Asep Yayat
http://www.suarakarya-online.com/
Setiap lebaran aku selalu pulang kampung. Mudik. Tak terkecuali lebaran kali ini. Segala persiapan sudah beres. Jadi, tinggal berangkat saja. Beberapa hari lalu mobil sudah kubawa ke bengkel: ganti oli plus servis mesin dan penyejuk udara alias AC. Dengan demikian, meski terbilang sudah uzur, mobilku tetap nyaman dan bisa diharapkan tidak mogok di perjalanan.
Sementara itu, oleh-oleh buat ibu di kampung sudah dibungkus rapi dalam rupa kado dengan hiasan pita sehingga berkesan istimewa. Beberapa kardus juga sudah dilakban. Isinya: bingkisan untuk kerabat, terutama Nung yang sehari-hari menemani dan merawat ibu.
Nanti pagi menjelang adzan shubuh, ketika orang-orang sedang santap sahur, aku bersama istri dan anakku semata wayang mulai meluncur meninggalkan Jakarta. Mudah-mudahan arus kendaraan di jalur pantura sudah tidak macet lagi seperti heboh diberitakan di televisi tadi sore. Tapi kalaupun perjalanan mudik lebaran ke arah timur Jakarta masih dihadang macet, aku sudah siap mental. Paling tidak, pengalaman bermacet-macet saat mudik lebaran di tahun-tahun yang lalu telah membuat mentalku tahan banting. Jadi, hadangan kemacetan lalu lintas di perjalanan tak bakal membuatku senewen.
Boleh jadi, sikap mentalku membaja juga karena aku demikian bersemangat menyongsong mudik lebaran ini. Ya, karena bagiku mudik lebaran sudah menjadi semacam ritual tahunan. Mudik lebaran kuanggap sebagai momen istimewa yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Dengan mudik lebaran, aku bisa bersilaturahmi dengan keluarga di kampung. Terutama dengan ibu yang sudah sepuh.
Lebih dari itu, mudik lebaran juga menjadi istimewa karena membuatku merasa bisa berbakti kepada ibu: menunjukkan perhatian sekaligus memohon ampun dan doa.
Karena itu, setiap selesai sungkem kepada ibu di pagi pertama idul fitri, aku selalu merasa bahagia. Batinku terasa mendadak jadi lapang. Jiwa dan pikiranku jadi kembali jernih dan segar. Tak lagi sumpek akibat sehari-hari terus didera berbagai masalah.
Boleh jadi, momen idul fitri membuatku merasa tercerahkan secara spiritual karena dalam keseharian aku senantiasa dibebani pikiran tentang ibu. Hati kecilku tak bisa menerima kenyataan bahwa ibu yang sudah sepuh hidup jauh dari kami, anak-anaknya. Terus-terang aku merasa berdosa. Mestinya kami yang sehari-hari menjaga dan merawat ibu di hari tuanya sekarang.
Aku malu kepada Nung. Sepupuku itulah yang selama ini berbaik hati menggantikan kami mendampingi ibu. Nung bukan saja sehari-hari menemani ibu, melainkan juga merawatnya dengan telaten. Pokoknya, berkat Nung, kami tak beralasan mencemaskan soal ibu di kampung.
Tapi sampai kapan? Kalau suatu hari nanti Nung mendapat jodoh, apa mungkin dia tetap bisa mengurus ibu seperti selama ini? Rasanya tidak! Aku yakin, suami Nung nanti – siapa pun dia – hampir pasti berkeberatan kalau Nung tetap mengurus ibu. Terlebih lagi kalau Nung nanti dibawa suaminya keluar dari kampung kami.
Andai pun setelah berkeluarga nanti ternyata tetap tinggal di kampung kami, Nung boleh jadi tak bakal mendapat izin suaminya untuk tetap mengurus ibu! Atau kalaupun suami Nung memberi izin sekalipun, dan Nung sendiri masih bersedia merawat ibu, situasinya tentu lain. Paling tidak, perhatian Nung jelas tak bisa diharapkan lagi sepenuhnya untuk ibu. Sebagai istri dan mungkin ibu anak-anaknya, perhatian Nung kepada ibu niscaya tak mungkin lagi bisa seperti selama ini.
Sebenarnya, kami – tiga bersaudara anak ibu – sudah berulang kali membujuk ibu agar tinggal bersama salah satu di antara kami di rantau. Entah dengan aku di Jakarta. Atau dengan Mbak Rum di Palembang. Atau juga dengan Mas Tono di Banjarmasin. Tapi ibu beralasan, tak kerasan hidup di luar kampung halaman kami.
Boleh jadi, batin atau psikologi ibu memang amat kuat terikat dengan lingkungan kampung kami. Namun alasan yang lebih mungkin, menurutku, ibu enggan hidup bersama kami karena dia sungkan merepotkan anak-cucunya. Mungkin juga ibu khawatir kalau-kalau suatu saat berkonflik dengan mantunya seperti cerita-cerita pengalaman tetangga ibu di kampung.
Tapi apa pun yang menjadi alasan ibu, aku tak pernah bisa nyaman dan tenang oleh kenyataan bahwa ibu menjalani sisa hidup di kampung tanpa diurus anak-anaknya sendiri. Bagiku, meski didampingi Nung, ibu tetap saja seolah-olah hidup telantar.
Karena itu, ibu senantiasa menjadi beban pikiranku. Terlebih karena di luar momen lebaran aku nyaris tak pernah bisa sempat menengok ibu. Kesibukan di kantor benar-benar membelengguku. Libur akhir pekan selama dua hari sepenuhnya kumanfaatkan untuk beristirahat: agar pada pekan berikutnya aku mampu menjalani kesibukan tanpa loyo. Sementara kalaupun tergelar hari besar nasional, sehingga kantor libur, kesempatan untuk pulang kampung tetap tak serta-merta bisa kumanfaatkan. Selalu saja ada halangan yang membuatku tak bisa menyempatkan pulang kampung untuk menengok ibu. Halangan itu terutama ajakan atasanku di kantor untuk menemaninya memancing di laut!
Memang, bisa saja aku menolak ajakan bosku itu – meskipun dengan perasaan rikuh dan sungkan. Tapi, jujur saja, aku sendiri menikmati keasyikan memancing ini. Terlebih lagi bosku biasa memberiku tips sebagai penghargaan atas kesediaanku menemaninya memancing. Lumayan buat menambah-nambah uang dapur!
Karena itu, ajakan bos menemaninya memancing di laut hampir tak pernah kuasa kutampik. Akibatnya, itu tadi, setiap kesempatan untuk menengok ibu di kampung saat hari libur nasional pun menguap begitu saja.
Memang, libur dalam rangka cuti tahunan bisa menjadi kesempatan lain untuk itu. Tapi, soalnya, aku justru selalu mengambil cuti bersamaan dengan momen lebaran. Alasanku sederhana saja: selain agar bisa berlibur lebih panjang, juga karena ketika lebaran aku mengantungi uang tunjangan hari raya. Nah, itu menjadi bekal bagi kami untuk bersenang-senang menikmati libur, termasuk untuk ongkos pulang kampung.
Sementara itu, dua kakakku pun sami mawon. Sama-sama jarang menengok ibu di kampung. Bahkan Mas Tono sudah tiga kali lebaran secara berturutan tidak mudik. Tahun ini, dia juga tak bisa berlebaran di kampung karena pergi beribadah umrah sekeluarga.
Satu lagi kakakku, Mbak Rum, juga tak lebih baik dalam memberikan perhatian kepada ibu. Kesempatan dia mudik lebaran sangat tergantung kesadaran suaminya. Sayangnya, kesadaran itu sungguh tipis! Seingatku, selama hampir dua puluh tahun ikut suami di Palembang, Mbak Rum baru empat atau lima kali berlebaran di kampung. Di luar itu, dia praktis tak pernah mudik. Dia seolah tak peduli terhadap ibu. Oh.
* * *
Adzan shubuh masih berkumandang ketika bungsuku, Joyo, tiba di rumah. Sama seperti istri dan anaknya yang semata wayang, Joyo kelihatan lelah sekali. Bisa kumengerti, karena – seperti pengakuan dia kemudian – mereka menempuh perjalanan Jakarta-Purwodadi praktis selama 24 jam penuh. Kemacetan parah hampir di sepanjang jalur yang dilalui membuat perjalanan tidak normal – dan karena itu sangat melelahkan. Terlebih lagi buat Joyo sendiri, karena dia harus menyetir mobil tanpa tergantikan. Maklum, istrinya tak bisa mengemudi. Anaknya juga masih terbilang kecil untuk diserahi tugas sekadar menyelingi Joyo menyetir.
Bagiku, kehadiran Joyo untuk merayakan lebaran sungguh mengharukan. Pertanda kepedulian dan kecintaannya terhadapku, ibunya, begitu dalam. Dia tak hirau dan tak gentar oleh perjuangan berat menempuh perjalanan mudik ke kampung halamannya. Dia juga tak pernah kapok mengulang perjalanan melelahkan sekaligus menjengkelkan itu, sehingga tiap lebaran dia selalu pulang kampung – semata agar bisa berlebaran bersamaku.
Joyo memang penuh perhatian. Meski pulang kampung setahun sekali – saban lebaran – dia acap menelepon. Mengecek keadaanku, entah langsung berbicara denganku ataupun melalui Nung yang sehari-hari menjagaku. Joyo tampaknya selalu khawatir kalau-kalau aku jatuh sakit atau mengalami kesulitan dalam menempuh sisa hidupku. Dia juga rutin mengirim uang untuk segala keperluanku.
Joyo beda dengan dua kakaknya, Tono dan Rum. Dua kakaknya itu sesekali saja menelepon – menanyakan keadaanku. Mereka juga jarang mudik, termasuk saat lebaran. Bahkan lebaran kali ini mereka tak bisa mudik. Sejak beberapa hari kemarin, mereka sudah berkirim kabar tentang itu – tentu dengan alasan masing-masing yang sepenuhnya bisa kuterima dan kumaklumi.
Jadi, lagi-lagi hanya Joyo menemaniku berlebaran. Sementara Tono dan Rum, seperti yang sudah-sudah, pasti nanti siang menyampaikan salam idul fitri via telepon.
Joyo sendiri, usai menumpahkan kangen setiba di rumah, pamit ke kamar tidur menyusul anaknya yang sudah duluan melanjutkan mimpi. Tak lama kemudian, dengkuran Joyo terdengar nyaring seolah ingin mengalahkan gema takbir di masjid yang dipancarkan melalui pengeras suara. Mantuku yang imut, istri Joyo, beranjak ke dapur menemani Nung menyiapkan hidangan lebaran.
Joyo bangun kembali – tepatnya dibangunkan istrinya – ketika orang-orang bubar dari masjid usai melaksanakan shalat idul fitri. Joyo segera membersihkan badan dan bersalin busana dengan baju koko plus sarung. Kepalanya dibiarkan tanpa pici yang lazim dikenakan banyak orang.
Sebelum tetangga datang bersilaturahmi idul fitri, Joyo diikuti istri dan anaknya sungkem di pangkuanku. Dengan suara bergetar, Joyo memohon ampunanku. Dia menyatakan penyesalan tak bisa mengurus aku, ibunya, sebagaimana seharusnya dilakukan anak yang berbakti.
* * *
Usai acara sungkeman, ibu bergegas beranjak ke kamarnya. Wajahnya mendung. Seperti memendam sesal. Bagiku, itu aneh. Tak pernah ibu terlihat seperti itu. Apalagi di hari idul fitri. Memang, acara sungkeman selalu menggugah rasa haru sehingga air mata kami pun tak terbendung lagi menetes. Tapi biasanya itu hanya sesaat. Cuma ketika sungkeman berlangsung. Setelah itu biasanya suasana segera berubah cerah ceria.
Karena itu, aku menangkap kesan aneh ketika usai sungkeman kali ini wajah ibu terlihat mendung seperti tersaput kekecewaan. Terdorong rasa heran, aku pun menyusul masuk ke kamar ibu. Istri dan anakku tidak ikut. Mereka memilih beringsut ke ruang depan. Bergabung bercengkrama dengan sanak saudaraku.
Di kamar, kudapati ibu duduk di bibir ranjang tua sambil terisak pelan. Aku terpana. Tak mengerti apa yang terjadi. Tapi tak urung aku duduk di samping ibu.
“Ibu kenapa? Ingat bapak, ya?” kataku menebak-nebak. “Ibu tak usah bersedih. Nanti siang kita berziarah ke makam bapak.”
Ibu menoleh. Lalu menatapku dalam-dalam. Ibu terlihat ingin berkata-kata. Tapi seperti ragu, sehingga tak sepatah kata pun keluar dari mulut ibu.
“Ada apa, Bu? Katakan …”
Ibu menghapus air matanya dengan ujung kerudung yang dia kenakan. Lalu, dengan sendu, dia berkata: “Jo, terima kasih. Kamu sangat perhatian kepada ibu …”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Tangannya kugenggam penuh cinta.
“Jo, tiap lebaran selalu kamu sempatkan pulang. Aku senang. Senaaaang sekali.
Tapi …”
“Tapi kenapa, Bu?”
Ibu menghela napas. Nyata sekali beban berat memenuhi rongga dadanya. “Tapi aku juga kecewa, karena apa yang kuharap-harapkan setiap lebaran tiba tidak juga menjadi kenyataan.”
“Ibu berharap apa?”
Ibu membuang pandangan ke langit-langit kamar sambil menggeleng lemah.
“Katakanlah, Bu …” aku mendesak.
Ibu menatapku lagi. Pandangannya menusuk. Membuat batinku bergetar. Lalu katanya: “Jo … Aku ingin kamu bersyahadat lagi. Setiap kali lebaran tiba, aku selalu berharap itu kau lakukan. Tapi dari lebaran satu ke lebaran lain, selalu saja aku harus menelan kekecewaan …”
Aku terdiam. Kepala tertunduk. “Terus-terang, Jo. Aku tak pernah bisa ikhlas menerima kenyataan bahwa kamu berganti keyakinan. Aku kecewa sekali. Aku bukan tak merestui pernikahanmu. Tapi aku sungguh tak ikhlas bahwa pernikahan membuatmu berganti keyakinan.”
Aku makin tertunduk. Tak sanggup berkata-kata. Hatiku serasa disayat-sayat.***
Jakarta, 26 Juni 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
26/08/11
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar