27/06/10

Seseorang dengan Agenda di Tubuh

Pringadi Abdi Surya
http://suaramerdeka.com/

(1)
BIASANYA, setiap cerita pembunuhan akan dimulai dengan ditemukan mayat korban. Lalu dimulailah penyelidikan oleh seorang inspektur polisi yang meneliti satu per satu misteri sampai ditemukan motif dan bukti-bukti yang mengarah ke siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, saya tidak akan bercerita dengan metode kuno seperti itu. Saya akan mulai dengan sebuah pengakuan: sayalah yang telah melakukan pembunuhan dengan memukulkan benda keras ke kepala, berkali-kali (saya akan berhenti kalau sudah merasa puas), sampai berdarah-darah dan sang korban sudah tak lagi mengembuskan napas. Kemudian, akan saya tinggalkan sebuah jam dinding di samping mayat korban. Jam dinding yang jarum-jarumnya sudah saya atur sesuai urutan dan waktu pembunuhan.
Ini sudah korban yang kesebelas. Tidak seperti cerita-cerita yang umum terjadi, saya tidak butuh topeng darah misterius yang bikin saya jadi gila. Saya juga tidak memiliki kepribadian ganda atau motif biasa seperti untuk melindungi diri, kepentingan bisnis, atau cinta. Tiba-tiba saya jadi ingin membunuh kalau ada orang yang rasanya ingin dan sedang berbohong pada saya. Saya tahu itu dari matanya. Saya tahu dari bahasa tubuhnya. Mudah sekali mengenali orang-orang yang bisa berbohong. Terlebih saya adalah seorang psikolog. Bertahun-tahun bergelut dengan kepribadian dan bahasa tubuh seseorang.

(2)
Namun, cerita ini tidak bisa dimulai dari jarum jam yang kesebelas. Semua akibat pasti memiliki sebab. Setiap perjalanan pasti memiliki permulaan. Begitupun pembunuhan ini yang juga mengenal kata kali pertama. Tetapi, sebelum kamu tahu siapa dan bagaimana saya membunuh korban pertama, hendaknya dipikirkan apa cita-citamu semasa kecil. Cita-cita yang kerap ditanya oleh ibu guru gendut yang tiap bagi rapor akan menanti kue-kue kecil dari muridnya. Kemudian sebagian kue dibagikan lagi ke setiap murid. Sementara sebagian yang lain (yang biasanya lebih banyak atau lebih enak) akan ia bawa pulang ke rumah. Dibagikan kepada anak-anaknya sendiri.
Cita-citaku ingin jadi pesulap. Mengeluarkan burung dari topi. Memotong-motong tubuh tetapi tidak mati. Tetapi mereka bilang pesulap itu tukang bohong. Pesulap itu tukang tipu. Ada pula yang bilang pesulap itu budak setan, penentang Tuhan. Saya ingat siapa yang bilang itu. Dia seorang anak yang bercita-cita jadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya Rp 200.000 dengan alasan untuk biaya administrasi. Begitu pula ketika saya baru lulus sekolah, Rp 20.000 melayang untuk mendapatkan surat berkelakuan baik. Bayangkan betapa paradoksnya profesi yang satu ini. Saya hanya miris melihat slogannya yang berbunyi melayani masyarakat. Benar mental pelayan yang bergaji rendah, tetapi diam-diam mencuri barang milik majikan. Tidakkah kamu juga berpikir demikian, bahwa rakyat adalah majikan, adalah Tuan? Tetapi, berkat itu pula saya jadi mengerti, bahwa polisi-polisi di negeri ini banyak tak memiliki dedikasi, tak memiliki kemampuan untuk menyelidiki sebuah misteri. Terlebih misteri pembunuhan.
“Kamu tidak punya cita-cita lain selain jadi tukang sulap, Nak?” tanya ibu guru itu. Saya diam, memikirkan hal-hal lain seperti dokter, pilot atau presiden. Tetapi belum sempat saya menjawab, laki-laki kecil tadi berteriak, “Dia ‘kan anak pelacur, Bu…tidak pantas punya cita-cita!” Dan dia (beserta teman-temannya) menertawakan saya. Saya tidak menjawab meski sangat ingin mengatakan kalau ibu saya bukan pelacur. Ibu saya adalah seorang ibu yang baik hati dan bekerja siang malam untuk menyekolahkan saya.

(3)
Mempunyai ibu yang dicap pelacur adalah takdir saya.
Ibu memang suka pulang malam. Malam sekali sampai televisi hanya menyisakan gambar semut buram. Kata Ibu, semut-semut di dalam televisi itu sedang bertengkar memperebutkan posisi raja. Ibu juga bilang kalau semut itu hanya punya satu ratu yang berkuasa. Ratu yang mengatur segala-galanya. “Ibu adalah ratu saya,” saya katakan itu kepadanya dan dia tersenyum sambil kembali menyanyikan tembang yang tak saya ketahui judulnya. Tetapi, tembang itu selalu berhasil membuat saya tertidur.
Saya juga tidak punya teman. Tetapi tak ada yang berani melawan saya jika sudah menyangkut soal pelajaran. Saya selalu jadi juara kelas. Saya selalu meraih nilai tertinggi di setiap pelajaran yang saya ikuti. Laki-laki kecil yang bercita-cita jadi polisi itu tentu mendapat nilai terendah. Saya jadi tertawa-tawa sendiri kalau memikirkan asumsi ini, bahwa setiap laki-laki yang bercita-cita jadi polisi adalah laki-laki yang paling bodoh dalam pelajaran dan paling pandai membuat ulah pada masa kecilnya. Karena itulah, daripada suatu saat mereka ditangkap polisi, lebih baik mereka jadi polisi.
“Anak pelacur pasti mencontek. Mana ada anak pelacur yang pintar. Anak pelacur hanya akan jadi pelacur.”
Dia mulai mengolok-ngolok saya lagi. Kali ini saya tidak bisa menahan emosi. Saya berjalan mendekat. “Kamu mau apa?” tanyanya menantang.
Seketika saya lemparkan pasir ke matanya. Saya tendang kemaluannya. “Semoga suatu saat kemaluanmu ini tidak kau pakai di tempat pelacuran!” ucap saya dengan kasar.

(4)
Apa dari tadi kamu berpikir saya ini seorang lelaki?
Kamu salah. Saya seorang perempuan. Murni seorang perempuan.
Sudah hampir 17 tahun berlalu sejak saya menendang kemaluan laki-laki (untuk pertama kali). Untuk perihal yang satu ini, saya tidak ketagihan. Tetapi hanya jika ada kesempatan, saya akan melakukan lagi.
O, jangan dulu menuduh kalau ini perihal keturunan. Saya tidak suka disebut buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya
Ibu memang pernah membawa laki-laki datang ke rumah. Tapi itu cuma satu kali. Hanya satu kali dan itu diakhiri dengan pertengkaran. Saya disuruh Ibu masuk ke dalam kamar, tetapi saya nekat mencuri dengar.
“Kamu tidak pernah bilang kamu punya anak?!” teriak laki-laki itu.
“Tapi kamu bilang mencintai aku apa adanya?” Ibu berkilah.
“Ah, persetan!”
Braak! Pintu dibanting dan laki-laki itu pergi entah ke mana.
Saya muncul dari balik kamar, “Siapa dia, Bu?”
Ibu diam saja.
“Apa dia ayah saya?” tanya saya lagi.
“Ayah? Kamu pikir kamu punya ayah?” Ibu menangis sambil tertawa. “Ayahmu mungkin saja pejabat. Mungkin saja dia wartawan keparat atau preman-preman pasar yang suka menggoda Ibu!” lanjut ibu berteriak.
Saya menangis. “Kenapa Ibu berbohong? Ibu bilang ayah adalah seorang prajurit yang pergi ke medan perang. Bukan pejabat. Bukan wartawan keparat. Bukan preman-preman pasar yang mengoda ibu?”
“Ibu ini cuma pelacur, Nak…,” Ibu diam.
Mengusap air mata. Membenahi rambutnya yang awut-awutan. “Kembalilah ke kamar, tidurlah, sudah terlalu malam,” lanjutnya.
Dan saya menurut saja. Tak lama Ibu menyusul dan memeluk saya. Masih ada air mata yang basah di pipi.
Keesokan harinya, Ibu sudah tergeletak tak bernyawa. Ada pisau yang tertancap di dada kirinya. Saya berteriak memanggil orang-orang. Orang-orang datang. Orang-orang panik. “Kamu tahu siapa pelakunya, Nak?” seorang polisi yang sedang mengidentifikasi bertanya pada saya.
Katanya Ibu bukan bunuh diri, tetapi dibunuh.
“Semalam ada laki-laki…” dan saya mulai bercerita tentang apa yang semalam terjadi. Tetapi saya tahu Ibu tidak mati di tangan sang lelaki. Tetapi di tangan saya sendiri, tentu, tanpa meninggalkan sidik jari.
Tak seharusnya kamu membohongi saya, Ibu…

(5)
Sendok. Air. Gula. Dan gelas. Kamu pilih yang mana?
Perempuan ini sepertinya akan menjadi korban kedua belas. Dia baru mengaku kalau ia tengah selingkuh. Padahal ia sudah bertunangan. Sebentar lagi akan menikah. Dia mengambil gelas. Itu artinya dia merasa menjadi wadah tempat menampung cinta. Pantas saja dia seolah bisa menerima semuanya. “Kamu tahu kenapa jam dinding itu selalu mengarah ke pukul dua belas?”
“Dia akan kembali ke pukul satu dan selanjutnya dan selanjutnya. Tidak hanya menuju pukul dua belas,” ia menjawab dengan enteng.
“Kenapa kamu selingkuh?” tanya saya lagi.
“Karena dia sudah lebih dulu selingkuh. Satu-satu kan?” jawab wanita itu.
“Kamu merasa bersalah?” saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas.
Matanya mengikuti setiap ketukan-ketukan saya. “Kamu tahu, setiap kamu dengar ketukan ini, kamu akan terlelap dalam dan lebih dalam?” saya mulai memainkan teknik hipnotis.
Dan tentu saja berhasil. Pelan tapi pasti dia mulai memejamkan mata. Lalu tertidur, masuk ke alam bawah sadarnya. “Mulai sekarang kamu akan merasa bersalah dan sangat ingin mati dengan membenturkan kepalamu ke jam dinding yang membentuk angka dua belas,” ucap saya memberi sugesti.

(6)
Apakah wanita tadi sudah mati? Apakah saya tertangkap polisi?
Pasti pertanyaan-pertanyaan semacam itu sekarang ada di dalam benak kamu.
Seorang polisi datang mengetuk pintu. Tentu laki-laki, seusia saya. Rambutnya rapi. Senyumnya juga rapi seakan sudah diatur satu centi ke kanan dan ke kiri. Tetapi, ada yang saya kenali. Matanya yang tengil dan tahi lalat di samping kanan hidungnya membuat saya tertawa geli, akibat sebuah prediksi.
“Maaf, apa benar perempuan ini adalah pasien Anda?” dia bertanya sambil menyodorkan sebuah foto.
Foto perempuan kemarin itu.
“Ya. Baru dua hari yang lalu dia datang kemari, berkonsultasi,” jawab saya.
“Dia ditemukan meninggal hari ini. Kemungkinan dia bunuh diri,” lanjutnya dengan tatapan menyelidik.
Saya tahu tatapan itu. Saya juga tahu harus bagaimana menghadapi tatapan itu. Saya tetap tenang dan juga balik menyelidik.
“Saya pikir dia tipe perempuan yang mandiri. Tidak mungkin bunuh diri. Apa tidak ada kemungkinan lain?” saya balik bertanya.
Balik menatap matanya. “Seperti dibunuh misalnya?” saya ajukan pertanyaan ini dan matanya terkesiap.
“Tidak, tidak ada petunjuk yang mengarah ke sana. Dia membenturkan kepalanya ke jam dinding sampai mati. Tapi…,” dia terdiam sejenak, “tapi ada yang aneh dengan jam dinding itu. Jarum jamnya tepat menunjuk ke jam dua belas, dan setelah diautopsi dia pun mati tepat di jam dua belas. Bukankah ini terlihat seperti bunuh diri yang sangat direncanakan?” gumamnya kebingungan, atau sengaja dibuat kebingungan.
“Sebentar…,” saya ke belakang.
Tak lama kemudian saya kembali dengan secangkir kopi.
“O, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Dia meneguknya dengan pelan. Memandangi belahan di dada saya yang elegan. Saya pun sengaja sedikit menunduk. Matanya sudah seperti banteng yang mau menyeruduk.
“Menurutmu, apakah tukang sulap itu pekerjaan setan? Apakah tukang sulap itu adalah pekerjaan penipuan?”
Sejak saat itulah harusnya dia sadar bahwa matanya tak akan pernah lagi jelalatan. Matanya tak akan pernah lagi sembarangan. Dan jam dinding besar yang ada di ruang tamu ini pun berdentang keras menunjukkan pukul satu yang baru. Pukul satu yang berbeda.

2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita