16/10/10

Generasi Terbaru Novelis Kita: Antara Marrakesh, Moskow, dan Spinoza

Seno Joko Suyono, Heru Nugroho, Imron Rosyid, Bobby Gunawan
http://majalah.tempointeraktif.com/

Perkenalkan Galih….
Ia dosen di Universitas Gadjah Mada. Dahulu tahun 1990-an tinggal di Moskow. Pernah memiliki pacar asli Rusia bernama Krasnaya. Krasnaya bekerja di Kalinin Bookstore di wilayah Kalinin Prospek. Berdua mereka dari Moskow sering ke St. Petersburg menjenguk nenek Krasnaya. Tapi, di era akhir pemerintahan Gorbachev, terjadilah tragedi itu. Suatu hari di depan pintu panti jompo sang nenek, tergeletak dua bungkusan mayat: mayat Krasnaya dan ayahnya—mereka dibunuh….

Perkenalkan juga Kejora….
Ia lulusan sebuah pesantren di Jawa, aktivis pelbagai kegiatan diskusi. Pengalamannya luar biasa. Ia menjelajah ke kota-kota, masjid-masjid, dan situs-situs kuno di Timur Tengah: Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing kota Iram. Sering keluar-masuk kampus Universitas Qurowiyyin sampai Universitas Al-Akhawayn. Bergaul dengan mahasiswi-mahasiswi, baik Palestina maupun Yahudi. Hafal lagu-lagu Arab, Suriah, dan Maroko, dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida al-Roumi, Mayada el-Hennawi, sampai Rasheed Thaha.

Inilah tokoh-tokoh novel terbaru Indonesia. Kejora adalah tokoh dalam novel Geni Jora karya Abidah el-Khalieqy dan Galih adalah protagonis novel Tabula Rasa karya Ratih Kumala. Dua sastrawan perempuan ini adalah pemenang kedua dan ketiga penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Segera khazanah novel Indonesia mengalami perluasan setting. Sementara Nh. Dini pernah membuat novel dengan setting Jepang atau Paris, Bur Rasuanto dengan Vietnam, Ayu Utami dengan New York, dan Fira Basuki memakai setting Singapura, kini giliran Rusia dan Damaskus. “Ada kecenderungan generasi kini semakin menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki mobilitas dalam dunia internasional,” kata Sapardi Djoko Damono, salah satu anggota dewan juri. Tokoh-tokoh tak lagi terkungkung dalam geografi lokal seperti Siti Nurbaya.

Yang menarik, perluasan lokasi itu bisa diperoleh sepenuhnya dengan riset. Kedua pengarang di atas sama sekali tak pernah ke daerah-daerah yang menjadi lokasi novel mereka. “Saya belum pernah ke Rusia. Saya tertarik mengambil setting Rusia karena bahasanya dinilai banyak orang sulit. Saya sendiri tak bisa bahasa Rusia,” kata Ratih Kumala, 24 tahun, sambil tertawa. Di beberapa bagian, mahasiswa sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, Solo, ini menampilkan petikan kalimat-kalimat langsung berba-hasa Rusia. “…Ya zhdu tebya b Gorki Park (kutunggu kamu di Gorky Park)”—bagian ketika Krasnaya berteriak kangen kepada Galih.

Memang yang demikian bukan hal yang haram. Sebut saja Karl May, yang dengan kekuatan bahasanya mampu melukiskan sabana-sabana Amerika tanpa ia sendiri pernah pergi ke sana. Itu menandakan bahwa imajinasi bisa lebih perkasa dari pengalaman fisik. Namun lengkapnya data dan kualitas sumber informasi adalah tetap kunci utama untuk hal ini. Harus diingat, petualangan Winnetou dan Old Shatterhand sendiri, meski memikat, banyak yang ternyata tak akurat—nama-nama lokasi tak ada dalam kenyataan.

Untuk membangun setting novelnya, di samping mengandalkan buku-buku tentang Rusia, Ratih Kumala selalu berkonsultasi dengan seorang temannya, mahasiswa sas-tra Rusia Universitas Indonesia. “Saya sempat hendak mengganti setting ke Negara Jerman karena terbentur data, padahal sudah separuh lebih saya jalan. Saya kemudian memutuskan untuk mencari data tentang Rusia yang lebih lengkap dulu, kemudian baru menulisnya,” ujarnya.

Juga demikian Abidah el-Khalieqy. Ia pernah ke Mesir, tapi malah tidak memakai Mesir untuk setting Geni Jora, melainkan Maroko, Damaskus, Palestina, Libanon, dan sebagian Israel. “Saya pilih setting Timur Tengah karena saya melihat novel-novel mutakhir Indonesia lebih banyak mengambil setting negara Barat,” kata Abidah. Menurut Abidah, biasanya citra orang Timur Tengah negatif, padahal kota-kota tua Timur Tengah—setelah Athena, Yunani, dahulu—adalah jalur peradaban dunia. “Timur Tengah itu sebetulnya merupakan keseharian mimpi-mimpi saya. Kalau ada yang menawarkan perjalanan gratis ke luar negeri, saya pingin ke Timur Tengah, terutama ke daerah-daerah yang saya pakai dalam novel itu.”

Novel Geni Jora bukan novel pertama Abidah. Ia lebih dulu menghasilkan Perempuan Berkalung Sorban (2000). Novel pertamanya itu menekankan persoalan gender dan feminisme—berbeda dengan Geni Jora, yang lebih bercerita tentang gejolak perasaan cinta. Dari rumahnya di Jombang, Jawa Timur, ia menjangkau Timur Tengah lewat dua cara: buku-buku dan survei Internet. “Kalau soal lokasi, saya melihat di peta, tapi kalau soal cuaca, soal bunga, atau makanan dan bagaimana cara meramunya, saya chatting dengan teman-teman saya di Timur Tengah,” katanya.

Ketika mendeskripsikan musim dingin di Damaskus, misalnya, ia menulis dengan detail tentang segelas khamr, secangkir shahi nekna, sepiring falafel, sepiring besar dolmades…. Betapapun, mungkin karena bukan pandangan mata lang-sung, penggambarannya tak mengirim pembacanya ke suasana lokasi. Dalam soal makan tadi, misalnya, kita tak bisa membayangkan gerak-gerik mereka makan.

Juga ketika ia menyebut nama-nama masjid dan kampus, suasana atmosfer masjid atau kampus itu tak berdenyar. Maka, menurut Sapardi Djoko Damono, karena ini menyangkut soal akurasi, novel-novel pemenang ini harus diedit. Di mata Sapardi, pengarang harus rendah hati bahwa ia tak tahu tentang segala-galanya, tentang bahasa, dialek, atau detail sebuah lokasi. “Saya sering menjadi juri lomba penulisan cerita bersambung Femina. Banyak tokoh cerber itu dikisahkan tinggal Eropa dan penulisnya lalu sering menampilkan kutipan dialog dalam bahasa Inggris. Tapi 50 persen bahasa Inggrisnya salah kaprah semua,” kata Sapardi.

Perlunya diedit sebelum diterbitkan ini jadi penting karena para pemenang itu melakukan inovasi stilistika yang rumit. Diakui atau tidak, setelah Ayu Utami, makin banyak pengarang kita yang berani melakukan eksperimen struktur. Inovasi seolah tantangan yang menggairahkan. “Dari segi alur, saya melihat para novelis wanita sekarang cenderung menggunakan alur yang berbelit-belit atau tidak lurus. Naratornya juga tidak hanya satu orang,” kata Budi Darma.

Terlihat para pengarang sekarang dengan sangat sadar mengutak-atik sistem untuk menyiapkan kejutan-kejutan. Itu yang membedakan pengarang perempuan sastra Indonesia modern dengan pengarang sastra daerah. Dalam sastra daerah, perluasan tema apalagi inovasi strukturnya minim. Belum ada penelitian tentang perbandingan itu memang. Tapi kita mungkin dapat menduga penyebabnya. Para pembaca sastra Sunda atau Jawa tentu berbeda dengan segmen pembaca Dewi “Supernova” atau Djenar Maesa Ayu.

Djenar bisa dengan rileks menulis tentang kelamin, sisi bukunya yang kemudian menjadi perbincangan hangat para pembacanya. Tapi tidak begitu halnya sastrawan Sunda Holisoh. Guru dan Kepala Sekolah Dasar Cileunyi V, Bandung, yang dikenal produktif menulis novel berbahasa Sunda ini suatu kali pernah diprotes habis-habisan oleh koleganya lantaran tokoh utama novelnya, Kembang-Kembang Petingan. Mereka, para pembacanya, marah dan mempertanyakan mengapa ia sebagai pendidik malah justru mengangkat tokoh utama seorang pelacur.

Inovasi struktur dalam novel pemenang lomba penulisan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 ini, misalnya, sangat tampak pada novel pemenang pertama, Dadaisme, karya Dewi Sartika. Dalam novelnya, tersebutlah tokoh yang berprofesi sebagai dokter jiwa. Namanya Dokter Aleda. Aleda adalah dokter yang menangani pasien anak kecil bernama Nedena. “Dia anak kecil yang memiliki khayalan. Dia bisa bicara dari umur 4 sampai 6 tahun. Umur 6 sampai 9 tahun tidak bisa bicara,” kata Dewi kepada TEMPO.

Alur ceritanya berpindah-pindah. Ada adegan soal Dokter Aleda yang berusaha membuat Nedena bisa bicara lagi. “Dipaksa bicara tapi tidak mau. Dia cuma bicara kepada teman khayalnya dalam hati,” kata Dewi. Teman khayalan Nedena itu bernama Michail. Dia seorang malaikat dengan satu sayap. Yang menarik, malaikat ini muncul juga di hati tokoh lain dalam novel. Misalnya ia muncul pada Ging, seorang biksu. “Michail ini karakter yang menggambarkan kesedihan saya sendiri,” kata Dewi. Dengan gagasan seperti itu, setiap karakter jadi mungkin berkisah sendiri-sendiri. Satu sama lain punya hubungan yang mengikatkan: si malaikat bersayap satu.

Yang lucu, banyak teman Dewi kaget ketika mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia ini menang. Wanita berumur 24 tahun ini memiliki taman bacaan Mochan—singkatan dari Monyet Cantik—di Jalan Saluyu B-IV Nomor 16, Kompleks Riung Bandung. Ketika TEMPO berkunjung ke sana, Tutu, teman sehari-hari Dewi, tak tahu bahwa diam-diam Dewi menulis novel. Sebab, selama ini, Dewi dikenalnya lebih suka cerita-cerita remaja. Dewi sendiri mengakui hal itu. Menurut dia, selama di SMU, ia malah sering menggambar komik dan selama ini sering mengirim cerita remaja ke media. Ironisnya, cerita remajanya tak pernah dimuat. Sebaliknya karya yang berbobot sastra: langsung menyambar hadiah. “Saya sangat suka dengan cerita remaja, tapi yang lolos malah yang sastra. Saya jadi bingung,” katanya jujur.

Struktur novel Dewi kompleks. Dan itu—menurut Sapardi—tidak mengejutkan betul. “Bagi saya, tidak ada satu pun novel yang mengikuti sayembara ini memuaskan dari segi struktur,” katanya. Sapardi melihat semua novel yang diikutsertakan dalam sayembara ini ditulis dengan tergesa-gesa. Buktinya, banyak yang datang ke panitia mendekati batas waktu pengiriman. Menurut Sapardi, kecerobohan, kekurangan, dan keteledoran banyak terjadi. Maka hasil tak memuaskan akan muncul jika buku diterbitkan begitu saja, tanpa dirapikan.

Semua karya pemenang Nobel sastra, menurut Sapardi, saat diterbitkan selalu melalui proses editing yang ketat. “Bahkan puisi T.S. Elliot, The Waste Land, yang membuat dia meraih Nobel, sebenarnya hasil editing habis-habisan Ezra Pound, temannya yang sesama penyair,” katanya. Pengalaman Sapardi menerjemahkan novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway semakin menguatkan keyakinan dia bahwa novel apa pun perlu pengeditan. Semua kata dan kalimat Lelaki Tua dan Laut begitu kompak. Tidak ada satu adegan pun yang tidak berguna atau tidak bermakna. Novel laris seperti karya John Grisham, Sidney Sheldon, dan J.K. Rowling juga hasil editing.

Menurut dia, sastrawan besar selalu menjadi sahabat karib editornya. Karena itu, proses penyuntingan selalu dalam dialog. Pengeditnya bisa bersama-sama pengarangnya melakukan penyuntingan. Novel Grisham, yang aslinya lebih dari 750 halaman, oleh editornya misalnya bisa dipadatkan menjadi 350 halaman. Tapi Grisham tetap merasa puas. Itu berlainan dengan mayoritas sastrawan Indonesia, yang marah bila diedit. Bagaimana dengan Saman, yang setelah menang sayembara Dewan Kesenian Jakarta langsung diterbitkan tanpa diubah sama sekali? “Tapi saya yakin seyakin-yakinnya, sebelum dikirimkan ke lomba, Saman mengalami editing. Jadi, sudah ada yang mengedit. Siapa? Saya tidak tahu, tapi pasti sudah ada yang mengedit karena hasilnya serapi itu,” kata Sapardi.

Tapi Sapardi mengakui yang menjadi soal sekarang adalah Indonesia kekurangan editor yang baik. “Itu krisis yang paling serius dalam dunia sastra kita,” katanya. Pengertian editor yang tumbuh di sini adalah seperti tukang yang hanya memperbaiki ejaan, abjad, dan koma. Padahal tugas editor lebih dari itu. Ia bisa menajamkan struktur, menghapuskan hal-hal yang tak relevan, pokoknya melakukan segala hal yang menajamkan gagasan. Di luar negeri, menurut Sapardi, orang bisa lebih bangga menjadi editor daripada penulis: “I am editor” bukan “I am writer.” Untuk tiga pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini, Sapardi sebenarnya mau menjadi editor. Tapi, lantaran tak banyak waktu, ia meminta agar para novelis tersebut sabar. Tapi rupanya para novelis pemenang memilih jalan lain. Mereka lebih suka karyanya diterbitkan tanpa diedit.

Dan buku novel mereka diluncurkan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 April lalu, yang dihadiri sekitar seratus orang. Novel yang kemudian dibukukan oleh penerbit Matahari itu dibahas oleh Melani Budianta dan Gadis Arivia Effendi. Melani memuji kekompleksan struktur Dadaisme dan kemampuan Dewi Sartika menyambung cerita. Tapi kritiknya, struktur membuat karakter tokoh jadi datar dan tak optimal karena ruang yang ditampilkan hanya sedikit. Penyebutan nama filsuf yang bertebaran di novel, menurut Melani, juga mengganggu. Dalam novel Dadaisme banyak terdapat paparan surat-menyurat via e-mail antara dokter jiwa Aleda dan rekannya, Magnos. Mereka berdiskusi tentang apa saja, malaikat, Tuhan.… Dan mereka banyak mengutip pendapat filsuf seperti Leibniz, Spinoza, dan Descartes. Menurut Melani, sebaiknya itu dihilangkan. Lebih nyaman ditampilkan gagasannya saja.

“Sastrawan yang tak mau diedit mengambil posisi tidak betul. Mereka seperti Gusti Allah,” kritik Sapardi. Lepas dari persoalan itu, Dewi, Abidah, dan Ratih makin memantapkan tesis Sapardi bahwa masa depan sastra Indonesia memang berada di tangan perempuan. Baik dalam lomba maupun nonlomba akhir-akhir ini, kehidupan sastra Indonesia didominasi pengarang perempuan. Dari mereka, lahir sesuatu yang kreatif. Budi Darma, misalnya, mengamati bahwa kini banyak mahasiswanya yang memiliki keinginan besar menjadi novelis—gejala yang justru banyak didapat di antara mahasiswa perempuan. “Sekarang ini saja ada empat novel karya seorang perempuan di atas meja saya. Penerbitnya minta saya memberikan kata pengantar ringkas,” kata guru besar sastra ini.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita