16/01/11

Antara Banaspati dan Mbah Jarmi

Vyan Taswirul Afkar
http://sastra-indonesia.com/

Langit belum terlalu gelap, Matahari masih menampakkan ujung kepalanya di cakrawala. Mega merah berjajar di ufuk barat kampungku. Burung-burung kelelahan belum sampai sarangnya. Bahkan, kelelawar hanya belasan yang sudah berterbangan di langit pasca senja. Tetapi di RT-ku ramai sekali. Bukan karena ada konser dangdut kawinan anak Pak Lurah seperti kemarin, melainkan salah satu rumah terbakar. Rumah itu adalah rumah Mbah Jarmi.

Para bapak berlarian membawa ember-ember berisi air yang digunakan untuk memadamkan api yang menjulurkan lidah-lidah keemasannya pada tiap bambu-bambu penyusun rumah Mbah Jarmi. Mas Hendi bahkan sampai melemparkan air sekaligus embernya. Tetapi tidak satupun orang yang menertawakannya. Karena semua yang ada di situ saat itu pasti meraskan hal yang serupa dengan Mas Hendi.

Ibu-ibu berteriak histeris hingga melupakan anak yang digendongnya. Aku yang melihatnya dari jauh masih bias merasakan panas menderu ke tubuhku. Abu berpijar dari bambu-bambu terbakar melayang-layang menerangi langit remang. Suara api itu mengingatkan aku pada waktu naik perahu di laut utara saat liburan semester satu dulu. Seperti angina yang berhembus ke arah telinga. Suara puing-puing jatuh terkadang juga terdengar menggaduhkan.

“Bima, mundur!”perintah Mas Hendi
“I-iya,”aku mundur tiga meter. Tetapi panas masih terasa.

Aku ditarik Ibu mundur lagi, hingga terlihat olehku sawah tebu di belakang rumah Mbah Jarmi.

“Bima, ajak adikmu pulang sana! Disini berbahaya.”titah Ibu

“Ibu tidak kembali?”

“Nanti, barengan sama Ayah. Cepatlah pulang!”

Dengan hati yang eman meninggalkan momen kebakaran seperti ini, aku terpaksa pulang menggandeng Tio,adikku.

“Mas, lewat jalan aja,” rengek Tio
“Nggak,ah kelamaan. Lewat sawah saja.”
“Takut , Mas,” ia mempererat pegangannya pada tanganku
“Mas gendong?”
“He’em.”
Tio merungkup erat di punggungku.

Baru tiga langkah berjalan ia menangis keras sambil semakin mengencangkan pegangannya, hampir mencekik leherku. Acuh tak acuh , aku terus berjalan menjauhi rumah Mbah Jarmi yang ada di belakangku.

“Mas!” teriaknya kencang
“Apa?”sentakku mulai jengkel
“I-itu apa?”
“Setan!” kataku menakuti.
“Aah, Mas!”
“Apa?”
“Itu,”
“Mana sih?”
“Itu lho”

Tio menunjuk ke belakang , tetapi matanya terpejam erat dan menempel di punggungku. Aku menoleh ke belakang.

“Se..,set..,setan!” Aku takut gemetaran, kakiku lemas ingin roboh tapi kutahan. Seseorang bertubuh api melolong kesakitan seperti serigala. Makhluk itu berteriak-teriak di tengah hamparan tebu.

Hatiku terus memerintahku lari, tetapi tak bisa.
“Yo, Tio!”
“Apa, Mas?”
“Mas takut, Yo”
“Aku, juga mas”

Tio lalu menangis lebih kencang karena ia baru saja sadar kalau yang dilihatnya tadi adalah kenyataan. Karena aku juga melihatnya.

Satu..Dua..Tiga. Lari! Aku berlari tunggang langgang dan terseok.

“Maas!Maas!” Tio terus berteriak.
Aku tidak memikirkannya. Aku tidak sempat memikirkannya. Atau, memang aku hanya berusaha menyelamatkan diriku sendiri.

Sesampainya di rumah, Aku mengunci rapat seluruh pintu dan jendela. Ayah dan Ibu belum pulang. Tio terus menangis ketakutan. Aku terengah-engah , keringat mengucur deras di pelipisku. Aku segera ke kamar, berbaring di atas kasur, dan menutup sekujur tubuh dengan selimut bersama Tio.
*

“Bima..!Bima..!” Seseorang memanggilku dari luar jendela. Suaranya sangat aku kenal, Ayahku.
“Iya, Yah. Sebentar!” Aku mengerjap lalu turun dari atas ranjang meninggalkan Tio yang sedang terlelap sendirian.
Aku membuka pintu, tampak Ayah dan Ibu dengan wajah lesu.
“Kenapa, Buk?” Tanyaku.
“Mbah Jarmi…,tewas!”
“Kebakar?”
“Nggak.”
“Lha terus kenapa?”
“Ibu tidak tega bercerita. Tanya Ayahmu saja.”
“Kenapa Yah?”
“Gantung diri,”
“Nggak mungkin! Mbah Jarmi itu orangnya baik, nggak mungkin dia melakukan hal seperti itu.”
“Kenyataanya?” Tanya Ibu
“Iya. Di rumahnya saja hanya ada uang tiga ribu. Kalau dibunuh, untuk apa coba?” Timpal Ayah
“Paling habis dibunuh uangnya dicuri. Nggak mungkin, pokoknya.”
“Uangnya tersimpan rapi di lemarinya,Nak. Lemarinya tidak terbakar.”
“Oh..” Aku menggeleng tak percaya
“Bima, cepat tidur! Besok kamu harus sekolah,” Pinta Ibu
“Baik, Buk. Selamat malam,”

Aku masih belum bisa tidur. Kulihat, bulan sudah berada tepat di atas atap rumahku. Air mataku menetes membasahi bantal. Aku ingin menangis terus-menerus mendengar kabar tentang Mbah Jarmi. Mbah Jarmi sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri sejak nenekku yang sebenarnya meninggal lima tahun lalu.

Pada saat ibu marah dan mengunciku dari dalam rumah, hanya ada satu tempat yang kutuju. Rumah Mbah Jarmi. Mbah Jarmi selalu membukakan rumahnya untukku. Terkadang aku juga tidur di rumahnya. Paling tidak, sampai Ibu memaafkanku.
Sekarang kudapati berita ini. Berita pahit. Tidak mungkin.
*

Langit cerah, awan stratus sedikit berserakan di langit timur. Sinar redup sang surya belum mampu melenyapkan butir-butir embun semalam. Aku duduk dikerubungi teman-temanku yang ingin mendengar pengalamanku semalam. Tapi bisa ditebak, mereka memasang mimic kecut setelah mendengarnya.

“Itu namanya Banaspati!” Kata Habib, satu-satunya anak yang percaya dan tidak bosan mendengar ceritaku meski sudah ku ulang berkali-kali.
“Banaspati?”
“Iya. Banaspati itu manusia setengah api. Biasanya makan anak kecil.”
“Masa’.”
“Aku belum pernah melihatnya, sih. Tapi semua orang tua di kampungku mengetahuinya.”
“Ooh..”

Sepulang sekolah aku menceritakan perihal Banaspati itu kepada orang tuaku. Awalnya mereka tidak percaya, namun berkat bantuan Tio mereka akhirnya Percaya juga.

“Dimana kau lihat Banaspati itu?” Tanya Ayah.
“Di belakang rumah Mbah Jarmi.”
“Ayo kita kesana!”
“Kenapa?”
“Ayah pingin tahu, kau berbohong atau tidak.”
*

Aku dan Ayah sampai di belakang rumah Mbah Jarmi. Oh, iya. Jasad Mbah Jarmi sudah dikebumikan saat aku masih di sekolah tadi. Tali tambang yang kata Ayah digunakan gantung diri oleh Mbah Jarmi masih terikat pada plavon rumahnya. Rumah bambu itu kini tinggallah puig-puing gosong berserakan.

“Ayo, kita cari.” Ajak Ayah
‘Misi dimulai.’ Bisikku dalam hati.

-Langkah Pertama (14.00)

Pertama, kami mengumpulkan benda-benda yang mencurigakan atau yang menurut kami tidak layak ada disana. Aku merasa lebih hebat dari Sherlock Holmes yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Lebih keren dari Sinichi Kudo dan Conan Edogawa yang biasanya ku lihat bersama Tio setiap minggunya.

Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah mengumpulkan barang-barang yang mencurigakan. Antara lain: sebilah celurit, korek api kayu, botol bensin kosong, dan lentera yang kacanya pecah karena terjatuh.

-Langkah ke Dua (14.15)

Sekarang saatnya kami menduga dari mana datangnya barang-barang ini. Aku duduk di tanah sambil menggambar rumah dengan lidi. Ayah lalu berdiri.

“Mula-mula celurit ini! Ini milik Mbah Jarmi.” Kata Ayah dengan yakin.
“Lho, tahu dari mana, Yah?”
“Nih, ada inisialnya” jawab Ayah sambil menunjuk tulisan “J” pada pangkal celurit.
“Hah? Kalau korek api nya?”
“Mmm…ini punya Lek Mat.” Jawab Ayah dengan mantap nya lagi.

Aku heran kali ini. Memang sih, rumah Lek Mat tepat berada di sebelah timur rumah Mbah Jarmi. Tapi kenapa harus Lek Mat? Kenapa bukan Lek Supar yang rumahnya tepat di sebelah barat?
“ Kok bisa?”
“Nih, ada tulisannya lagi, Matches.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal kali ini.
“Ayah, ayah. Matches itu Bahasa Inggris. Artinya korek api!”
“ya, maklum lah , Nak. Ayahmu ini kan, sekolah nggak sampai lulus SD.”
“Ayah tetap hebat kok. Kayak Jaka Tarub.”
“Jaka Tarub? Nggak. Begini-begini Ayahmu lebih hebat dari Jaka Tarub.”
“kok bisa?”
“Ayah bisa menjaga kesatuan keluarga. Sedangkan Jaka Tarub? Tidak, kan?”
“Ooh.”
“Yah, kalau botol ini milik siapa?”
“enggak mau , ah. Nanti kalau salah kamu ketawain, lagi. Tapi kalau lentera ini, Ayah tahu.

Ini milik pencari kodok yang biasanya mencari di sekitar sini itu lho.”
Kali ini aku percaya.

“Ayah memang hebat!”

Ayah tersenyum. Kami terduduk lelah di bawah pohon akasia yang berdaun jarang.

-Langkah ke Tiga (15.45)

Inilah langkah terakhir sekaligus tersulit bagiku. Membuat hipotesis. Karena jika salah bisa jadi fitnah. Bila benar pun pasti menimbulkan masalah. Ayah menyuruhku mengajukan hipotesis terlebih dahulu.

“Kalau hipotesis mu masuk akal, meskipun ngawur kamu akan Bapak belikan rujak kesukaanmu di warung Mbak Ngat.” Ayah berjanji.

“Ada seorang pemburu katak. Lha, pas saat dia mencari katak di sini, dia mendengar pekikan Mbah Jarmi. Dengan penasarannya pencari katak itu mengintip rumah Mbah Jarmi dari luar. Lalu sangat kaget ketika melihat Mbah Jarmi sedang di gantung orang. Sampai-sampai lenteranya jatuh, dan kebakar deh.” Aku tersenyum bangga “bagaimana, Yah? Masuk akal ,kan?”

“Nggak. Kamu masih membela Mbah Jarmi.”

“Maksudnya?”
“Tadi kamu bilang Mbah Jarmi di bunuh orang. Padahal sebenarnya kan , Mbah Jarmi bunuh diri.’’
Aku tertunduk malu. Aku merasa bersalah pada Ayah.
*

(Pukul 16.45)

Hari sudah sore. Sejak tadi Ayah telah mengajakku kembali. Tetapi aku selalu menolak. Karena aku ingin membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pembohong. Jadi, aku harus menemukan Banaspati itu. Atau paling tidak bekas dan jejaknya.

“Pulang, Nak. Sudah sore. Ibumu kasihan sendiri di rumah.”
“Nanti dulu, Yah. Pencariannya kan belum selesai.”
“Tidak usah dicari. Ayah percaya sama kamu.” Aku tak yakin dengan ucapan Ayah. Setahuku, itu hanya alasan Ayah agar kami bisa cepat pulang. Aku menggeleng.

“Ya sudah. Begini saja, di sebelah mana kamu melihat Banaspati itu?”
Oh, iya. Kenapa sama sekali tidak terpikirkan olehku.

Aku berlari menerjang persawahan tebu setinggi lututku. Ayah mengikutiku di belakang. Dia hanya berjalan saja.

Tiba-tiba aku terjatuh. Mataku kemasukkan debu. Aku memjamkan mata sesaat. Saat aku membuka mata, ku lihat sesuatu berwarna hitam tergeletak di depanku. Awalnya ku kira kayu bakar bekas petani membakar singkong. Tapi setelah ku amati benar-benar, itu manusia!

Tubuhnya hitam bak malam. Wajahnya tak lagi membentuk muka-muka manusia pada umumnya. Baju yang dipakainya ikut menggosong, mungkin karena api. Aku berteriak.

Ayah kaget. Lalu berlari ke arahku. Saat dia melihat melihat makhluk itu, dia langsung berlari. Aku ditinggalnya. Aku takut lalu berdiri mengikuti larinya entah ke mana.

Ayah terus berlari tanpa menghiraukanku. Saat berada di depan rumah Pak RT ia berbelok sambil berteriak-teriak. Pak RT kebingungan. Ayah pun menceritakan semua yang baru saja kami alami.
*

Usai dari rumah Pak RT kami langsung pulang. Namun saat melewati rumah Mbah Jarmi tadi sempat ku luhat ada beberapa polisi dan sebuah mobil ambulans di sana. Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Esoknya. Saat aku sedang duduk sendiri di teras rumah, Ayah mendekatiku dan duduk di sampingku.

“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Yah.” Aku terdiam, lalu bertanya “bagaimana mayat yang kemarin?”
“Oh, itu. Ternyata itu pencari katak.”
“Kok bisa sampai begitu, Yah?”

“Kata Pak Polisi, saat orang itu mencari katak, dia mendengar suara Mbah jarmi yang memkik. Mungkin karena penasaran atau apa, dia mengintip. Saat melihat Mbah jarmi menggantung tanpa tenaga, dia kaget. Sampai-sampai lenteranya jatuh. Minyak gas dari lentera itu menyirami tubuhnya sendiri dan juga gedhek rumah Mbah Jarmi.. karena minyak itu, tubuhnya dan gedhek itu terbakar. Api cepat membesar. Dia sudah berteriak tetapi tidak terdengar karena teriakannya kalah dengan teriakan histeris ibu-ibu yang melihat kebakaran.” Ayah mengelus kepalaku.

“Terus?”
“Dia lari ke sawah mencari air. Tetapi telat. Begitulah jadinya.’’
‘’Jadi, Banaspati yang Aku lihat itu orang itu ?’’
‘’Mungkin saja. ‘’

Kami berdua terdiam dalam lamunan kami masing-masing.
“Eh, ayo ke warung Mbak Ngat, yuk!”
“Ngapain, Yah?”
“Kamu mau Ayah belikan rujak.”

Aku memeluk Ayah. Kami berjalan beriringan menapaki jalanan yang retak menuju ke sana. Aku tersenyum.

Saat ini Aku senang sekali. Tetapi, aku juga sangat sedih. Senang karena bisa membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pendusta. Sedih karena kenyataannya Mbah Jarmi tewas bunuh diri.

Sama sekali tidak ku sangka. Orang sebaik Mbah Jarmi mengakhiri hidupnya dengan cara yang semua agama mengecamnya. Bunuh diri. Hanya karena jeratan ekonomi yang semakin menjepitnya dalam jeruji kesusahan. Apalagi dia hanya seorang pemulung yang hidup sebatang kara. Tidak bisa aku bayangkan betapa kasihannya dia.

Namun bagiku tetap, Mbah Jarmi tidak bunuh diri. Pembunuh sebenarnya adalah pemerintah yang terus menaikkan harga kebutuhan kami. Mbah Jarmi hanyalah korban dari ulah mereka.

Masalah Banaspati itu, biarlah. Biarlah ia hanya menjadi misteri yang selamanya takkan terkuak dalam hidupku. Lagi pula, aku tak tahu akan bagaimana seumpama benar-benar bertemu dengannya. Ku harap, selamanya aku takkan pernah melihatnya. []

Ket:
Banaspati : manusia setengah api dalam mitos masyarakat Jawa.
Awan stratus : lapisan awan tipis yang letaknya paling dekat dengan Bumi.
Gedhek : dinding kayu yang biasanya terbuat dari anyaman bambu.

*) Penulis adalah siswa kelas 9B sekaligus redaktur majalah sekolah “Pink Star” di SMPN 3 Peterongan.
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita