Beni Setia
http://www.lampungpost.com/
Mitos yang mengeliling Li Tai-Po, seorang penyair liris China klasik, berkaitan dengan arak, bersampan setengah berhanyut di arus sungai, dan menulis puisi dengan kepekaan batin merespons berdasarkan apa yang tampil di kesadarannya—baik akibat rangsangan objektif kesekitaran atau melulu hanya cetusan imajinasi instinktif dalam batin.
KATANYA, ia menulis beratus-ratus puisi untuk dihanyutkan bila secara diksiah gagal karena tak bisa direvisi lagi, dan kemurungan kehilangan emosi liris yang tidak bisa dikonkretkan itu akan menjadi sebuah energi liris (baca: level kepekaan puitik) yang membuat menulis puisi semakin membius.
Energi tranced. Mungkin itu artifisialitas menulis—katanya Li Tai-Po kehilangan orientasi ketika merasa menemukan bulan dan merengkuh bayangan bulan di air yang disangka bulan itu sendiri, dan ia mati tenggelam di arus. Tapi identifikasi pada corak energi kreatif itu itu dipertegas oleh seorang Rahmah Purwahida, ketika ia membahas 10 cerpenis muda Jawa Tengah, yang tergabung dalam antoloji cerpen Joglo 10: Paras Perempuan Padas, TBJT, Solo 2011, di TBJT, (28-05). Dosen UMS ini menyebut itu sebagai perayaan kemurungan, saat energi kreatif dan kepekaan bersinergi dengan hal-hal keseharian yang tak lagi menggugah simpati dan solidaritas kemanusiaan kita, lantas kemurungan bangkit menggarisbawahinya dalam narasi yang sepertinya hanya mimesis memotret kenyataan sosial.
Keunggulan cerpen—dan pada akhirnya novel dan puisi—simpati sosial semacam itu terletak pada penggarisbawahan yang menyebabkan sebuah potret berbeda dengan lukisan, sebuah berita dengan prosa dan puisi. Dan karenanya, meski ada kesejajaran dengan olah kepekaan puitik Li Tai-Po, tekanan Rahmah Purwahida terletak pada apa yang jadi obsesi kreatif mereka merupakan ihwal yang ada di luar diri, bersipat objek dan berlevel sosial. Ini berbeda dengan Li Tai-Po yang bersipat reflektif, menggali ke kedalaman diri, subjektif seperti bersilarat-larat dengan hal yang liris—meski mampu memotret yang objektif, yang naratif menuturkan apa yang tampak dengan nampan puitika liris yang kental. Dan seorang Isbedy Stiawan Z.S.—terutama dalam Taman di Bibirmu, Siger Publisher dan Lamban Sastra, Bandar Lampung, 2011—bermain dalam tataran ini, bergerak reflektif ke dalam dan naratif ke luar.
Ada 82 puisi dalam kumpulan puisi setebal 104 halaman ini, dan yang lebih unik puisi tertua dalam kumpulan ini ber-titi mangsa 2011—2010;23.31 dan diletakkan di sisi belakang, sedangkan yang terbaru bertarikh 5211.7:23 dengan diletakkan di depan. Ini mengesankan sebuah pemindahan dari dokumentasi file dari laptop ke ujud pra cetak secara sederhana, dan sepengetahuan saya Isbedy Stiawan Z.S. selalu membawa laptop ke mana pun pergi—kini malah dilengkapi oleh handycam untuk merekam momentum sosial yang unik sesuai dengan tuntutan sebagai si pewarta televisi di Bandar Lampung. Pada status Facebook-nya ia pernah bercerita tentang perjalanan jarak jauh dengan sepeda motor, kelelahan perjalanan, daya tahan fisik sebagai seorang karateka, dan kepekaan puitik Li Tai-Po dan instink merayakan kemurungan ala Rahmah Purwahida yang menuntut bergerak dan terus bergerak.
Tak heran kalau dari kumpulan puisi terbarunya kita bisa menemukan romatisme sentimental liris tentang cinta dan si dia seperti tersurat dalam puisi-puisi Mawar, Menjadi Api, Kupilih Wajahmu, Sebuah Pesan, Di Tepi Kolam, dan banyak lagi. Selain narasi seperti yang tertera dalam puisi-puisi Kau adalah Laut, Lelaki Penjaga Pohon, Bulan di Kota Awan, Liwa, Dalam Bayangan, Kembali ke Kotamu, Mencatat sebagai Peristiwa, dan seterusnya. Sebuah rentetan puitika yang berada dalam liris reflektif dan narasi kuyup emosi—sebuah pencapaian yang berawal dari 20 November 2010 sampai 05 Februari 2011—sebuah pencapaian kreativitas dalam rentang 10 minggu, energi kreatif yang sebenarnya tak hanya merujuk 82 buah puisi tapi juga ada sekian cerpen, esei-esai sastra dan sosial-budaya, dan mungkin beberapa berita/liputan televisi. Satu aset sastrawiah yang mencengangkan, yang dieksolorasi dan dieksploitasi dengan sangat efisien—tapi tak pernah benar-benar diapresiasi secara benar.
Bagi saya Isbedy merupakan passion serta daya tahan, terlebih ketika bersitemu dengannya selalu ada membawa ransel yang menggelembung di punggung dan tas di tangan. Dengan berjaket dan bertopi ia seperti sedang memindahkan kesiapan untuk mengeksploitasi kepekaan puitik dan mengeksplorasi wacana kemurungan (realitas) sosial—kesiapan yang dimanifestasikan dalam perlengkapan yang kayak arep minggat dalam idiom Surabayaan. Tak heran kalau keutamaan Isbedy sesungguhnya terletak pada produktivitas, bahkan produktivitas yang tak kenal jeda sejak pertengah dekade 1980-an. Rentangan produktivitas (baca: keajekan mengolah kreativitas) yang ada di sekitar hitungan 25 tahunan lebih. Dan dalam rentangan itu kita menemukan karya sastranya berada di berbagai media massa cetak di mana-mana, dan dalam bermacam-macam dan tak putusnya terbit setiap tahun—terutama dalam hitungan dekade terakhir.
Dan ia sebenarnya tak sendirian—ada Soni Farid Maulana yang berkubang dalam puisi an kemudian Bandung Mawardi yang lebih konsentrasi pada esai dan apresiasi. Celakanya, khazanah sastra Indonesia tak begitu peduli dengan fakta itu. Di tengah minat baca sastra yang lemah, yang menyebabkan buku sastra tersenggal—dan seorang Nurel Javissyarqi, sang penerbit yang memegang bendera Pustaka Pujangga, pernah mengatakan pasar ril buku sastra hanya 300 buku, sedangkan seorang penerbit lain di Solo bilang ongkos cetak yang efisien minimal 500 eksemplar dengan titik optimum 1.000 eksemplar—, penghargaan justru lebih dipusatkan pada kualitas cq Khatulistiwa Award, misalnya. Produktivitas bertahan dengan ekplorasi dan eksploitasi kreativitas yang tanpa jeda dan dalam jangka panjang dan dilakukan dengan irasionalitas berterus mengolah kreativitas tak pernah dipedulikan.
Tak ada penghargaan bagi loyalitas buat pengabdian sepanjang masa, karena itu kita berkaca-kaca melihat nasibnya Ratna Indraswari Ibrahim yang sakit dan tak bisa berkreasi. Semua itu dianggap wajar, itu dianggap risiko pribadi dari pengamalan hidup sesuai dengan filsafat Eksistensialisme—seperti pejabat yang siap pensiun dan dihantui KPK. Padahal selain Ratna Indraswari Ibrahim kita telah mencatat dan sekaligus melupakan beberapa sastrawan berbakat yang didera masa surut dan terjerembab dalam sakit dan dianggap rongsokan yang tak perlu diingat. Menurut saya, seharusnya the stakeholder yang berkepentingan dengan sastra Indonesia mau memedulikan pengabdian kreatif sastrawan, dengan hadiah yang bersipat pengabdian lifetime, dan juga semacam fund untuk mengongkosi sastrawan produktif untuk berkarya dalam acuan risidensi.
Pertamina pernah mengundang sastrawan menuliskan tentang kilang minyak di lepas pantai Papua, seorang individu membiayai penulisan novel bertemakan korban G30S/PKI dari Seno Gumira Ajidarma serta cerpen-cerpen bertema kota di Amerika Serikat dari Budi Darma dkk., TSI III meminta beberapa sastrawan menulis puisi serta cerpen tentang Tanjungpinang, dan TSI IV membiayai beberapa sastrawan berbakat ke Halmahera. Tapi itu tak cukup. Dan sebuah dana residensi pada Isbedy dkk. mungkin membuat kita menemukan sebuah tempat serta satu eksotika yang unik dalam sebuah kumpulan puisi dan prosa. Memang! Tapi siapa yang mau peduli kalau eksekutif dan legislatif lebih terpikat membiayai sepak bola dengan APBD kabupaten/kota? Karena—sebenarnya—sastra itu berada di ekor dari proyek pencitraan politis.
Beni Setia, pengarang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
13/06/11
Sutardji Vs Nurel J
Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/
Jangankan dalam kehidupan dalam dunia karya tulis, segala sesuatu memang syarat dengan kontroversi, setuju dan tidak setuju merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi, pro dan kontra lazim terjadi yang mana apapun pendapat itu hendaknya dihargai agar dapat menjadi tambahan kekayaan ilmu pengetahuan dan wawasan agar dapat menjadi semakin baik, bukannya menjadi bahan perseteruan abadi.
http://sastra-indonesia.com/
Jangankan dalam kehidupan dalam dunia karya tulis, segala sesuatu memang syarat dengan kontroversi, setuju dan tidak setuju merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi, pro dan kontra lazim terjadi yang mana apapun pendapat itu hendaknya dihargai agar dapat menjadi tambahan kekayaan ilmu pengetahuan dan wawasan agar dapat menjadi semakin baik, bukannya menjadi bahan perseteruan abadi.
01/06/11
Globalisasi Kebudayaan: Rasa Kesatuan Dalam Identitas “Hybrid”
Afthonul Afif *
Kompas, 27 Des 2008
GLOBALISASI kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di sisi lain, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.
Kecenderungan yang kedua tersebut membuat kebudayaan kita akhir-akhir ini menjadi semacam medan kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Indonesia-dalam konteks ini adalah contoh terbaik pascaruntuhnya kekuasaan sentralistik pemerintahan Orde Baru.
Tidak adanya lagi pusat kekuasaan yang sanggup mengikat kemajemukan dalam satu wadah memberikan peluang kepada setiap identitas kebudayaan untuk unjuk diri—memastikan bahwa dirinya sanggup menentukan nasibnya tanpa campur tangan kekuatan eksternal.
Kondisi ini mengingatkan kita kepada teori Benedict Anderson tentang Indonesia sebagai ”komunitas yang terangankan”. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dengan banyak bangsa. Artinya, imajinasi tentang kewarganegaraan, tentang nasionalisme, tidak terbangun di atas fondasi kultural yang kokoh, tetapi semata-mata berdasarkan klaim politis yang serba retak. Dengan kata lain, Indonesia adalah konsep yang mungkin terlampau ambisius—sebuah konsep yang diangankan mampu merangkum kemajemukan ekspresi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke dalam satu momen aktivitas berpikir.
Haus keseragaman
Akhir-akhir ini istilah rekaan Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman, itu mulai digugat secara terang-terangan. Cara sebagian rakyat Papua merayakan hari jadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) awal Desember 2008 lalu adalah contohnya. Secara terang-terangan, mereka menyatakan dirinya bukan sebagai orang Indonesia. Sikap politik ini didasarkan atas identifikasi bahwa secara biologis mereka adalah bangsa Papua, tergabung dalam rumpun Melanesia, ras Negroid, bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang berasal dari rumpun Melayu.
Munculnya sikap politik seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan penguasa Orde Baru yang haus akan keseragaman. Cara membangun identitas kolektif-kebangsaan tidak didasarkan atas komunikasi mutual yang mengafirmasi kemajemukan, tetapi melalui suatu proses eksklusi yang represif.
Kemajemukan ekspresi kebudayaan, yang dihayati oleh lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air dan diekspresikan melalui lebih dari 512 bahasa, tidak ditempatkan sebagai modal sosial, melainkan dicurigai sebagai bibit-bibit perpecahan.
Hidup dalam iklim multikultural seperti sekarang ini, tertib sosial akan dapat terwujud jika setiap elemen masyarakat mampu bersikap toleran serta bersedia membuka diri bagi terciptanya kerja sama-kerja sama yang bersifat mutual.
Dekategorisasi identitas (eksklusi identitas budaya asal) secara berlebihan yang dilakukan Pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun sepertinya sudah cukup membuat kita sadar bahwa persatuan yang dibangun dengan jalan paksaan hanya akan berujung pada konflik sosial.
Tanpa bermaksud menyederhanakan rumitnya persoalan hubungan antaretnik di Indonesia—karena makna etnisitas sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia, tetapi juga terkait dengan sumber-sumber identitas lain, seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik—tulisan ini berusaha menawarkan model hubungan yang lebih setara dan mutual.
Satu isu penting yang segera mengemuka ketika membicarakan persoalan ini adalah bagaimana seharusnya antara satu kelompok dan kelompok lainnya saling memandang?
Persilangan Identitas
Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah François Lyotard, Indonesia saat ini relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter.
Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ”narasi-narasi kecil” yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer.
Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang.
Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula.
Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda.
Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang.
Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown, R & Gaertner, S (eds), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70)
Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain.
Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.
Cara merumuskan persatuan memang sepatutnya diawali dari mencari persamaan atas kategori-kategori tersebut, bukan malah membuat formulasi baru yang justru meluruhkannya, sebagaimana pernah dilakukan pemerintahan terdahulu.
* Afthonul Afif, Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/globalisasi-kebudayaan-rasa-kesatuan.html
Kompas, 27 Des 2008
GLOBALISASI kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di sisi lain, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.
Kecenderungan yang kedua tersebut membuat kebudayaan kita akhir-akhir ini menjadi semacam medan kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Indonesia-dalam konteks ini adalah contoh terbaik pascaruntuhnya kekuasaan sentralistik pemerintahan Orde Baru.
Tidak adanya lagi pusat kekuasaan yang sanggup mengikat kemajemukan dalam satu wadah memberikan peluang kepada setiap identitas kebudayaan untuk unjuk diri—memastikan bahwa dirinya sanggup menentukan nasibnya tanpa campur tangan kekuatan eksternal.
Kondisi ini mengingatkan kita kepada teori Benedict Anderson tentang Indonesia sebagai ”komunitas yang terangankan”. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dengan banyak bangsa. Artinya, imajinasi tentang kewarganegaraan, tentang nasionalisme, tidak terbangun di atas fondasi kultural yang kokoh, tetapi semata-mata berdasarkan klaim politis yang serba retak. Dengan kata lain, Indonesia adalah konsep yang mungkin terlampau ambisius—sebuah konsep yang diangankan mampu merangkum kemajemukan ekspresi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke dalam satu momen aktivitas berpikir.
Haus keseragaman
Akhir-akhir ini istilah rekaan Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman, itu mulai digugat secara terang-terangan. Cara sebagian rakyat Papua merayakan hari jadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) awal Desember 2008 lalu adalah contohnya. Secara terang-terangan, mereka menyatakan dirinya bukan sebagai orang Indonesia. Sikap politik ini didasarkan atas identifikasi bahwa secara biologis mereka adalah bangsa Papua, tergabung dalam rumpun Melanesia, ras Negroid, bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang berasal dari rumpun Melayu.
Munculnya sikap politik seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan penguasa Orde Baru yang haus akan keseragaman. Cara membangun identitas kolektif-kebangsaan tidak didasarkan atas komunikasi mutual yang mengafirmasi kemajemukan, tetapi melalui suatu proses eksklusi yang represif.
Kemajemukan ekspresi kebudayaan, yang dihayati oleh lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air dan diekspresikan melalui lebih dari 512 bahasa, tidak ditempatkan sebagai modal sosial, melainkan dicurigai sebagai bibit-bibit perpecahan.
Hidup dalam iklim multikultural seperti sekarang ini, tertib sosial akan dapat terwujud jika setiap elemen masyarakat mampu bersikap toleran serta bersedia membuka diri bagi terciptanya kerja sama-kerja sama yang bersifat mutual.
Dekategorisasi identitas (eksklusi identitas budaya asal) secara berlebihan yang dilakukan Pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun sepertinya sudah cukup membuat kita sadar bahwa persatuan yang dibangun dengan jalan paksaan hanya akan berujung pada konflik sosial.
Tanpa bermaksud menyederhanakan rumitnya persoalan hubungan antaretnik di Indonesia—karena makna etnisitas sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia, tetapi juga terkait dengan sumber-sumber identitas lain, seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik—tulisan ini berusaha menawarkan model hubungan yang lebih setara dan mutual.
Satu isu penting yang segera mengemuka ketika membicarakan persoalan ini adalah bagaimana seharusnya antara satu kelompok dan kelompok lainnya saling memandang?
Persilangan Identitas
Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah François Lyotard, Indonesia saat ini relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter.
Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ”narasi-narasi kecil” yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer.
Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang.
Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula.
Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda.
Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang.
Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown, R & Gaertner, S (eds), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70)
Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain.
Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.
Cara merumuskan persatuan memang sepatutnya diawali dari mencari persamaan atas kategori-kategori tersebut, bukan malah membuat formulasi baru yang justru meluruhkannya, sebagaimana pernah dilakukan pemerintahan terdahulu.
* Afthonul Afif, Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/globalisasi-kebudayaan-rasa-kesatuan.html
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita