26/12/10

Korupsi

Korrie Layun Rampan
http://www.suarakarya-online.com/

Teluk Nyomit ditandai oleh tanjung yang tajam di arah kiri mudik setelah sungai membentuk teluk dari potongan sungai mati yang kemudian menciptakan Danau Nyomit. Entah nama ini dicomot dari mana dan bermakna apa, tak ada yang tahu. Tak ada juga yang ingin bertanya. Semua mulut akan menyebutnya Teluk Nyomit, yang ke arah daratannya membentuk sebuah kawasan berhutan belukar yang sekelilingnya merimbun pokok-pokok rotan jahab dan rotan sega milik Kepala Adat Roksobo.

Kepala adat sendiri tak berumah di situ. Karena ia merupakan kepala adat di sebuah kampung yang jauh di Daratan Temula. Ia hanya memiliki kawasan yang didapatnya dari ayahnya yang juga kepala adat. Pada zaman lampau seorang kepala adat setingkat akuwu (raja kecil) di suatu kawasan, memiliki luasan hutan yang berisi rotan, kayu, dan pohon tanyut sebagai tanda kekuasaan.

Pada suatu hari Kinas – tanpa ujung pangkal – berusaha menjelaskan istilah nyomit yang berarti kunyit.

“Mengapa?” aku bertanya saat kami sedang menderu melewati teluk ke arah rumah Laweq yang berada di bagian agak jauh di hulu teluk. Saat itu sedang musim panen rotan pelas, dan Laweq merupakan pengumpul rotan yang dibelinya dari para pekerja yang mengambilnya dari hutan-hutan dataran redah di kawasan itu. Aku dan kakakku Tingawalo memgambil upah mengangkut rotan-rotan itu ke ibu kota kecamatan, kebetulan bersamaan dengan liburan sekolah, dan aku serta kakakku merasa mendapatkan durian runtuh dengan upah sewa yang kami terima. Dengan menyewa kapal Madon di Damai, kami berdua mendapat bayaran dua kali lipat dari penyewaan kapal, setelah dipotong pembelian bahan bakar dan upah kuli angkut. Kinas merupakan juragan yang merangkap masinis, sehingga aku dan kakakku hanya berleha-leha di sepanjang perjalanan kapal sehari penuh, dan sesudahnya mendapat pembayaran tinggi.

“Kau tahu kan, Mo, kunyit itu berwarna kuning?” Kinas menjelaskan untuk meyakinkan aku. “Di zaman raja-raja masa lampau, di rantau itu berdiri sebuah lou yang panjangnya lima ratus meter,” Kinas memotong kalimatnya, karena dikejutkan tunggul kayu yang menggepak lunas kapal. Ia segera membanting stir ke kiri, dan kapal terlepas dari sodokan tunggul kayu bencahaaq yang tajam.

“Apa hubungan lou dengan warna kuning?” aku merasa tertarik dengan kisah Kinas.
“Lou itu dibangun pada rantau yang panjang, sebelum sungai terpotong karena tanjung yang putus,” Kinas dengan antusias menjelaskan. “Waktu itu belum ada teluk. Suatu ketika lou diserang tentara Negeri Kepa yang menggunakan pakaian perang berwarna kuning. Seluruh wilayah itu kuning merata. Warga lou yang melihat warna itu saling berteriak, ‘Jomit! Jomit! Jomit!’ yang artinya kunyit sebagai konotasi warna kuning! Pasukan musuh menyangka warga lou sudah menyerah dengan menyebut, “Pamit! Pamit! Pamit!”

“Lalu?”
“Tentara Negeri Kepa serentak meninggalkan senjata, meletakkannya di tanah, dan segera menjarah isi lou. Saat itu, warga yang siap dengan tombak, keris berbisa, jembia, dan sumpitan berdamak racun mematikan mengambil-alih penyerangan. Musuh yang lengah dengan mudah ditaklukkan, dan mayat-mayat pun bergelimpangan di sembarang tempat dengan uniform kuning merata. Sejak itu nama ‘jomit’ melekat di lidah warga, dan nama itu lama-kelamaan berubah lafal menjadi ‘nyomit’ yang diucapkan seperti lafal lidah orang pelo.”

Entah cerita Kinas itu benar atau hanya isapan jempol, namun aku mendapat bahan baru untuk kutuliskan sebuah dongeng yang nanti akan kujual sebagai naskah inpres. Kata ibu, di zaman lampau, penulisan buku-buku inpres membuat rekan-rekannya guru SD mampu membeli rumah dan sepeda motor, jika naskah inpres itu lolos menjadi bacaan di seluruh sekolah dasar di Indonesia. Rumah itu dapat mereka pakai sebagai tempat berteduh dan sepeda motor digunakan sebagai sarana transportasi mengajar. Sebab, dengan mengandalkan gaji guru, bahkan hingga pensiunan pun tak akan mampu membeli rumah dan sepeda motor, karena untuk makan sehari-hari saja tak pernah cukup. Kuharap dongeng Teluk Nyomit dapat kukembangkan menjadi sebuah bacaan yang memikat dan enak dibaca, meskipun aku nanti mungkin saja tidak akan menjadi guru seperti ibu.

Tapi itu juga ide yang konyol. Kapankah aku mampu menulis cerita? SMA saja baru kelas tiga, dan belum sepotong kalimat pun yang telah aku goreskan di atas kertas. Namun dorongan ibu atas berbagai bacaan, apakah nanti aku bukan hanya bermimpi, tapi dapat mewujudkan cita-citaku menjadi pengarang.

Aku tersenyum sendiri mengingat diriku rasanya telah menjadi pengarang ternama! Pantatku akan terasa gatal dan ketiakku akan seperti digelitiki jari bayi karena aku mabuk sanjungan disebabkan telah berhasil menulis sebuah buku bacaan tingkat sekolah dasar untuk inpres!

Namun lamunan dan kenyataan taklah selalu berjalan seiring. Hanya tiga rit, kami dapat mengangkut dengan mulus, pada rit keempat, kapal membentur tunggul kayu yang baru muncul karena air surut hingga pasir pantai melandai sampai ke tengah sungai. Kinas terlalu banyak mengambil ke arah kiri, menghindari tanjung pasir yang menjorok ke arah gosong di tepi, sehingga tunggul kayu Teluk Nyomit menyabit lunas kapal yang sarat muatan. Papan kayu di dasar lunas ambrol, dan air menyeruak ke dalam kapal membuat kapal sedikit demi sedikit menjadi karam.

Semua rencana seperti sebuah kiamat.

Bertiga kami berkutat menyelamatkan kapal dan muatan rotan. Namun nasib memang lagi apes, kapal tetap nyangsang di tunggul kayu dan makin lama makin tenggelam karena tekanan lima ton rotan yang kami bawa. Tak ada jalan lain, Kinas bersama kakakku harus segera meminta bantuan Laweq dan para pekerja rotan untuk mengangkat pak-pak rotan yang meringkuk basah di dalam palka lunas kapal.

Sementara menunggu bantuan datang, aku naik ke arah tebing sungai. Tak terlalu kuperhatikan, ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah. Ke arah barat rumah terdapat pohon tanyut berupa puti, itir, dan rengas yang di beberapa dahannya sedang digayuti madu. Di sekeliling rumah itu terdapat kebun kerwila yang buahnya menjuntai dari pohon-pohon entoq karena akar-akar kerwila itu memanjat hingga pepohonan tinggi. Ke arah timurnya terdapat kebun tebu, dan di arah dekat turunan jamban sungai terdapat kayu penggolongan tebu berikut kawah raksasa pemasak gula. Kawah itu masih berkukus dengan api yang mulai redup karena ujung kayu bakarnya mulai memendek.

Ingin kutahu siapa pemilik rumah itu. Kuucapkan salam. Wajah yang muncul di depan pintu rumah panggung itu adalah wajah seorang wanita.
Gadis sebenarnya.
“Boleh aku naik?” aku berbasa-basi.
“Silakan,” suaranya begitu lembut.
“Anda yang punya kapal mogok di teluk?” suara gadis itu bertanya.
“Bukan mogok. Tapi karam karena menabrak tunggul kayu!”
“Karam?”
“Kakakku bersama Kinas sedang mencari bala-bantuan.”
“Anda bukan orang sini?”

“Saya dari kampung seberang. Baru vakansi, dan saya gunakan untuk mengambil upah menghanyutkan rotan. Anda sendiri orang sini?”
“Saya dari Temula. Cicit Kepala Adat Roksobo.”
“Jadi Anda turunan pemilik kawasan ini?”
“Saya lagi liburan.”
“Sekolah di mana?”
“SMA di Melak. Anda? Sekolah di mana?”
“Juga SMA, di Samarinda.”

* * *

Hampir habis keuntungan tiga rit untuk biaya mengangkut dan mengeringkan rotan yang basah. Lain lagi biaya menambal papan kayu lunas kapal yang rengkah. Namun kurasa kerugian itu tak jadi apa karena aku dapat mengenal Buamamih. Gadis SMA Melak itu rasaku tak akan mengecewakan, bukan hanya wajahnya yang jelita, ia juga turunan ningrat yang memiliki berhektar-hektar kebun rotan dan puluhan pohon tanyut yang selalu digelantungi madu. Lebih dari itu, Buamamih tak mengecewakanku dengan cinta, karena setelah pengeringan rotan dan penambalan selesai dikerjakan, aku masih sempat mengunjungi gadis itu sebelum aku pulang ke Samarinda.

Kurasakan debaran dadaku saat aku hanya berduaan dengan Buamamih. Dengan keberanian pemuda kelas tiga SMA, kuikrarkan bahwa aku akan datang lagi mengunnjunginya di Teluk Nyomit, jika aku sudah lulus dari perguruan tinggi.

“Tak hanya datang biasa,” bunyi suaraku kubuat seperti pemain tonil di televisi. “Tapi aku datang untuk melamar dan memboyong Buamamih.”

Senyum itu dalam mataku lebih manis dari air gula tebu yang digodoknya di dalam kuali raksasa.

“Pemuda kota kadang tak bisa dipercaya,” suaranya tulus tak dibuat-buat. “Berjanji karena ada keinginan hati.”

“Puutnmo memang menyimpan keinginan yang hendak direalisasi,” aku berkata seperti intonasi tokoh pahlawan kebangsaan. “Untuk menjadikan Buahmamih istri!”

“Tapi kalau Puutnmo justru nanti memboyong istri bukan Buamamih?”

“Nama dan tubuhmu hanya satu, Bua. Mo juga satu. Yang satu itu kita jadikan dua yang satu,” suaraku bagaikan aksen dialog pentas tonil kocak Moliere.

“Mo hanya ingin bergagah pemuda kota atau memang siap sedia?” suaranya juga bagaikan aksen lakon melodramatis opera sabun. “Jangan aku mati kutu di tengah kutu hutan yang merayap ke seantero kehidupan.”

“Kita diuji waktu dan kesetiaan, Bua. Ingin kutemukan kau di sini seperti ini jika aku sudah membawa lembaran ijazah dan uang hasil kerja. Kita bangun rumah sederhana yang diisi oleh cinta.”

“Berkata mudah tapi kenyataan? Bua akan menunggu kenyataan, Mo.”

Itu kata-kata yang kami ucapkan terakhir, saat aku segera ambil pengayuh dan mendayung sampan ke arah hilir menuju kota kecamatan, dan seterusnya menuju Samarinda dengan menumpang kapal dagang milik Boen Liem Hie yang penuh muatan rotan dan damar.

Karena aku mendapat PMDK dan hasil ujianku sangat memuaskan, aku segera mengambil kopor kayu, memasukkan barang-barangku ke dalamnya, dan terus berangkat kuliah di Yogyakarta. Lima tahun aku berkutat dengan pelajaran dan lima tahun lagi aku berkutat dengan pekerjaanku di Jakarta, baru aku punya waktu menepati janjiku dengan Buamamih.

Kurasa tak akan mengecewakan kedatanganku, sebab, selain ijazah, aku juga membawa lamaran dan kemudian akan kuboyong istriku itu ke rumah BTN-ku di salah satu pinggiran kota Jakarta. Dengan usiaku yang dua puluh tujuh – juga Buamamih sama-sama dua tujuh – kami dapat memulai hidup baru dengan apa yang telah kusiapkan. Adakah ia juga sarjana? Ia dapat menggunakan ilmunya dengan mengambil pekerjaan yang disukainya.

Di dalam pesawat dari Jakarta menuju Balikpapan dan di dalam speed-boat yang membawaku menuju Teluk Nyomit, kureka-reka kata-kata pertama yang akan aku ucapkan pada Buamamih. Jika saja aku penyair atau sastrawan, akan kukarang kata-kata indah semanis gula yang likat di lidah. Tapi aku hanya sarjana ilmu pemerintahan, yang kutahu kebanyakan hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan, kalimat undang-undang, dan berbagai perda serta perpu. Selebihnya aku memang harus membenamkan cita-citaku menjadi penulis dongeng, sebab tak sebaris pun kata-kata dongeng yang pernah kutimbulkan di layar komputer.

Saat aku tiba di Teluk Nyomit, mataku hampir pangling. Tak ada lagi suasana yang kulihat saat lampau, karena kawasan hutan berotan dahulu telah rusak dan terlantar mengenaskan. Ladang huma dengan kebun serta akar-akar kerwila rupanya telah lama musnah, diganti dengan pohon-pohon karet yang tampak compang-camping merana tak terurus. Ke arah jauh terdapat jalur-jalur jalan alat-alat berat dan di bagian lain tampak berdiri sejumlah bivak yang sepi tanpa penghuni.

Hanya rumah Buamamih masih juga ada di situ, meskipun tampak ringkih. Mirip wanita tua yang pikun dan kurapan.

“Buamamih ada?” aku bertanya kepada lelaki muda, mungkin adiknya.
“Anda siapa?” suara pemuda itu tak menjawab tanyaku.
“Aku Puutnmo, ingin bertemu dengan Buamamih.”
“Kau yang berjanji akan menikahi Buamamih?”

“Ya,” aku berkata dengan gagah. Lelaki lain, agak tua, beringsut duduk agak ke tengah. “Aku ingin segera bertemu dengan Bua, melamarnya, menikahinya, dan sekaligus memboyongnya ke Jakarta.”

“Menyenangkan sekali, Nak Mo. Aku ayah Bua. Sayang Anak sudah terlambat.”
“Terlambat? Terlambat bagaimana? Bua sudah menikah?”
“Belum,” lelaki tua itu menjawab singkat.
“Jadi maksud Bapak terlambat? Dalam hal apa?”
“Anak lihat kawasan ini. Lima tahun lalu di kawasan ini dimasuki onderneming karet. Dengan pongah pemilik onderneming menjarah kawasan kami karena mereka telah mendapat izin penanaman karet seluas tiga ratus ribu hektar. Kawasan ini habis tercaplok. Tak ada lagi milik kami!”
“Lalu?”

“Buamamih melawan. Karena hanya ia yang mampu melawan. Karena hanya dia yang berpendidikan sarjana di sini. Tapi, karena melawan konglomerat saat itu sama dengan melawan penguasa. Ia dijebloskan ke dalam penjara!”

“Dihukum penjara?”
“Belum dihukum, sebenarnya. Masih ditahan. Tapi akhirnya ia dijatuhi hukuman, bukan karena melawan penguasa onderneming, tapi karena pembunuhan!”
“Pembunuhan? Buamamih membunuh siapa?”
“Pemerkosanya, Nak Mo!”
“Pemerkosa? Siapa yang memperkosa Bua?”
“Petugas!”
“Petugas?!”

“Ibunya meninggal dunia karena serangan jantung melihat anaknya digiring petugas ke balik terali besi. Sementara hutan di sini rusak dan terlantar, mirip kerusakan lahan sejuta hektar, karena semua warga yang tanahnya dicaplok begitu saja tak ada yang mau diberi ganti rugi yang tak pantas dan tak memadai. Bukan hanya rotan, pohon tanyut, dan kebun buahan-buahan yang mati, istriku pun ikut mati!” suara ayah Bua terdengar nelangsa.

Saat kutemui Buamamih di penjara wanita, kulihat wajahnya sangat lusuh. Kecantikannya telah berubah menjadi rupa wajah yang tua, karena derita. Tujuh tahun putusan yang cukup memberatkan karena dianggap pembunuhan berencana. Tapi mengenai pemerkosaannya sendiri? Siapa yang dituntut karena pemerkosa itu telah mati di tangan Bua sendiri?

“Aku telah kem bali, Buamamih,” suaraku kutekan dengan nada yang jauh dari irama sedih. “Sesuai janjiku di Teluk Nyomit. Tapi kau tak kutemukan di sana. Tak apa kutemui di sini. Sekarang lamaran kuteruskan seperti kata-kata kita dulu!”

Kulihat wajahnya menegang.
“Kata-kata itu sudah berlalu, Mo.”
“Berlalu?”
“Aku dipenjara! Hutan rusak. Ibuku mati. Masa depanku sudah pergi!”
“Tapi usiamu baru dua tujuh, seperti aku. Masih muda. Kita mulai lagi dari awal!”
“Bagiku semuanya dimulai dari akhir karena masa depanku sudah berakhir!”
“Kau jangan berputus asa begitu,” suaraku seperti merayu melunakkan. “Aku akan mendampingimu.”
“Terima kasih. Kaudampingi wanita lain saja. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan. Perhitungan terakhir.”
“Perhitungan apa?”
“Pemerkosaku sudah mati. Tapi pemilik onderneming masih hidup. Sebebas aku dari sini aku akan membunuhnya mati!”

“Itu pekerjaan orang putus asa, Bua. Jangan kau habiskan hidupmu hanya untuk sesuatu yang tak berguna. Kau masih punya masa depan.”

“Masa depan? Kataku masa depanku sudah berakhir. Ingin kupersembahkan kesucianku untuk suamiku, tapi kesucian itu direnggut orang biadab. Itu semua akibat perbuatan konglomerat yang mencaplok hutan dan tanah kami!”
“Tapi aku tetap menganggap kau suci, Bua.”
“Anggapan tak sama dengan kenyataan.”
“Tapi aku tetap ingin menikah dengan kau.”
“Carilah gadis perawan.”
“Tapi aku tetap ingin menikah denganmu. Bua lebih dari perawan.”
“Aku tak mau. Tak sudi!”
“Tapi aku akan tabah menantimu ke luar dari sini. Kita akan bangun hidup bahagia di Jakarta.”
“Tidak!”
“Tapi aku tetap ingin kau mau menikah denganku.”
“Tidak! Aku tak ingin!”
“Kita bisa berbahagia, Bua.”
“Berbahagialah dengan gadis lain.”
“Aku ingin berbahagia dengan Bua.”
“Tak mungkin!”
“Jadi kau tetap tak mau menikah dengan aku?”
“Ya!”
“Tetap tidak?”
“Menikah di luar kesucian itu dosa!”

Mataku hampir berkunang-kunang. Sebuah siluet Teluk Nyomit dan derita panjang kekasihku karena ketamakan nafsu manusia. Dalam mataku yang berkunang-kunang tampak kerusakan hutan dan tanah dan kerusakan akhlak manusia merajalela di mana-mana. termasuk kerusakan akhlakku sendiri yang dengan rakus dan tega-teganya melakukan korupsi uang negara dengan tujuan mengayakan dan membahagiakan diriku sendiri dan istriku Buamamih jika kami telah menikah dan membangun kehidupan berumah tangga di Jakarta.

Dadaku tiba-tiba menggigil tersentak berdebar kencang, sementara mataku terus berkunang-kunang. Aku rasa aku benar-benar tidak siap jika harus dibuang ke dalam neraka penjara seperti Buamamih. Bagaimana caranya aku bisa ciptakan alibi korupsi? ***

Catatan:
rotan jahab dan rotan sega = dua jenis rotan bermutu tinggi dan mahal harganya.
tanyut = pohon yang dipelihara tempat madu bersarang.
bencahaaq = salah satu jenis kayu yang tumbuh di tepi sungai dan danau; buahnya jadi makanan ikan.
rotan pelas = salah sati jenis rotan yang mahal harganya;
jembia = keris kecil dan pendek.
lou = rumah panjang orang Dayak; sama dengan kampung dan rumah adat.
puti, itir = dua jenis pohon tanyut.
entoq = kayu sejenis jati belanda.
penggolongan tebu = kayu gelondong yang dijadikan sarana pemeras air tebu.
lahan sejuta hektar = pembukaan areal sawah yang gagal di Kalimantan Tengah, di zaman Orde Baru.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita