24/12/11

Revolusi Tiongkok 1949

Alan Woods
Diterjemahkan Pandu Jakasurya
dari “The Chinese Revolution of 1949 – Part One”, Alan Woods, 1 Oktober 2009.

Bagi kaum Marxis, Revolusi Tiongkok adalah peristiwa terbesar kedua dalam sejarah umat manusia, yang kebesarannya hanya dapat diungguli oleh Revolusi Bolshevik 1917. Jutaan manusia, yang sampai saat itu telah diperlakukan seperti binatang-binatang pemikul beban imperialisme, mematahkan rantai imperialisme dan kapitalisme, dan menapaki panggung sejarah dunia.

Revolusi Tiongkok Pertama 1925-1927 adalah sebuah revolusi proletarian yang otentik. Tetapi revolusi tersebut gugur sebelum waktunya karena kebijakan-kebijakan keliru yang diinstruksikan Stalin dan Bukharin, yang menempatkan klas pekerja Tiongkok di bawah borjuasi yang konon demokratis pimpinan Chiang Kai-shek. Partai Komunis Tiongkok (PKT) melebur ke dalam Kuomintang (KMT). Bahkan, Stalin mengundang Chiang Kai-shek untuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional (Komintern).

Kebijakan pembawa malapetaka ini menyebabkan kekalahan yang katastrofik pada tahun 1927 ketika sang “borjuis-demokrat” Chiang Kai-shek mengorganisir pembantaian terhadap orang-orang Komunis di Shanghai. Penghancuran klas pekerja Tiongkok menentukan watak Revolusi Tiongkok selanjutnya. Sisa-sisa Partai Komunis melarikan diri ke pedesaan. Di sana mereka mulai mengorganisir perang gerilya berbasis kaum tani. Secara fundamental ini mengubah jalannya Revolusi.

Kebusukan Borjuasi

Revolusi 1949 berhasil karena kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok. Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua dekade untuk menunjukkan apa yang dapat diperbuatnya. Tetapi, pada akhirnya Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, persoalan agraria tetap tidak terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok reaksioner untuk menentang perubahan.

Kebusukan borjuasi Tiongkok tersingkap manakala kaum imperialis Jepang menyerang Manchuria pada 1931. Semasa perjuangan untuk mengalahkan para penyerbu Jepang, kaum Komunis Tiongkok menawarkan sebuah front-persatuan kepada kaum borjuis-nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Tapi, dalam kenyataannya level kerjasama antara pasukan-pasukan Mao dan KMT semasa Perang Dunia Kedua minim adanya. Aliansi PKT dan KMT adalah front-persatuan dalam namanya saja.

Perjuangan Tiongkok melawan Jepang terjadi seiring dengan berkobar dan meluasnya Perang Dunia Kedua (PD II). Kaum Komunis memiliki andil terbesar dalam perjuangan melawan Jepang. Di lain pihak pasukan-pasukan KMT lebih mengonsentrasikan diri untuk memerangi kaum Merah. Pada Desember 1940, Chiang Kai-shek menuntut agar Tentara Baru Keempat PKT angkat kaki dari Provinsi Anhui dan Provinsi Jiangsu. Ini menyebabkan bentrokan besar antara Tentara Pembebasan Rakyat (TPR atau PLA, People’s Liberation Army) dan pasukan-pasukan Chiang. Beberapa ribu orang tewas. Ini menandai berakhirnya apa yang disebut-sebut sebagai front-persatuan.

PD II berakhir dengan semakin menguatnya imperialisme AS dan Rusia-nya Stalin. Konflik yang tak terelakkan di antara mereka sudah terlihat jelas sebelum akhir Perang tersebut. Pada 9 Agustus 1945, pasukan-pasukan Soviet meluncurkan Operasi Ofensif Strategis Manchuria (Manchurian Strategic Offensive Operation) untuk menyerang Jepang di Manchuria dan di sepanjang perbatasan Tiongkok-Mongolia. Dalam sebuah serangan kilat, tentara Soviet menghancurkan tentara Jepang dan menduduki Manchuria. 700 ribu pasukan Jepang yang ditempatkan di wilayah itu menyerah. Tentara Merah menaklukkan Manchukuo, Mengjiang (pedalaman Mongolia), bagian utara Korea, bagian selatan Sakhalin, dan Kepulauan Kuril.

Kekalahan kilat yang dialami Tentara Kwantung-nya Jepang oleh Tentara Merah tidak disebut-sebut oleh siapapun sekarang ini. Tapi ini merupakan faktor yang signifikan dalam menyerahnya Jepang dan berakhirnya PD II. Ini juga merupakan unsur yang signifikan dalam perhitungan Washington di Asia. Kaum imperialis AS takut jangan-jangan Tentara Merah Soviet akan langsung bergerak melalui Tiongkok dan memasuki Jepang, sebagaimana Tentara Merah Soviet telah mencapai Eropa Timur. Jepang akhirnya menyerah kepada AS setelah Angkatan Udara AS menjatuhkan bom-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tujuan utama dari penghancuran kota-kota Jepang ini adalah untuk memperlihatkan kepada Stalin bahwa sekarang AS telah memiliki senjata baru yang mengerikan dalam gudang senjatanya.

Di bawah kondisi “menyerah tanpa syarat”-nya Jepang yang didiktekan oleh Amerika Serikat, pasukan Jepang diperintahkan untuk menyerah kepada pasukan Chiang, dan bukan kepada kaum Komunis di wilayah-wilayah Tiongkok yang diduduki. Sebab-musabab pasukan Jepang menyerah kepada Uni Soviet semata-mata karena KMT tidak mempunyai pasukan di sana. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Jepang agar tetap berada di pos mereka untuk menerima KMT dan tidak menyerahkan senjata mereka kepada kaum Komunis.

Setelah Jepang menyerah, Presiden AS Truman sangat jelas berkenaan dengan apa yang dimaksudnya dengan “menggunakan Jepang untuk membendung kaum Komunis.” Dalam memoarnya ia menulis:

“Sepenuhnya jelas bagi kita bahwa bila kita memerintahkan Jepang untuk segera meletakkan senjata mereka dan berangkat ke daerah pesisir, segenap negeri akan diambilalih oleh kaum Komunis. Karena itu kami harus mengambil langkah yang tidak biasa, yakni menggunakan lawan sebagai sebuah garnisun sampai kita dapat mengangkut pasukan Nasional Tiongkok ke Tiongkok Selatan dan mengirim Angkatan Laut untuk menjaga kota-kota pelabuhan laut.”

Stalin dan Revolusi Tiongkok

Posisi apa yang diambil Moskow dalam semua perkara ini? Mula-mula Tentara Merah mengizinkan TPR untuk memperkuat

posisinya di Manchuria. Tapi, pada November 1945 Tentara Merah berbalik dari posisi semula. Chiang Kai-shek dan imperialis AS merasa ngeri terhadap prospek pengambilalihan Komunis atas Manchuria setelah kepergian Soviet. Karena itu Chiang membuat kesepakatan dengan Moskow untuk menunda penarikan-mundur mereka sampai ia selesai menempatkan cukup anak buah yang paling terlatih serta perlengkapan modernnya ke wilayah tersebut. Pasukan KMT kemudian diangkut ke wilayah itu dengan pesawat udara Amerika Serikat. Lalu pihak Rusia mengizinkan mereka untuk menduduki kota-kota kunci di Tiongkok Utara. Sementara itu pedesaan tetap di bawah kontrol PKT.

Kenyataannya, Stalin tidak memercayai pemimpin-pemimpin PKT. Ia tidak yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kekuasaan. Birokrasi Moskow lebih tertarik untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek daripada mendukung Revolusi Tiongkok. Setelah Revolusi, dengan getir Mao mengeluhkan bahwa duta besar asing terakhir yang meninggalkan Chiang Kai-shek adalah duta besar Soviet. Stalin mendesak Mao untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi dengan Kuomintang, sebuah gagasan yang mula-mula diterima Mao:

“Sementara perang berlanjut, Mao Tse-tung telah menuntut agar kaum Nasionalis setuju untuk mendirikan sebuah pemerintahan koalisi guna menggantikan pemerintahan satu-partai mereka, Stalin dan Molotov telah mengatakan bahwa kedua pihak Tiongkok harus bertemu. Pada 14 Agustus 1945, Uni Soviet bergerak selangkah lebih jauh. Ia merundingkan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek sebuah Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Tiongkok-Soviet (Sino-Soviet Treaty of Friendship and Alliance). Selanjutnya Stalin menasihati kaum Komunis Tiongkok bahwa pemberontakan mereka “tidak memiliki prospek” dan bahwa mereka harus bergabung dengan pemerintahan Chiang serta membubarkan tentara mereka.

Pada hari yang sama, kaum Nasionalis menandatangani Perjanjian mereka dengan Uni Soviet, Chiang Kai-shek—atas desakan Jenderal Hurley—mengundang Mao Tse-tung agar mengunjungi Chungking untuk ikut dalam diskusi.”

(Edward E. Rice, Mao’s Way, p.114, penekanan saya, AW)

Pada akhirnya, karena tak terelakkan, perundingan-perundingan gagal dan perang sipil dimulai lagi. Uni Soviet memberikan bantuan yang sangat terbatas kepada TPR, sementara AS membantu kaum Nasionalis dengan pasukan dan perlengkapan militer senilai ratusan juta dollar. Jenderal Marshall mengaku bahwa tidak ada bukti apapun bahwa Uni Soviet memasok TPR. Faktanya, TPR merebut senjata-senjata yang ditinggalkan Jepang, termasuk beberapa tank. Belakangan, sejumlah besar pasukan KMT yang terlatih dengan baik menyerah dan bergabung dengan TPR dengan membawa persenjataan mereka. Senjata-senjata tersebut hampir semuanya dibikin di AS.

Pasukan-pasukan Soviet secara sistematis membongkar basis industrial Manchuria (senilai sampai 2 milyar dollar), memuat ke kapal seluruh pabrik-pabrik ke USSR. Faktanya, sebagaimana telah kita lihat, Stalin skeptis tentang prospek keberhasilan Mao, dan berusaha untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan Chiang Kai-shek, sebagaimana ditunjukkan oleh Schram:

“Polanya terus dibikin kabur baik oleh kesibukan Stalin dengan keamanan negara Soviet, maupun oleh tidakadanya antusiasmenya terhadap sebuah gerakan revolusioner yang dinamis yang mungkin tidak dapat dikendalikannya.”

(Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 239.)

Jadi, benih-benih konflik Sino-Soviet sudah ada sejak awal: Bukan sebuah konflik ideologis, seperti yang seringkali dikemukakan, tetapi sekadar sebuah konflik kepentingan antara dua birokrasi yang saling bersaing, yang masing-masing dengan penuh kewaspadaan membela kepentingan-kepentingan nasional sempit, wilayah, sumber daya, kuasa, dan hak-hak istimewa mereka. Nasionalisme yang sempit ini sepenuhnya kontras dengan internasionalisme proletariannya Lenin dan Trotsky. Lenin menyatakan dalam lebih dari satu kali kesempatan bahwa ia akan bersedia untuk mengorbankan Revolusi Rusia bila itu diperlukan untuk mencapai kemenangan revolusi sosialis di Jerman.

Bila Stalin dan Mao berdiri di atas program Leninisme, sudah seharusnya mereka akan segera mengedepankan penciptaan sebuah Federasi Sosialis Uni Soviet dan Tiongkok, yang akan memberikaan faedah yang luar biasa besar bagi seluruh rakyat. Akan tetapi hubungan-hubungan mereka malah didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional yang sempit dan kalkulasi-kalkulasi yang sinis. Pada akhirnya ini mengakibatkan situasi yang sangat-sangat buruk, di mana para “kamerad” Rusia dan Tiongkok menggelar “perdebatan” dengan menggunakan bahasa roket dan selongsong artileri mengenai perbatasan yang dibuat pada abad ke-19 oleh seorang Tsar Rusia dan Kaisar Tiongkok.

AS Membantu Chiang Kai-shek

Pihak Amerika berambisi untuk membuat Tiongkok menjadi wilayah pengaruh AS (yang dalam praktik, sebuah negeri semi-koloni) setelah PD II. Tetapi, setelah semua pengalaman kelam PD II, rakyat Amerika tidak bakalan siap untuk mendukung sebuah peperangan baru dalam rangka menaklukkan Tiongkok. Yang lebih penting, tentara-tentara Amerika pun tidak akan siap untuk bertempur dalam peperangan seperti itu. Karena itu, ketidakmampuan imperialisme AS untuk mengintervensi Revolusi Tiongkok adalah sebuah unsur penting dalam rumusan politik.

Dalam kondisi begini, kaum imperialis AS terpaksa melancarkan manuver dan intrik. Washington mengutus Jenderal George C. Marshall ke Tiongkok pada 1946, yang katanya bertujuan untuk menyusun perundingan-perundingan antara TPR-nya Mao dan Chiang Kai-shek. Tetapi, dalam prakteknya, ternyata tujuannya adalah untuk memperkuat Chiang dengan menyediakan senjata, uang, dan perlengkapan dalam rangka membangun pasukan Nasionalis sebagai persiapan untuk melancarkan sebuah opensif yang baru. Manuver ini tidak memperdaya Mao begitu saja. Mao setuju untuk berpartisipasi dalam perundingan-perundingan, tetapi terus mempersiapkan diri untuk menghadapi bangkitnya permusuhan.

Kendati imperialisme AS tidak mampu berintervensi dalam perang sipil 1946-9, Washington memberikan uang, senjata, dan pasokan dalam jumlah yang sangat besar kepada kubu Nasionalis. Amerika Serikat membantu KMT dengan pasokan-pasokan militer baru senilai ratusan juta dollar. Tapi, banyak senjata yang dikirimkan Washington di kemudian hari justru digunakan oleh orang-orang Vietnam untuk melawan tentara AS, sebab hampir semua perangkat keras militer itu direbut oleh pasukan-pasukan Mao.

Sejak Konferensi Menteri-menteri Luar Negeri Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris di Moskow pada Desember 1945, Amerika Serikat telah menganut “kebijakan non-intervensi dalam masalah internal Tiongkok”. Tentu saja ini sebuah sandiwara belaka, sama saja dengan kebijakan “non-intervensi” di Spanyol semasa Perang Sipil, ketika “negara-negara demokrasi” memboikot Republik Spanyol, sementara Hitler dan Mussolini mengirim senjata dan anak buah mereka untuk mendukung Franco.

Imperialisme AS memasok Kuomintang dengan pesawat pengebom, pesawat tempur, senapan, tank, peluncur roket, pistol otomatis, bom bensin, proyektil gas, dan senjata-senjata lainnya untuk tujuan tersebut. Sebagai imbalan, Kuomintang memindahtangankan kepada imperialisme AS hak-hak berdaulat Tiongkok atas wilayahnya sendiri, perairan, dan kawasan udara, mengizinkannya untuk mendapatkan hak-hak pelayaran dalam negeri dan privilese-privilese komersial khusus, serta memperoleh privilese-privilese khusus dalam urusan domestik dan luar negeri Tiongkok. Pasukan-pasukan AS bersalah atas banyak kekejaman terhadap rakyat Tiongkok: Membunuh rakyat, memukuli mereka, melindas mereka dengan mobil, dan memerkosa kaum perempuan, semuanya dengan kekebalan hukum.

Revolusi Agraria

Pada Juli 1946, dengan dukungan aktif imperialisme AS, Kuomintang menjerumuskan Tiongkok ke dalam perang sipil besar-besaran dengan kebrutalan yang tiada taranya dalam sejarah Tiongkok. Chiang Kai-shek meluncurkan sebuah ofensif kontra-revolusioner melawan TPR. Ia telah melakukan persiapan seksama, dan pada waktu itu KMT mempunyai pasukan sebanyak hampir tiga setengah kali lipat daripada TPR. Sumber-sumber materialnya pun jauh lebih unggul. Ia mempunyai akses ke industri-industri modern dan sarana-sarana komunikasi modern, yang justru tidak dimiliki oleh TPR. Secara teoritis, seyogyanya Chiang dapat meraih kemenangan dengan mudah.

Pada tahun pertama perang sipil (Juli 1946-Juni 1947), Kuomintang berada pada posisi ofensif dan TPR terpaksa berada dalam posisi defensif. Mula-mula pasukan-pasukan Chiang bergerak maju dengan cepat, menduduki banyak kota dan daerah yang dikontrol oleh TPR. Pasukan-pasukan KMT mencapai sesuatu yang nampak sebagai sebuah kemenangan yang menentukan tatkala mereka merebut ibukota TPR, Yenan. Banyak pengamat menganggap hal ini sebagai pertanda kekalahan yang menentukan bagi TPR. Tapi anggapan ini tidak tepat. Berhadapan dengan rintangan yang sama sekali tidak menguntungkan, Mao memutuskan untuk melakukan penarikan-mundur yang strategis. Mao mengambil keputusan untuk tidak berupaya mempertahankan kota-kota besar dengan pasukan-pasukan yang kurang unggul. Alih-alih ia berkonsentrasi pada daerah-daerah pedesaan, di mana ia mempunyai basis yang solid di kalangan kaum tani; dari sana ia dapat mengumpulkan-kembali dan mengonsentrasikan pasukan-pasukannya untuk melancarkan serangan balik.

Apa yang gagal disadari kaum imperialis AS dan Chiang Kai-shek adalah bahwa senjata paling efektif yang ada di tangan TPR bukanlah senapan atau tank, tetapi propaganda. TPR menjanjikan kepada kaum tak bertanah dan kaum tani yang kelaparan bahwa dengan berjuang untuk TPR mereka akan bisa merebut tanah pertanian dari para tuan-tanah. Dalam hampir semua kasus, daerah pedesaan sekitar dan kota-kota kecil telah berada di bawah kontrol TPR jauh sebelum kota-kota besarnya. Inilah asal-muasal teori Mao, “Desa Mengepung Kota”.

Ketika Stalin mengubah garis Komintern dari kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan oportunis frontisme-popular, Mao merevisi program agrarianya. Ia meninggalkan kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari “para tuan-tanah yang progresif” (!). Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya:

“Kebijakan agraria yang selanjutnya adalah lebih radikal daripada kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang melibatkan penurunan bunga pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi taktik-taktik baru ini dimaksudkan bersifat gradual dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang ingin dia pertahankan. Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma tidak boleh memengaruhi lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga menyebabkan pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’; dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan, yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani Tiongkok pada masa silam, dan sangat berkontribusi dalam memenangkan dukungan penduduk.”

(Stuart Schram, Mao Tse-Tung, p.242.)

Di setiap desa, TPR mendistribusikan tanah kepada kaum tani. Tetapi mereka selalu menyisakan sejumlah kapling—untuk prajurit-prajurit dari tentara Chiang Kai-shek. Para prajurit KMT yang tertangkap tidak dibunuh atau diperlakukan buruk, sebaliknya mereka diberi makan dan diberi perawatan medis, dan kemudian diberi pidato-pidato politik yang mengutuk rezim Chiang Kai-shek yang korup dan reaksioner. Kemudian para tawanan dikirim pulang untuk menyebarkan pesan di kalangan kaum tani dan prajurit-prajurit lainnya bahwa TPR bermaksud mendistribusikan tanah para tuan-tanah kepada kaum tani.

Dengan menjanjikan tanah kepada kaum tani, TPR berhasil memobilisir kaum tani dalam jumlah yang sangat besar agar dapat digunakan untuk bertempur dan menyediakan dukungan logistik. Ini terbukti sangat efektif. Tentara Chiang barangkali mengalami tingkat desersi tertinggi dari tentara manapun dalam sejarah. Artinya, kendati banyak jatuh korban, TPR sanggup untuk terus bertempur dengan pasokan rekrutmen baru yang konstan. Semasa Kampanye Huaihai saja mereka mampu memobilisir 5.430.000 kaum tani untuk bertempur melawan pasukan-pasukan KMT. Stuart Schram menunjukkan bahwa TPR bertambah besar secara dramatis:

“Semasa 1945 pasukan-pasukan militer yang berada di bawah komando Tentara Rute VIII dan Tentara Baru IV telah meluas dari jumlah sekitar setengah juta menjadi sekitar satu juta orang. Pasukan Kuomintang kira-kira empat kali lebih banyak dari jumlah tersebut. Pada pertengahan 1947, setelah setahun perang sipil berskala besar, perbandingannya bergeser dari satu banding empat menjadi satu banding dua.”

(Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 242.)

Ofensif Terakhir

Clausewitz mengutarakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Politik memainkan peran yang sangat penting dalam setiap perang, terutama dalam perang sipil. Kendati pihak Amerika (seperti biasanya) mempertahankan fiksi bahwa ini merupakan perang antara “Komunisme dan Demokrasi”, faktanya boneka Tiongkok mereka, Chiang Kai-shek, adalah seorang diktator yang brutal. Akan tetapi, barangkali di bawah tekanan Washington, Chiang berpura-pura memperkenalkan sejumlah “reforma demokratis” dalam rangka membungkam para pengkritiknya di dalam dan di luar negeri.

Ia mengumumkan sebuah konstitusi baru dan Majelis Nasional yang baru, yang tentu saja menyisihkan kaum Komunis. Mao segera mengutuk “reforma-reforma” tersebut sebagai sebuah penipuan. Massa-penduduk lebih menaruh perhatian pada korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, serta kekacauan politik dan ekonomi: Khususnya hiperinflasi yang massif, yang mengakibatkan jatuhnya standar-standar hidup. Ada protes-protes mahasiswa yang besar di seluruh negeri terhadap imperialisme.

Di daerah-daerah yang dikontrol oleh pasukan-pasukan Nasionalis, rezim Teror Putih berkuasa. Chiang mengadopsi taktik yang persis sama dengan para penyerang Jepang: Membakar, menjarah, memerkosa, dan membunuh. Jutaan pria dan wanita, muda dan tua, dibantai. Ini memberikan kepada mereka kebencian penduduk dan justru makin memperkuat dukungan bagi TPR.

Secara teori, pihak Nasionalis masih memiliki satu keunggulan yang besar daripada TPR. Di atas kertas, mereka menikmati keunggulan yang nyata baik dalam jumlah personel maupun senjata. Mereka mengontrol wilayah dan penduduk yang jauh lebih besar daripada seteru mereka. Mereka juga menikmati dukungan internasional yang sangat besar dari AS dan Eropa Barat. Tapi itu hanya teori saja. Realitas di lapangan sangat berbeda. Pasukan-pasukan Nasionalis menderita karena tidakadanya semangat juang dan merajalelanya korupsi—yang sangat mengurangi kemampuan mereka untuk bertempur; dan dukungan sipil terhadap mereka telah runtuh.

Pasukan-pasukan Nasionalis yang mengalami demoraliasasi dan tidak berdisiplin meleleh di hadapan derap-laju yang tak terbendung dari Tentara Pembebasan Rakyat. Mereka menyerah atau melarikan diri, meninggalkan begitu saja persenjataan mereka. Penawanan atas sejumlah besar pasukan KMT memberikan kepada TPR tank, artileri berat, dan aset-aset persenjataan-gabungan lainnya yang dibutuhkan untuk meneruskan operasi-operasi ofensif di sebelah selatan Tembok Besar. TPR bukan hanya mampu merebut kota-kota Kuomintang yang memiliki pertahanan yang sangat kuat, tapi juga mengepung dan menghancurkan formasi-formasi pasukan gerak-cepat Kuomintang, seratus ribu atau beberapa ratus ribu pada saat yang bersamaan. Pada April 1948 mereka merebut kota Luoyang, yang memutus pasokan bagi tentara KMT dari Xi’an.

TPR mampu meneruskan kontra-ofensif, yang memaksa Kuomintang meninggalkan rencananya untuk melakukan serangan umum. Setelah merebut senjata dalam jumlah yang sangat besar, TPR mampu memperbaiki kemampuan militernya, membentuk artileri dan kesatuan teknis-nya sendiri, serta menguasai taktik untuk menyerang titik-titik sasaran yang memiliki pertahanan yang kuat. Sebelum ini, TPR tidak mempunyai pesawat tempur atau tank, tapi segera sesudah ia membentuk artileri dan kesatuan teknis yang lebih unggul daripada yang dimiliki tentara Kuomintang, ia sanggup melancarkan bukan hanya pertempuran gerak cepat (mobile warfare) tetapi juga pertempuran posisional (positional warfare). Menurut perkiraan Mao sendiri:

“[…] setiap bulan [TPR] menghancurkan rata-rata sekitar 8 brigade dari pasukan reguler Kuomintang (sama dengan delapan divisi pada masa kini).”

(“Carry the Revolution through to the end”, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, hlm. 299)

Perubahan situasi militer ini benar-benar sukar dipercaya. TPR, yang selama bertahun-tahun kalah dalam jumlah, pada Juli-Desember 1948 akhirnya beroleh keunggulan atas pasukan Kuomintang dalam jumlah tentara. Ini adalah jumlah yang diberikan Mao pada waktu itu:

“Pada tahun pertama, 97 brigade, termasuk 46 brigade yang sama sekali dihancurkan; dalam tahun kedua, 94 brigade, termasuk 50 yang sama sekali dihancurkan; dan dalam paroh pertama tahun ketiga, menurut perhitungan yang tidak lengkap, 147 divisi, termasuk 111 divisi yang sama sekali dihancurkan. Dalam enam bulan ini, jumlah divisi musuh yang sama sekali dihancurkan adalah 15 lebih banyak dari jumlah keseluruhan dalam dua tahun sebelumnya. Front musuh secara keseluruhan runtuh sama sekali. Pasukan lawan di Timur Laut telah sepenuhnya dihancurkan, mereka yang di sebelah utara Tiongkok akan segera dihancurkan, dan di sebelah timur Tiongkok dan Dataran Tengah hanya ada beberapa pasukan musuh yang tersisa. Pemusnahan pasukan utama Kuomintang di sebelah utara Sungai Yangtse sangat memudahkan penyeberangan yang akan dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat dan perjalanannya ke selatan untuk membebaskan seluruh Tiongkok. Seiring dengan kemenangan pada front militer, rakyat Tiongkok telah mencetak kemenangan-kemenangan menakjubkan pada front politik dan front ekonomi. Karena alasan ini, opini publik dunia luar, termasuk seluruh pers imperialis, tidak lagi memperdebatkan kepastian kemenangan di seantero negeri dari Perang Pembebasan Rakyat Tiongkok.”

(“Carry the Revolution through to the end”, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, p. 299)

Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai bahwa secara substansial perkiraan ini akurat. Semua sejarahwan borjuis menerima bahwa pada periode tersebut pasukan-pasukan Chiang sedang terpukul mundur dalam kondisi yang kacau-berantakan dan bahwa TPR dengan cepat kian bertambah besar dan kuat.

London, 1 Oktober 2009

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “The Chinese Revolution of 1949 – Part One”, Alan Woods, 1 Oktober 2009.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=195781613784045

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita