21/02/12

Sastra China: Bangkit dari Mati Suri

Lan Fang, Anung Wendyartaka
Kompas, 2 Juni 2008

DUA minggu lalu, tepatnya tanggal 13 Mei, adalah peringatan 10 tahun reformasi. Imbas positif dari gerakan reformasi yang mengorbankan nyawa beberapa mahasiswa Trisakti, Jakarta, ini bagi masyarakat di Indonesia adalah dibukanya keran-keran kebebasan berekspresi bagi seluruh elemen masyarakat yang selama ini sempat dibungkam oleh pemerintahan Orde Baru.

Salah satunya adalah dicabutnya larangan bagi etnis China untuk berekspresi sehingga berbagai kegiatan berbau kebudayaan China atau oriental yang dulunya dilarang sejak itu boleh muncul lagi.

Tiga puluh tahun lebih Pemerintah Indonesia menerapkan politik tertutup terhadap Pemerintah China. Akibatnya tidak hanya pada pembekuan hubungan diplomatis dan politis, tetapi juga merembet ke dalam dunia pendidikan. Setidaknya di Surabaya ada tujuh sekolah menengah atas berbahasa China yang ditutup pada era 1965-1966, yaitu Zhong Zhong, Xin Zhong, Qiao Guang, Qiao Zhong, Kai Ming, Fu Zhong, dan Hua Shi. Ketika itu, semua yang beraroma China tidak boleh digunakan. Tidak ada lagu China, film China, tulisan China, atau buku China. Otomatis, bahasa China terbungkamkan.

Pada era reformasi, dibukalah kunci itu. Semenjak itu warga etnis China mulai berani melakukan berbagai kegiatan budaya bernuansa China, yang selama ini dilarang, secara lebih terbuka, seperti perayaan Imlek, pemakaian simbol-simbol budaya China, hingga pemakaian bahasa China atau Mandarin di ruang publik. Bahasa Mandarin yang sebelumnya lebih banyak dipelajari untuk keperluan bisnis, seiring pesatnya kemajuan Republik Rakyat China sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia, sejak reformasi kian digunakan secara lebih luas. Koran-koran berbahasa China mulai jamak diterbitkan di kota-kota, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.

Tak hanya itu penggunaan bahasa China juga semakin berkembang dengan munculnya sekolah-sekolah baru dengan label sekolah internasional atau sekolah dengan kurikulum plus plus yang memasukkan bahasa China sebagai salah satu bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia dan Inggris. Bidang studi sastra Tionghoa pun dibuka di beberapa universitas negeri dan swasta. Lembaga kursus bahasa China pun menjamur bak cendawan di musim hujan.

Gairah untuk kembali menggunakan bahasa China ini juga dialami oleh para alumnus sekolah China di Kota Surabaya. Di Surabaya, misalnya, sebagian dari mereka yang dulunya punya hobi menulis puisi, cerpen, novel, maupun esai mulai menulis lagi kendati kadang hanya diterbitkan untuk kalangan terbatas. Seperti yang dilakukan Yuliana Susilo, Rong Zi, dan Zhou Su Xin. Mereka menerbitkannya dalam bentuk buku maupun mengirimkan ke majalah atau koran berbahasa China baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagai media untuk menampung dan menyalurkan tulisan- tulisan berbahasa China tersebut, mereka juga menerbitkan surat kabar, seperti yang dilakukan Kadir Chandra dengan mendirikan koran berbahasa China, Qiandao Ribao.

Menurut Soedomo Mergonoto, Ketua Dewan Pembina Yayasan Margo Utomo (perkumpulan warga bermarga Go) yang bernama asli Go Tek Hwei, mempelajari bahasa China saat ini merupakan kebutuhan untuk mengikuti perkembangan zaman. ”Bangkitnya ekonomi negara Tiongkok di tingkat dunia sebagai salah satu alasannya. Kalau kita sekarang ke Eropa, department store-department store yang besar-besar mempekerjakan orang Tiongkok untuk melayani turis dari Taiwan, Hongkong, dan China. Di Indonesia sendiri boleh dikatakan turis terbesar dari Tiongkok, 200.000 orang,” kata Soedomo, yang juga pemilik perusahaan kopi Kapal Api.

Soedomo juga menyayangkan begitu banyak buku-buku bagus berbahasa China yang ternyata diterjemahkan ke bahasa Inggris. Bukan saja buku-buku dengan nuansa kedalaman, seperti sastra dan filsafat, tetapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya, seperti pengobatan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, menurut dia, dengan kualitas pendidikan yang baik, suatu bangsa otomatis mempunyai filter untuk menyaring ideologi mana yang cocok untuk dirinya.

Oleh karena itu, Soedomo, alumnus sekolah Xin Zhong Surabaya, bersama beberapa temannya mendirikan sekolah berstandar internasional dengan tiga bahasa. ”Kita melihat banyak orang Indonesia, terutama yang keturunan China, maunya kuliah di Amerika atau paling enggak di Singapura. Mereka banyak yang ndak kembali sehingga bisa dikatakan yang masih di sini tinggal yang grade 2,” ujar Soedomo. Hal ini tidak bisa disalahkan selama mutu pendidikan di Indonesia belum sebaik di Amerika atau setidaknya Singapura.

Resinifikasi atau revivalisasi?

Menurut Didi Kwartanada, peneliti sejarah etnis China di Indonesia, fenomena kegairahan sebagian warga etnis China di Indonesia untuk mempelajari, dan menggiatkan kembali penggunaan bahasa dan budaya China adalah bentuk dari kerinduan terhadap masa lalu. ”Dalam fenomena sosial ada namanya resinifikasi atau pencinaan kembali. Jadi, dulunya sempat hilang sekarang menjadi China kembali,” kata Didi Kwartanada. Namun, ia belum yakin benar apa yang terjadi saat ini adalah memang benar fenomena resinifikasi seperti yang terjadi pada saat zaman penjajahan Jepang dulu. ”Waktu Jepang masuk Indonesia karena Jepang anti-Belanda semua sekolah Belanda di tutup. Jepang mengharuskan orang China yang sebelumnya sekolah di sekolah Belanda berbahasa China kembali. Mereka diharuskan bisa menulis dalam bahasa China dan harus belajar bahasa China. Nah, itu saya berani bilang resinifikasi, tapi kalau yang terjadi sekarang saya belum berani ini masuk resinifikasi,” kata Didi.

Menurut Didi, identitas kecinaan itu didukung oleh tiga pilar. Pertama, sekolah dengan medium bahasa China. Kedua, pers bahasa China. Ketiga, organisasi China. ”Ketiganya memang sudah ada, tetapi yang saya dengar koran-koran berbahasa China masih terbatas dibaca di kalangan orang-orang tua saja, belum dibaca oleh kaum muda. Beritanya juga banyak yang tidak asli, banyak yang ngambil dari internet dari Hongkong, China. Berita asli Indonesia hanya separuhnya,” kata Didi yang juga seorang China peranakan.

Pendapat yang hampir senada juga muncul dari Mona Lohanda, pengarsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang banyak meneliti kehidupan etnis China di masa kolonial. Menurut Mona, aktivitas para alumnus sekolah China di Jakarta, Surabaya, maupun kota-kota lainnya menghidupkan lagi budaya China, seperti bahasa, kesenian, hingga mendirikan sekolah berbahasa pengantar China lebih bersifat nostalgia. Namun, ia juga melihat bahwa belakangan ini memang ada fenomena revivalisme atau kebangkitan kembali atau upaya menghidupkan kembali kebudayaan China di Indonesia, terutama sejak reformasi. ”Ada dua organisasi besar di Indonesia. Yang pertama INTI (Indonesia Tionghoa) yang bergerak di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Yang satu khusus kebudayaan, yaitu PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia),” papar Mona yang juga mengaku sebagai seorang China peranakan.

Menurut Mona, alumni sekolah China yang sudah mapan, seperti alumni sekolah Pahoa Jakarta, memikirkan untuk membentuk sekolah yang dapat mewarisi anak-anaknya nilai-nilai Konfusius yang pernah mereka pelajari. Alasannya, dalam ajaran Konfusius ada soal tata karma, etika, budi pekerti, sementara sekolah yang ada sekarang tidak mengajarkan hal itu.

Sekolah Xin Zhong

Hal serupa juga dilakukan Soedomo Mergonoto, ia bersama teman-teman alumni sekolah Xin Zhong Surabaya yang tergabung dalam Yayasan Sarana Hubungan Harmonis Sejahtera (SHHS) mendirikan sekolah tiga bahasa Xin Zhong Xue Xiao. ”Kita ingin buat sekolah yang bermutu. Jadi orang kita enggak perlu sekolah ke Singapura. Kita juga sudah amati sekolah-sekolah sekarang ndak ada yang diajari budi pekerti, murid berantem dengan guru. Mungkin budaya kita ini (China) pelan-pelan akan hilang. Kita akan mengembalikan sehingga murid- murid sekolah kita diajari budi pekerti, diajari bagaimana menghormati guru, orangtua, juga terhadap sesama,” ujar Soedomo.

Di dunia sastra, aktivitas membangkitkan kembali sastra China di negeri ini disambut positif . Salah satunya adalah ketertarikan beberapa penerbit besar, seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan sastra klasik China semacam puisi ke dalam bahasa Indonesia.

Salah satu contohnya adalah kumpulan puisi Purnama di Bukit Langit karya penerjemah Zhou Fuyuan. Hal ini menunjukkan bahwa sastra bernuansa oriental ini cukup diminati pasar. Selain itu, sastra klasik China merupakan karya sastra yang bermutu dan bagi kalangan etnis China sastra genre ini bisa dijadikan jembatan untuk menyelami akar budaya leluhur. Oleh karena itu, tak heran apabila selain karya sastra belakangan ini buku-buku lain yang berisi kata-kata kebijaksanaan (chinese wisdoms), peribahasa, ungkapan atau kata-kata mutiara yang diambil dari budaya China (Chinese Sayings) pun banyak diminati, bahkan masuk dalam kategori buku laris di toko buku.

Di sisi lain, menurut penyair sekaligus dosen sastra FIB Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, runtuhnya pemerintahan Orde Baru membuka semacam gerbang bagi sastrawan etnis China di Indonesia untuk kembali berbicara banyak dalam kancah sastra Indonesia seperti pada zaman sebelum kemerdekaan. ”Waktu itu pers (penerbitan) dikuasai oleh kaum peranakan. Dari penelitian saya bersama teman-teman di Pusat Bahasa, ternyata terbitan karya sastrawan etnis Tionghoa jumlahnya puluhan kali lebih banyak dari Balai Pustaka,” kata Sapardi menjelaskan.

Maka dari itu, ia menyambut baik kehadiran sastrawan-sastrawan etnis China tak hanya yang berkarya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga yang berkarya dalam bahasa China di dunia sastra Tanah Air. ”Biar dunia sastra kita tambah berwarna- warni. Selain itu, biar komunikasi antar-etnis menjadi lebih terbuka karena hanya lewat sastra, hal ini bisa terjadi. Tidak lewat politik, ekonomi, atau yang lain,” imbuh Sapardi.

Kegairahan untuk kembali mengangkat budaya China ini ternyata masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satunya adalah pesimisme bahwa gerakan ini hanya terbatas romantisme nostalgia bagi kalangan generasi tua China sehingga akhirnya tidak bergaung dan berhenti di tengah jalan. ”Kalau yang tua-tua masih semangat karena ingin mewarisi, tapi respons yang muda itu belum jelas. Mereka punya persoalan sendiri.

Dengan lebih dari 30 tahun ditutup, ekspresi budaya orang muda Tionghoa akan berbeda. Mereka tidak mengenal ”Tionghoa-nya karena sudah tidak pernah digunakan di rumah. Belum lagi pengaruh globalisasi,” kata Mona Lohanda.

* Lan Fang, Sastrawan
** Anung Wendyartaka, Litbang Kompas
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/06/sastra-china-bangkit-dari-mati-suri.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita