26/08/11

Kabut Sepanjang Jalan ke Arah Rumah

Alexander G.B.
http://www.lampungpost.com/

Empat jam dari Bakauheni sampailah aku di Terminal Rajabasa. Sengaja tak banyak barang bawaan, hanya beberapa helai baju dalam tas ransel hitam yang terlanjur berubah abu-abu. Debu berterbangan, beberapa di antaranya hinggap ke sepatu, baju, dan paru-paru. Rencana kepulanganku tak akan lebih dari seminggu. Aku menduga pasti tak akan kerasan di rumah. Aku tidak tahu mengapa perasaan tidak nyaman semacam ini bermekaran di kepala.

Aku tertarik dengan kesibukan orang-orang di terminal, ada yang merasa asing melangkah ragu-ragu. Tampak raut cemas dan lelah begitu lekat sebagian besar pengunjung, menunggu keberangkatan untuk pulang dan pergi. Tetapi sebagian—yang menganggap terminal sebagai rumah—tampak santai, kerap matanya berubah seperti mata serigala melihat mangsa. Mereka selalu tahu siapa yang sering bepergian dan yang tidak. Ketenanganku membuat mereka tak hendak mengusik atau mengganggu. Aku bersyukur atas itu.

Ya, sementara aku selamat, aku pantas lega karena mereka tak melakukan hal yang sama dengan pengunjung terminal lain yang menyeret ke sana kemari. Kudengar seorang lelaki berteriak Talangpadang—Kotaagung beberapa kali. Maka lekas kupilih bus menuju kota kecilku. Kupilih bangku di dekat jendela, dengan harapan jalan-jalan yang dulu kerap kulalui kembali hidup dalam ingatan. Lima belas tahun tak kusapa dan begitu banyak perubahan di sepanjang jalan menuju rumah. Aku turut bahagia dengan itu. Sepanjang jalan berbagai kendaraan menyesaki jalan. Semakin ramai rupanya. Dua jam kutempuh perjalanan dari Rajabasa menuju Talangpadang.

“Jangan lupa, jika sudah sampai di Talangpadang segera panggil becak, karena tukang ojek sering kali meminta ongkos yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal,” ujar kakak perempuan yang kerap terlampau khawatir,

“Tetapi bukankah aku bisa menolaknya?”

“Mereka akan memaksa. Dan jika kamu tidak mau mereka akan terus mengikuti. Jadi untuk lebih amannya, sebaiknya kamu panggil becak.”

Aku teringat beberapa kisah menjelang Lebaran, ketika ramai orang-orang kampung mengadu nasib di Tangerang, Serang, Jakarta, atau ke luar negeri menjadi TKI di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Arab Saudi, dan sebagainya. Maklum tanah di kampung kian gersang. Hutan penyangga yang sempat dilarang untuk disentuh sudah lama berubah menjadi kebun kopi, cengkeh, lada, dan sebagainya.

Mengenang perjalananku, mengingatkan saat mudik Lebaran. Ketika para perantau dari kampung hendak merayakan Lebaran di kampung. Jika mereka selamat di Rajabasa, tukang ojek akan siap menghadang di Talangpadang. Kabarnya kita sudah merdeka. Beberapa di antara mereka diminta ongkos beratus kali lipat dari ongkos yang sewajarnya. Jika hari-hari biasa Rp25 ribu—Rp30 ribu, tetapi menjelang Lebaran terkadang mesti mengeluarkan Rp50 ribu sampai tak terhingga. Ada yang harus membayar Rp100 ribu, bahkan sampai Rp300 ribu. Keinginan menjumpai keluarga demikian besar sehingga mereka tetap memaksa diri untuk menempuh bahaya semacam itu, terkadang harus merelakan jerih payahnya diambil paksa oleh orang lain.

Lantas aku teringat sajak Saijah dan Adinda karya W.S. Rendra: “Orang-orang miskin menghabisi orang-orang miskin.” Aku menundukkan kepala. Saat ini semakin banyak teman dan saudara keluar dari kampung mengadu nasib di negeri orang, berharap mendapatkan pekerjaan dan sedikit uang tambahan, ada yang jadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, berjualan keliling, sales, dan lain sebagainya. Gaji mereka pasti di bawah UMR. Jadi ketika tukang ojek itu meminta ongkos yang tidak masuk akal, mendung segera bergelayut di wajah-wajah lelah yang rindu kampung halaman itu, yang sekadar ingin merayakan dua hari Lebaran bersama keluarganya.

Ketika memasuki Talangpadang, kucium aroma yang nyaris sama 10 tahun lalu. Amis ikan, jalanan berlubang, genangan air di mana-mana, ratusan tukang ojek yang mangkal di setiap gang dan sisi pasar. Aku menikmati keriuhan dan kesemrawutan ini. Menikmati mata-mata jalang yang mengamati laju becak yang kutumpangi.

Kucari warung nasi untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Tiga jam menunggu, dua gelas kopi kuhabiskan, tapi kendaraan yang kutunggu tak menampakkan batang hidungnya. Terik dan penat kuabaikan. Aku menunggu mobil yang bisa mengantarku ke rumah. Kendaraan sederhana yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran atau barang belanjaan para pedagang. Tak ada kendaraan khusus untuk penumpang. Mengenang hal tersebut aku jadi tersenyum kecut. Lebih 50 tahun merdeka, ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi berkembang pesat, tetapi tidak bagi Ulubelu dan sekitarnya. Aku percaya kampungku masih Indonesia.

Sudah hampir pukul dua sore. Mobil yang kutunggu tak kunjung menampakkan batang hidungya.

“Naek ojek saja. Tapi cari mereka yang mangkal di dekat pos penjaga dekat Alfamart. Jangan yang di tempat lain.”

Aku mengangguk. Lalu melangkah menuju tempat seperti yang disarankan kakak perempuanku. Mengabaikan mata-mata beringas yang sesekali menawarkan jasanya. Oia, beberapa tahun terakhir kampungku sudah ramai dengan telepon seluler. Tak ada telepon rumah karena tempatnya memang sulit dijangkau.

***

Segera kubayangkan jalanan berkelok yang harus kutempuh. Satu jam perjalanan. Tidak terlalu jauh. Hawa dingin sudah mulai membayang dalam ingatan. Pohon-pohon rimbun di sisi kiri dan kanan jalan, sungai dari mata air Gunung Rendingan yang dipenuhi batu-batu hitam yang berjajar rapi. Kabut yang turun sejak pukul emapt sore. Uap belerang, hamparan kebun kopi, sawah, dan teman-teman lama.

Rumah tampak sepi, hanya ada Rani, kakak perempuanku yang sedang menjahit pakaian pelanggannya. Tak tampak ayah. Mungkin masih di pasar, atau sedang berkebun seperti biasanya. Tiba-tiba aku merindukan ayah. Sosok yang sejak dulu kuhindari. Bahkan kepergianku ke Jawa adalah usaha menjauh darinya. Aku tidak tahu mengapa aku demikian membenci ayah. Bahkan, setelah 10 tahun pergi dari rumah, perasaan semacam itu masih tampak begitu kuat. Sempat ada keraguan ketika hendak membuka pintu. Tampak sepi. Hanya ada Rani yang langsung memelukku begitu aku membuka pintu.

***

“Sudah lama ayah menunggumu. Ia bangga kamu sudah semakin hebat sekarang. Kabarmu selalu ia ikuti. Ia selalu bertanya tentang dirimu. Berkali-kali ia memandangi foto-fotomu dari album yang kamu kirimkan. Ia begitu bangga, hingga hampir setiap hari ia ceritakan tentang dirimu kepada para tetangga dan keluarga lainnya. Banyak yang iri dengan dirimu.”

Aku terdiam. Benarkah apa yang diucapkan wanita yang dulu selalu melindungiku dari kemarahan ayah. Jika menilik matanya tak ada kesan untuk membohongi atau menipuku. Sungguh, hanya dialah aku percaya. Selama ini aku hanya memberi kabar padanya. Tentang ibu, ia meninggal ketika kami masih duduk di sekolah dasar. Sejak kematian ibu, aku membenci ayah. Ayah di mataku seperti serigala. Barangkali kebencianku bermula dari Ibu yang sering bercerita tentang keburukan ayah. Kata ibu, ayah tak pernah sungguh-sungguh menafkahi keluarga. Ayah pemarah dan mau menang sendiri. Kesimpulan masa kecilku.

Tak bisa kupungkiri, aku begitu dekat dengan sosok yang biasa kupanggil ibu. Sikap ayah pun kasar kepadaku. Perlakuannya membuat aku semakin yakin cerita ibu bahwa ayah bukan seorang yang baik. Matanya yang menyala tampak seperti menyimpan dendam atau kebencian pada ibu. Wanita yang kemudian melahirkan adikku yang ketiga dari hubungannya dengan lelaki lain. Kabarnya ibu lakukan itu sebagai balasan atas perlakuan ayah. Kakak perempuanku yang berkisah. Ia pasti bisa dipercaya. Rani juga menyayangi ibu, ia juga tidak menyukai ayah, tetapi kebenciannya tidak sebesar kebencianku.

Tak lama sejak kematian ibu, ayah menikah lagi. Aku kian membencinya. Setelah menyelesaikan SMA, aku melanjutkan kuliah atas usaha Rani agar hidupku bisa berubah lebih baik. Akhirnya jauh dari kampung. Akhirnya lepas juga rumah yang tak beda dengan penjara. Aku juga tidak tahu apa yang mendorong ayah mengikuti saran Rani. Ia hanya seorang pedagang kecil dengan sepetak tanah yang ditanami kopi dan palawija.

***

Setelah sesaat diam. Duduk dan meneguk segelas kopi yang dihidangkan Rani, kutatap langit sore. Kulihat wajah Rani yang tampak kelelahan, meski ia mencoba menyembunyikan di balik senyumnya yang sejak dulu indah. Aku menukasi senyum Rani. Rani bercerita sudah lama berpisah dari suaminya. Aku mengangguk. Pantas saja ia tampak lebih tua dari yang semestinya, mungkin karena harus menanggung biaya hidup dan sekolah anaknya yang baru saja masuk SMP tahun kemarin. Begitu banyak hal terjadi, dan aku tak tahu. Lebih tepatnya aku tak ingin tahu. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan benci kepada ayah, kepada rumah, kepada hidupku. Bahkan, aku tak pernah bangga dengan apa yang sudah aku lakukan meski bertahun-tahun bergelut dengan dunia ideal yang banyak diimpikan orang.

Hawa dingin mulai merasuk. Sudah lama tak kurasakan dingin seperti ini.

“Besok aku mau ke kebun. Aku mau mandi di sungai. Kebun dan sawah kita masih ada kan?”

“Tidak, semuanya sudah dijual untuk membiayai kuliahmu. Meski banyak keluarga yang menentang, ayah tetap menjualnya. Iya tidak ingin kamu berhenti kuliah karena putus biaya. Ia merasa kamu satu-satunya yang pantas dibanggakan. Aku sendiri gagal membangun rumah tanggaku. Sementara Dani meninggal karena berkelahi waktu ada keramaian di kampung tetangga. Kamu satu-satunya harapan keluarga. Dan ia selalu membanggakanmu.”

Ada sebersit rasa yang aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaanku.

“Ayah di mana sekarang? Kenapa sudah lewat magrib tidak pulang juga.”

Rani diam. Beberapa kali menghela napas.

“Ia meninggal setahun yang lalu. Kamu masih ingatkan, waktu aku kasih kabar ayah sakit kepadamu?”

Aku mengangguk.

“Kamu bilang tak bisa pulang karena sedang ada pementasan di Makassar. Ayah melarangku untuk menghubungi lagi. Takut kegiatanmu terganggu. Tak lama dari situ ia meninggal. Tetapi ia tersenyum. Sebelum meninggal ia berpesan agar aku menjagamu. Ia minta maaf karena tak bisa menunggumu pulang.”

Kepalaku terasa berat sekali. Bagaimana jika Rani dan ayah tahu aku tidak selesai kuliah? Bagaimana jika mereka tahu pengorbanannya sia-sia? Hampir setiap hari aku dan teman-teman berbincang tentang hati nurani, estetika, filsafat, kemanusiaan, tentang masyarakat yang sakit. Seolah-olah kami yang paling sehat, karena masih punya cita-cita dan idealisme. Tetapi ayah dan Dani meninggal. Aku tidak sempat berterima kasih dan meminta maaf kepadanya.

Gelas yang kugenggam terlepas. Suara pecahannya mengejutkan Rani. Lantas gelap. Gelap sekali.

April—Mei 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita