskan bahasa dari tubuh ini memang menghasilkan “pengsumpekan” atau “polusi” puisi melalui bahasa. Bahasa tiba-tiba menjadi ruang yang terlalu luas dengan batas-batas yang tidak jelas lagi: penyair menghadapi semacam agresi dari bahasa yang telah dibuat hiruk-pikuk oleh media-media publik.
Perluasan bahasa seperti ini juga berlangsung pada prosa, terutama pada karya-karya Fahrudin Nasrulloh. Masuknya sekian banyak diksi-diksi baru bahasa Indonesia, dan diksi-diksi ini kemudian mengalami dekorisasi baru melalui dialog-dialog sufistik pada prosa-prosanya.
Fenomena itu memang tidak berdiri sendirian. Di antara puisi-puisi mereka bisa kita lihat puisi Ribut Wijoto yang masih perduli dengan rima, seperti juga yang pernah dilakukan Sabrot D. Maliaboro di antara puisi-puisi Saiful Hajar, R. Timur Budi Raja atau A. Muttaqin. Atau M. Faizi yang menggunakan bahasa dengan jernih.
Politik Geografi Sastra
Melihat politik geografi sastra dalam konteks Jawa Timur, ada 2 hal yang cukup mengherankan saya. Pertama, kehidupan sastra Jawa Timur lebih banyak diramaikan oleh lembaga sastra pertama yang dijalankan oleh komunitas-komunitas sastra, dewan kesenian dan media massa cetak. Pasar atau sastra kedua, lebih banyak diisi justru oleh sastra pertama. Dalam politik georafi ini, batasan kawasan dibuat hampir defenitif. Hampir tidak ada terbitan-terbitan antologi sastra di Jawa Timur yang ikut mengkurasi dirinya dalam konteks peta sastra nasional. Sehingga kawasan ini justru seperti memprotek dirinya untuk terjadinya pembacaan perbandingan secara langsung antara sastra Jawa Timur dengan di luarnya.
Keheranan saya yang lain dalam menghadapi fenomena Arif B. Prasetyo dan Beni Setia. Di kawasan Jawa Timur, Arif dikenal sebagai penyair dan eseis. Sementara di Bali, Arif justru lebih dikenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa. Begitu pula Beni Setia, Puisi-puisi Beni yang saya kenal, cukup dekat dengan musik blues yang sangat Bandung. Saya menduka imaji-imaji musik blues ini telah menjalin koreografi dengan model produk-produk imaji ala Si Kabayan dalam kultur Sunda. Imaji-imaji Kabayan bermain untuk terjadinya semacam perayaan sosial maupun sebagai katarsis dari tekanan-tekanan sosial dalam konteks budaya lisan. Sementara pada Beni, ia mengalami distraksi menjadi perayaan individu.
Kalau kawasan sastra Jawa Timur dibaca lewat pelepasan tubuh dari bahasa, dan mengkoreografi gerak imaji maupun metafor sebagai konsekuensi dari perluasan ruang global, maka kawasan ini seharusnya juga lebih membuka dirinya ke ruang politik pembacaan sastra yang lebih luas lagi, dan menjadi bagian dari demokratisasi sastra yang sedang berlangsung antara sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga. Demokratisasi sastra yang terbuka luas, bahkan untuk menulis puisi tidak lagi melalui media sastra, melainkan media lain yang non-sastra.
______________
Makalah untuk diskusi sastra Jawa Timur di Universitas Airlangga, Surabaya, 20 Juli 2010.
Dijumput dari: http://publiksastra.net/2011/03/identitas-dan-tubuh-yang-dilepaskan-dari-bahasa/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar