Korrie Layun Rampan
http://www.suarakarya-online.com/
Teluk Nyomit ditandai oleh tanjung yang tajam di arah kiri mudik setelah sungai membentuk teluk dari potongan sungai mati yang kemudian menciptakan Danau Nyomit. Entah nama ini dicomot dari mana dan bermakna apa, tak ada yang tahu. Tak ada juga yang ingin bertanya. Semua mulut akan menyebutnya Teluk Nyomit, yang ke arah daratannya membentuk sebuah kawasan berhutan belukar yang sekelilingnya merimbun pokok-pokok rotan jahab dan rotan sega milik Kepala Adat Roksobo.
Kepala adat sendiri tak berumah di situ. Karena ia merupakan kepala adat di sebuah kampung yang jauh di Daratan Temula. Ia hanya memiliki kawasan yang didapatnya dari ayahnya yang juga kepala adat. Pada zaman lampau seorang kepala adat setingkat akuwu (raja kecil) di suatu kawasan, memiliki luasan hutan yang berisi rotan, kayu, dan pohon tanyut sebagai tanda kekuasaan.
Pada suatu hari Kinas – tanpa ujung pangkal – berusaha menjelaskan istilah nyomit yang berarti kunyit.
“Mengapa?” aku bertanya saat kami sedang menderu melewati teluk ke arah rumah Laweq yang berada di bagian agak jauh di hulu teluk. Saat itu sedang musim panen rotan pelas, dan Laweq merupakan pengumpul rotan yang dibelinya dari para pekerja yang mengambilnya dari hutan-hutan dataran redah di kawasan itu. Aku dan kakakku Tingawalo memgambil upah mengangkut rotan-rotan itu ke ibu kota kecamatan, kebetulan bersamaan dengan liburan sekolah, dan aku serta kakakku merasa mendapatkan durian runtuh dengan upah sewa yang kami terima. Dengan menyewa kapal Madon di Damai, kami berdua mendapat bayaran dua kali lipat dari penyewaan kapal, setelah dipotong pembelian bahan bakar dan upah kuli angkut. Kinas merupakan juragan yang merangkap masinis, sehingga aku dan kakakku hanya berleha-leha di sepanjang perjalanan kapal sehari penuh, dan sesudahnya mendapat pembayaran tinggi.
“Kau tahu kan, Mo, kunyit itu berwarna kuning?” Kinas menjelaskan untuk meyakinkan aku. “Di zaman raja-raja masa lampau, di rantau itu berdiri sebuah lou yang panjangnya lima ratus meter,” Kinas memotong kalimatnya, karena dikejutkan tunggul kayu yang menggepak lunas kapal. Ia segera membanting stir ke kiri, dan kapal terlepas dari sodokan tunggul kayu bencahaaq yang tajam.
“Apa hubungan lou dengan warna kuning?” aku merasa tertarik dengan kisah Kinas.
“Lou itu dibangun pada rantau yang panjang, sebelum sungai terpotong karena tanjung yang putus,” Kinas dengan antusias menjelaskan. “Waktu itu belum ada teluk. Suatu ketika lou diserang tentara Negeri Kepa yang menggunakan pakaian perang berwarna kuning. Seluruh wilayah itu kuning merata. Warga lou yang melihat warna itu saling berteriak, ‘Jomit! Jomit! Jomit!’ yang artinya kunyit sebagai konotasi warna kuning! Pasukan musuh menyangka warga lou sudah menyerah dengan menyebut, “Pamit! Pamit! Pamit!”
“Lalu?”
“Tentara Negeri Kepa serentak meninggalkan senjata, meletakkannya di tanah, dan segera menjarah isi lou. Saat itu, warga yang siap dengan tombak, keris berbisa, jembia, dan sumpitan berdamak racun mematikan mengambil-alih penyerangan. Musuh yang lengah dengan mudah ditaklukkan, dan mayat-mayat pun bergelimpangan di sembarang tempat dengan uniform kuning merata. Sejak itu nama ‘jomit’ melekat di lidah warga, dan nama itu lama-kelamaan berubah lafal menjadi ‘nyomit’ yang diucapkan seperti lafal lidah orang pelo.”
Entah cerita Kinas itu benar atau hanya isapan jempol, namun aku mendapat bahan baru untuk kutuliskan sebuah dongeng yang nanti akan kujual sebagai naskah inpres. Kata ibu, di zaman lampau, penulisan buku-buku inpres membuat rekan-rekannya guru SD mampu membeli rumah dan sepeda motor, jika naskah inpres itu lolos menjadi bacaan di seluruh sekolah dasar di Indonesia. Rumah itu dapat mereka pakai sebagai tempat berteduh dan sepeda motor digunakan sebagai sarana transportasi mengajar. Sebab, dengan mengandalkan gaji guru, bahkan hingga pensiunan pun tak akan mampu membeli rumah dan sepeda motor, karena untuk makan sehari-hari saja tak pernah cukup. Kuharap dongeng Teluk Nyomit dapat kukembangkan menjadi sebuah bacaan yang memikat dan enak dibaca, meskipun aku nanti mungkin saja tidak akan menjadi guru seperti ibu.
Tapi itu juga ide yang konyol. Kapankah aku mampu menulis cerita? SMA saja baru kelas tiga, dan belum sepotong kalimat pun yang telah aku goreskan di atas kertas. Namun dorongan ibu atas berbagai bacaan, apakah nanti aku bukan hanya bermimpi, tapi dapat mewujudkan cita-citaku menjadi pengarang.
Aku tersenyum sendiri mengingat diriku rasanya telah menjadi pengarang ternama! Pantatku akan terasa gatal dan ketiakku akan seperti digelitiki jari bayi karena aku mabuk sanjungan disebabkan telah berhasil menulis sebuah buku bacaan tingkat sekolah dasar untuk inpres!
Namun lamunan dan kenyataan taklah selalu berjalan seiring. Hanya tiga rit, kami dapat mengangkut dengan mulus, pada rit keempat, kapal membentur tunggul kayu yang baru muncul karena air surut hingga pasir pantai melandai sampai ke tengah sungai. Kinas terlalu banyak mengambil ke arah kiri, menghindari tanjung pasir yang menjorok ke arah gosong di tepi, sehingga tunggul kayu Teluk Nyomit menyabit lunas kapal yang sarat muatan. Papan kayu di dasar lunas ambrol, dan air menyeruak ke dalam kapal membuat kapal sedikit demi sedikit menjadi karam.
Semua rencana seperti sebuah kiamat.
Bertiga kami berkutat menyelamatkan kapal dan muatan rotan. Namun nasib memang lagi apes, kapal tetap nyangsang di tunggul kayu dan makin lama makin tenggelam karena tekanan lima ton rotan yang kami bawa. Tak ada jalan lain, Kinas bersama kakakku harus segera meminta bantuan Laweq dan para pekerja rotan untuk mengangkat pak-pak rotan yang meringkuk basah di dalam palka lunas kapal.
Sementara menunggu bantuan datang, aku naik ke arah tebing sungai. Tak terlalu kuperhatikan, ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah. Ke arah barat rumah terdapat pohon tanyut berupa puti, itir, dan rengas yang di beberapa dahannya sedang digayuti madu. Di sekeliling rumah itu terdapat kebun kerwila yang buahnya menjuntai dari pohon-pohon entoq karena akar-akar kerwila itu memanjat hingga pepohonan tinggi. Ke arah timurnya terdapat kebun tebu, dan di arah dekat turunan jamban sungai terdapat kayu penggolongan tebu berikut kawah raksasa pemasak gula. Kawah itu masih berkukus dengan api yang mulai redup karena ujung kayu bakarnya mulai memendek.
Ingin kutahu siapa pemilik rumah itu. Kuucapkan salam. Wajah yang muncul di depan pintu rumah panggung itu adalah wajah seorang wanita.
Gadis sebenarnya.
“Boleh aku naik?” aku berbasa-basi.
“Silakan,” suaranya begitu lembut.
“Anda yang punya kapal mogok di teluk?” suara gadis itu bertanya.
“Bukan mogok. Tapi karam karena menabrak tunggul kayu!”
“Karam?”
“Kakakku bersama Kinas sedang mencari bala-bantuan.”
“Anda bukan orang sini?”
“Saya dari kampung seberang. Baru vakansi, dan saya gunakan untuk mengambil upah menghanyutkan rotan. Anda sendiri orang sini?”
“Saya dari Temula. Cicit Kepala Adat Roksobo.”
“Jadi Anda turunan pemilik kawasan ini?”
“Saya lagi liburan.”
“Sekolah di mana?”
“SMA di Melak. Anda? Sekolah di mana?”
“Juga SMA, di Samarinda.”
* * *
Hampir habis keuntungan tiga rit untuk biaya mengangkut dan mengeringkan rotan yang basah. Lain lagi biaya menambal papan kayu lunas kapal yang rengkah. Namun kurasa kerugian itu tak jadi apa karena aku dapat mengenal Buamamih. Gadis SMA Melak itu rasaku tak akan mengecewakan, bukan hanya wajahnya yang jelita, ia juga turunan ningrat yang memiliki berhektar-hektar kebun rotan dan puluhan pohon tanyut yang selalu digelantungi madu. Lebih dari itu, Buamamih tak mengecewakanku dengan cinta, karena setelah pengeringan rotan dan penambalan selesai dikerjakan, aku masih sempat mengunjungi gadis itu sebelum aku pulang ke Samarinda.
Kurasakan debaran dadaku saat aku hanya berduaan dengan Buamamih. Dengan keberanian pemuda kelas tiga SMA, kuikrarkan bahwa aku akan datang lagi mengunnjunginya di Teluk Nyomit, jika aku sudah lulus dari perguruan tinggi.
“Tak hanya datang biasa,” bunyi suaraku kubuat seperti pemain tonil di televisi. “Tapi aku datang untuk melamar dan memboyong Buamamih.”
Senyum itu dalam mataku lebih manis dari air gula tebu yang digodoknya di dalam kuali raksasa.
“Pemuda kota kadang tak bisa dipercaya,” suaranya tulus tak dibuat-buat. “Berjanji karena ada keinginan hati.”
“Puutnmo memang menyimpan keinginan yang hendak direalisasi,” aku berkata seperti intonasi tokoh pahlawan kebangsaan. “Untuk menjadikan Buahmamih istri!”
“Tapi kalau Puutnmo justru nanti memboyong istri bukan Buamamih?”
“Nama dan tubuhmu hanya satu, Bua. Mo juga satu. Yang satu itu kita jadikan dua yang satu,” suaraku bagaikan aksen dialog pentas tonil kocak Moliere.
“Mo hanya ingin bergagah pemuda kota atau memang siap sedia?” suaranya juga bagaikan aksen lakon melodramatis opera sabun. “Jangan aku mati kutu di tengah kutu hutan yang merayap ke seantero kehidupan.”
“Kita diuji waktu dan kesetiaan, Bua. Ingin kutemukan kau di sini seperti ini jika aku sudah membawa lembaran ijazah dan uang hasil kerja. Kita bangun rumah sederhana yang diisi oleh cinta.”
“Berkata mudah tapi kenyataan? Bua akan menunggu kenyataan, Mo.”
Itu kata-kata yang kami ucapkan terakhir, saat aku segera ambil pengayuh dan mendayung sampan ke arah hilir menuju kota kecamatan, dan seterusnya menuju Samarinda dengan menumpang kapal dagang milik Boen Liem Hie yang penuh muatan rotan dan damar.
Karena aku mendapat PMDK dan hasil ujianku sangat memuaskan, aku segera mengambil kopor kayu, memasukkan barang-barangku ke dalamnya, dan terus berangkat kuliah di Yogyakarta. Lima tahun aku berkutat dengan pelajaran dan lima tahun lagi aku berkutat dengan pekerjaanku di Jakarta, baru aku punya waktu menepati janjiku dengan Buamamih.
Kurasa tak akan mengecewakan kedatanganku, sebab, selain ijazah, aku juga membawa lamaran dan kemudian akan kuboyong istriku itu ke rumah BTN-ku di salah satu pinggiran kota Jakarta. Dengan usiaku yang dua puluh tujuh – juga Buamamih sama-sama dua tujuh – kami dapat memulai hidup baru dengan apa yang telah kusiapkan. Adakah ia juga sarjana? Ia dapat menggunakan ilmunya dengan mengambil pekerjaan yang disukainya.
Di dalam pesawat dari Jakarta menuju Balikpapan dan di dalam speed-boat yang membawaku menuju Teluk Nyomit, kureka-reka kata-kata pertama yang akan aku ucapkan pada Buamamih. Jika saja aku penyair atau sastrawan, akan kukarang kata-kata indah semanis gula yang likat di lidah. Tapi aku hanya sarjana ilmu pemerintahan, yang kutahu kebanyakan hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan, kalimat undang-undang, dan berbagai perda serta perpu. Selebihnya aku memang harus membenamkan cita-citaku menjadi penulis dongeng, sebab tak sebaris pun kata-kata dongeng yang pernah kutimbulkan di layar komputer.
Saat aku tiba di Teluk Nyomit, mataku hampir pangling. Tak ada lagi suasana yang kulihat saat lampau, karena kawasan hutan berotan dahulu telah rusak dan terlantar mengenaskan. Ladang huma dengan kebun serta akar-akar kerwila rupanya telah lama musnah, diganti dengan pohon-pohon karet yang tampak compang-camping merana tak terurus. Ke arah jauh terdapat jalur-jalur jalan alat-alat berat dan di bagian lain tampak berdiri sejumlah bivak yang sepi tanpa penghuni.
Hanya rumah Buamamih masih juga ada di situ, meskipun tampak ringkih. Mirip wanita tua yang pikun dan kurapan.
“Buamamih ada?” aku bertanya kepada lelaki muda, mungkin adiknya.
“Anda siapa?” suara pemuda itu tak menjawab tanyaku.
“Aku Puutnmo, ingin bertemu dengan Buamamih.”
“Kau yang berjanji akan menikahi Buamamih?”
“Ya,” aku berkata dengan gagah. Lelaki lain, agak tua, beringsut duduk agak ke tengah. “Aku ingin segera bertemu dengan Bua, melamarnya, menikahinya, dan sekaligus memboyongnya ke Jakarta.”
“Menyenangkan sekali, Nak Mo. Aku ayah Bua. Sayang Anak sudah terlambat.”
“Terlambat? Terlambat bagaimana? Bua sudah menikah?”
“Belum,” lelaki tua itu menjawab singkat.
“Jadi maksud Bapak terlambat? Dalam hal apa?”
“Anak lihat kawasan ini. Lima tahun lalu di kawasan ini dimasuki onderneming karet. Dengan pongah pemilik onderneming menjarah kawasan kami karena mereka telah mendapat izin penanaman karet seluas tiga ratus ribu hektar. Kawasan ini habis tercaplok. Tak ada lagi milik kami!”
“Lalu?”
“Buamamih melawan. Karena hanya ia yang mampu melawan. Karena hanya dia yang berpendidikan sarjana di sini. Tapi, karena melawan konglomerat saat itu sama dengan melawan penguasa. Ia dijebloskan ke dalam penjara!”
“Dihukum penjara?”
“Belum dihukum, sebenarnya. Masih ditahan. Tapi akhirnya ia dijatuhi hukuman, bukan karena melawan penguasa onderneming, tapi karena pembunuhan!”
“Pembunuhan? Buamamih membunuh siapa?”
“Pemerkosanya, Nak Mo!”
“Pemerkosa? Siapa yang memperkosa Bua?”
“Petugas!”
“Petugas?!”
“Ibunya meninggal dunia karena serangan jantung melihat anaknya digiring petugas ke balik terali besi. Sementara hutan di sini rusak dan terlantar, mirip kerusakan lahan sejuta hektar, karena semua warga yang tanahnya dicaplok begitu saja tak ada yang mau diberi ganti rugi yang tak pantas dan tak memadai. Bukan hanya rotan, pohon tanyut, dan kebun buahan-buahan yang mati, istriku pun ikut mati!” suara ayah Bua terdengar nelangsa.
Saat kutemui Buamamih di penjara wanita, kulihat wajahnya sangat lusuh. Kecantikannya telah berubah menjadi rupa wajah yang tua, karena derita. Tujuh tahun putusan yang cukup memberatkan karena dianggap pembunuhan berencana. Tapi mengenai pemerkosaannya sendiri? Siapa yang dituntut karena pemerkosa itu telah mati di tangan Bua sendiri?
“Aku telah kem bali, Buamamih,” suaraku kutekan dengan nada yang jauh dari irama sedih. “Sesuai janjiku di Teluk Nyomit. Tapi kau tak kutemukan di sana. Tak apa kutemui di sini. Sekarang lamaran kuteruskan seperti kata-kata kita dulu!”
Kulihat wajahnya menegang.
“Kata-kata itu sudah berlalu, Mo.”
“Berlalu?”
“Aku dipenjara! Hutan rusak. Ibuku mati. Masa depanku sudah pergi!”
“Tapi usiamu baru dua tujuh, seperti aku. Masih muda. Kita mulai lagi dari awal!”
“Bagiku semuanya dimulai dari akhir karena masa depanku sudah berakhir!”
“Kau jangan berputus asa begitu,” suaraku seperti merayu melunakkan. “Aku akan mendampingimu.”
“Terima kasih. Kaudampingi wanita lain saja. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan. Perhitungan terakhir.”
“Perhitungan apa?”
“Pemerkosaku sudah mati. Tapi pemilik onderneming masih hidup. Sebebas aku dari sini aku akan membunuhnya mati!”
“Itu pekerjaan orang putus asa, Bua. Jangan kau habiskan hidupmu hanya untuk sesuatu yang tak berguna. Kau masih punya masa depan.”
“Masa depan? Kataku masa depanku sudah berakhir. Ingin kupersembahkan kesucianku untuk suamiku, tapi kesucian itu direnggut orang biadab. Itu semua akibat perbuatan konglomerat yang mencaplok hutan dan tanah kami!”
“Tapi aku tetap menganggap kau suci, Bua.”
“Anggapan tak sama dengan kenyataan.”
“Tapi aku tetap ingin menikah dengan kau.”
“Carilah gadis perawan.”
“Tapi aku tetap ingin menikah denganmu. Bua lebih dari perawan.”
“Aku tak mau. Tak sudi!”
“Tapi aku akan tabah menantimu ke luar dari sini. Kita akan bangun hidup bahagia di Jakarta.”
“Tidak!”
“Tapi aku tetap ingin kau mau menikah denganku.”
“Tidak! Aku tak ingin!”
“Kita bisa berbahagia, Bua.”
“Berbahagialah dengan gadis lain.”
“Aku ingin berbahagia dengan Bua.”
“Tak mungkin!”
“Jadi kau tetap tak mau menikah dengan aku?”
“Ya!”
“Tetap tidak?”
“Menikah di luar kesucian itu dosa!”
Mataku hampir berkunang-kunang. Sebuah siluet Teluk Nyomit dan derita panjang kekasihku karena ketamakan nafsu manusia. Dalam mataku yang berkunang-kunang tampak kerusakan hutan dan tanah dan kerusakan akhlak manusia merajalela di mana-mana. termasuk kerusakan akhlakku sendiri yang dengan rakus dan tega-teganya melakukan korupsi uang negara dengan tujuan mengayakan dan membahagiakan diriku sendiri dan istriku Buamamih jika kami telah menikah dan membangun kehidupan berumah tangga di Jakarta.
Dadaku tiba-tiba menggigil tersentak berdebar kencang, sementara mataku terus berkunang-kunang. Aku rasa aku benar-benar tidak siap jika harus dibuang ke dalam neraka penjara seperti Buamamih. Bagaimana caranya aku bisa ciptakan alibi korupsi? ***
Catatan:
rotan jahab dan rotan sega = dua jenis rotan bermutu tinggi dan mahal harganya.
tanyut = pohon yang dipelihara tempat madu bersarang.
bencahaaq = salah satu jenis kayu yang tumbuh di tepi sungai dan danau; buahnya jadi makanan ikan.
rotan pelas = salah sati jenis rotan yang mahal harganya;
jembia = keris kecil dan pendek.
lou = rumah panjang orang Dayak; sama dengan kampung dan rumah adat.
puti, itir = dua jenis pohon tanyut.
entoq = kayu sejenis jati belanda.
penggolongan tebu = kayu gelondong yang dijadikan sarana pemeras air tebu.
lahan sejuta hektar = pembukaan areal sawah yang gagal di Kalimantan Tengah, di zaman Orde Baru.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar