Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/
ALHAMDULILLAH laman Mata Kata bisa kembali hadir ke hadapan kita semua. Dalam kesempatan kali ini, dua penyair dari Bandung (Rian Ibayana) dan Magetan (Syukur A. Mihran) mendapat kesempatan untuk tampil di halaman ini. Syukur alhamdulillah laman ini mendapatkan perhatian yang menggembirakan dari para pengirim puisi, meski hingga hari ini pihak manajemen belum bisa mengasih honorarium. Bagi Anda yang ingin turut serta memublikasikan sejumlah puisinya bisa dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com. Insya Allah akan dipilih dengan ketat.
Rian dan Syukur telah menunjukkan kemampuannya dalam mengolah pengalaman batinnya, dalam sejumlah puisi yang ditulisnya itu. Berkait dengan itu, bicara soal pengalaman kita baca sajak Rendra di bawah ini. Tanpa pengalaman dilanda gairah cinta yang demikian hebat dalam batinnya, penyair Rendra tentunya sangat mustahil bisa menulis sebuah puisi yang indah, yang diungkap dengan rangkaian kata-kata --yang begitu sederhana—namun sarat makna dan rasa. Selain itu, letak keberhasilan sebuah puisi dalam mengungkap sebuah pengalaman, tentunya tidak terletak pada daya ungkap yang rumit, akan tetapi terletak pada kesederhanaan kata demi kata yang dipilihnya, yang membuka ruang seluas-luasnya bagi daya komunikasi yang dikandung oleh puisi tersebut. Kita baca sebuah puisi cinta yang ditulis Rendra di bawah ini: dipetik dari Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya,. Cet. Ketiga, 1981:18)
EPISODE
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku
Sementara itu
aku bersihkan
guguran daun jambu
yang mengotori rambutnya
Dalam puisi di atas, gairah cinta yang diungkap Rendra terasa demikian romantis, dikarenakan Rendra mampu menggambarkan sekaligus memvisualkan hal-hal yang bersifat fisik secara nyata di benak para apresiatornya lewat larik demi larik puisi yang ditulisnya. Di dalam puisi tersebut ada halaman rumah, ada guguran daun jambu, ada bangku, ada pohon jambu, ada kain baju yang terbuka, ada aku lirik dan lawan bicaranya, yang jadi kekasih aku lirik.
Bahan-bahan fisik yang diamati dengan cermat oleh Rendra dalam puisinya itu, pada akhirnya menjelma menjadi sebuah pengalaman yang indah, di mana cinta tidak hanya menumbuhkan rasa suka di dalam diri manusia, tetapi juga ketenangan. Nah, suasana romantis semacam itulah yang ingin dikomunikasikan Rendra kepada kita. Ada pun apa dan bagaimana makna yang dikandung oleh puisi tersebut sepenuhnya sangat bergantung pada daya tafsir kita. Dengan demikian makna puisi tidak tunggal. Dan kita dalam konteks yang demikian itu tidak sedang membicarakan atau membongkar makna puisi tersebut, akan tetapi sedang membicarakan bagaimana pengalaman yang bersifat fisik dan batiniah itu tengah dioperasikan Rendra dalam menulis puisi yang bertema cinta.
Dari pemaparan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa seorang penyair ketika menulis puisi – selain harus peka – terhadap apa yang dialaminya, ia harus peka pula terhadap suasana yang melingkupi objek puisi yang hendak ditulisnya. Tanpa peka terhadap objek-objek yang hendak ditulisnya itu, tentu saja Rendra tidak akan berhasil menulis puisi yang indah semacam itu. Demikian pula dengan puisi yang saya tulis, tanpa peka terhadap suasana yang terjadi di dalam dan di luar batin saya, pastilah saya tidak akan mampu menulis puisi yang tidak hanya mengangkat tema kerinduan pada si mati, akan tetapi juga mengangkat tema tentang betapa fananya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa.
Lantas apakah menulis puisi itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja? Jawabnya tentu saja tidak. Menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa saja. Secara teknis; apa dan bagaimana menulis puisi bisa dipelajari oleh setiap orang. Namun demikian soal isi dan kualitas puisi bergantung pada jam terbang, dan kesungguhan sang penyair dalam menghayati, maupun memahami objek puisi yang akan ditulis dan diekspresikannya di atas kertas secara sungguh-sungguh. Uraian di atas adalah hanya sebuah contoh kecil bagaimana pengalaman itu diolah dan dioperasikan oleh saya dan Rendra dalam menulis puisi.
**
LEPAS dari persoalan tersebut di atas, pada sisi yang lain ada pula puisi yang ditulis dengan cara lain, yakni dalam mengolah pengalaman hidup ditinggal mati, atau saat jatuh cinta; tidak menamapilkan citraan visual (fisik) sebagaimana dua puisi di atas. Puisi yang ditulis dalam kaitan di bawah ini adalah sepenuhnya puisi renungan. Misalnya hal itu bisa kita temukan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar, yang dikenal sebagai tokoh penulis puisi Indonesia modern, yang melepaskan dirinya dari tradisi pantun. Puisi Chairil di bawah ini dipetik dari antologi puisi Aku Ini Binatang Jalang (PT Gramedia, Maret 1986: 3)
NISAN
- untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerindlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta
Oktober, 1942
Dalam puisi di atas Chairil Anwar mengolah pengalaman rohaninya yang bersumber dari pengalamannya saat ia ditinggal mati oleh neneknya tercinta. Kata demi kata yang dipilih dan ditulis oleh Chairil Anwar dalam puisinya itu begitu ringkas dan padat, bahkan sarat makna. Dengan ditampilkannya contoh di atas, ini artinya bahwa sebuah puisi bisa ditulis tanpa harus melibatkan hal-hal yang bersifat visual sebagai bahan dasarnya. Demikian juga dengan puisi di bawah ini yang ditulis oleh penyair Subagio Sastrowardoyo, dipetik dari antologi puisi Dan Kematian Makin Akrab (PT Grasindo, 1995: 36)
KATA
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri dalam kata
Renungan macam apa yang ingin disampaikan oleh penyair Subagio Sastrowardoyo dalam puisi tersebut di atas? Yakni tentang pengalamannya yang berhadapan dengan kata, baik kata-kata yang berasal dari Tuhan (firman Tuhan), maupun yang berasal dari manusia. Bila kita sembarangan dalam berkata-kata, pastilah akan celaka, termasuk menjual firman Tuhan untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Apalagi bila bermain-main dengan firman Tuhan, misalnya mengubahnya. Orang yang demikian jelas orang yang celaka adanya. Karena itu hati-hatilah berkata-kata, termasuk menulis puisi.
Dalam bait terakhir ditulis: dan menenggelam/ diri dalam kata//…tiada lain adalah bahwa menulis puisi pada satu sisi memang merupakan sebuah proses penenggelaman diri ke dalam kata, dan pada sisi yang lain adalah berupa proses menafsir kata, entah itu ketika menafsir ayat-ayat suci yang bersumber dari kitab suci, atau berupa teks puisi, novel, naskah drama, dan berbagai karya seni lainnya yang masih ada hubungannya dengan kata-kata, seperti lirik-lirik tembang apa pun bentuknya.
Jadi pengalaman yang diolah oleh seorang penyair dalam puisi-puisi yang ditulisnya itu bisa beragam, dengan atau tanpa citraan visual yang ditulis di dalam larik-larik puisinya. Dan apa yang dinamakan citraan visual pada satu sisi bisa berupa simbol yang akan diungkap pada halaman yang lain. Sedangkan pada sisi lainnya bisa juga berfungsi sebagai penegas suasana dari sebuah latar puisi, entah itu mengolah pengalaman religius, sosial, cinta, atau pun kematian. Ada kalanya orang menyebut bahwa apa yang disebut dengan pengalaman sebangun dengan tema. Sementara itu ada juga yang menolak mengatakan hal tersebut itu sama dengan tema.
Tapi apa pun, sekali lagi, ingin saya tekankan dalam bagian ini, bahwa memahami dan menghayati sebuah pengalaman dari sisi mana pun pengalaman itu akan ditulis dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi, adalah sebuah hal yang tidak bisa diabaikan atau dianggap sepele. Tanpa kesadaran bahwa mengolah pengalaman itu penting dalam berkarya sastra, maka karya yang ditulisnya hanyalah tumpukan kata-kata hampa makna dan rasa. Karya yang demikian akan selalu gagal menemui pembacanya yang kritis, yang selalu mengharap adanya nilai-nilai yang bisa dipetik dari sebuah puisi yang tengah dibacanya. (Soni Farid Maulana/PRLM).***
Sajak-sajak Rian Ibayana
DI KOTA INI
Hujan menggerus usia
cerita dan peristiwa seperti tersesat
di gorong-gorong pengap penuh sampah.
Sementara bayanganmu tampak kuyup di banjir cileuncang
namun buyar digilas roda yang melintas.
Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim.
Lampu-lampu rindu di pinggir jalan
seakan pucat mengiringi tahun-tahun yang berlalu cepat.
Sebenarnya masih kusimpan kenangan kita meramu sendu
saling mengungkap kegelisahan
sambil menyimak bercucurannya peluh tukang rokok
serta ketabahan penjual koran.
Masih kutata apik kisah kita
dekat tiang listrik serta di sebuah parkiran lama.
Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim,
meratapi tubuh yang renta, disapa resah cuaca.
Okltober 2010
TJIBUNI JAVA
Kurasa ini terlalu dini
untuk memakamkan lembar demi lembar kenangan
serta seribu ingatan tentang hamparan hijau.
Di sebuah kampung tua yang diselimuti berlapis-lapis tirai dingin.
Tjibuni yang hening.
Di ujung Desember yang lindap serta berbalut gerimis
sempat kupahat jejak, tanda kehadiran
di atas tanah merahmu yang lembab dan basah.
Aroma teh hitam menyerbak dari cerobong pelayuan
mengudara bersama sepenggal kisah
kuntum rindu yang baru rekah.
Pohon cemara berbaris di pinggir danau biru
nampak menaungi berkas sejarah
yang terukir di atas batu berlumut,
sepotong romansa di antara deru pabrik
yang menggaung gelisah.
Kurasa ini terlalu dini
untuk memadamkan obor cerita
di Tjibuni yang hening
kampung tua berkabut.
2009
HILANG
Sosok asing itu harus hilang
padahal masih basah luka di tangan
masih rindu untuk mengenang.
Apa daya detik membawanya pergi
membawanya hilang sampai nanti.
Sosok asing itu harus hilang
semakin terukir rindu menggebu.
Sosok asing itu memang harus hilang
Semakin singkat wangi menyerbak.
Semakin perih ujung rambut menusuk.
23 Juni 2004
SEPI
Ini benar-benar mencekik
menyesakan
bahkan puisipun enggan lahir.
2011
Rian Ibayana lahir di Ciwidey Bandung Selatan. 25 April 1988. Belajar menulis secara otodidak. Sekarang aktif bergiat di Majelis Sastra Bandung dan Komunitas Layung Beureum Ciwidey. Tinggal di Ciwidey dan bercita-cita dikubur di Ciwidey juga.
***
Sajak-sajak Syukur A. Mirhan,
DI LADANG JEJAK KUTEMUKAN BERCAK-BERCAK SEBUAH SAJAK
Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Bercampur nanah perasaan ayah di retak tanah si emak. Diksi-diksinya bau amis. Menebarkan aroma biografi tragis. Tertimbun rimbun belukar tangis
Serupa cinta terlunta yang berabad tiada pernah dijenguk. Lirik-liriknya membusuk di tangkai waktu yang melapuk. Mengeram dalam pembuluh darah dendam. Meracun dalam kenyataan hidup yang berkhianat membunuh ayah
Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Sajak yang pernah kucampakkan ke dalam tong sampah keadilan. Sebab ia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika ayah terkapar sehabis kalah berduel melawan para begal berseragam kekuasaan
Penyair memang seharusnya memilih diam sebuah sajak daripada tajam sebilah kapak. Diam sebuah sajak akan membuat ladang jejak tetap hijau karena dima krifat kemilau damai. Sedangkan tajam sebilah kapak akan membuat ladang jejak merah karena dijulumat gulita amarah!
Sayup-sayup angin yang menyemilir dedzikir mengantar mauizhah ruhani literamu. Sampai juga ke dangau renung, tempatku menyaungkan gebalau rundung. Karena telah membunuh sajak. Sebab dia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika para begal berseragam kekuasaan terkapar sehabis kalah berduel melawan diriku yang tertipu oleh diam sebilah
kapak yang menyamar tajam sebuah sajak yang bertahun-tahun tak kukuduskan.
Magetan, 2010
SIKLUS SUCI KESETIAAN
Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta langit yang terus menderas dan mengalir sampai jauh ke laut jiwamu. Mengairi rahimbumimu yang berabad-abad tandus dikuras nafsurakus. Hingga dirimu tiada pernah lagi melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang menjagamu dari pertumpahan darah anak-anak Adam
Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta
langit yang akan menjadi telaga suci di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Dan dari telaga sucimu itu naiklah ke udara uap-uap tetasbihan yang menguntai hijau. Lalu diterbangkan
angin lugu yang tak pernah mengembara ke negeri radiasi. Kemudian
menjadi hujan belia yang akan menumbuhkan beribu-ribu telaga suci lagi
di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Hingga rahimbumimu pun kembali melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang akan memeliharamu dengan tangan dan hati seribu nabi
Demikianlah kita. Hidup dalam hakikat siklus kesetiaan Tuhan. Lima puluh ribu tahun sebelum kau dan aku diciptakan
Magetan, 2010
TUKANG DAUN PANDAN DI GIGIL DINI HARI JEMBATAN MERAH
Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga. Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Kisah yang tidak akan mengusik ketenangan Keluarga Cikeas. Kisah yang tidak lebih berharga daripada sehelai rumput di mulut seekor anak kijang istana kebun raya
Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan mimpi yang paling bersahaja: Hari Minggu bersama keluarga pelesiran ke kebun raya. Menggelar tikar di bawah teduh cemara. Makan nasi buntel daun pisang, lauk asin, sambal terasi, kerupuk kulit, dan lalap timun muda.
Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan cita-cita yang cuma setinggi langit-langit gubuknya: Menjelang Ramadhan lunas semua hutangnya. Sebulan penuh tenang menjalankan ibadah puasa. Tiga hari ba’da lebaran --dengan dada plong-- mudik ke rumah mertua.
Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan hiburan murah meriah di TV Warteg Ceu Mirah: Siaran langsung pertandingan El Clasico: Barcelona Versus Real Madrid. Derbi Duo Milan: AC Milan Lawan Inter Milan. Dan Big Match: Liverpool Kontra Menchester United.
Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga.
Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Namun menyesak di dada:
Biayapendidikan bersekongkol tunggakankreditan sungguh bengis merampok habis seluruh malam tukang daun pandan.
Bogor, 2010
Syukur A. Mirhan, lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung (1990-1997). Pengasuh LanggarALITliterA dan Forum Lingkar Pena Se-Eks Kresidenan Madiun. Puisi-puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Tabloid Hikmah Bandung, , Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Antologi Puisi Forum Kebun Raya, dan Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur. Alamat: MA Al-Fatah Temboro Karas Magetan 63395, email: syukur.amirhan9@gmail.com, dan HP 085233738177
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar