25/11/11

Kuasa Kata di Atas Viaduct

Afrizal Malna
Pikiran Rakyat, 27 Juni 2009.

DUA kali saya membaca buku kumpulan puisi Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia). Dari dua kali membaca buku itu, saya merasa setelah melampaui 250 halaman, pembacaan saya terasa mulai rusak atau saya mulai berubah menjadi “pembaca yang rusak” setelah 250 halaman. Saya merasa nyaman membaca puisi di bawah seratus puisi, lebih dari itu rasanya ada kereta yang berantakan dalam diri saya. Kereta bahasa yang kehilangan sensitivitasnya, kata-kata gagal berada dalam sintaksisnya, dan pemaknaan dilumpuhkan.

Pada sisi lain (dalam pembacaan yang rusak itu), saya disadarkan juga oleh kesan betapa besarnya penyair memiliki “kekuasaan” atas kata. Kepada siapakah kata yang dikuasai penyair itu dipertanggungjawabkan? Kesan di mana “sikap atas kata” diperlakukan sebagai “kekuasaan atas kata”, terutama dalam membuat pernyataan.

Pengalaman itu membuat saya tertarik mengamati apa yang terjadi dengan diri saya sendiri ketika membaca kumpulan itu. Jadi, bukan saya yang membaca sastra, melainkan “sastra yang membaca saya”.

Pertama, saya cukup terprovokasi oleh pengenalan saya atas Bandung, terutama seringnya saya menggunakan kereta untuk pergi ke Bandung. Jalan mana pun yang saya tempuh untuk ke Bandung, selalu melalui jalan berkelok, mendaki, dan menurun.

Kedua, strukturisasi pembagian puisi yang dilakukan Ahda Imran menjadi enam pengelompokan puisi (Priangan, Angin Bandung, Sukardal, Kota Kita, Di Atas Viaduct, dan Bagi Sebuah Kenangan), ikut memprovokasi munculnya kategori tematik dalam membaca buku ini. Dengan sengaja saya tidak ingin memasuki lebih jauh identifikasi yang telah dilakukan Ahda Imran (penyunting) hingga munculnya pengelompokan-pengelompokan ini. Akan tetapi, dengan kesadaran ini pun, jalan yang telah dibuat Ahda tetap menuntun saya dalam membaca puisi-puisi dalam buku ini hingga pada kelokan tertentu saya mulai berpisah dengan kategorisasi Ahda.

Keris yang Hilang dalam Sumur

Saya tidak tahu apa perbedaan antara Parahyangan dengan Priangan. Apakah Priangan sama dengan konsep Parahyangan yang mengacu pada konteks masa lalu, konsep ruang budaya dan spiritual dalam membaca wilayah Hindu Sunda. Apabila kedua istilah ini merupakan sebuah pergeseran, untuk saya pergeseran ini sangat menakjubkan, bagaimana Parahyangan yang secara harfiah merupakan tanah para dewa berubah menjadi Priangan yang mungkin bisa dibaca sebagai para priang, riang, gembira. Istilah Priangan pun, pada beberapa puisi mengalami genderisasi di mana Priangan juga identik sebagai gadis perawan dan hampir seluruh puisi yang menyinggung perawan, memperlihatkan begitu pentingnya keperawanan, kecuali pada puisi Ratna Ayu Budhiarti yang membawa puitika paling berbeda dari rata-rata penyair yang puisinya terkumpul dalam kumpulan ini.

Kumpulan puisi Ramadhan KH (Priangan Si Jelita: 1956), 53 tahun lalu, menggunakan istilah Priangan dalam puisi yang muncul lebih awal dan hingga kini digunakan banyak penyair, terutama yang berdomisili di Jawa Barat. Kumpulan ini masih kaya menggunakan berbagai dekorasi puisi-puisi lama dari permainan rima, pantun, pilihan vokal dan konsonan, serta ikon budaya Sunda. Seruling dan pantun digunakan untuk tangisan dan dunia lama itu (Sunda sebagai personifikasi Priangan si jelita) seperti keris yang hilang di sumur. Pernyataan ini tidak hanya keras dan tajam, tetapi juga memperlihatkan begitu pentingnya keris dan sumur dalam ikon budaya Sunda. Sebuah metafora yang bisa dibaca sebagai “tenggelamnya Sunda lama”.

Kini, tidak hanya keris yang hilang dalam sumur, namun sumur pun ikut hilang. Kita hampir tidak pernah bisa menemukan lagi istilah sumur dalam puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini setelah Ramadhan menggunakannya pada 1956. Baru empat puluh tahun kemudian, tahun 1996, Kurnia Effendi menggunakannya kembali dalam puisinya “Sumur Bandung”.

Pengaruh Ramadhan, tidak hanya penggunaan istilah Priangan yang terus dipakai penyair dari generasi setelah Ramadhan, tetapi juga reproduksi mitologi Sunda. Yang menarik, mitologi yang paling banyak direproduksi adalah legenda Dayang Sumbi atau Sangkuriang dan Jaka Tarub. Kedua mitos ini kebetulan sangat genderistik dan seksis. Reproduksi mitos yang memperkuat identitas Priangan sebagai perempuan dan perempuan ini sebenarnya adalah perempuan yang menderita. Selalu ada unsur “petaka” dalam hubungan perempuan dan lelaki. Mitologi ini menjadi sumber reproduksi untuk Apip Mustopa, Arahmaiani, dan Acep Iwan Saidi. Terkadang, mitologi ini juga digunakan sebagai perluasan misteri.

Strategi Narasi Sunda

Sebagai strategi teks dalam puisi, muncul pertanyaan sebenarnya mau dibawa ke mana narasi Priangan ini dengan seluruh pernik-pernik masa lalu dan mitologinya? Apakah kemunculan generasi baru yang sudah tidak pernah mengalami Sunda lama lewat pengenalannya terhadap Bandung sebagai kota lama akan memunculkan strategi teks yang lain? Pertanyaan ini menarik untuk mengukur perubahan yang terjadi dalam estetika puisi yang berkaitan dengan perubahan kota.

Sebagian besar penyair yang pernah mengalami masa Bandung lama, paling tidak sampai generasi yang lahir dekade ‘50-an dan paruh ‘60-an, melihat Bandung masa kini seperti telah berkhianat kepada Bandung masa lalu. Priangan dan Sunda sebagai strategi teks untuk melawan Bandung masa kini, apakah merupakan strategi teks untuk memaksakan Bandung sebagai kota representasi budaya Sunda?

Besarnya daya tarik kota ini tampaknya memang telah membuat sekian banyak penyair mengharapkan kota ini ikut mengakomodasi indeks-indeks kesundaan. Penyair melakukan personifikasi sedemikian rupa atas kota ini, seperti yang dilakukan Ayie S. Bukhary pada (Aom Bandung): aku adalah Bandung yang dinyatakan sebagai mantra.

Garam Hitam (Priangan-Penderitaan)

“Priangan Si Jelita” Ramadhan KH, oleh penyair berikutnya kian bergeser menjadi Priangan sebagai penderitaan. Pembalikan ini eksplisit dinyatakan Acep Iwan Saidi dan Juniarso Ridwan dalam sajak mereka dengan judul yang sama, “Priangan Si Derita”. Puisi yang menyatakan kota yang bertambah ganas, Priangan tidak perawan lagi dan kerusakan ekologi kota Bandung.

Bandung yang pernah dipuja sebagai Parisnya Jawa, dalam puisi Soni Farid Maulana (Variasi Parijs van Java), dilihat seperti menelan garam hitam yang pahit. Antara Ciwidey ke Tangkubanparahu, seruling telah berganti dangdut. Indeks kemerosotan ini ditandai dengan seruling sebagai representasi primordial yang sudah tergantikan dengan dangdut.

Dalam ketegangan politik narasi antara Sunda dan Negara, puisi Soni memperlihatkan dua kali sudah Priangan dikhianati setelah keris yang hilang dalam sumur (Ramadhan KH), kini dangdut yang telah menggantikan seruling (Soni). Bandingkan dengan sebaliknya yang dinyatakan Rustam Effendi dalam puisinya: seruling dan pantun aku campakkan yang justru dilakukan untuk melawan narasi lama.

Saya tertarik untuk melihat bagaimana perubahan Bandung sebagai negatif dengan menggunakan Priangan, seruling, dan dangdut sebagai pembanding. Bagaimanakah sebenarnya indeks primordial ditempatkan dalam kota seperti Bandung yang terus mengalami berbagai proses urbanisasi dan menghadapi permintaan pasar atas produk-produk kebudayaan? Pemilihan indeks itu adalah pilihan yang tidak membuka ruang antara mana yang boleh berubah dan yang tidak boleh berubah. Priangan bukan kota modern, Bandung bukan kota Priangan, dan seruling bukan dangdut. Munculnya dangdut tidak berarti berhubungan langsung dengan hilangnya seruling.

Karno Kartadibrata memiliki strategi puitika yang berbeda untuk memperlihatkan perubahan kota dalam puisinya BRAGABRAGABRAGA: Tuan//apakah yang dibicarakan sepasang remaja itu//ketika pulang dari bioskop “Braga Sky”?// Apakah terkesan mode pakaian baru yang//dilihatnya?//Lalu janji apa dan harapan apa yang mereka//bisikkan?//Apakah yang terpikirkan oleh nyonya semuda//itu yang shopping di sini, nah dari toko ini lalu//ke toko itu?//beli majalah “Femina” dan novel “Karmila”?//

Karno hampir tidak membuat pernyataan apa pun dalam puisinya itu. Ia hanya melakukan semacam identifikasi atas yang disaksikannya dan kemudian membawanya ke strategi narasi di mana strategi ini tetap bergerak dalam lingkup strategi puitika yang ditawarkannya. Karno tidak menggunakan narasi tradisi untuk melawan narasi modern. Karno menggunakan narasi dari konteksnya sendiri, bukan dari konteks yang lain.

Mitologi dalam Strategi Teks Kontemporer

Dalam bagian lain, kita menemukan strategi teks yang berbeda, yaitu menggunakan mitologi dalam tindakan dekonstruksi terhadap mitologi itu sendiri. Dekonstruksi seperti ini dapat kita lihat dalam puisi Mardi Luhung (Sangkuriang), atau puisi Sitor Situmorang (Dayang Sumbi, Kenapa Kau Tolak Cintaku?).

Mitos dibongkar dengan mengajukan cara pandang di luar indeks mitos itu sendiri. Akan tetapi lewat pembongkaran itu pula, konstruksi makna dari mitos itu terbuka dengan gamblang. Sitok Srengenge dalam sajaknya “Libido Sangkuriang,” lebih gamblang lagi melihatnya: bahwa cinta bisa mengubah darah. Yessi Anwar dalam sajaknya “Dari Bayangan Kotaku,” Dayang Sumbi berubah menjadi “piring sumbing” untuk pada gilirannya memperlihatkan bahwa anjing lebih setia dari manusia.

Strategi teks dalam sajak mereka tidak lagi menggunakan mitologi sebagai indeks tradisi atau kepercayaan-kepercayaan primordial untuk melawan masa kini, melainkan sebaliknya. Nilai-nilai masa kini digunakan untuk mengubah atau membongkar sistem makna yang terdapat dalam mitos. Strategi teks seperti ini memperlihatkan sikap pragmatis untuk memutuskan hubungan reproduksi mitos atas waktu masa kini.

Kota, Kuasa Kata

Ketika hubungan reproduksi mitos tidak diputus, mitos tidak lagi mengandaikan adanya perjalanan waktu dan tumbuhnya sistem nilai yang lain. Kita melihat hal ini misalnya pada sajak Apip Mustopa “Telah Musnah Sangkuriang” yang menyatakan Bandung sebagai pemusnahan atas Sangkuriang. Mitos Sangkuriang di sini menjadi klaim nilai yang dipertentangkan dengan perubahan kota.

Klaim ini lebih eksplisit muncul dalam sajak Eddy D. Iskandar “Bandung” yang mengatakan Bandung telah berubah dan ingin kembali ke wajah kota lama. Diro Aritonang (Rindu Bandung): Bandung sudah linglung dan bingung. Sarabunis Mubarok (Bandung): kota yang sakit, sudah seperti WC jalanan. Yayat Hendayana (Dendang Bandung): sampah dan pengap, rumah semakin sempit. Rohyati Sofyan (Sajak Bandung (teu) Disayang): Cikapundung tempat bidadari mandi sudah berubah menjadi limbah pabrik. Juniarso Ridwan (Asap di Atas Bandung): kota membalik cerita, mengubah narasi lama. Deddy Koral (Potret Kota): rakyat kecil menderita dan pejabat korup. Beni Setia (Sajak Tengah Hari): kota yang memaksa kita menjadi tidak berdaya dan orang gila bertambah banyak. Perubahan kota Bandung yang dikecam juga terdapat dalam sajak Nandang Darana atau Dian Hartati.

Kekuasaan penyair atas kata ditempuh dalam mempraktikkan puisi untuk melawan negara atau untuk mengingatkan negara. Tidak seluruh penyair menggunakan strategi narasi yang sama untuk melawan negara. Saini KM misalnya, dalam sajaknya “Bandung” mengatakan, kota sudah berubah, menghapus kota dalam peta hidupmu. Ketika kota telah berubah, dia bukan lagi peta dalam hidupmu. Lihat lagi puisi Atasi Amin (Kota), semua telah berubah, kecuali nasihat bapak kepada anaknya: jangan ke kota.

Masih dengan semangat puisi mbeling, Remy Sylado dalam puisinya “Kota Kita,” memperlihatkan Bandung sebagai hiruk-pikuk berbagai bahasa dari berbagai indeks budaya (lokal, kolonial, dan dunia masa kini). Kota musik di mana Scott Mckenzie, John Lenon, Mick Jagger, dan lain sebagainya menjadi warga terhormat kota ini.

Perbedaan ini memperlihatkan dua kemungkinan. Pertama, penyair memang bekerja sebagai penjaga nilai-nilai lama dengan cara menguasai kata. Kedua, penyair merupakan bagian dari komunitas narasi yang tidak bisa mengakses perubahan karena dia justru memperlakukan puisi sebagai “kuasa kata” yang membuat blok budaya dalam reproduksi strategi teks dirinya sendiri.

Tubuh dan Kota

Ketika praktik kuasa atas kata berlangsung sedemikian rupa sebagai reproduksi narasi puisi, tubuh menjadi penting untuk didengar. Lewat cara pandang ini, puisi tidak lagi diwacanakan untuk membaca kota. Ahda Imran dalam puisinya “Simpang Lima, Malam,” mengatakan: tubuhku adalah pikiran, di luar semua yang pernah kuceritakan padamu. Tubuh memiliki strategi teks lain di luar pikiran yang telah menjadi cerita antara aku (pencerita), kota (cerita), dan kamu (yang diceritakan). Puisi digunakan untuk membaca diri sendiri dengan tubuh sebagai pembaca dan penulisnya sekaligus.

Acep Zamzam Noor (Lanskap Kota Bandung): tubuh yang terhuyung-huyung ditelan kota. Juniarso Ridwan (Ahoaho Bandung): tubuh yang terbenam beton. Badung (Sebuah Insomia): tubuh yang tidak pernah bisa tidur, kemudian menghadapi momen-momen yang hilang.

Pertemuan antara tubuh dan kota tidak pernah terjadi. Sebaliknya, kota menjadikan tubuh sebagai pusat konflik. Kota sebagai ruang, bangunan, dan mobilitas, tidak lagi bisa mengukur batas-batas kodrati tubuh. Kota tumbuh untuk menyakiti tubuh yang menghuninya. Ketika hubungan kota dan tubuh tidak terwacanakan dalam visi dan tata kota, kota dibiarkan tumbuh sebagai representasi ruang yang tidak melibatkan tubuh untuk berbagai aktivitas yang dilakukan sepanjang hari.

Narasi Gender

Politik identitas dalam narasi gender antara Priangan dan Bandung berlangsung secara tidak berimbang. Sepanjang itu pula, hampir tidak ada penyair perempuan yang masuk ke dalam narasi gender seperti ini. Dalam konteks ini pula, Nenden Lilis A (Rumentang Siang, Suatu Malam) dan Ratna Ayu Budiarti (Untuk Seseorang Yang Menjadikan Aku Sebagai Kekasih Gelapnya) menulis dalam ruang gender yang berbeda.

Kedua sajak itu, yang satu ditulis 1995, satunya lagi 2004, berjarak hampir sepuluh tahun. Nenden generasi kelahiran 1971 dan Ratna kelahiran 1981. Dua generasi yang berbeda 10 tahun, hampir sama persis dengan jarak waktu ke dua sajak di atas. Nenden memperlihatkan idealisme, misteri atas hubungan dan ruang, serta strategi teks yang berat dan muram. Menggunakan setting gedung teater. Sementara itu, Ratna memperlihatkan sikap pragmatis atas hubungan. Hubungan tidak dilihat sebagai misteri waktu, melainkan sebagai penawaran dan pemilikan. Menggunakan setting gedung bioskop, dan mall. Menggunakan tubuh sebagai bahasa lewat fitness body language. Menggunakan strategi teks yang cair dan gamblang. Puisi Ratna berbeda dengan kebanyakan puisi dalam kumpulan ini pada umumnya, lebih dekat dengan puisi Karno Kartadibrata. Bentuk puisi yang sebelumnya sering kita anggap sebagai prosaik.

Puisi Nenden melihat hidup sebagai teater nasib, di mana ada penonton yang tak bernama, tak terkenali yang tetap berada dalam gedung teater walau pertunjukan telah usai dan penonton lain telah pulang. Penonton tak bernama itu seperti mata yang tidak pernah tidur mengawasi teater nasib itu, sedangkan puisi Ratna melihat hidup lebih sebagai pasar tawar-menawar. Ruang hidup mereka adalah ruang di mana mereka bertindak sebagai “yang menonton” dan bukan “yang ditonton”. Tak ada misteri juga tak ada lagi yang disucikan.

Ratna bisa dikatakan generasi yang lahir sepenuhnya setelah Bandung berubah dan tidak pernah mengalami Bandung lama yang pernah disebut sebagai “kota kembang”. Apakah narasi Priangan akan tetap berlanjut dalam puisi-puisi setelah generasi Ratna?

Saya kembali mengamati diri saya setelah saya selesai menulis makalah ini. Saya terpaku pada ketegangan antara kota dan kata. Suatu saat kota adalah kata ketika kota mampu menjadikan dirinya sebagai rumah naratif yang melahirkan cerita. Suatu saat, kata adalah kota ketika kata mampu membuat ruang untuk terjadinya gerakan bahasa.***

(Artikel ini disarikan dari makalah penulis yang disampaikan dalam Bedah Buku Di Atas Viaduct, Bandung dalam Puisi Indonesia, di Aula Pikiran Rakyat, 23 Juni 2009).

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=210370915658448

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita