09/10/11

Demitologisasi Sastra Mantra Sutardji

Hasnan Bachtiar
http://kataitukata.wordpress.com/

Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).

Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.

Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.

Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.

Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.

Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.

Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.

Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.

***

Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).

Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).

Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.

Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.

Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.

Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?

Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.

***

Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*

Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.

Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.

Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.

Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.

Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.

Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).

Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.

Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita