13/01/12

“Ekstrem Tengah” itu Bernama LESBUMI

Akhiriyati Sundari
Majalah BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-59, 2010

Perbincangan tentang Nahdhatul Ulama (NU) dalam banyak literatur yang beredar sejauh ini masih didominasi oleh pergulatannya dalam lingkup politik dan sosial-keagamaan. Ranah kebudayaan, dalam hal ini wacana budaya, justru sedikit sekali tampak dalam tulisan-tulisan para peneliti.

Sebuah hal yang ironis, mengingat NU adalah organisasi massa keagamaan yang paling lekat pada wilayah kebudayaan, sekurang-kurangnya melalui representasi subkultur bernama pesantren sebagai basis wilayah yang sangat kaya khazanah budayanya, atau jika menilik sejarah NU yang rekat dengan “kaum tradisional” sebagai salah satu “kubangan budaya”. Segmentasi budaya yang semestinya bisa menjadi wilayah pergulatan/perebutan wacana paling seksi, seakan tak tampak dalam diskursus NU oleh para peneliti tentang NU. Buku bertajuk LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, karya Choirotun Chisaan?perempuan muda NU—ini mencoba menjawab “ruang kosong” (kalau tak boleh dikatakan tak ada) diskursus NU dalam ranah “polemik kebudayaan” tersebut.

Lesbumi [Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia] adalah wujud “formalisasi budaya” yang didirikan pada awal tahun 1960-an di bawah naungan Partai Nahdhatul Ulama [Partai NU] ketika NU menjadi partai politik. Kehadirannya yang lalu menampakkan diri pada posisi in between, disebabkan oleh dua momen bersejarah yang fenomenal, yakni momen budaya dan momen politik. Momen budaya, bersebab kelahiran Lesbumi sebagai lembaga yang memang angslup (tenggelam) di genangan budaya, berusaha menjawab kebutuhan akan pendampingan kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan Nahdhiyyin [entitas NU] serta kebutuhan akan modernisasi budaya [faktor intern]. Ada pun fenomena momen politik, bersebab kelahiran Lesbumi berada dalam situasi “demokrasi terpimpin”, ditandai dengan terbitnya Manipol USDEK [Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia] Soekarno, pengarusutamaan Nasakom [Nasionalisme, Agama, dan Komunis] dalam tata kelola kehidupan sosio-politik dan sosio-budaya di Indonesia, serta perkembangan Lekra yang kian menampakkan kedekatan hubungan dengan organisasi politik PKI [faktor esktern].

Posisi lembaga kebudayaan ini menjadi signifikan hadir di tengah-tengah dinamika perdebatan kebudayaan kala itu, tatkala perebutan wacana menubuh di hampir semua lembaga kebudayaan yang ramai-ramai berafiliasi dengan partai politik. Tercatat ada LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI], Lesbumi [NU], HSBI [Himpunan Seni Budaya Islam/Masyumi], LKIK [Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik/Partai Katolik], Lesbi [Lembaga Seni Budaya Indonesia/Partindo], Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia [Laksmi/PSII], Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam [Leksi/Perti], dan lain-lain. Menariknya, produk seni lembaga-lembaga tersebut dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Hingga kerap memicu timbulnya “polemik” politik dalam domain kebudayaan. Suasana saat itu digambarkan sebagai suatu keadaan di mana terjadi “turbulensi” di berbagai sektor kehidupan. Tak mengherankan jika wilayah kebudayaan saat itu lalu tampil lebih sebagai political act.

Ditengarai, pada tahun-tahun itu, iklim sosial politik internasional ikut masuk ke dalam negeri sehingga turut menjentikkan virusnya di Indonesia yang notabene tengah bergeliat dalam proses nation-building. Ini memperlihatkan betapa gandrungnya segenap elemen sosial-politik dalam wacana kebudayaan terhadap ide-ide besar yang ramai bertarung. Masing-masing menampilkan diskursus wacana tersendiri, saling berebut pengaruh, berebut massa.

Membincang Lesbumi, sebagaimana tersebut dalam buku ini, tak bisa sepi begitu saja dari pengaruh kuat situasi sosial politik yang “memanas” akibat polemik yang mengerucut pada dua kutub. Di satu sisi adalah Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia [PKI] dengan memanifestasikan seni untuk rakyat/seni bertendensi [engagee] melalui jargon “politik adalah panglima”. Di sisi yang lain adalah Manifes Kebudayaan [Manikebu] yang tidak berafiliasi pada partai politik dan mengusung semboyan seni untuk seni. Keduanya terlibat polemik yang cukup serius pada waktu itu, meski banyak pengamat menandai friksi yang dimainkan amatlah cantik karena masih dalam bingkai wacana dan “perang pena”. Tak pelak, suasana cukup esktrem tercipta kala itu dengan hanya memunculkan “dua kubu/ kutub” dalam “perdebatan politis” yang mengambil domain kebudayaan. Dalam konteks inilah Lesbumi lahir, sebagaimana ditera banyak pihak sebagai counter responses atas karibnya Lekra dan PKI ini.

Setali tiga uang dengan Lesbumi, di kalangan NU sendiri, sebagaimana pola umum reaksi terhadap PKI, tak ada kiprah PKI yang tak ditandingi. “PKI membanggakan massanya, NU mengerahkan jama’ahnya. PKI menggerakkan Gerwani, NU menggerakkan Muslimat, PKI memiliki Pemuda Rakyat, NU menggerakkan Pemuda Ansor sebagai bansernya, PKI memiliki BTI, NU menggerakkan Pertanu, PKI mengaktifkan SOBSI, NU membentuk Sarbumusi, PKI mendirikan Lekra, NU mendirikan Lesbumi,” tutur Saifuddin Zuhri. PKI menciptakan nyanyian “Genjer-Genjer” yang amat populer sebagai “lagu kebangsaan”-nya, NU menciptakan “Salawat Badar” sebagai instrumen paling khas dari “lagu wajib”.

Ditanyakan oleh penulis dalam buku ini, mengapa dalam jagad perbincangan kebudayaan negeri ini seakan Lesbumi “lenyap”, padahal fakta historis telah mencatatnya? Lesbumi muncul dalam waktu yang amat singkat, kurang dari satu dekade sebelum akhirnya prahara politik paling ganas menutup “panggung polemik budaya”. Lesbumi lahir sebagai “alternatif” kalau tak boleh dikatakan sebagai “budaya tanding” diskursus kebudayaan waktu itu. Lesbumi menghindari dua titik ekstrem “politik aliran” dengan mengambil jarak dan menempati posisi “ekstrim di tengahnya”. Agaknya, hal ini tak bisa dipungkiri sebagai konsekuensi logis dari ruh Lesbumi yang menginduk pada Partai NU lalu menganut asas “moderat” sebagai aplikasi dari garis ideologi tawasuth Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dalam produk budayanya, Lesbumi secara kultural menegaskan diri pada kebudayaan “humanisme religius”, sebuah pandangan kebudayaan yang berlandaskan pada “ketauhidan” [teologis] dan “kemanusiaan” [humanis] dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan untuk “menunaikan amanat Islam”. Pandangan kebudayaan ini khas Indonesia, yang muncul sebagai gejala baru dalam kehidupan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Lebih jauh, upaya Lesbumi ini merupakan usaha mendefinisikan “agama” sebagai unsur mutlak dalam nation and character building demi tercapainya tujuan revolusi, yakni masyarakat adil makmur lahir batin yang diridhoi Allah SWT. Religiositas dalam konteks Lesbumi menjadi tendensi, bukan hanya dalam ekspresi dan produksi seni budayanya, melainkan juga aktivitas-aktivitas yang menggerakkannya. Penegasan ini merupakan manifestasi “ekstrim tengah” dari kebudayaan beraliran realisme sosialis sebagaimana dianut oleh Lekra dan humanisme universal sebagaimana dianut kelompok Manikebu [dua aliran yang kerap disebut sebagai “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan”].

Kenyataan di atas dapat dibaca sebagai pembeda signifikan bahwa Lesbumi serius melakukan “perlawanan” terhadap Lekra yang kian ofensif sebagai mainstream kebudayaan kala itu. Seperti terekam dalam “Surat Kepercayaan” yang ditulis oleh Asrul Sani, satu dari tiga orang pendiri Lesbumi selain Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Bagi Lesbumi, yang terpenting adalah gaya pribadi seniman yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Yang kedua, Lesbumi tidak menolak isme apapun dalam kesenian, artinya isme dalam kesenian tidak penting sama sekali. Juga, bagi Lesbumi, agama adalah kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan. Inilah yang disebut pula sebagai proses “moderasi” yang dipakai Lesbumi. Sayangnya, proses moderasi yang dibangun Lesbumi dengan waktu yang bisa dibilang cukup singkat untuk sebuah gerakan kebudayaan—baik moderasi di tengah-tengah politik aliran kebudayaan maupun moderasi di tingkatan intern antara kaum seni dan kaum Nahdhiyyin—belum beroleh hasil yang optimal karena bumi pertiwi yang sedang “hamil tua” akhirnya benar-benar “melahirkan” sebuah tragedi kemanusiaan 30 September 1965 hingga memutuskan upaya tersebut.

Yang menarik dari buku ini, selain sebagai referensi mengulas Lesbumi dalam konteks polemik kebudayaan, adalah menawarkan perspektif yang berbeda—sekaligus baru—tentang NU. Bagaimana NU bergulat mencari desain relasi agama dan politik sekaligus dalam perspektif kebudayaan, kelahiran Lesbumi, berikut sekian proses yang melingkupinya, sejatinya merupakan penanda kemodernan penting bagi tubuh NU. Modern karena justru kontradiktif dari anggapan umum bahwa NU adalah organisasi “tradisional”. Modern, justru karena ia berhasil melepaskan diri dari partai modernis—Masyumi, sebelum dinyatakan terlarang—tempat bernaung sebelumnya. Kemudian NU berupaya memodernisasi diri melalui jagad politik dan budaya secara bersamaan. Modern, jika dilihat dari cita rasa yang tampak dari personifikasi tiga pendiri Lesbumi berikut produk seni yang dihasilkannya yaitu sastrawan angkatan ’45, pekerja film, dan teater [ranah seni yang mewah dan modern untuk ukuran kala itu]. Modern, jika modern disenyawakan dengan berani berbeda, berani mengambil tempat tersendiri, tak larut dalam kanonisasi yang berporos hanya pada dua arus utama, lalu menegaskan diri berdiri sendiri menjadi “ekstrem tengah”.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=456779000981

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita