Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian VII kupasan keenam dari paragraf awalnya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Ini menuntasi tulisan-tulisan sebelumnya mengenai paragraf awal IK, sebalutan muakhir demi pijakan lanjut. Saya mulai sedikitnya merevisi pandangan kritikus Maman S Mahayana di bukunya “9 Jawaban Sastra Indonesia” sebuah orientasi kritis, diterbitkan Bening Publishing, cetakan 2005, Bagian IV: Sarana Pendekatan Sastra, dahan ke 8 berjudul ‘Sastra dan Filsafat’ halaman 343. Di bawah ini terambil dua paragraf pembukanya bagi pondasi langkah ke muka. Nan disesuaikan keimanan sorot mata saya berproses kreatif, yang berangkat dari buah keyakinan setelah baca ke belakang, demi peroleh kepurnaan sepaduan kehidupan.
“Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat. Betapapun penekanannya pada usaha untuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Jika demikian, apakah kemudian itu berarti karya sastra identik dengan filsafat? Tentu saja tidak. Mengapa tidak? Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.”
“Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Sastra mungkin juga mempertanyakan hakikat dan keberadaan manusia, tetapi dalam bentuk yang lebih menekankan pada nilai-nilai estetik daripada logika atau pemikiran yang dalam filsafat justru sangat penting. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.” (Maman S Mahayana)
***
Di dua paragraf itu kritikus berusaha memisahkan dua sisi mata uang gambarannya nan elok, tentu atas kepentingan jalur pendidikan. Atau dilandasi hadirnya dua cabang sah, yang sudah diterima masyarakat dunia meluas. Ini wajar sebagai insan di luaran; pengamat, peneliti, namun tak otomatis menjadi dua cabang jiwa dalam diri pelaku. Masalahnya bisa ditemukan pada contoh yang diunggah kritikus pula pada terusan esainya, yang hanya saya jumput lapisan muka di atas. Yakni karya-karya sastra terbaik tak lekang jaman, tidak bisa lepas nilainya filsafat, dan gagasan filosofi ampuh menembus abad-abad, kerap kali kalau tak boleh dibilang pasti, berbalutan unsur sastrawi. Maka tegas saya bertanya pada sejarah jua kepada para pelakunya; Adakah karya sastra mempuni, yang tidak punya kandungan filsafat? Adakah karya filsafat tangguh usianya tanpa paras ayu sastrawi? Atau tidakkah keindahan berpikir, reruang ayu merenung, hasil olahan nan melimpah di dalamnya bersimpan nilai tampan, bagi syarat memasuki alamat susastra?
Seingat saya (dalam arti semoga kelak ada merevisinya), penerjemah, sastrawan, kritikus Sapardi Djoko Damono pernah menghimbau agar karya sastra dijauhkan dari ilmu pengetahuan (Sapardi Djoko Damono: Jadikan Sastra sebagai Seni Bukan Ilmu di Sekolah, Kompas, 14 Oktober 2010). Otomatis bisa dibilang menghasilkan karya klangenan, bobotnya lamunan, mentok bikin rindu tak ketulungan pada gergaji kepenyairannya, ini dapat dirujuk kepastian ke puisi-puisinya. Secara terbuka saya lebih condong penyair, politikus Muhammad Iqbal, pula filsuf Jacques Derrida yang tegas berpendapat; “puisi ialah filsafat atau pun filsafat adalah sastra (puisi)” [kalau tak keliru pada bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Iqbal) dan “Margins of Philosophy” (Derrida)]. Sekadar menyebut nama yang tampak dalam karya-karyanya; Goethe, Nietzsche, Leo Tolstoy, Hamka serta para insan langgeng dalam sejarah, sekecilnya diterima sebagian bangsa dunia. Mereka menginsyafi logam mata uang itu sangat bernilai gambaran sisi-sisi mata uangnya, terlihat jelas teksturnya saat ditimpa sorot cahaya.
Walau kritikus Mahayana mengudar perbedaannya, tetap insaf selogam mata uang pada paragraf 15-nya: “Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra —yang bermutu— akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.”
***
Jika volumenya saya tinggikan, tidakkah kitab-kitab suci menapas harumi gerak hayati insan, apakah bersebut agama samawi, ardhi, agama langit pula bumi. Ajarannya sangat dalam filosofi jua tinggi derajat kesastrawiannya, ruhaniah sejarah mewangi terkandung berbalut psikologi demi dijiwai pengikutnya, disamping hitungan matematis Ilahi dan lainnya. Olehnya patut disayangkan kalau ada paham menceraikan sisi-sisi mata uangnya, apalagi terang-terangan dipastikan ambruk ke lembah kejahiliaan. Sekadar permainan tak beri faedah kecuali kesenangan indrawi, jauh dari cahaya luhung kesabaran, kesahajaan, perangai keagungan. Namun sebaliknya tampak coba-coba, spontanitas nanggung, grusa-grusu membawa kaki-kaki kepincangan yang diperindah bebusana imaji, tanpa benang sutra realitas murni.
Memang kedua kaum pemeluk bentukan ajaran agama tersebut, banyak kurang terima disaat lelembar ruhaniah akidahnya dikaitkan arus sungai anak filsafat, sastra dan lainnya. Setidaknya jadi patokan, sebuah karya besar tentu bersimpan pelbagai keilmuan, serupa fitroh keuniversalan nilai terkandung di dalamnya, demi dinaya abadi menerobos hukum kausalitas yang juga menentukan corak digelarnya. Tafsiran muncul kemudian, kembangkan kuntum-kuntum kembang peradaban harum mewangi memelanting tirta embun pagi pemikiran bagi bumi-hati para insani. Ini terus berkumandang, sejauh penerusnya mampu berdialog dengan jaman dilakonkan. Sedangkan karya pincang, picisan, kurang bersimpan pengetahuan, hanya kelangenan, iseng sekadar sugesti akal-akalan, dapat dipastikan terlempar ke jurang kekelaman, buntu sehawa desas-desus mengumbar senang tanpa kumandang kehakikan.
***
Catatan di atas saya tinggal beberapa hari, maka agak sulit melanjutkan. Demi menyambung secara mencari tertanda, saya bercerita pengalaman malam kemarin, kehendaknya mengikat benang kemungkinan menjelma sambungan rahmat perolehan.
Seperti biasa saya jalan menuju rumah saudara di sebrang desa, kerap berpapasan orang gila (balutan fisiknya begitu). Yang membuat senang bersisipan dengannya kemarin, langkahnya dipercepat, tidak sebiasanya lamban, malahan kadang jalan sepersenti jua berhenti saat menjumpai. Terus terang seraya ada magnetik tiap bertemu, terpantul dari sikapnya dalam jiwa saya sejenis teguran, bahasa tanda harus dicermati dalam. Meski tak saling kenal, saya yakin ia pun penasaran dengan bobot sama, pula soal pemikiran seakan telah paham tindak prilaku saya sehari-hari walau jarang bertatapan muka, sewujud sederhana dapat disebut guru spiritual. Memang saya kerap berpapasan orang gila dan ia istimewah, seolah peroleh pencerah meski tak saling sapa. Entah ada ikatan energi apa, mungkin bisa dimaknai kekuatan ‘bahasa diam’, yang pesonakan mata dan telinga.
Dengan tubuh agak-agak saya miringkan serupa belajar dari keadaan “kekaburan arti (vagueness), kemaknagandaan, ketidak-eksplisit-an (inexplicitness), terlalu tergantung konteks (context dependence), dan menyesatkan (misleading)” kala berjalan mengamati orang itu. Mungkin IK atau orang gila termaknakan ini filosof, sosiolog, antropolog, kritikus atau sejarawan yang tengah mengalami keterlepasan, kala memadukan nilai-nilai di dalamnya hingga terbentuk pengertian berbeda. Olehnya di lelembar selanjutnya saya mencoba, tentu tak coba-coba asal-asalan, namun demi pemahaman berpijak di jalur semestinya, mengungkap kekuatan bahasa ‘diam’ dari mereka atau seorang saja, Ignas Kleden.
Setidaknya berjalan tubuh dimiringan tetap berposisi imbang kesadaran mawas, peroleh makna belum terungkap. Mungkin istilah ‘membongkar’ kurang tepat, tapi telisik membaca ulang membuka reruang penalaran lain masuk menentukan apa saja yang terbit dari uraian teks terbaca, dengan harapan menyibak ladang kemungkinan seluas-luasnya, atau ketunggalan anak sungai tersempal dari sungai besarnya. Ini bukan tak fokus, tidakkah anak-anak sungai dipastikan menuju muaranya masing-masing? Dan sempalan terjadi membentuk sejarah drajadnya kemudian hari, di sisi mengurangi bencana luapan membanjir di atas ketunggalan sungai asal; ego. Inilah arus bebidang pengetahuan sebagai fitroh nilai dikandung dalam teks itu, maka sekiranya teks melimpah ruhaniahnya, akan memantul kejayaan sepadan imbang kodrat-iradat kehadirannya.
Demikian bagian VII. Untuk paragraf dua dan selanjutnya dari esai IK, akan diperlakukan separagraf pertama. Jika pembaca kurang sepakat, boleh bongkar balik nan tentu saya jawab kalau umur masih bersarung badan. Dengan catatan melalui buku atau tulisan sepadan, demi media dialog mambangun wacana berlanjut, yang saya pikir lebih menantang daripada kupasan menghakimi lewat beberapa lembar merasa sudah. Oleh saya telah habis tertarik pesona, karena ‘orang-orang gila’ lebih mempesona di jalan-jalan pengetahuan hidup. Mereka penuh beraura, berdaya hipnotis nilai murni daripada kata-kata bermakna tunggal dekat superioritas.
Akhirnya saya ambil ujaran lama, “Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor” (Wirid Hidayat Jati, R. Ng. Ronggowarsito) makna bebasnya, “Manakala detikan takdir telah terpastikan, maka tiadalah yang sanggup menghentikan.”
____________________
Keterangan Tambahan:
Surat masuk facebook dari Maman S Mahayana, selepas uraian saya di atas:
“”Hubungan Sastra dan Filsafat.” Dalam perkembangan pemikiran saya, memang tak sedikit filsafat yang ditulis dalam bentuk karya sastra; atau karya sastra yang sesungguhnya filsafat. Sebutlah Bagawat Ghita, Homerus, Mahabharata, Ramayana, bahkan Javid Namah (Iqbal) dan Hayy Ibn Yazhan (Ibn Thufail), Orang Asing (Camus), tidak sedikit yang memperlakukannya sebagai karya filsafat. Perdebatan itu sampai sekarang belum selesai. Intinya: ada yang kukuh mengatakan itu karya filsafat; ada pula menempatkannya karya sastra; tetapi ada juga memasukkannya ke dalam karya filsafat sekaligus sastra, atau sastra sekaligus filsafat. Jadi, analogi pembedaan dua sisi mata uang itu dalam hubungan sastra-filsafat, sekadar hendak menegaskan, bahwa sastra-filsafat begitu erat kaitannya, sehingga tidak gampang dipisahkan. Di sinilah kelebihan sastra, sebab sastra dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Piramida Korban Manusia karya Peter L Berger, merupakan karya sosiologi yang sengaja dikemas dalam bentuk karya sastra. Sekarang Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) dijadikan bahan kuliah antropologi tentang kemiskinan strutktural. Tetralogi Pram, juga banyak digunakan sebagai bahan untuk menelusuri sejarah awal kebangkitan Nasional (Indonesia). Begitulah, posisi karya sastra yang dapat memasuki berbagai wilayah ilmu lain menyebabkan karya sastra tak jarang diperlakukan sebagai karya sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Jadi, pada akhirnya pemisahan sastra dan filsafat itu, bisa saja akan sulit dilakukan ketika kita berhadap dengan mahakarya yang di sana, filsafat dan sastra berkelindan.”
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false.html
Sebelumnya:
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/bagian-i-prolog-membaca-kedangkalan.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_25.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_4733.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_26.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_8478.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar