28/05/11

Sekali Lagi, Mengolah Pengalaman

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH laman Mata Kata bisa kembali hadir ke hadapan kita semua. Dalam kesempatan kali ini, dua penyair dari Bandung (Rian Ibayana) dan Magetan (Syukur A. Mihran) mendapat kesempatan untuk tampil di halaman ini. Syukur alhamdulillah laman ini mendapatkan perhatian yang menggembirakan dari para pengirim puisi, meski hingga hari ini pihak manajemen belum bisa mengasih honorarium. Bagi Anda yang ingin turut serta memublikasikan sejumlah puisinya bisa dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com. Insya Allah akan dipilih dengan ketat.

Rian dan Syukur telah menunjukkan kemampuannya dalam mengolah pengalaman batinnya, dalam sejumlah puisi yang ditulisnya itu. Berkait dengan itu, bicara soal pengalaman kita baca sajak Rendra di bawah ini. Tanpa pengalaman dilanda gairah cinta yang demikian hebat dalam batinnya, penyair Rendra tentunya sangat mustahil bisa menulis sebuah puisi yang indah, yang diungkap dengan rangkaian kata-kata --yang begitu sederhana—namun sarat makna dan rasa. Selain itu, letak keberhasilan sebuah puisi dalam mengungkap sebuah pengalaman, tentunya tidak terletak pada daya ungkap yang rumit, akan tetapi terletak pada kesederhanaan kata demi kata yang dipilihnya, yang membuka ruang seluas-luasnya bagi daya komunikasi yang dikandung oleh puisi tersebut. Kita baca sebuah puisi cinta yang ditulis Rendra di bawah ini: dipetik dari Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya,. Cet. Ketiga, 1981:18)

EPISODE

Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.

Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.

Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.

Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”

Aku hanya tertawa.

Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku
Sementara itu
aku bersihkan
guguran daun jambu
yang mengotori rambutnya

Dalam puisi di atas, gairah cinta yang diungkap Rendra terasa demikian romantis, dikarenakan Rendra mampu menggambarkan sekaligus memvisualkan hal-hal yang bersifat fisik secara nyata di benak para apresiatornya lewat larik demi larik puisi yang ditulisnya. Di dalam puisi tersebut ada halaman rumah, ada guguran daun jambu, ada bangku, ada pohon jambu, ada kain baju yang terbuka, ada aku lirik dan lawan bicaranya, yang jadi kekasih aku lirik.

Bahan-bahan fisik yang diamati dengan cermat oleh Rendra dalam puisinya itu, pada akhirnya menjelma menjadi sebuah pengalaman yang indah, di mana cinta tidak hanya menumbuhkan rasa suka di dalam diri manusia, tetapi juga ketenangan. Nah, suasana romantis semacam itulah yang ingin dikomunikasikan Rendra kepada kita. Ada pun apa dan bagaimana makna yang dikandung oleh puisi tersebut sepenuhnya sangat bergantung pada daya tafsir kita. Dengan demikian makna puisi tidak tunggal. Dan kita dalam konteks yang demikian itu tidak sedang membicarakan atau membongkar makna puisi tersebut, akan tetapi sedang membicarakan bagaimana pengalaman yang bersifat fisik dan batiniah itu tengah dioperasikan Rendra dalam menulis puisi yang bertema cinta.

Dari pemaparan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa seorang penyair ketika menulis puisi – selain harus peka – terhadap apa yang dialaminya, ia harus peka pula terhadap suasana yang melingkupi objek puisi yang hendak ditulisnya. Tanpa peka terhadap objek-objek yang hendak ditulisnya itu, tentu saja Rendra tidak akan berhasil menulis puisi yang indah semacam itu. Demikian pula dengan puisi yang saya tulis, tanpa peka terhadap suasana yang terjadi di dalam dan di luar batin saya, pastilah saya tidak akan mampu menulis puisi yang tidak hanya mengangkat tema kerinduan pada si mati, akan tetapi juga mengangkat tema tentang betapa fananya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa.

Lantas apakah menulis puisi itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja? Jawabnya tentu saja tidak. Menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa saja. Secara teknis; apa dan bagaimana menulis puisi bisa dipelajari oleh setiap orang. Namun demikian soal isi dan kualitas puisi bergantung pada jam terbang, dan kesungguhan sang penyair dalam menghayati, maupun memahami objek puisi yang akan ditulis dan diekspresikannya di atas kertas secara sungguh-sungguh. Uraian di atas adalah hanya sebuah contoh kecil bagaimana pengalaman itu diolah dan dioperasikan oleh saya dan Rendra dalam menulis puisi.

**

LEPAS dari persoalan tersebut di atas, pada sisi yang lain ada pula puisi yang ditulis dengan cara lain, yakni dalam mengolah pengalaman hidup ditinggal mati, atau saat jatuh cinta; tidak menamapilkan citraan visual (fisik) sebagaimana dua puisi di atas. Puisi yang ditulis dalam kaitan di bawah ini adalah sepenuhnya puisi renungan. Misalnya hal itu bisa kita temukan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar, yang dikenal sebagai tokoh penulis puisi Indonesia modern, yang melepaskan dirinya dari tradisi pantun. Puisi Chairil di bawah ini dipetik dari antologi puisi Aku Ini Binatang Jalang (PT Gramedia, Maret 1986: 3)

NISAN
- untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerindlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta

Oktober, 1942

Dalam puisi di atas Chairil Anwar mengolah pengalaman rohaninya yang bersumber dari pengalamannya saat ia ditinggal mati oleh neneknya tercinta. Kata demi kata yang dipilih dan ditulis oleh Chairil Anwar dalam puisinya itu begitu ringkas dan padat, bahkan sarat makna. Dengan ditampilkannya contoh di atas, ini artinya bahwa sebuah puisi bisa ditulis tanpa harus melibatkan hal-hal yang bersifat visual sebagai bahan dasarnya. Demikian juga dengan puisi di bawah ini yang ditulis oleh penyair Subagio Sastrowardoyo, dipetik dari antologi puisi Dan Kematian Makin Akrab (PT Grasindo, 1995: 36)

KATA

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri dalam kata

Renungan macam apa yang ingin disampaikan oleh penyair Subagio Sastrowardoyo dalam puisi tersebut di atas? Yakni tentang pengalamannya yang berhadapan dengan kata, baik kata-kata yang berasal dari Tuhan (firman Tuhan), maupun yang berasal dari manusia. Bila kita sembarangan dalam berkata-kata, pastilah akan celaka, termasuk menjual firman Tuhan untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Apalagi bila bermain-main dengan firman Tuhan, misalnya mengubahnya. Orang yang demikian jelas orang yang celaka adanya. Karena itu hati-hatilah berkata-kata, termasuk menulis puisi.

Dalam bait terakhir ditulis: dan menenggelam/ diri dalam kata//…tiada lain adalah bahwa menulis puisi pada satu sisi memang merupakan sebuah proses penenggelaman diri ke dalam kata, dan pada sisi yang lain adalah berupa proses menafsir kata, entah itu ketika menafsir ayat-ayat suci yang bersumber dari kitab suci, atau berupa teks puisi, novel, naskah drama, dan berbagai karya seni lainnya yang masih ada hubungannya dengan kata-kata, seperti lirik-lirik tembang apa pun bentuknya.

Jadi pengalaman yang diolah oleh seorang penyair dalam puisi-puisi yang ditulisnya itu bisa beragam, dengan atau tanpa citraan visual yang ditulis di dalam larik-larik puisinya. Dan apa yang dinamakan citraan visual pada satu sisi bisa berupa simbol yang akan diungkap pada halaman yang lain. Sedangkan pada sisi lainnya bisa juga berfungsi sebagai penegas suasana dari sebuah latar puisi, entah itu mengolah pengalaman religius, sosial, cinta, atau pun kematian. Ada kalanya orang menyebut bahwa apa yang disebut dengan pengalaman sebangun dengan tema. Sementara itu ada juga yang menolak mengatakan hal tersebut itu sama dengan tema.

Tapi apa pun, sekali lagi, ingin saya tekankan dalam bagian ini, bahwa memahami dan menghayati sebuah pengalaman dari sisi mana pun pengalaman itu akan ditulis dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi, adalah sebuah hal yang tidak bisa diabaikan atau dianggap sepele. Tanpa kesadaran bahwa mengolah pengalaman itu penting dalam berkarya sastra, maka karya yang ditulisnya hanyalah tumpukan kata-kata hampa makna dan rasa. Karya yang demikian akan selalu gagal menemui pembacanya yang kritis, yang selalu mengharap adanya nilai-nilai yang bisa dipetik dari sebuah puisi yang tengah dibacanya. (Soni Farid Maulana/PRLM).***

Sajak-sajak Rian Ibayana
DI KOTA INI

Hujan menggerus usia
cerita dan peristiwa seperti tersesat
di gorong-gorong pengap penuh sampah.
Sementara bayanganmu tampak kuyup di banjir cileuncang
namun buyar digilas roda yang melintas.

Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim.
Lampu-lampu rindu di pinggir jalan
seakan pucat mengiringi tahun-tahun yang berlalu cepat.

Sebenarnya masih kusimpan kenangan kita meramu sendu
saling mengungkap kegelisahan
sambil menyimak bercucurannya peluh tukang rokok
serta ketabahan penjual koran.
Masih kutata apik kisah kita
dekat tiang listrik serta di sebuah parkiran lama.

Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim,
meratapi tubuh yang renta, disapa resah cuaca.

Okltober 2010



TJIBUNI JAVA

Kurasa ini terlalu dini
untuk memakamkan lembar demi lembar kenangan
serta seribu ingatan tentang hamparan hijau.
Di sebuah kampung tua yang diselimuti berlapis-lapis tirai dingin.
Tjibuni yang hening.

Di ujung Desember yang lindap serta berbalut gerimis
sempat kupahat jejak, tanda kehadiran
di atas tanah merahmu yang lembab dan basah.
Aroma teh hitam menyerbak dari cerobong pelayuan
mengudara bersama sepenggal kisah
kuntum rindu yang baru rekah.

Pohon cemara berbaris di pinggir danau biru
nampak menaungi berkas sejarah
yang terukir di atas batu berlumut,
sepotong romansa di antara deru pabrik
yang menggaung gelisah.

Kurasa ini terlalu dini
untuk memadamkan obor cerita
di Tjibuni yang hening
kampung tua berkabut.

2009



HILANG

Sosok asing itu harus hilang
padahal masih basah luka di tangan
masih rindu untuk mengenang.

Apa daya detik membawanya pergi
membawanya hilang sampai nanti.

Sosok asing itu harus hilang
semakin terukir rindu menggebu.

Sosok asing itu memang harus hilang
Semakin singkat wangi menyerbak.
Semakin perih ujung rambut menusuk.

23 Juni 2004



SEPI

Ini benar-benar mencekik
menyesakan
bahkan puisipun enggan lahir.

2011

Rian Ibayana lahir di Ciwidey Bandung Selatan. 25 April 1988. Belajar menulis secara otodidak. Sekarang aktif bergiat di Majelis Sastra Bandung dan Komunitas Layung Beureum Ciwidey. Tinggal di Ciwidey dan bercita-cita dikubur di Ciwidey juga.
***

Sajak-sajak Syukur A. Mirhan,
DI LADANG JEJAK KUTEMUKAN BERCAK-BERCAK SEBUAH SAJAK

Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Bercampur nanah perasaan ayah di retak tanah si emak. Diksi-diksinya bau amis. Menebarkan aroma biografi tragis. Tertimbun rimbun belukar tangis

Serupa cinta terlunta yang berabad tiada pernah dijenguk. Lirik-liriknya membusuk di tangkai waktu yang melapuk. Mengeram dalam pembuluh darah dendam. Meracun dalam kenyataan hidup yang berkhianat membunuh ayah

Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Sajak yang pernah kucampakkan ke dalam tong sampah keadilan. Sebab ia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika ayah terkapar sehabis kalah berduel melawan para begal berseragam kekuasaan

Penyair memang seharusnya memilih diam sebuah sajak daripada tajam sebilah kapak. Diam sebuah sajak akan membuat ladang jejak tetap hijau karena dima krifat kemilau damai. Sedangkan tajam sebilah kapak akan membuat ladang jejak merah karena dijulumat gulita amarah!

Sayup-sayup angin yang menyemilir dedzikir mengantar mauizhah ruhani literamu. Sampai juga ke dangau renung, tempatku menyaungkan gebalau rundung. Karena telah membunuh sajak. Sebab dia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika para begal berseragam kekuasaan terkapar sehabis kalah berduel melawan diriku yang tertipu oleh diam sebilah

kapak yang menyamar tajam sebuah sajak yang bertahun-tahun tak kukuduskan.

Magetan, 2010



SIKLUS SUCI KESETIAAN

Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta langit yang terus menderas dan mengalir sampai jauh ke laut jiwamu. Mengairi rahimbumimu yang berabad-abad tandus dikuras nafsurakus. Hingga dirimu tiada pernah lagi melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang menjagamu dari pertumpahan darah anak-anak Adam

Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta

langit yang akan menjadi telaga suci di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Dan dari telaga sucimu itu naiklah ke udara uap-uap tetasbihan yang menguntai hijau. Lalu diterbangkan

angin lugu yang tak pernah mengembara ke negeri radiasi. Kemudian
menjadi hujan belia yang akan menumbuhkan beribu-ribu telaga suci lagi

di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Hingga rahimbumimu pun kembali melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang akan memeliharamu dengan tangan dan hati seribu nabi

Demikianlah kita. Hidup dalam hakikat siklus kesetiaan Tuhan. Lima puluh ribu tahun sebelum kau dan aku diciptakan

Magetan, 2010



TUKANG DAUN PANDAN DI GIGIL DINI HARI JEMBATAN MERAH

Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga. Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Kisah yang tidak akan mengusik ketenangan Keluarga Cikeas. Kisah yang tidak lebih berharga daripada sehelai rumput di mulut seekor anak kijang istana kebun raya

Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan mimpi yang paling bersahaja: Hari Minggu bersama keluarga pelesiran ke kebun raya. Menggelar tikar di bawah teduh cemara. Makan nasi buntel daun pisang, lauk asin, sambal terasi, kerupuk kulit, dan lalap timun muda.

Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan cita-cita yang cuma setinggi langit-langit gubuknya: Menjelang Ramadhan lunas semua hutangnya. Sebulan penuh tenang menjalankan ibadah puasa. Tiga hari ba’da lebaran --dengan dada plong-- mudik ke rumah mertua.

Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan hiburan murah meriah di TV Warteg Ceu Mirah: Siaran langsung pertandingan El Clasico: Barcelona Versus Real Madrid. Derbi Duo Milan: AC Milan Lawan Inter Milan. Dan Big Match: Liverpool Kontra Menchester United.

Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga.
Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Namun menyesak di dada:
Biayapendidikan bersekongkol tunggakankreditan sungguh bengis merampok habis seluruh malam tukang daun pandan.

Bogor, 2010

Syukur A. Mirhan, lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung (1990-1997). Pengasuh LanggarALITliterA dan Forum Lingkar Pena Se-Eks Kresidenan Madiun. Puisi-puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Tabloid Hikmah Bandung, , Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Antologi Puisi Forum Kebun Raya, dan Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur. Alamat: MA Al-Fatah Temboro Karas Magetan 63395, email: syukur.amirhan9@gmail.com, dan HP 085233738177

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita