Vyan Taswirul Afkar
http://sastra-indonesia.com/
Langit belum terlalu gelap, Matahari masih menampakkan ujung kepalanya di cakrawala. Mega merah berjajar di ufuk barat kampungku. Burung-burung kelelahan belum sampai sarangnya. Bahkan, kelelawar hanya belasan yang sudah berterbangan di langit pasca senja. Tetapi di RT-ku ramai sekali. Bukan karena ada konser dangdut kawinan anak Pak Lurah seperti kemarin, melainkan salah satu rumah terbakar. Rumah itu adalah rumah Mbah Jarmi.
Para bapak berlarian membawa ember-ember berisi air yang digunakan untuk memadamkan api yang menjulurkan lidah-lidah keemasannya pada tiap bambu-bambu penyusun rumah Mbah Jarmi. Mas Hendi bahkan sampai melemparkan air sekaligus embernya. Tetapi tidak satupun orang yang menertawakannya. Karena semua yang ada di situ saat itu pasti meraskan hal yang serupa dengan Mas Hendi.
Ibu-ibu berteriak histeris hingga melupakan anak yang digendongnya. Aku yang melihatnya dari jauh masih bias merasakan panas menderu ke tubuhku. Abu berpijar dari bambu-bambu terbakar melayang-layang menerangi langit remang. Suara api itu mengingatkan aku pada waktu naik perahu di laut utara saat liburan semester satu dulu. Seperti angina yang berhembus ke arah telinga. Suara puing-puing jatuh terkadang juga terdengar menggaduhkan.
“Bima, mundur!”perintah Mas Hendi
“I-iya,”aku mundur tiga meter. Tetapi panas masih terasa.
Aku ditarik Ibu mundur lagi, hingga terlihat olehku sawah tebu di belakang rumah Mbah Jarmi.
“Bima, ajak adikmu pulang sana! Disini berbahaya.”titah Ibu
“Ibu tidak kembali?”
“Nanti, barengan sama Ayah. Cepatlah pulang!”
Dengan hati yang eman meninggalkan momen kebakaran seperti ini, aku terpaksa pulang menggandeng Tio,adikku.
“Mas, lewat jalan aja,” rengek Tio
“Nggak,ah kelamaan. Lewat sawah saja.”
“Takut , Mas,” ia mempererat pegangannya pada tanganku
“Mas gendong?”
“He’em.”
Tio merungkup erat di punggungku.
Baru tiga langkah berjalan ia menangis keras sambil semakin mengencangkan pegangannya, hampir mencekik leherku. Acuh tak acuh , aku terus berjalan menjauhi rumah Mbah Jarmi yang ada di belakangku.
“Mas!” teriaknya kencang
“Apa?”sentakku mulai jengkel
“I-itu apa?”
“Setan!” kataku menakuti.
“Aah, Mas!”
“Apa?”
“Itu,”
“Mana sih?”
“Itu lho”
Tio menunjuk ke belakang , tetapi matanya terpejam erat dan menempel di punggungku. Aku menoleh ke belakang.
“Se..,set..,setan!” Aku takut gemetaran, kakiku lemas ingin roboh tapi kutahan. Seseorang bertubuh api melolong kesakitan seperti serigala. Makhluk itu berteriak-teriak di tengah hamparan tebu.
Hatiku terus memerintahku lari, tetapi tak bisa.
“Yo, Tio!”
“Apa, Mas?”
“Mas takut, Yo”
“Aku, juga mas”
Tio lalu menangis lebih kencang karena ia baru saja sadar kalau yang dilihatnya tadi adalah kenyataan. Karena aku juga melihatnya.
Satu..Dua..Tiga. Lari! Aku berlari tunggang langgang dan terseok.
“Maas!Maas!” Tio terus berteriak.
Aku tidak memikirkannya. Aku tidak sempat memikirkannya. Atau, memang aku hanya berusaha menyelamatkan diriku sendiri.
Sesampainya di rumah, Aku mengunci rapat seluruh pintu dan jendela. Ayah dan Ibu belum pulang. Tio terus menangis ketakutan. Aku terengah-engah , keringat mengucur deras di pelipisku. Aku segera ke kamar, berbaring di atas kasur, dan menutup sekujur tubuh dengan selimut bersama Tio.
*
“Bima..!Bima..!” Seseorang memanggilku dari luar jendela. Suaranya sangat aku kenal, Ayahku.
“Iya, Yah. Sebentar!” Aku mengerjap lalu turun dari atas ranjang meninggalkan Tio yang sedang terlelap sendirian.
Aku membuka pintu, tampak Ayah dan Ibu dengan wajah lesu.
“Kenapa, Buk?” Tanyaku.
“Mbah Jarmi…,tewas!”
“Kebakar?”
“Nggak.”
“Lha terus kenapa?”
“Ibu tidak tega bercerita. Tanya Ayahmu saja.”
“Kenapa Yah?”
“Gantung diri,”
“Nggak mungkin! Mbah Jarmi itu orangnya baik, nggak mungkin dia melakukan hal seperti itu.”
“Kenyataanya?” Tanya Ibu
“Iya. Di rumahnya saja hanya ada uang tiga ribu. Kalau dibunuh, untuk apa coba?” Timpal Ayah
“Paling habis dibunuh uangnya dicuri. Nggak mungkin, pokoknya.”
“Uangnya tersimpan rapi di lemarinya,Nak. Lemarinya tidak terbakar.”
“Oh..” Aku menggeleng tak percaya
“Bima, cepat tidur! Besok kamu harus sekolah,” Pinta Ibu
“Baik, Buk. Selamat malam,”
Aku masih belum bisa tidur. Kulihat, bulan sudah berada tepat di atas atap rumahku. Air mataku menetes membasahi bantal. Aku ingin menangis terus-menerus mendengar kabar tentang Mbah Jarmi. Mbah Jarmi sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri sejak nenekku yang sebenarnya meninggal lima tahun lalu.
Pada saat ibu marah dan mengunciku dari dalam rumah, hanya ada satu tempat yang kutuju. Rumah Mbah Jarmi. Mbah Jarmi selalu membukakan rumahnya untukku. Terkadang aku juga tidur di rumahnya. Paling tidak, sampai Ibu memaafkanku.
Sekarang kudapati berita ini. Berita pahit. Tidak mungkin.
*
Langit cerah, awan stratus sedikit berserakan di langit timur. Sinar redup sang surya belum mampu melenyapkan butir-butir embun semalam. Aku duduk dikerubungi teman-temanku yang ingin mendengar pengalamanku semalam. Tapi bisa ditebak, mereka memasang mimic kecut setelah mendengarnya.
“Itu namanya Banaspati!” Kata Habib, satu-satunya anak yang percaya dan tidak bosan mendengar ceritaku meski sudah ku ulang berkali-kali.
“Banaspati?”
“Iya. Banaspati itu manusia setengah api. Biasanya makan anak kecil.”
“Masa’.”
“Aku belum pernah melihatnya, sih. Tapi semua orang tua di kampungku mengetahuinya.”
“Ooh..”
Sepulang sekolah aku menceritakan perihal Banaspati itu kepada orang tuaku. Awalnya mereka tidak percaya, namun berkat bantuan Tio mereka akhirnya Percaya juga.
“Dimana kau lihat Banaspati itu?” Tanya Ayah.
“Di belakang rumah Mbah Jarmi.”
“Ayo kita kesana!”
“Kenapa?”
“Ayah pingin tahu, kau berbohong atau tidak.”
*
Aku dan Ayah sampai di belakang rumah Mbah Jarmi. Oh, iya. Jasad Mbah Jarmi sudah dikebumikan saat aku masih di sekolah tadi. Tali tambang yang kata Ayah digunakan gantung diri oleh Mbah Jarmi masih terikat pada plavon rumahnya. Rumah bambu itu kini tinggallah puig-puing gosong berserakan.
“Ayo, kita cari.” Ajak Ayah
‘Misi dimulai.’ Bisikku dalam hati.
-Langkah Pertama (14.00)
Pertama, kami mengumpulkan benda-benda yang mencurigakan atau yang menurut kami tidak layak ada disana. Aku merasa lebih hebat dari Sherlock Holmes yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Lebih keren dari Sinichi Kudo dan Conan Edogawa yang biasanya ku lihat bersama Tio setiap minggunya.
Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah mengumpulkan barang-barang yang mencurigakan. Antara lain: sebilah celurit, korek api kayu, botol bensin kosong, dan lentera yang kacanya pecah karena terjatuh.
-Langkah ke Dua (14.15)
Sekarang saatnya kami menduga dari mana datangnya barang-barang ini. Aku duduk di tanah sambil menggambar rumah dengan lidi. Ayah lalu berdiri.
“Mula-mula celurit ini! Ini milik Mbah Jarmi.” Kata Ayah dengan yakin.
“Lho, tahu dari mana, Yah?”
“Nih, ada inisialnya” jawab Ayah sambil menunjuk tulisan “J” pada pangkal celurit.
“Hah? Kalau korek api nya?”
“Mmm…ini punya Lek Mat.” Jawab Ayah dengan mantap nya lagi.
Aku heran kali ini. Memang sih, rumah Lek Mat tepat berada di sebelah timur rumah Mbah Jarmi. Tapi kenapa harus Lek Mat? Kenapa bukan Lek Supar yang rumahnya tepat di sebelah barat?
“ Kok bisa?”
“Nih, ada tulisannya lagi, Matches.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal kali ini.
“Ayah, ayah. Matches itu Bahasa Inggris. Artinya korek api!”
“ya, maklum lah , Nak. Ayahmu ini kan, sekolah nggak sampai lulus SD.”
“Ayah tetap hebat kok. Kayak Jaka Tarub.”
“Jaka Tarub? Nggak. Begini-begini Ayahmu lebih hebat dari Jaka Tarub.”
“kok bisa?”
“Ayah bisa menjaga kesatuan keluarga. Sedangkan Jaka Tarub? Tidak, kan?”
“Ooh.”
“Yah, kalau botol ini milik siapa?”
“enggak mau , ah. Nanti kalau salah kamu ketawain, lagi. Tapi kalau lentera ini, Ayah tahu.
Ini milik pencari kodok yang biasanya mencari di sekitar sini itu lho.”
Kali ini aku percaya.
“Ayah memang hebat!”
Ayah tersenyum. Kami terduduk lelah di bawah pohon akasia yang berdaun jarang.
-Langkah ke Tiga (15.45)
Inilah langkah terakhir sekaligus tersulit bagiku. Membuat hipotesis. Karena jika salah bisa jadi fitnah. Bila benar pun pasti menimbulkan masalah. Ayah menyuruhku mengajukan hipotesis terlebih dahulu.
“Kalau hipotesis mu masuk akal, meskipun ngawur kamu akan Bapak belikan rujak kesukaanmu di warung Mbak Ngat.” Ayah berjanji.
“Ada seorang pemburu katak. Lha, pas saat dia mencari katak di sini, dia mendengar pekikan Mbah Jarmi. Dengan penasarannya pencari katak itu mengintip rumah Mbah Jarmi dari luar. Lalu sangat kaget ketika melihat Mbah Jarmi sedang di gantung orang. Sampai-sampai lenteranya jatuh, dan kebakar deh.” Aku tersenyum bangga “bagaimana, Yah? Masuk akal ,kan?”
“Nggak. Kamu masih membela Mbah Jarmi.”
“Maksudnya?”
“Tadi kamu bilang Mbah Jarmi di bunuh orang. Padahal sebenarnya kan , Mbah Jarmi bunuh diri.’’
Aku tertunduk malu. Aku merasa bersalah pada Ayah.
*
(Pukul 16.45)
Hari sudah sore. Sejak tadi Ayah telah mengajakku kembali. Tetapi aku selalu menolak. Karena aku ingin membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pembohong. Jadi, aku harus menemukan Banaspati itu. Atau paling tidak bekas dan jejaknya.
“Pulang, Nak. Sudah sore. Ibumu kasihan sendiri di rumah.”
“Nanti dulu, Yah. Pencariannya kan belum selesai.”
“Tidak usah dicari. Ayah percaya sama kamu.” Aku tak yakin dengan ucapan Ayah. Setahuku, itu hanya alasan Ayah agar kami bisa cepat pulang. Aku menggeleng.
“Ya sudah. Begini saja, di sebelah mana kamu melihat Banaspati itu?”
Oh, iya. Kenapa sama sekali tidak terpikirkan olehku.
Aku berlari menerjang persawahan tebu setinggi lututku. Ayah mengikutiku di belakang. Dia hanya berjalan saja.
Tiba-tiba aku terjatuh. Mataku kemasukkan debu. Aku memjamkan mata sesaat. Saat aku membuka mata, ku lihat sesuatu berwarna hitam tergeletak di depanku. Awalnya ku kira kayu bakar bekas petani membakar singkong. Tapi setelah ku amati benar-benar, itu manusia!
Tubuhnya hitam bak malam. Wajahnya tak lagi membentuk muka-muka manusia pada umumnya. Baju yang dipakainya ikut menggosong, mungkin karena api. Aku berteriak.
Ayah kaget. Lalu berlari ke arahku. Saat dia melihat melihat makhluk itu, dia langsung berlari. Aku ditinggalnya. Aku takut lalu berdiri mengikuti larinya entah ke mana.
Ayah terus berlari tanpa menghiraukanku. Saat berada di depan rumah Pak RT ia berbelok sambil berteriak-teriak. Pak RT kebingungan. Ayah pun menceritakan semua yang baru saja kami alami.
*
Usai dari rumah Pak RT kami langsung pulang. Namun saat melewati rumah Mbah Jarmi tadi sempat ku luhat ada beberapa polisi dan sebuah mobil ambulans di sana. Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Esoknya. Saat aku sedang duduk sendiri di teras rumah, Ayah mendekatiku dan duduk di sampingku.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Yah.” Aku terdiam, lalu bertanya “bagaimana mayat yang kemarin?”
“Oh, itu. Ternyata itu pencari katak.”
“Kok bisa sampai begitu, Yah?”
“Kata Pak Polisi, saat orang itu mencari katak, dia mendengar suara Mbah jarmi yang memkik. Mungkin karena penasaran atau apa, dia mengintip. Saat melihat Mbah jarmi menggantung tanpa tenaga, dia kaget. Sampai-sampai lenteranya jatuh. Minyak gas dari lentera itu menyirami tubuhnya sendiri dan juga gedhek rumah Mbah Jarmi.. karena minyak itu, tubuhnya dan gedhek itu terbakar. Api cepat membesar. Dia sudah berteriak tetapi tidak terdengar karena teriakannya kalah dengan teriakan histeris ibu-ibu yang melihat kebakaran.” Ayah mengelus kepalaku.
“Terus?”
“Dia lari ke sawah mencari air. Tetapi telat. Begitulah jadinya.’’
‘’Jadi, Banaspati yang Aku lihat itu orang itu ?’’
‘’Mungkin saja. ‘’
Kami berdua terdiam dalam lamunan kami masing-masing.
“Eh, ayo ke warung Mbak Ngat, yuk!”
“Ngapain, Yah?”
“Kamu mau Ayah belikan rujak.”
Aku memeluk Ayah. Kami berjalan beriringan menapaki jalanan yang retak menuju ke sana. Aku tersenyum.
Saat ini Aku senang sekali. Tetapi, aku juga sangat sedih. Senang karena bisa membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pendusta. Sedih karena kenyataannya Mbah Jarmi tewas bunuh diri.
Sama sekali tidak ku sangka. Orang sebaik Mbah Jarmi mengakhiri hidupnya dengan cara yang semua agama mengecamnya. Bunuh diri. Hanya karena jeratan ekonomi yang semakin menjepitnya dalam jeruji kesusahan. Apalagi dia hanya seorang pemulung yang hidup sebatang kara. Tidak bisa aku bayangkan betapa kasihannya dia.
Namun bagiku tetap, Mbah Jarmi tidak bunuh diri. Pembunuh sebenarnya adalah pemerintah yang terus menaikkan harga kebutuhan kami. Mbah Jarmi hanyalah korban dari ulah mereka.
Masalah Banaspati itu, biarlah. Biarlah ia hanya menjadi misteri yang selamanya takkan terkuak dalam hidupku. Lagi pula, aku tak tahu akan bagaimana seumpama benar-benar bertemu dengannya. Ku harap, selamanya aku takkan pernah melihatnya. []
Ket:
Banaspati : manusia setengah api dalam mitos masyarakat Jawa.
Awan stratus : lapisan awan tipis yang letaknya paling dekat dengan Bumi.
Gedhek : dinding kayu yang biasanya terbuat dari anyaman bambu.
*) Penulis adalah siswa kelas 9B sekaligus redaktur majalah sekolah “Pink Star” di SMPN 3 Peterongan.
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar