29/11/10

Sosok HB Jassin

Budi Darma
http://www2.kompas.com/

HB JASSIN dan Chairil Anwar lahir pada saat yang tepat, karena itu saling ketergantungan antara mereka kemudian berhasil memberi warna indah dalam perkembangan sastra kita. Seandainya mereka tidak muncul bersama pada tahun 1940-an dan 1950-an, warna perkembangan sastra kita mungkin akan berbeda. Tahun 1940-an dan 1950-an adalah tahun-tahun menjelang kemerdekaan dan pascaperang kemerdekaan, sehingga, dengan demikian, peran letupan-letupan intuisi dalam seni, khususnya sastra, menjadi sangat menonjol.

Mengenai letupan-letupan intuisi, lihatlah misalnya sajak-sajak Chairil Anwar. Memang benar sajak-sajak Chairil Anwar menawarkan kontemplasi, dan tentunya juga lahir dari kontemplasi, namun, sebagai produk, sajak-sajak Chairil Anwar muncul sebagai intuisi-intuisi pendek, yang lahir berkat impuls-impuls yang kuat. Sajak-sajak Chairil Anwar, pada dasarnya, mirip dengan lukisan-lukisan Affandi, dan juga mirip dengan lirik lagu-lagu Ismail Marzuki, yaitu lukisan dan lirik sebagai letupan intuisi.

Bahwa kemudian Chairil Anwar “ditemukan” oleh HB Jassin, dan kemudian ditasbihkan oleh HB Jassin, tidak lain terjadi juga karena tuntutan zaman. Kritik sastra HB Jassin terhadap Chairil Anwar memang sangat berbobot dan karena itu pantas menjadi monumen. Namun, pada dasarnya, kritik sastra HB Jassin lebih banyak dipicu oleh letupan-letupan intuisi, bukan oleh anasir-anasir lain. Karena itu pertemuan antara Chairil Anwar dengan HB Jassin benar-benar “klop.”

Mungkin adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Chairil Anwar adalah penyair yang semata menggantungkan diri pada bakat alamnya. Tidak benar, karena, pada hakikatnya, Chairil Anwar mampu menyampaikan wawasan-wawasannya, kendati cara menyampaikannya seolah sekadar melalui letupan-letupan intuisi. Dalam perjuangannya untuk menjadi penyair, tampak benar usaha Chairil Anwar untuk memanfaatkan segala daya upaya, dan karena itu tidak sekedar tergantung pada bakat dan inspirasinya.

Adalah juga tidak benar, sementara itu, untuk menyatakan bahwa HB Jassin adalah kritikus semata berbakat alam. Usaha-usaha HB Jassin untuk menambah wawasan, sebagai upaya untuk menunjang bakatnya sebagai kritikus, benar-benar tampak, khususnya dalam pembelaannya terhadap Ki Panji Kusmin, pengarang Langit Makin Mendung, ketika dia menyampaikan orasi pada saat dia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Namun, serupa halnya dengan Chairil Anwar, hakikat kritik sastra HB Jassin tetap merupakan letupan-letupan intuisi.

Justru karena hakikat kritik sastra HB Jassin merupakan letupan-letupan intuisi, maka HB Jassin dengan sangat mudah mampu bergandeng tangan dengan sastrawan-sastrawan berbakat alam. Lihatlah misalnya generasi majalah Kisah, sebagaimana yang tampak dalam cerpen-cerpen Sukanto SA, SM Ardan, Riyono Prakikto, Jamil Suherman, M Alwan Tafsiri, dan sebagainya. Para pengarang cerpen ini tidak lain adalah raja-raja besar sastra pada waktu itu. Mayoritas karya mereka adalah pengalaman harfiah mereka, yaitu ciri yang amat dominan pada sastrawan-sastrawan berbakat alam. Mereka adalah sahabat-sahabat karib HB Jassin, dan HB Jassin pulalah yang menasbihkan mereka menjadi sastrawan-sastrawan penting.

Lalu, lihatlah sastrawan-sastrawan lain yang ditasbihkan oleh HB Jassin. Mereka, antara lain, Kirjomulyo dan Muhammad Ali. Kritik sastra HB Jassin terhadap karya sastra Kirjomulyo dan Muhammad Ali nampak “klop,” karena Kirjomulyo dan Muhammad Ali, demikian pula mayoritas sastrawan pada tahun 1950-an dan 1960-an, adalah sastrawan-sastrawan berbakat alam.

HB Jassin, sementara itu, juga sanggup melihat bakat besar Rendra pada saat-saat awal Rendra menjadi penyair, dan karena itulah HB Jassin juga sangat bertanggung jawab dalam menasbihkan Rendra sebagai penyair penting. Namun ingat, HB Jassin menemukan Rendra pada saat Rendra masih bergelut dengan lirik, dengan letupan-letupan intuisi. Waktu itu, Rendra belum berkembang lebih jauh. Dan ingat pula, pada saat HB Jassin menemukan Rendra, sebetulnya HB Jassin sudah agak terlambat.
***

MENGENAI makna “agak terlambat,” dapat kita lihat kembali cerita Rendra kepada saya (dulu), ketika dia masih kadang-kadang datang ke kampus Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada di Jl Yudonegaran, Yogya. Pada waktu itu, sajak-sajak Rendra sudah dimuat oleh HB Jassin dalam berbagai majalah sastra asuhan HB Jassin. Namun, kata Rendra, sebelum sajak-sajaknya dimuat HB Jassin, secara bertubi-tubi HB Jassin selalu menolak, dan selalu mengembalikan sajak-sajak Rendra. Sajak-sajak yang sama itulah yang kemudian dimuat oleh HB Jassin sendiri. Penolakan terhadap sajak-sajak Rendra, dengan demikian, tidak terjadi karena waktu itu jumlah sajak yang masuk ke meja HB Jassin terlalu banyak, dan karena itu sajak-sajak Rendra harus menunggu giliran untuk dimuat.

Pengalaman Rendra tentu berbeda dengan pengalaman Darmanto Yatman. Pada waktu HB Jassin mengasuh majalah Sastra, Darmanto mengirim sejumlah esai kepada HB Jassin. Ternyata, tidak lama kemudian, Sastra mati. Lalu, dalam suratnya kepada Darmanto Yatman HB Jassin menyatakan bahwa dia akan berusaha untuk menerbitkan esai-esai Darmanto Yatman yang tidak termuat dalam Sastra di media-media lain.

Lalu, apa yang terjadi pada Iwan Simatupang? HB Jassin tidak bisa menerima kehadiran Simatupang, paling tidak pada awalnya, karena Iwan Simatupang bukanlah tipe sastrawan yang meletup-letupkan intuisi. Novel-novel Iwan Simatupang memang fragmentaris, sehingga, seolah antara satu bagian dengan bagian lainnya lepas tanpa ikatan. Namun, sejak awal Iwan Simatupang sadar, bahwa untuk menjadi sastrawan dia perlu belajar banyak.

Komentar A Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (jilid II) mengenai kritik sastra dalam hubungannya dengan HB Jassin, tentu tidak lepas dari hakikat Jassin sebagai kritikus dengan letupan-letupan intuisi. Kata A Teeuw, “literary criticism … is indeed rather underdeveloped”, yaitu, kritik sastra benar-benar dalam keadaan terkebelakang. Lalu, kata A Teeuw pula, sepanjang pengetahuan A Teeuw, HB Jassin tidak pernah “published any fundamental ideas,” dan juga tidak pernah melakukan “declaration of principles of criticism.” HB Jassin, kata A Teeuw, tidak pernah menerbitkan gagasan-gagasan pokok, dan juga tidak pernah mendeklarasikan prinsip-prinsip kritik sastra.

Teeuw benar. Namun, justru pada letupan-letupan intuisi dengan tidak menganut prinsip-prinsip tertentu itulah, letak kekuatan HB Jassin. Karena itu, ketika menyampaikan orasi penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, HB Jassin menyatakan, bahwa dia justru khawatir jangan-jangan pekerjaannya sebagai orang sastra menjadi ilmiah. Kalau sudah menjadi ilmiah, maka, katanya, mau tidak mau dia harus mempergunakan otak. Sementara itu, bagi dia, sastra adalah suara hati, dan karena itu harus ditanggapi dengan hati pula.

Prinsip bahwa sastra adalah suara hati telah meneguhkan HB Jassin sebagai pembela sastra Indonesia. Dia berjuang dengan teguh untuk menyatakan bahwa Chairil Anwar bukan penjiplak, ketika sementara khalayak bisa membuktikan, bahwa sebagian sajak Chairil Anwar tidak lain adalah saduran. Ketika Hamka juga dituduh sebagai penjiplak dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, HB Jassin dengan penuh keyakinan juga menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah karya asli Hamka. Karena itu, dalam tulisan-tulisannya, beberapa kali HB Jassin menekankan, bahwa dalam sastra, pengaruh-mempengaruhi adalah wajar.

Bagi HB Jassin, penjiplakan tidak ada, sebab kemiripan antara satu karya sastra dengan karya sastra tidak lain hanyalah masalah pengaruh.
***

TERHADAP pemikiran rasional, tampaknya HB Jassin juga selalu menentang, kendati penentangannya kemudian muncul sebagai pembelaan. Lihatlah, misalnya, ketika pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ada tuduhan dari khalayak bahwa sastra Indonesia mengalami krisis. Dengan rasional khalayak berusaha untuk membuktikan, bahwa pada waktu itu memang karya-karya sastra yang baik boleh dikatakan tidak ada. Maka, HB Jassin pun tidak berpijak pada alasan mengapa oleh khalayak sastra dianggap mengalami krisis, tetapi pada kenyataan bahwa karya sastra tokh tetap ada. Karena penyair masih menulis dan pengarang juga masih menulis, maka, dalam pandangan HB Jassin, sastra Indonesia sama-sekali tidak mengalami krisis.

Keyakinan bahwa sastra adalah suara hati, mau tidak mau mendorong HB Jassin untuk membela generasi muda. Sastra harus terus hidup, dan karena itu, regenerasi harus tetap jalan. Sementara sastrawan-sastrawan senior lain cenderung untuk kurang memperhatikan generasi muda, dengan tekun HB Jassin berusaha untuk mencari titik-titik kuat pada sastrawan-sastrawan yang belum mapan. Titik-titik kuat itu, tentu saja, adalah titik kuat sastra sebagai suara hati, bukan sastra sebagai kerja otak. Karena itulah, maka HB Jassin sangat senang sastra model “Kucing,” cerpen Hudan Hidayat. Dalam sebagian besar cerpennya tampak benar, setidaknya sampai sekarang, bahwa Hudan Hidayat benar-benar mengandalkan kemampuannya pada letupan-letupan intuisi.

Sejak tahun 1980-an, sementara itu, tampak gejala kuat bahwa kritik sastra intuitif kena kutuk. Karena itu, ada kecenderungan kuat untuk menopang kritik sastra dengan berbagai pemikiran rasional, antara lain dengan penggunaan teori-teori. Apa pun anggapan khalayak terhadap HB Jassin, ia adalah peletak dasar kritik sastra sebagai salah-satu genre sastra. Sebelum HB Jassin tampil, kehadiran kritik sastra tidak dianggap sebagai keharusan dalam kehidupan sastra yang sehat, namun sebagai sesuatu yang hadir boleh, tidak hadir pun tidak apa-apa, bahkan mungkin lebih baik.

Lalu, apakah kritik sastra model HB Jassin mesti dikutuk, tentu saja tergantung pada individu masing-masing kritik sastra. Ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula dengan teori-teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu, ternyata tidak jarang hanya bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.

Dalam hal-hal tertentu, HB Jassin sangat benar. Sastra adalah suara hati. Karena itu, peran common sense atau akal sehat, dalam menghadapi sastra, tidak mungkin ditinggalkan. Kritik sastra yang berusaha rasional dengan mengangkut teori ini dan teori itu, sebaliknya, justru cenderung untuk melawan kekuatan dasar sastra, yaitu common sense atau akal sehat.

Lalu, marilah kita tengok kritik sastra Goenawan Mohammad dan Sutarji Calzoum Bachri dalam menghadapi sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Marilah kita tengok pula, kritik Sapardi Djoko Damono sendiri dalam menghadapi sajak-sajak Abdul Hadi WM. Tanpa berusaha rasional, apa lagi dengan mengangkut teori ini dan teori itu, kritik sastra mereka benar-benar intuitif, dan benar-benar berwibawa.

*) Sastrawan, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita