Jamal D Rahman*
http://cetak.kompas.com/
Usaha merevitalisasi kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak, terutama di Riau. Berbagai kegiatan berkaitan dengan usaha menghidupkan atau menyemarakkan kembali kebudayaan Melayu kerap dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan kepada individu-individu yang memainkan peran tertentu dalam memajukan kebudayaan Melayu.
Semua itu jelas menunjukkan adanya kesadaran generasi Melayu kini akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa silam.
Salah satu unsur penting dari kebudayaan Melayu tentu saja bahasa Melayu. Ini bukan saja karena bahasa Melayu sejak berabad-abad silam merupakan lingua franca di kawasan Nusantara, melainkan terutama juga karena corak atau watak yang memang inheren dalam bahasa Melayu itu sendiri. Dengan wataknya yang unik, bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi dalam pergaulan sehari-hari di dunia Melayu dan kawasan Nusantara, tetapi juga berkembang menjadi bahasa yang kokoh sebagai alat ekspresi spiritual dan intelektual sehingga lingkup pengaruhnya melampaui wilayah geografis dunia Melayu itu sendiri.
Watak bahasa Melayu adalah terbuka, egaliter, dan praktis atau mudah digunakan. Tiga hal itu sangat cocok dengan kecenderungan atau orientasi masyarakat modern. Kemodernan adalah keterbukaan, kesamaan, dan kepraktisan. Keterbukaan bahasa Melayu menjadikan bahasa ini berkembang begitu kaya dan kokoh: ia menyerap berbagai bahasa asing berikut konsep-konsep modern dalam berbagai aspek kehidupan. Kiranya ia juga mendorong masyarakat menuju masyarakat terbuka dan toleran. Sementara itu, kesamaan atau egaliterianisme bahasa Melayu pastilah turut mendorong masyarakat berkembang menjadi masyarakat egaliter dan demokratis, baik menyangkut hak-hak ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam pada itu, kepraktisan bahasa Melayu membuat bahasa ini memiliki daya guna maksimal, baik secara sosial, sastra, maupun keilmuan.
Dalam proses panjang pembentukan bahasa dan kebudayaan Melayu yang berlangsung khususnya sejak abad ke-17, Islam jelas memainkan peran sangat penting. Seiring dengan islamisasi yang berlangsung sangat efektif di kawasan ini, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu, yang tentu saja turut memperkaya khazanah kebudayaan setempat. Di samping bentuk puisi khas Melayu, seperti pantun, terus berkembang, kebudayaan Melayu selanjutnya diperkaya oleh bentuk puisi Arab yang kemudian dikenal dengan syair. Sementara itu, pemikiran Islam—bahkan sampai bentuknya yang paling muskil, spekulatif, dan kontroversial, seperti faham wahdatul wujud—mewarnai dunia intelektual Melayu setidaknya sejak abad ke-17. Transmisi ajaran dan pemikiran Islam serta berbagai polemik yang menyertainya, yang sangat marak di dunia Melayu sejak abad itu menunjukkan intensitas pergaulan intelektual dunia Melayu dengan dunia Islam secara luas. Dalam arti itulah Islam secara umum memberi isi pada kebudayaan Melayu. Dan, dengan cara itu, kebudayaan Melayu mewujud sebagai sebuah entitas kebudayaan yang kokoh.
Jika inti atau substansi dari agama adalah aspek kerohaniannya, Islam benar-benar diterima bukan saja pada aras formalnya, melainkan juga pada aras substansialnya, yakni aspek moral dan kerohaniannya. Demikianlah misalnya pemikiran atau ajaran Islam ditransmisi dan diajarkan kepada masyarakat luas, dan bersamaan dengan itu pemikiran dan praktik tarekat-kesufian dikembangkan pula di tengah masyarakat luas. Kita tahu, Raja Ali Haji, ulama dan pujangga kenamaan itu, adalah pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di Pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu pada abad ke-19. Melihat begitu maraknya kehidupan intelektual dan praktik kerohanian Islam di dunia Melayu, sumsum kebudayaan Melayu pada dasarnya adalah moralitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, yang antara lain—karena kuatnya pengaruh Islam di kawasan ini—secara formal terlembaga melalui praktik kesufian kelompok tarekat.
Turut memperkaya
Uraian di atas sama sekali tidak bermaksud menafikan sumber-sumber lain dalam proses pengayaan kebudayaan Melayu. Harus dikatakan bahwa beberapa kebudayaan dan agama lain juga hidup di kawasan Melayu dan tentulah turut memperkaya kebudayaan Melayu itu sendiri, seperti China, India, dan Persia. Dengan demikian, kebudayaan Melayu pada dasarnya bersifat jamak, dengan Islam sebagai arus utama yang sekaligus merupakan orientasi umum kebudayaannya. Hal ini merupakan konsekuensi yang wajar belaka dari pergaulan yang intens dan berlangsung lama antara dunia Melayu dan dunia Arab-Islam.
Ketika bahasa Melayu diterima sebagai bahasa Indonesia, ia telah mencapai tingkat kematangan yang cukup mengesankan. Ditambah dengan keinginan melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa pada awal abad ke-20 dan kemudian hasrat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern pada paruh kedua abad itu, bahasa Indonesia adalah alat yang amat sejalan dengan semangat modernitas. Modernisasi Indonesia dengan demikian didukung oleh bahasa nasionalnya yang memang berwatak modern. Membawa serta watak bahasa Melayu yang terbuka, egaliter, dan praktis tidaklah mengherankan bahwa bahasa Indonesia dengan cepat berkembang menjadi bahasa modern. Ia segera menyerap bahasa etnis-etnis lain, menyerap juga bahasa negara-negara lain sehingga ia benar-benar mampu menjadi alat artikulasi modern.
Di bidang sastra kita tahu lahirlah sastra Indonesia modern, yang berbeda, baik bentuk maupun isinya dari sastra Melayu-Indonesia lama. Jika kemodernan adalah semangat melakukan pembaruan, modernisasi sastra Indonesia berlangsung dengan amat baiknya. Sastra Indonesia modern membebaskan diri dari belenggu atau kungkungan masa silamnya dan mencoba menerobos batas-batas bentuk dan isi konvensionalnya. Dirumuskan secara konsisten dengan watak bahasa Melayu yang terbuka, sastra Indonesia modern pun terbuka menerima bentuk-bentuk sastra asing, seperti roman, soneta, dan puisi bebas, sama seperti kebudayaan Melayu dulu terbuka terhadap bentuk syair dan bahasa asing. Sastra Indonesia modern diperkaya oleh pergaulannya secara terbuka dengan sastra belahan dunia lain.
Dalam pada itu, pengarang-pengarang modern kita dari dunia Melayu tetap berusaha berdiri kokoh dan menggali akar kebudayaan mereka sendiri. Itu merefleksikan betapa mereka menyadari sekaligus percaya diri bahwa mereka lahir dari kebudayaan besar mereka sendiri. Dalam konteks terakhir inilah mereka turut merayakan dan mengarnavalkan bahasa dan sastra Indonesia.
Salah satu sumbangan penting yang telah mereka berikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, di mana kata-kata dibebaskan dari beban makna. Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.
Diteruskan
Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu Riau untuk menciptakan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu Riau.
Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu Riau dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya, ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang, terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya, mantra hanyalah ”tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan ”tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah ”tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.
Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern—dan penyair itu berasal dari Melayu Riau.
Namun, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya, hanya akan membuat ”tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada ”tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya, sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi ”tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi ”tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi ”tradisi kecil” kebudayaan Melayu.
Apa ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya, tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?
Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.
*) Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar