17/10/10

KILAS BALIK SERAT KALATIDA KARYA RONGGOWARSITO

Imamuddin SA *
http://www.sastra-indonesia.com/

Sebenarnya perjalanan kehidupan dalam alam fisik ini bersifat stagnan. Mulai dulu sampai sekarang, bahkan nanti akan bersifat sama alurnya. Sama dalam tataran peristiwa problematikanya. Yang berbeda hanyalah fenomena tempat, fasilitas, pelaku orangnya, budaya, dan peradabannya. Ini terlihat sebagai suatu siklus rotasi yang pada saatnya nanti akan teruluang kembali. Seperti suatu nasib; kadang di atas, kadang di bawah. Suatu saat akan berjaya, di saat yang lain akan terjatuh juga.

Peristiwa-peristiwa masa lalu akan terulang kembali pada masa sekarang. Begitu juga dengan sekarang, pada hari esok akan terulang pula. Namun tidak sama persis. Yang sama hanyalah suasana batiniah peristiwa itu. Seperti itulah fenomena yang seolah-olah tampak dari karya Ronggowarsito. Kita kenal bahwa Ronggowarsito adalah seorang pujangga yang konon ceritanya memiliki ketajaman batin yang khusus dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Dalam karya-karyanya sering terungkap prediksi-prediksi suatu kejadian masa datang. Bahkan lebih dari itu, ia juga mengetahui ajalnya sendiri.

Sebenarnya Ronggowarsito bukanlah nama asli, melainkan suatu gelar kebangsawanan di keraton Surakarta. Gelar Rongowarsito ini diberikan kepada seorang juru tulis kerajaan. Nama asli Ronggowarsito yang kita kenal saat ini adalah Bagus Burham yang lahir tanggal 15 Maret 1802. Orang yang pertama kali menerima gelar Ronggowarsito ini adalah Yosodipuro II yang tidak lain adalah kakek Bagus Burham. Ronggowarsito II bernama Panjangswara dan dia adalah ayah dari Bagus Burham. Bagus Burham inilah yang yang kemudian menggantikan ayahnya dengan gelar Ronggowarsito III setelah perang Diponegoro usai; yaitu sekitar tahun 1830. Dan Bagus Burham inilah yang sampai dewasa ini akrab kita kenal dengan nama Ronggowarsito. Yang karya-karyanya sampai di tangan kita.

Dalam karyanya, Ronggowarsito pernah menyinggung datangnya bencana yang merupakan sebagian dari kutukan Tuhan. Berdasarkan penglihatan ruhaniahnya, hari itu suatu saat akan datang. Semua ini tidak lepas dari hukum sebab-akibat. Sebelum datangnya hari itu, pasti ada sebabnya terlebih dahulu. Sebab utama yang melatarbelakangi munculnya kutukan Tuhan tidak lain adalah dipicu oleh kelalaian manusia sendiri. Ia lalai dengan jati dirinya sehingga lalai pula dengan tugas kemanusiaannya di dunia. Misi kekhalifahan terabaikan. Mengobarkan api kerusakan dalam kesemestaan alam. Angkara murka bangkit di mana-mana. Bahaya, susah, dan derita meraja lela. Ilustrasi itu terungkap dalam Serat Kalatida yang diungkapkan dalam bentuk tembang Sinom. Serat tersebut berbunyi:

I
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun Kala Tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda.

II
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Parandene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angreribedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

III
Katetangi tangsisira
Sira kang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Kataman ing reh wirangi
Demimg upaya sandi
Sumaruna anerawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka.

IV
Dasar korban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu kali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

V
Ujaring Panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhak angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna.

VI
Keni kinarya darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-puluh anglakoni kaelokan.

VII
Amenangi jaman edan
Ewth aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.

VIII
Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

IX
Beda lan kang wus santosa
Kinarilan ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ichtiyar.

X
Sakadare linakonan
Mung tumindah mara ati
Angger kang dadi prakara
Karana wirayat muni
Ichtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kang kaesthi antuka parmaning suksma.

XI
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan.

XII
Sagede sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruhara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat asih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendhana
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya.

Ronggowarsito dalam karyanya di atas mengisahkan bahwa martabat negara hancur berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah. Yang halal menjadi haram, dan yang haram memnjadi halal.

Pada dasarnya kepincangan-kepincangan itu tidaklah bersumber dari pemerintahan, tetapi semuanya mengalir dari jiwa-jiwa masyarakat dan manusianya. Pemimpin pemerintahan termasuk orang yang baik. Patihnya juga cerdik. Semua anak buah hatinya baik. Pemuka-pemuka masyarakat juga baik. Tetapi semuanya itu tidak membawa kebaikan. Justru malah sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh kutukan zaman. Bahkan keusahpayahan semakin menjadi-jadi. Lantaran perbedaan persepsi, pandangan, pikiran, serta tujuan manusiannya masing-masing. Semuanya saling membenarkan diri-sendiri. Walau sudah jelas dirinya bersalah.

Saat itulah hukum menjadi barang dagangan yang tengah diobral murah. Pemerintah tak berdaya. Yang berharta jadi penguasa. Berhak menentukan jalan hidupnya. Tak peduli benar-salah dan halal-haramnya cara yang ditempuhnya. Yang penting tujuan tercapai, segalanya digilasnya.

Melihat fenomena semacam itu, Ronggowarsito menangis sedih. Ia merasa malu dan terhina. Realitas yang ada penuh dengan fitnah dan intrik. Segalanya seolah-olah tampak menghibur dan menggembirakan. Di depan seseorang bersifat manis dan memuji-muji, tetapi jika seseorang itu tidak ada, maka ia justru balik menikamnya

Berbagai macam gosip dan rumor datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja. Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang berujung pada bencana.

Berdasarkan buku Paniti Sastra, sebenarnya sudah ada wawancang terlebih dahulu akan peristiwa ini. Saat zaman dipenuhi kesusahpayahan, kebatilan, serta musibah, orang baik akan tidak terpakai. Ia malah dikucilkan. Hendaknya hal ini menjadi catatan penting. Kata-kata yang tak bermakna dan gosip-gosip hanya akan menyiksa hati. Ini tidak patut untuk didengarkan. Lebih baik mendengar cerita masa lalu dan dongeng-dongeng. Itu dapat dijadikan teladan dan cermin diri yang baik guna membandingkan dan mempertimbangkan antara perbuatan yang baik dan buruk. Antara kebaikan dan kejahatan. Antara yang benar dan salah. Sebenarnya cukup banyak contoh dari kisah-kisah terdahulu yang mampu membuat hati penikmatnya tenang dan damai, bersikap ikhlas menerima yang berujung pada kepasrahan dan keridhaan terhadap segala takdir Tuhan.

Ronggowarsito mengisyaratkan bahwa hidup di zaman edan ini memanglah sangat repot. Susang menentukan sikap. Ingin mengikuti arus zaman, kita tidak sampai hati, tetapi jika tidak mengikuti, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Yang kita dapat hanyalah kelaparan. Walaupun begitu, ini sudah jadi kehendak Tuhan. Di zaman ini, seuntung apapun orang yang lupadaratan, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Ingat kepada yang hidup dan yang mati. Ingat pada jati dirinya sendiri. Waspada terhadap kutukan tuhan yang pasti.

Ibarat pepatah. Orang yang hidup di zaman edan ini seolah-olah tampak menolak segala realitas kepincangan yang ada, namun pada dasarnya ia berminat menerima kenyataannya. Benar kata orang, dalam hati fenomena ini memang repot juga. Dari pada memikirkan arus zaman itu, Ronggowarsito lebih baik memimikirkan hal yang lain. Lebih baik ia menginstropeksi diri. Ia menyadari bahwa usianya semakin tua. Apa pula yang hendak dicari dalam dunia yang seperti ini. Lebih baik berkhalwat agar mendapat ampunan Tuhan yang sejati.

Berbeda lagi dengan mereka yang sudah kuat, yang telah menggenggam kesejatian hidup, ia pasti telah berlimpahkan rahmat tuhan. Bagaimanpun fenomena zamannya, ia selalu bernasib mujur. Tuhan selalu memberi pertolongan padanya. Ia tidak perlu bersusah payah, dengan tiba-tiba ia akan mendapatkan anugrah. Walaupun begitu, ia masih butuh ikhtiar juga.

Orang yang seperti itu, selalu menjalani realitas hidup dan kehidupan dengan bersikap sederhana dan sewajarnya. Urep sakmadyane. Ia berjalan berdasarkan tuntunan hati yang jernih. Memberikan kebahagiaan dan tak menimbulkan permasalahan. Seperti pepatah, manusia itu wajib berikhtiar dalam memilih jalan yang benar. Bersamaan dengan hal itu, ia harus senantiasa ingat dan waspada agar mendapat rahmat Tuhan yang Esa.

Setelah menginstropeksi diri, dengan segala kesadarannya, Ronggowarsito berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berwasilah kepada Rasulnya. Dengan kasih sayang-Nya, Ronggowarsito berharap agar mendapatkan pertolongan di saat ajal telah menjelang. Baik saat di dunia maupun saat di akhirat nanti. Ia sadar betul bahwa hidupnya tinggal sebentar lagi. Khusnul khotimah ataukah su’ul khotimakah akhir perjalanannya nanti? Yang jelas, hanya Tuhan-lah yang kuasa memberi pertolongan padanya. Semoga ia dikaruniai kesabaran dan kekuatan ketika menjalani mati dalam kehidupan (mati sajroning ngaurip). Jauh dari bencana serta terhindar dari keangkaramurkaan. Dengan segenap jiwa Ronggowarsito merenungkan, menyucikan lahir, batin, dan pikiran sembari menyongsong berakhirnya kutukan zaman. Ia pasrah menanti datangnya putusan (takdir) Tuhan.

Apabila serat itu kita tarik benang merah dengan realitas sekarang, maka akan terasa relevansi yang begitu kuat. Fenomena yang digambarkan Ronggowarsito dalam zamannya seolah muncul kembali pada saat ini. Ini diperkuat dengan isyu “kiamat” pada akhir tahun 2012. Konon diceritakan bahwa kiamat itu adalah hari kehancuran alam. Tanda-tandanya adalah rusaknya moral manusia. Bumi digoncang-gancingkan dengan guncangan (problematika hidup dan kehidupan) yang sangat dahsyat. Manusia bingung dengan sendirinya. Bagaikan makan buah simalakama.

Jika kita berpandangan lebih arif terhadap isyu tersebut, kita akan menemukan titik temu antara realitas sekarang dengan ujaran Ronggowarsito dan Maya Calender. Tahun 2012 berdasarkan Maya Calender merupakan titik kulminasi dari peristiwa “kiamat”. Kiamat di sini tidak sekedar kita pahami sebagai totalitas kehancuran alam semesta, melainkan bisa jadi kehancuran yang bersifat minimum. Sebab kita kenal istilah kiamat sughroh dan kiamat kubroh. Begitu juga dengan pijakan kita tentang kehancuran alam. Alam yang bagaimanakah yang hancur! Alam fisik? Alam ruhani? Alam hati? Alam pikiran? Atau bahkan alam tubuh manusia (kematian personal)? Lantas kita juga harus berpandangan pada letak titik sentrum yang paling kuat dalam kehancuran alam tersebut?

Realitas alam ruhaniah manusia sekarang ini memang benar-benar hancur. Esensi keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam dirinya kerap tergadaikan. Manusia banyak yang lari dari Tuhan dan berganti arah-mendekat pada nafsiahnya. Hawa nahsunya yang kerap ditonjolkan. Hal itulah yang menyebabkan hancurnya alam hati dan pikiran mereka. Alam hati tak tenang, tergoncang-gancingkan, dibayang-bayangi dengan ketakutan-ketakutan akan kemelaratan di dunia sehingga ia kerap mengejar harta dan tahta. Jika telah terjadi demikian, alam pikiran akan hancur. Pikiran-pikran yang baik dan positif akan tergantikan dengan kecurangan-kecurangan dan keculasan. Sehingga dalam setiap detik, ia akan dihantui dengan pikiran dan rasa bersalah, takut terbongkar kucurangan dan keculasannya. Wal hasil, benih penyakit yang aneh-aneh pun muncul dalam diri manusia sebab terlalu besar memendam beban rasa. Dan akhirnya, tubuh dilanda sakit. Hanya mengeluh yang ia bisa. Menyesal tiada guna. Lantas meninggal dunia. Inilah kronologis “kiamat” dalam tataran kecil-kecilan.

Fenomena di atas merujuk pada personal manusia. Namun jika hal itu terjadi dalam skala yang lebih besar, kita perlu melihat titik sentrumnya. Wilayah manakah yang masyarakatnya paling dominan melakukan hal tersebut. Dari sinilah konsep penghancuran umat akan berlaku. Seperti kisah kaum Nuh AS yang dihancurkan dengan banjir besar dan kaum-kaum lain sebelum kita. Dan hanya merekalah yang mau berikhtiar mendekatkan diri pada orang-orang yang benar, pada para kekasih tuhanlah yang saat itu berlimpahkan anugrah dan keselamatan.

Kenyataan saat ini; individu, masyarakat, dan pemerintah banyak yang bertindak korup. Lahan-perlahan bencana kerap melanda. Kematian masal meraja lela, baik di darat, laut, maupun udara. Tidakkah ini merupakan sebagian kecil dari kiamat? Apakah ini kutukan Kalatida? Ataukah ini kepastian Kalender Maya? Benarkah potret “kiamat” itu akan terjadi kembali dalam realitas masyarakat kita sekarang ini? Dan memang pantas-siapkah masyarakat kita menerima kepastian seperti itu? Jawabannya hanya ada dalam diri kita masing-masing, dalam ruang waktu yang masih terasing.

=========
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita