Ahmad Syauqi Sumbawi *
http://sastra-indonesia.com/
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi berbagai peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkuat identitas kolektif. Al-Qur’an juga digunakan dalam ibadah-ibadah publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan implementasi ajarannya dalam kehidupan merupakan kewajiban setiap Muslim.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluhan tahun, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Meskipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berjilid-jilid kitab tafsir yang berusaha menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Pada umumnya, kaum Muslimin meyakini bahwa al-Qur’an bersumber dari Tuhan, dan al-Qur’an sendiri mengkonfirmasikan hal tersebut. Keyakinan sumber ilahiyah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan semacam itu, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai Muslim. Akan tetapi, keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamirkan pertama kali oleh al-Qur’an dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa dirinya merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab sezaman dengannya. Al-Qur’an sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius terhadap Nabi, tetapi justru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan Nabi tentang asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya, juga bantahan terhadap miskonsepsi mereka.
Dalam beberapa bagian al-Qur’an, para penentang Nabi memandangnya sebagai kahin (tukang tenun) dan wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenun”. Nabi juga dituduh sebagai syaa’ir (penyair), majnun (kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya), sahir (tukang sihir) atau mashur (korban sihir), dan wahyu yang diterimanya dianggap sebagai sihr (sihir).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Qur’an berasal dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan. Tanpa memutarbalikkan fakta, al-Qur’an telah merekam rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut pandang orang yang semasa dengan Nabi Saw mengenai asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Sejalan dengan itu, al-Qur’an juga merespon para oposan Nabi tersebut. Meskipun respon spesifik al-Qur’an berbeda untuk setiap kasusnya, namun dalam berbagai jawaban tersebut, kitab ini selalu menekankan asal-usul ilahiyahnya, yaitu bersumber dari Tuhan semesta alam.
Rupanya gagasan para oposan Nabi di atas memiliki sisi kemiripan dengan konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad pertengahan ini, Muhammad digagaskan sebagi penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran al-Qur’an yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bid’ah.
Meskipun lebih merupakan mitos dan fiksi imajinatif, gagasan Barat abad pertengahan tersebut memiliki pengaruh kuat di kalangan sarjana Barat pada masa berikutnya, dan terlihat sulit untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat Barat hingga dewasa ini. Akan tetapi, konsepsi abad pertengahan ini secara sederhana dapat diabaikan karena tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Di sini, gagasan Barat abad pertengahan tidak dapat disejajarkan dengan gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya.
Karya Barat modern yang berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada tahun 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen? Dalam penelitiannya, Geiger berkesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usulnya dari Yahudi secara transparan. Tidak hanya sebagian besar kisah para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Qur’an pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi. Akan tetapi, selama hampir setengah abad setelah publikasinya, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada tahun 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan mempublikasikan karyanya, Juedische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur’an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Pasca kemunculan kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur’an. Dalam hal ini, terjadi semacam pertarungan akademik antara mereka yang menganggap al-Qur’an tidak lebih tiruan dari tradisi Yahudi dan mereka yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berusaha membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur’an secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan Muhammad merupakan seorang murid Yahudi tertentu. Sementara para sarjana Kristen juga berupaya membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang tradisi Kristiani, serta menganggap Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh dari agama Kristen.
Di kalangan para sarjana tersebut, John Wansbrough muncul dengan penerbitan karyanya, Quranic Studies: Sources and Methods of Sciptural Interpretation, pada tahun 1977. Dengan menggunakan metode kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan studi kritis terhadap redaksi (redaction criticism) atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an, John Wansbrough menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dengan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang berada di bawah pengaruh Yahudi, dan pada batas tertentu Kristen, sehingga asal-usul al-Qur’an sepenuhnya berada dalam tradisi tersebut.
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang perdebatan di kalangan para sarjana yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun sarjana muslim.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjelaskan beberapa masalah pokok terkait dengan tema di atas sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough? Kedua, bagaimana metodologi analisis sastra John Wansbrough dan penerapannya terhadap al-Qur’an? Ketiga, bagaimana wacana yang berkembang tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an?
Pembahasan
1. Historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough
Pada umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah” telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama tersebut —terlepas dari persoalan teologis—. Penekanan pada aspek kesejarahan di atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan. Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis sumber —kitab suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa yang sesungguhnya terjadi.”
Terlepas dari persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini, al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.
Setidaknya terdapat empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar belakang al-Qur’an —Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Pendapat-pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Qur’an di atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari informasi-informasi historis yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan catatan, apabila al-Qur’an dipandang sebagai sumber sejarah yang otoritatif—. Di samping itu, pengaruh kedua tradisi keagamaan Semit tersebut terhadap milieu Arab tampak tidak cukup menyakinkan. Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an sendiri mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan penyebaran ajaran agama mereka masing-masing kepada orang-orang Arab. Akan tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup membuahkan hasil yang maksimal, karena implikasi politik kedua agama tersebut. Orang-orang Arab lebih memilih untuk setia dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhur mereka.
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para orientalis Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah al-Qur’an—. Akan tetapi, barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab suci masing-masing ketiga agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab suci —bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal, yaitu umm al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab yang tersembunyi), atau lawh mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan esensi pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada pada utusan Tuhan. Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian Lama serta Injil, semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia harus mengimani seluruhnya.
Dalam al-Qur’an, di samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi al-Qur’an tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan. Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.
Meskipun uraian di atas dianggap lebih bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah yang bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya. Sementara di kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber dan asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang kontroversial.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.
Sementara sumber-sumber lain yang tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim, terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi. Informasi yang terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad tersebut. Sumber-sumber internal ini bermaksud mendokumentasikan basis keimanan, validitas kitab suci, dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari karakter historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam yang terbukti lebih lentur daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir mempunyai kategori informasi yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab datangnya wahyu yang menurut para pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk merekam peristiwa sejarah yang berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an. Analisis ayat dengan menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi aktual sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman bahwa al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian dicatat, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana penafsiran al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir bukan karena nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta kesusastraan yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam kajian Islam dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.
Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan Kristen—, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
2. Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dan Penerapannya dalam al-Qur’an
Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.
Argumentasi Wansbrough, dalam hal ini, adalah bahwa kita tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang kemudian. Analisis sastra atas sumber semacam itu akan menyatakan pada kita tentang komponen-komponen yang digunakan orang untuk menghasilkan pandangan-pandangan mereka dan mendefinisikan secara tepat apa yang mereka kemukakan. Akan tetapi, analisis sastra tidak akan bicara tentang apa yang terjadi.
Terkait dengan persoalan di atas, seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral masyarakat Arab pada abad ke-7 M. Pewahyuannya terentang selama kurang lebih dua puluh dua tahun, di saat mana Muhammad muncul dari posisi sebagai seorang pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi pemimpin aktual di Madinah dan sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan tujuan umat Islam selama masa-masa tersebut, maka adalah sebuah kewajaran kalau gaya sastra Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak sistematis.
Metode yang digunakan oleh John Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kajian semacam ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra “Sejarah Penyelamatan”, meskipun menampilkan diri seakan-akan semasa peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya berasal dari periode setelah itu.
Dalam aplikasinya, Wansbrough “menemukan” bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi pada karakter referensialnya dan kemunculan sejumlah ayat “duplikat”. Dalam hal ini, menurut Wansbrough, audiens al-Qur’an dipandang mampu mengisi detail-detailnya yang hilang dalam narasi. Akan tetapi kemudian, ketika Islam sebagai entitas dengan mapan dan stabil —berdasarkan struktur politiknya— datang setelah ekspansi Arab keluar wilayah mereka, materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektual aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis —eksplikasi yang tersedia dalam tafsir dan sirah.
Untuk menjelaskan pandangannya mengenai karakter referensial al-Qur’an, Wansbrough memberikan contoh sebagai berikut, yaitu pertama, contoh tentang Yusuf dan “saudara-saudaranya yang lain” dalam surat Yusuf (12) ayat 59, paralel dengan kisah Injil dalam Genesis 42: 3-13, di mana pengetahuan tentang kisah dalam Genesis diterima oleh sebagian audiens al-Qur’an, karena di dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah karena ketakutan Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an: “Bawalah padaku saudara laki-lakimu dari ayahmu”, tidak muncul dalam konteks al-Qur’an, meskipun kita tidak datang pertama kali dengan pengetahuan tentang kisah Injil.
Kedua, contoh berkaitan dengan kehendak Ibrahim untuk mengorbankan anak laki-lakinya, dan penyembelihan dalam al-Qur’an adalah implikasi dari kisah yang ada dalam Injil, di mana anak laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang dipersembahkan. Di sini, permasalahannya jauh lebih kompleks karena tradisi tafsir Yahudi memainkan peran di dalamnya. Studi yang dilakukan Geza Vermes menjelaskan bahwa banyak tradisi Yahudi —dan Kristen— menyampaikan kisah bahwa Ishaq —dalam tradisi Islam adalah Ismail— mengetahui dirinya akan dikurbankan sebelum peristiwa sesungguhnya terjadi dengan tujuan untuk menekankan kehendak Ishaq untuk mempersembahkan dirinya sendiri. Tradisi tafsir Yahudi juga bersifat referensial. Tradisi ini berasumsi bahwa kisah tentang pengurbanan jelas bagi audiensnya dan bahwa signifikansi Ibrahim dalam kisah itu akan menjadi bukti bagi semua orang yang membaca Injil. Jadi, penekanannya pada Ishaq dan tentu saja bukan pada eksklusi peran Ibrahim. Posisi al-Qur’an juga sama. Pengetahuan tentang kisah Injil telah dikemukakan. Karakter referensial al-Qur’an perlu menjelaskan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap al-Qur’an yang melihat apa yang disebut karakter “Arabia secara khusus” dari kitab ini dan mencoba mengabaikan latar belakang tradisi Yahudi-Kristen secara keseluruhan.
Pandangan tentang gaya referensial al-Qur’an juga membawa Wansbrough dalam dugaan bahwa kita sekarang ini sedang berhubungan dengan gerakan sektarian secara penuh dalam “lingkungan sektarian Yahudi-Kristen”. Paralelitas antara literatur al-Qur’an dan Qumran, walaupun tidak harus memainkan interdependensi, menunjukkan proses serupa dalam elaborasi teks Injil dan adaptasinya untuk tujuan-tujuan sektarian.
Menurut Wansbrough, al-Qur’an sebagai dokumen yang tersusun dari ayat-ayat referensial yang dikembangkan dalam framework polemik sektarian Yahudi-Kristen, diletakkan bersama-sama oleh sarana-sarana konvensi sastra, misalnya penggunaan qul (katakanlah), konvensi narasi, dan konjungsi paralelitas versi-versi kisah yang disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi”, yang barangkali dihasilkan dari tradisi asli yang satu dengan sarana yang bervariasi melalui transformasi oral dalam konteks penggunaan liturgi. Cukup jelas di sini, varietas metode (misalnya analisis bentuk, analisis formula oral) yang telah dilakukan di luar kajian Islam, khususnya Injil, digunakan Wansbrough dalam analisisnya tentang al-Qur’an.
Analisis Wansbrough menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar “calque dari bentuk-bentuk yang mapan dari masa awal”, tetapi al-Qur’an juga berusaha mereproduksi Injil dalam bahasa Arab dan menyesuaikannya untuk masyarakat Arabia. Karena satu hal, al-Qur’an tidak mengikuti motif pemenuhan yang dipandang sebagai preseden oleh Perjanjian Baru dan penggunaannya dalam Injil Ibrani. Lebih dari itu, karena al-Qur’an muncul dalam situasi polemik, ada upaya yang jelas untuk memisahkan al-Qur’an dari wahyu Musa melalui sarana-sarana seperti modus pewahyuan dan penekanan pada bahasa dalam al-Qur’an.
Lebih lanjut Wansbrough menyatakan bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks al-Qur’an terjadi bersamaan dengan pembentukan komunitas. Teks kitab suci yang final tidak ada dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya. Sehingga pada akhir abad ke- 2 H/ 8 M menjadi momen historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral dan unsur-unsur liturgi sehingga melahirkan kanon kitab suci yang final dan muncul konsep aktual tentang Islam.
Oleh karena itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan aI-Qur’an, dalam pan¬dangan Wansbrough, secara historis harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya. Semua informasi terse¬but adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut, barangkali disusun oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar (ca¬non) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke- 3 Hijriah.
Kritik sastra menggiring Wansbrough untuk menyimpul¬kan teks yang diterima (textus receptus) dan selama ini diyaki¬ni oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang bela¬kangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Wansbrough menyatakan bahwa riwayat-riwayat menge¬nai AI-Qur’an versi Utsman adalah fiksi yang muncul di masa kemudian, yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk menggambarkan asal-usulnya.
3. Wacana tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.
Secara umum, Andrew Rippin sependapat dengan John Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, Rippin membenarkan penggunaan analisis sastra oleh Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh posisi Islam yang tidak historis karena tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.
Selanjutnya, apa yang dikemukakan Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin, bukanlah hal yang baru. Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan hal demikian. Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan digunakan uintuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.
Sementara dalam menanggapi tesis-tesis John Wansbrough dan pembelaan Andrew Rippin terhadap metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa keampuhan metode historis sebenarnya sudah cukup membuktikan tentang keaslian bahan-bahan historis kaum Muslim, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.
Fazlur Rahman memberikan contoh tentang sebuah konsekuensi yang terjadi apabila menghilangkan sisi historis dan hanya memakai pendekatan sastra —yang menjadikan para pendukung metode sastra tidak dapat memaknai al-Qur’an—, yaitu perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur’an dilihat dari kronologi periode Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat Maryam (19) ayat 47 (Makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat dengan ayahnya, ia (Ibrahim) menyatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa memohonkan ampun baginya. Kemudian pada periode Madinah, ketika al-Qur’an memerintahkan kaum Muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga dekatnya di Makkah agar tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi Muslim. Al-Qur’an mengatakan pada mereka, yaitu, Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi ayahnya hanya karena dia pernah berjanji. Dengan kata lain, bahwa dia (Ibrahim) benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya.
Menurut Rahman, masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Makkah dan Madinah. Ada satu, dua, atau ribuan tradisi semua yang ada dalam al-Qur’an berkaitan dengan situasi Nabi Muhammad. Kemudian surat Huud (11) ayat 27 sampai 29, di mana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan para pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah sesuai dengan situasi Nabi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Makkah. Atau lihat surat Al-A’raaf (7) ayat 85, di mana Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk menasehati mereka agar jujur dalam berdagang, tentu saja ini juga merupakan problem yang dihadapi Nabi Muhammad dalam masyarakatnya.
Dalam pandangan Rahman, dengan melepaskan Al-Qur’an dari sandaran historisnya dalam kehidupan Muhammad, maka salah satu tugas utama Wansbrough adalah meletakkannya secara historis di tempat yang lain. Karena keharusan relokasi historis tidak bisa dikesampingkan oleh penolakan sederhana terhadap historisitas sumber-sumber awal Islam itu sendiri. Harus diketahui di mana Al-Qur’an berada dan pada kelompok atau individu mana al-Qur’an diturunkan. Di sini nampak bahwa gagasan yang menolak sejarah tradisional tanpa perdebatan lebih jauh adalah untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab historis.
Fazlur Rahman juga memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.
Berikutnya, pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini pun tidak luput mendapat dikritik dari Fazlur Rahman. Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman, Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht bersandar pada metode sejarah untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Oleh karena itu, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht untuk mendukung analisis sastra Wansbrough, karena metode yang terakhir bersifat arbitrer.
Mengenai alasan Rippin tentang adanya beberapa pengkaji yang menekankan latar belakang Arab Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen, Fazlur Rahman berpendapat bahwa Wansbrough telah melampau batas-batas yang dapat diterima akal dalam memandang al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian Yahudi-Kristen sepenuhnya. Pada faktanya, di Arab sendiri
Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika di kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu, dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci —yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu— terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin dikembangkannya, di mana intervensi ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework yang diusulkannya. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan bagi kalangan fundamentalis.
Penolakan kalangan Muslim terhadap pendekatan kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed Arkoun, lebih bernuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Berkaitan dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd— seorang intelektual asal Mesir—, Mohammed Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid Abu Zayd tersebut. Padahal metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed Arkoun, memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Quran adalah teks linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam tradisi Arab.
Penutup
Berdasarkan uraian tentang permasalahan metodologi analisis sastra John Wansbrough terhadap al-Qur’an, tafsir, dan sirah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu pertama, John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
Kedua, metode yang digunakan oleh John Wansbrough adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Dalam aplikasinya, John Wansbrough mendapatkan temuan bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi (dan Kriten), juga kemunculan ayat “duplikat” yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan antara Andrew Rippin (pro) dan Fazlur Rahman (kontra) di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd, di mana pandangannya tentang al-Qur’an mendapat reaksi yang bertentangan di kalangan Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, Muhammad Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005
Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, Jakarta: INIS, 1997
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001
Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an: Dalam Wacana dan Prilaku, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan, Depok: Inisiasi Press, 2006
Rahman, Fazlur, Islam Modern: Tantangan Pembaharuan Islam. Terj. Hamid Basyaib dan Rusli Karim, Yogyakarta: Solahudin Press, 1987
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996
Rahman, Fazlur, “Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002
Rippin, Andrew, “Analisis Sastra Terhadap al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002
Setiawan, M. Nur Kholis, “Mengkaji Sejarah Teks Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003
Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003
Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, edisi Indonesia, terj. Taufiq Adnan Amal, Jakarta: Rajawali, 1991
*)Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar