16/09/09

KADO PENGHAMPIRAN SASTRA YANG “MEMBUMI”

Suryanto Sastroatmodjo
http://pustakapujangga.com/?p=638

Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).

Kekristenan dalam Kesusastraan Indonesia

Suryadi
http://cetak.kompas.com/

Ada dua unsur yang menjadi sumber ’energi’ penggerak alur cerita yang hampir tidak terlalu sulit menelisik jejaknya dalam teks sastra Indonesia. Yang pertama adalah unsur kesukubangsaan (dimensi etnisitas) dan yang kedua adalah unsur keagamaan (dimensi religiositas). Representasi kedua unsur ini dalam karya-karya sastra Indonesia—dalam kadar yang berbeda-beda—hampir selalu dapat dirasakan.

Kesusastraan Indonesia modern, sejak awal kemunculannya sampai sekarang, dipenuhi oleh teks-teks fiksional yang merepresentasikan persoalan-persoalan etnisitas dan religiositas dengan menampilkan banyak wira yang mengalami guncangan psikologis akibat pertemuan dengan modernisme Barat.

Dimensi etnisitas karya-karya sastra Indonesia sudah lama menjadi topik pembicaraan di kalangan pengamat sastra. Penelitian dan polemik mengenai regionalisme dalam kesusastraan Indonesia—dengan memakai berbagai istilah seperti ”perdebatan sastra kontekstual”, ”revitalisasi sastra pedalaman”, dan lain sebagainya—telah berlangsung paling tidak sejak 1980-an, seperti dapat dikesan dalam tulisan- tulisan Ariel Heryanto, Linus Suryadi AG, Mursal Esten, Michael Bodden, dan Farida Soemargono—untuk menyebut beberapa nama.

Dimensi religiositas karya-karya sastra Indonesia juga sudah sering dibahas dalam penelitian dan kritik sastra. Namun, sejarah studi sastra Indonesia menunjukkan bahwa yang lebih sering dikaji adalah representasi agama mayoritas (Islam), seperti dapat dikesan dari, misalnya, studi Sjamsu (1971), Jassin (1972), Deakin (1976), Hasjmi (1979; 1984), Dardjowidjojo dan Lamoureux (1983), Navis (1984), Mangunwijaya (1988), Tohari (1989), Tahqiq (1995), serta Saridjo (2006). Sebaliknya, studi dan kritik yang membahas dimensi religiositas agama-agama minoritas, seperti Kristen, Hindu, dan Buddha, sangat jarang tersua.

Sejak lama kultur politik dan agama di Indonesia potensial membuat kalangan intelektual, akademisi, dan budayawan cenderung menjauhkan diri dari diskursus apa pun yang terkait dengan agama-agama minoritas. Orang dibuat khawatir dan takut untuk mengangkat isu agama-agama minoritas ke dalam wacana publik, termasuk dalam dunia penelitian dan kritik sastra.

Kenyataan menunjukkan bahwa sejumlah teks sastra Indonesia lahir dari latar belakang tradisi kekristenan. Namun, unsur religiositas kekristenan (Christianity) itu jarang dibahas dalam wacana penelitian dan kritik sastra Indonesia.

Demikianlah umpamanya, representasi kekristenan, baik dalam nada mitos pengukuhan maupun mitos pembebasan, dapat dikesan dalam Upacara karya Korrie Layun Rampan (1976), Romo Rahadi (1981) dan Pohon-pohon Sesawi (1999) karya YB Mangun Wijaya, Saman karya Ayu Utami (1998), dan Genesis (2005) karya Ratih Kumala—untuk sekadar menyebut contoh.

Di bidang puisi, karya-karya Fridolin Ukur (misalnya dalam antologi Malam Sunji (1961) dan Darah dan Peluh (1962)), beberapa karya Sitor Situmorang dan WS Rendra, juga kaya dengan simbol-simbol kekristenan.

Jika diluaskan pandangan ke daerah-daerah di luar Jawa, maka karya-karya sastra Indonesia yang merepresentasikan religiositas kekristenan cukup banyak jumlahnya, misalnya dalam Matias Akankari (antologi cerpen, 1972), Cumbuan Sabana (1976), dan Requiem untuk Seorang Perempuan (1983) karya Gerson Poyk, dan dalam Rabies (2002) dan Surat-surat dari Dili (2005) karya Maria Matildis Banda.

Agama adalah unsur primordial dalam kesusastraan Indonesia modern. Eksklusivisme religiositas mendapat lahan subur dalam teks-teks literer kita, dari dulu sampai sekarang. Indikasinya: dalam dunia kepengarangan, amat sedikit sastrawan Indonesia yang mampu melakukan tour of area keluar dari batas agama masing-masing. Bahkan dalam teks novel yang merayakan pluralisme keindonesiaan sekalipun, seperti Saman, religiositas—dalam hal ini kekristenan—tetap kentara.

Studi sastra Indonesia yang tumbuh di atas wacana agama mayoritas yang cenderung mendominasi menyebabkan timbulnya kecualian terhadap unsur religiositas agama-agama minoritas. Ini misalnya dapat dikesan dalam berbagai studi dan kritik terhadap Saman karya Ayu Utami (seperti Hatley 1999; Lisabona 2003; Budiman 2003; Mariana 2004; Soe 2007) yang umumnya berangkat dari perspektif teori feminisme.

Orang abai terhadap hakikat Saman sebagai sebuah drama mengenai kemurtadan. Alurnya digerakkan oleh keputusan protagonisnya, Athanasius Wisanggeni, keluar dari kepastoran. Problem psikologis yang dialami Wisanggeni sesungguhnya berpangkal pada kesangsiannya terhadap Yesus.

Walaupun mendiang YB Mangun Wijaya, misalnya, pernah menyentil pentingnya dimensi kekristenan dalam Saman, seperti dapat dibaca dalam catatannya pada jacket blurb cetakan ke-13 novel ini (Jakarta: Kalam dan Kepustakaan Populer Gramedia, Juni 1999), tetapi tampaknya tidak ada pengamat sastra Indonesia yang terpancing perhatiannya oleh catatan begawan kesusastraan Indonesia itu.

Memang Saman tidak menerima nasibnya seperti Langit Makin Mendung-nya Ki Pandjikusmin di tahun 1960-an. Namun, hal itu bukan karena ia diterbitkan di zaman Reformasi, tetapi karena protagonisnya adalah seorang yang bukan memeluk agama mayoritas di Indonesia.

Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa mungkin ada semacam self-censorship yang telah terinternalisasi dalam alam bawah sadar kebanyakan peneliti dan kritikus sastra kita ketika hendak mengapungkan wacana-wacana agama minoritas dalam karya-karya sastra Indonesia.

Tanpa bermaksud mengabaikan dimensi religiositas agama-agama minoritas lainnya, pada hemat saya unsur kekristenan dalam sastra Indonesia modern perlu diteliti lebih mendalam dan mestinya bebas dari prasangka SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)—salah satu ’mistik’ warisan Orde Baru—dengan tujuan semata-mata hanya untuk memperkaya pemahaman kita terhadap pluralitas budaya dan religiositas teks literer Indonesia yang lahir dari negeri multiagama dan multietnis ini.

Harus diakui bahwa prasyarat sosial yang memungkinkan hal ini dapat berkembang di Indonesia memang masih kurang karena belum membudayanya studi lintas agama di satu pihak dan sikap eksklusif pemeluk masing-masing agama di lain pihak yang, langsung atau tidak, terkait dengan politisasi agama oleh negara.

Namun, sudah semestinya tradisi ilmu dan kritik sastra Indonesia berusaha membebaskan diri dari sekat-sekat agama dan etnisitas yang dalam rentang waktu cukup lama dalam sejarah bangsa ini di-ada-kan dan ’dipelihara’ oleh rezim yang berkuasa. Membebaskan diri darinya mungkin memberi sedikit kontribusi pada perwujudan mimpi kita tentang sebuah Indonesia bersatu yang toleran terhadap kemajemukannya sendiri.

*) Dosen dan Peneliti pada Opleding Talen en culturen van Indonesië, Faculteit der Letteren Universitaeit Leiden, Belanda.

SUDAMALA, SENI, DAN BEDA: KE ARAH TAFSIR LAIN TENTANG KEINDAHAN

Goenawan Mohamad
http://terpelanting.wordpress.com

Sebentar lagi kita akan menyaksikan sebuah pertunjukan Slamet Gundono, yang kebetulan pernah saya tonton beberapa waktu yang lalu: Sudamala, atau Uma, Nyanyi Sendon Keloloran.

Dalam kesempatan ini, saya akan bertolak dari lakon itu untuk membicarakan setidaknya dua anggapan, atau salah anggapan, yang dewasa ini acap kita jumpai ketika orang berbicara tentang kesenian. Pada hemat saya, diskusi mengenai hal itu penting sekarang. Kita hidup di sebuah masa yang ditandai oleh tuntutan yang berlebihan kepada manusia – baik melalui kekuatan dalam pasar, maupun kekuatan dalam masyarakat, yang makin mengasingkan dunia kehidupan dari kesempatan untuk bebas, mengalir, dan berbeda.

Dalam kondisi itu, kesenian adalah bagian dari dunia kehidupan yang masih vital, betapapun terkucil. Tak mengherankan bahwa ketiga anggapan yang akan saya uraiakan ini sangat kuat berakar.

Pertama, kesenian umumnya serta merta dikaitkan dengan keindahan, tanpa orang berpikir bagaimana keindahan lahir, siapa yang menentukan “indah” atau “tak indah”, mengapa satu ekspresi kesenian sebuah masa tak jarang ditampik oleh ekspresi kesenian dari masa sesudahnya, mengapa ada generasi baru yang menafikan generasi seni sebelumnya, walaupun tetap ada karya-karya seni yang tak henti-hentinya memberikan makna baru. Dengan kata lain, benarkah keindahan adalah sesuatu yang begitu penting, dan benarkah ia sesuatu yang universal?

Kedua, kesenian umumnya dikaitkan dengan “kebenaran”, tetapi hampir tak pernah kita persoalkan bagaimana kebenaran lahir dalam karya seni, dan benarkah (serta mungkinkah) ada pegangan yang sudah siap tentang “kebenaran” itu? Tidakkah “kebenaran” ditentukan oleh mekanisme kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik wacana kebenaran itu? Juga, bagaimana ia, yang lahir dari konteks tertentu dan masalah tertentu, bisa akan bersifat universal?

Malam ini saya akan menyinggung – meskipun mungkin tak akan membahasnya sampai tuntas – dua persoalan di atas, seraya memberi pengantar sedikit tentang apa yang akan disajikan Slamet Gundono dengan lakonnya. Tentu saja saya berharap, saya tak akan membuat anda semua kehilangan nikmatnya kejutan ketika lakon Sudamala itu disajikan nanti.
***

Sebagaimana kita baca dari lembaran program, kali ini Slamet Gundono menyebut teaternya kali ini “wayang lindur”. Kita ingat Slamet sebelumnya pernah mementaskan “wayang suket” dan “wayang air” di samping kadang-kadang ia menjadi dalang “wayang kulit” atau “wayang purwa.”

Kita bisa saja bertanya apa arti “wayang” dan apa pula arti “wayang lindur”; kita mungkin akan memperoleh jawab. Tapi saya tidak yakin, perlu benarkah jawab itu bagi seseorang untuk menikmati pertunjukan ini. Slamet Gundono justru menunjukkan, bahwa seni tidak dimulai dari definisi dan taksonomi. Pengalaman artistik, ketika menikmati sebuah karya seni, adalah momen ketika kita masuk ke dalam pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Sungai adalah air — tapi tak hanya air — yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit dan jukung, melindungi ikan dan ular, dalam perubahan cuaca dan saat.

Menikmati pertunjukan ini adalah menikmati gerak yang yang tak henti-henti melintasi identitas itu. Di sini, batasan makna hanyut. Pakem dipakai sebagai dasar, tetapi sekaligus diterjang. Seperti dapat kita baca dari sinopsisnya, lakon ini berangkat dari satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, atau Batara Guru, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Parvati, atau Durga. Tapi apabila dalam kisah yang kita temukan di India (dan juga Bali) Uma atau Parvati adalah tokoh perempuan yang mencintai dan mengabdi, dalam Sudamala Slamet Gundono, Uma adalah isteri yang tak setia, atau, menurut sinopsis, “tak pernah tunggal memahami cinta.”. Dan bila menurut “pakem” Syiwa adalah sosok yang perkasa karena ia dewa, dalam kisah Gundono tokoh ini sempat dirundung bimbang dan kesedihan.

Pada saat yang sama, Slamet Gundon menampilkan ki dalang sebagai wayang: dia, ki dalang, juga sekaligus Manikmaya. Sejumlah aktor yang juga pemain gamelan bermain bersama satu atau dua helai wayang dari kulit. Seorang penari perempuan dalam kostum seorang nyonya muda kota besar juga hadir sebagai Uma, yang berjalan dari lantai ke lantai di sebuah mall. Seorang aktor perempuan yang juga menembang dan menari berlaku sebagai lawan dialog yang menentang Manikmaya. Dan di bagian depan pentas yang bersahaja, seorang tukang batu sedang membuat tembok. Kita kemudian akan tahu tembok itu tak akan pernah selesai.

Yang juga tak lazim adalah latar dan tempat dan perpindahan yang tak disangka-sangka dari satu lokasi ke lokasi lain. Gundono bahkan memasang ceritanya berdampingan dengan cerita lain, tentang pertemuan antara sang “aku” dengan seorang biksu pelarian dari Tibet di tepi sebuah jalan di Berlin. Tak ada alur yang urut, dan tak akan terdengar “pesan moral” yang lazim kita dapatkan dalam pertunjukan wayang.

Yang kita saksikan adalah loncatan-loncatan ruang dan waktu, pembauran antara benda sehari-hari dan elemen-elemen fantasi. Yang melankoli berselang seling dengan yang lucu, dialog bahasa Tegal bersilang dengan bahasa Indramayu. Tapi kita akan mengikutinya dengan asyik, bukan sebagai satu karya banyolan, melainkan sesuatu yang mengisyaratkan kehidupan manusia yang tak satu segi, dan di antara itu kita juga dapat merasakan saat-saat yang menyentuh hati.

Bagi saya, yang menakjubkan bukanlah campur aduk yang tak terduga-duga itu. Yang menakjubkan ialah bahwa semua itu mendekatkan kita kepada khaos, kepada “kekacauan,” tanpa kita menampiknya.Bahkan kita menerimanya dehgan asyik. Serta merta, di hadapan lakon ini, kita seakan-akan kena pesona untuk menanggalkan obsesi kita yang mendahulukan ketertiban. Mereka yang mau serba tertib akan kehilangan sesuatu yang berharga dari lakon ini.
***

Mungkin demikianlah umumnya yang terjadi dalam pertemuan kita dengan sebuah karya seni – terutama bentuk-bentuk kesenian yang tak mengikuti semangat klasik. Di hadapan karya Gundono, sebagaimana di hadapan kanvas Affandi, kita tak bisa memuja garis batas yang serba rapi. Kita mau tak mau akan terbawa oleh pesona arus yang mengalir dan bergejolak dalam sebuah situasi artistik. Situasi kesenian, kata pemikir Prancis Alain Badiou, “menyarankan kepada kita satu hubungan antara kecenderungan (disposition) khaotik dari sensibibitas, dengan apa yang dapat diterima sebagai sebuah bentuk.”

Dengan kata lain, tiap situasi artistik berada dalam ketegangan antara “kecenderungan khaotik dari sensibilitas” di satu sisi, dan bayang-bayang “sebuah bentuk” di sisi lain.

Persoalannya tentu, kenapa “khaotik”? Kenapa “kekacauan” adalah bagian dari sebuah proses kreatif? Untuk menjelaskannya, saya akan melanjutkan memakai argumentasi Badiou.

Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu cuma berlangsung sekilas; dalam pengalaman estetik, kita misalnya tersentak di saat kita, pada sebuah malam yang jarang, menyaksikan bulan terpacak di langit di atas kuburan, seperti pernah “direkam” dalam sebuah sajak Sitor Situmorang. Seakan-akan meneguhkan sifat “sekilas” dari kejadian itu, sajak Sitor itu hanya terdiri dari dua kalimat: satu baris untuk judul, satu baris lagi untuk yang diberi judul:

MALAM LEBARAN

Bulan di kuburan

Kita tahu bahwa di malam lebaran bulan tak akan tampak — tapi di saat itu, kita tak mempersoalkan apakah bulan itu benar ada di sana, atau ia hanya sebuah ilusi. Kita terpesona, dan pesona itu menghadirkan realitas. Yang perlu saya tekankan di sini: pesona itu tak akan bisa diulangi lagi. Ia saat yang singular. Bila kita nanti melihat bulan lagi, dan kita terpesona sekali lagi, yang terjadi bukanlah sebuah repetisi. Mungkin kaena kita juga mengalami sesuatu yang tak terhingga: sajak satu kalimat singkat itu seakan-akan menyisakan sesuatu yang kosong, menjauh, tak terjangkau. Maka tiap kali kita terpesona akan bulan lagi, yang terjadi adalah sesuatu yang kembali baru, seakan-akan kita melihatnya buat pertama kalinya dalam hidup kita. Badiou mengutip Heidegger: “Penyair selalu berkata seakan-akan yang-ada diutarakan buat pertama kalinya.”

Saya kira kita dapat merasakan kejadian itu, pesona yang seakan-akan buat pertama kalinya itu, dalam sajak Chairil Anwar ini, dari sebuah malam di pegunungan:

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Ada perasaan terkesima di dalam sajak itu, ada sesuatu yang enigmatik bak teka-teki yang menyelimuti saat seperti itu. Sang penyair mencoba mencari jawab, tapi jangan-jangan tak tepat untuk mempersoalkan sebab dan akibat pengalaman estetik seperti itu. Lebih tepat adalah masuk ke dalamnya, bermain di dalam suasana itu, seperti anak kecil yang di bawah bulan itu “main kejaran dengan bayangan”.

Sebab kita tak akan “dapat jawab”, betapapun kita “terlalu sangat” kepingin. Dari sebuah kejadian, kita tak mendapatkan “pengetahuan” – sesuatu yang sudah tersusun rapi bagaikan dalam sebuah rumus atau ensklopedia. Momen kejadian, momen pengalaman estetik, adalah sebuah “proses-kebenaran”, kata Badiou. Dengan itu, kebenaran datang ke pikiran kita bukan sebagai sebuah keputusan, melainkan sebagai sebuah proses yang tak seluruhnya dapat diutarakan dalam bahasa, sebuah proses dalam sebuah kancah yang mengandng kesadaran dan ketidak-sadaran, yang tak dapat ditangkap penuh oleh tata simbolik.

Pengetahuan, bagi Badiou, berbeda dengan Kebenaran. Pengetahuan hanya memberi kita ulangan, hanya berkaitan dengan apa yang sudah di sana. Sementara itu, Kebenaran tampil sama sekali bukan sebagai repetisi, melainkan sebagai kejutan dari yang baru, melalui “suplemen” (supplément événementiel) yang tak terduga, yang tak dapat diperhitungkan, dan berada di luar jangkauan dari yang sudah ada. Seperti ketika seseorang jatuh cinta dan cinta itu mengubah dirinya. Seperti ketika Chairil dalam sajak di atas bersua, seakan-akan buat pertama kalinya, malam di pegunungan dengan bulan yang seakan-akan “membikin dingin” dan membuat rumah jadi pucat dan menyebabkan pohon-pohon jadi kaku.

Pada momen estetik seperti itu, yang mewedarkan sesuatu yang baru dan sebab itu terasa beda sama sekali, bahasa, sebagai hasil konvensi, belum siap menampungnya. Pada momen seperti itulah kita tahu, seperti dikemukakan Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain: ‘ada tetap yang tidak terucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah’.

Yang tetap “tak terucapkan” itulah yang oleh Badiou disebut “yang tak ternamai”, sesuatu yang “begitu singular dalam singularitasnya, begitu intimnya dalam situasi itu”. Dalam saat itulah kita mengalami sesuatu yang “khaotik”.
***

Tapi dalam sebuah karya seni, yang “khaotik” hadir selamanya bersama bentuk. Persoalan yang harus kita jawab adalah apa gerangan yang disebut “bentuk” dalam sebuah karya seni?

Dalam percaturan telaah seni, “bentuk” sering disebut dalam perbandingannya dengan “isi”: “bentuk”-lah yang mewadahi “isi”. Kita memang dapat mengatakan, sebuah syair adalah sebuah “bentuk”, dan di dalamnya ada isi “petuah” atau “hikayat” atau “cerita jenaka.

Pemisahan yang tegas antara “bentuk” dan “isi” memang lazim dalam kesenian klasik dan tradisional. Demikian pula halnya dalam karya-karya yang dimaksudkan untuk menyampaikan isi – karya sastra yang didaktis, misalnya, atau seni rupa yang dimaksudkan untuk memberi informasi atau propaganda. Di sana, “bentuk” adalah semacam kemasan belaka – yang tak perlu dan tak niscaya bertaut senyawa dengan “isi” yang dibawakannya. Syair tentang kota Singapura yang dimakan api punya bentuk yang sama dengan syair yang berisi nasihat perkawinan.

Tapi hubungan antara “bentuk” dan “isi” tak selamanya berlaku demikian. Dalam mantra, umpamanya, bunyi dalam rima dan pengulangan beberapa patah kata, dan pilihan nama yang tak pernah jelas perannya sama sekali tak dapat dipisahkan dari daya magis yang terkandung di dalam tubuh mantra itu. Hal yang sama kita temukan dalam suluk yang ditembangkan dalang dalam wayang purwa: “isi” suluk itu adalah suasana yang terbangun dari gabungan antara kata, bunyi kata, dan lagunya. Kita dapat juga menyebut puisi modernis seperti sajak-sajak Chairil Anwar: sajak Doa, misalnya, mengandung bunyi yang praktis lahir dari suasana hati yang terasa dari dalam sajak. Dengarkanlah bunyi “u” dan “uh” dalam kalimat-kalimat ini, dan kita akan merasakan suasana murung dan lelah:

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Dalam sajak itu, seperti dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang memakai mantra sebagai model, “bentuk” bukanlah wadah atau kemasan makna; ia adalah makna tersendiri. Dengan kata lain, sebenarnya tak selamanya gampang memisahkan “bentuk” dari “isi”. Bahkan dapat dikatakan, dalam karya-karya yang berhasil, baik dalam sastra, seni rupa, seni musik ataupun seni pertunjukan, yang disebut “bentuk” acapkali tumbuh dari dalam proses kreatif, bukan sesuatu yang dipasang sebelum atau sesudah proses itu. Jika kita dengarkan Requiem karya Tony Prabowo, misalnya, dengan perkusi yang berdentam beruang-ulang di antara viola, kita akan bersua dengan sebuah sikap lain tentang kematian dan perkabungan dari tema yang sama dari Ligetti. “Bentuk” adalah bagian, atau buah, dari proses kreatif itu sendiri.

Itulah sebabnya, penilaian tentang bentuk sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah siap di luar proses penciptaan pada akhirnya akan meleset. Namun salah sangka ini memang sudah lama bertahan. Bentuk dalam sebuah karya seni — umumnya diartikan sebagai sesuatu yang dapat dicerap oleh pancaindera atau ditangkap oleh intuisi – seringkali diharapkan menghadirkan sebuah ke-satu-an, suatu Gestalt, atau bahkan keselarasan. Tetapi pandangan seperti ini dapat digugat, terutama menghadapi karya-kaya dewasa ini.

Salah satu acara Art Summit di Jakarta baru-baru ini adalah pementasan kelompok Dorky Park, sebuah grup tari dari Berlin dengan sutradara asal Argentina, Constanza Macras. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta saya menonton bagian kedua dari nomor I’m not the Only One, yang pernah dipentaskan di Volkbühne di Berlin, Januari 2007. Yang saya saksikan adalah sebuah pementasan dengan gaya “pasca-Pina Bausch”: gerak mengelak dari struktur, apalagi struktur yang elegan; pentas seakan-akan diisi oleh bermacam coretan yang acak dan tak padu; tak nampak ada komposisi dalam ruang, dan sedikit sekali efek pencahayaan; ada suasana ceroboh dan tak serius, juga dalam peran video yang disorotkan ke layar. Pada satu saat, dalam semacam klimaks yang bukan klimaks, pentas kacau balau: hampir tiap pemain menirukan adegan slapstick dalam film Holywood yang klise (kue tart dijejalkan ke muka orang sampai belepotan), hingga permukaan panggung dihamburi cipratan. Saya merasakannya sebagai kehendak menegaskan diri dalam posisi “anti-anti klise”. Ada dialog, ada nyanyi, tapi tak berarti apa-apa, suara-suara itu seakan-akan tak saling menyahut. Tak ada pertumbuhan dari saat ke saat ke arah akhir. Lelucon dan ironi menyeruak, tapi tak berarah.

Dengan segera kita merasakan, inilah koreografi yang antikoreografi, bentuk yang antibentuk. Tak ada Gestalt, apalagi keselarasan. Tak ada pula ditampakkan keunggulan teknik, kepintaran mengatur panggung. Saya coba membandingkannya dengan pementasan Sudamala: di dalam karya Slamet Gundono, kita juga akan menemukan hal-hal yang tak koheren; misalnya agak di depan, ada seseorang yang membangun dinding dari bata dan campuran semen, persis seperti tukang batu yang ketinggalan, ketika cerita berlangsung. Tapi setidaknya Slamet Gundono, dengan sosok dan kehadirannya yang tak tertandingi, berhasil membentuk pusat. Panggung Dorky Park justru sepenuhnya menghancurkan pusat. Di sini, yang “khaotik” tak punya kutub lain yang berbeda dan melawannya, dan dengan demikian bisa membuat khaos itu tidak total, hingga terbit keretakan dan suspens dalam pementasan. Tapi agaknya I’m not the Only One juga menafikan bahkan suspens sekalipun. Ia bisa terasa datar.

Bukan maksud saya menilai karya Dorky Park itu di sini. Dalam pembicaraan kita malam ini, saya hanya ingin menunjukkan: sebuah pementasan yang menyatakan diri anti-bentuk seperti itu bukan saja menggugat pandangan ala Aristoteles yang mengunggulkan “kesatuan” atau koherensi. Dan jika koherensi sebuah karya seni memberinya satu nilai artistik yang lebih tinggi, yang dibawakan Dorky Park justru menolak untuk mendapatkan nilai itu. Tapi toh karya kelompok tari yang anti nilai artistik ini diakui sebagai sebuah karya seni yang sah. Dan jika I’m not the Only One sah, (kita tahu ia disertakan dalam Art Summit 2007), sejauh mana sebenarnya keindahan – yang hendak dicapai oleh suatu ikhtiar artistik — penting bagi sebuah karya seni?
***

Hampir semenjak tahun 1917, hubungan karya seni dan “keindahan” diguncang. Saya memakai tahun itu, sebab itulah tahun ketika Marchel Duchamp membuat sejarah dengan cara yang termashur itu: ke pameran seni rupa yang diselenggarakan The Society of Independent Artists di kota New York, ia menyerahkan sebuah “karya” untuk disertakan. Yang ia serahkan adalah sebuah urinal, sebuah torpis (sentoran pipis), model yang baku dan biasasaja. Ia tidak membuat torpis itu. Ia memperolehnya dengan membeli. Benda itu diletakkannya terbalik, dan di permukannnya ia tuliskan sederet huruf, “R. Mutt 1917”.

Apa yang dilakukan Duchamp, yang sebelumnya telah terlibat dengan gerakan Dadaisme, mungkin sebuah lelucon, mungkin sebuah caranya untuk mempersoalkan: apa sebenarnya sebuah karya seni? Mengapa harus ada identitas yang dipatok ketat dalam pengertian itu? Jika sebagai syarat mutlak karya seni adalah hadirnya unsur keindahan, apa gerangan yang dimaksud dengan “keindahan” itu?

Ada sebuah sajak Emily Dickinson yang mencoba menjawab itu:

The Definition of Beauty is
That Definition is none —

Pada akhirnya, definisi apapun – apalagi tentang keindahan – akan tak memadai. Salah satu kritik kepada usaha merumuskan “keindahan” ditembakkan ke arah sejarah selera manusia untuk yang indah dan tidak.

Kita memang dengan tanpa kesulitan melihat, bahwa ada yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “modal kultural” yang menentukan sebuah selera. Buruh tani yang hidup tiap hari dengan jerih payah tak akan cukup punya waktu untuk membiasakan diri dengan kehalusan tari srimpi, yang berkembang di rumah-rumah bangsawan. Untuk menetapkan bahwa tari srimpi adalah ekspresi keindahan yang bisa dan layak diterima siapa saja adalah sebuah penjajahan selera.

Sebab itulah, sejak tahun 1976, saya menentang pengertian yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantoro untuk kebudayaan nasional sebagai himpunan “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Sebab dalam pengertian “puncak”, ada peran yang mementukan dan memilih – dan umumnya, peran itu dipegang oleh mereka yang mempunyai “modal kultural” yang cukup. Penilaian tentang yang “puncak” dan tidak, yang “indah” dan “buruk”, bukanlah sesuatu yang universal.

Sejak tahun 1917, dunia kesenian mengakui pentingnya sebuah ironi: torpis yang hendak diikut-sertakan Duchamp untuk pameran seni rupa di New York itu, yang dalam jumlah yang amat banyak bisa ditemukan di kakus-kakus di dunia, akhirnya diterima sebagai karya seni, meskipun mula-mula ia ditolak. Di sini telah terjadi apa yang bisa disebut demokratisasi – ada yang menyebutnya sebagai “demokratisasi jenius” – karena kini hampir siapa saja dapat membuat atau memperkenalkan sebuah karya seni, ketika apa yang indah dan yang tidak merupakan keputusan masing-masing.

Dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, dengan akar Jawa, “demokratisasi” juga yang kiranya akan kita saksikan dalam Sudamala. Lakon ini tak menampilkan wayang sebagai sesuatu yang angker dan adiluhung, yang merupakan bagian dari pemegang aristokrasi selera. Slamet Gundono dengan sadar, dan saya kira juga dengan berhasil, membawakan apa yang pinggiran – yang dalam leksikon kebudayaan Jawa disebut sebagai “pasisiran” – ke sebuah proses kreatif yang memikat dan menyentuh hati. Janturan dan dialog tak disampaikan dalam bahasa Jawa yang dikenal di Kraton Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di kalangan rakyat di pantura: bahasa Tegal yang selama ini dianggap “buruk” dan “kampungan”, yang dibawakan oleh Gundono sendiri, dan bahasa Indramayu, yang dibawakan oleh Wangi.

Yang menarik dari Sudamala ialah bahwa ia bisa terbebas dari kontradiksi yang kita temukan dalam paradigma Duchamp. Apapun niat Duchamp, hasil perbuatannya tak dapat disimpulkan hanya sebagai proses “demokratisasi.” Ada yang mengatakan, bahwa yang terjadi justru kembalinya sifat otoriter dalam seni, sebab sebuah benda akan langsung menjadi benda seni, bila seorang pelukis atau seniman terkenal memaklumkannya demikian, meskipun benda itu berupa sebatang cabang yang tertinggal kering di pantai. Dalam hal karya Slamet Gundono, saya bisa menduga, bahwa ia tak membutuhkan pengakuan dari nama dan institusi besar: suksesnya akan tercapai ketik ia bisa diteriima oleh siapa saja, dari kelas sosial mana saja – sesuatu yang tak mustahil, sebab dalam Sudamala kita menemukan banyak anasir keyakyatan yang muncul secara wajar.

Saya kira soalnya agak lain dengan kasus Dork Park. Kita memang tak tahu, sebenarnya, mungkinkah pementasan seperti yang disajikan oleh kelompok termashur dari Berlin ini akan dapat diterima dalam Art Summit, seandainya tak ada nama “Dorky Park” di sana. Kebanyakan karya yang mewarisi semangat Dadaisme umumnya membutuhkan wacana penunjang untuk bisa mendapatkan legitimasi.
Tapi seorang teman mengingatkan saya, bahwa posisi otoriter sang seniman dalam seni setelah Duchamp tidaklah sepenuhnya benar. Penonton karya Constanza Macras punya hak dan kekuatan yang taj kalah poenting ketimbang sang penggubah. Mereka toh dapat menampiknya dengan meninggalkan ruang teater, misalnya, seperti konon yang pernah terjadi di Paris. Bahkan karya itu sendiri, dengan corat-coret yang acak, dengan sebuah struktur yang tanpa pusat, tanpa fokus, memberi kesempatan seorang penonton untuk memilih, bagian mana yang hendak dinikmatinya.

Tapi dengan demikian, memang masih tergantung-gantung sebuah persoalan: bisakah kita mengandalkan sifat universal dari kesenian? Problem ini terutama terlontar ke depan kita di zaman ini, ketika kesenian sering dikaitkan dengan “ke-ber-arti-an”. Kesenian dianggap harus membawakan suatu makna (“arti”) yang dapat ditawarkan untuk mencapai dan membentuk konsensus. Kesenian juga dianggap harus punya guna, tujuan, atau peran (pendeknya “berarti”), bagian bagian instrumental dari sebuah mesin besar yang disebut “kemajuan.”

Untuk menjawab persoalaan itu, saya ingin menawarkan satu tafsir baru tentang universalitas dalam karya seni. Saya ingin kembali ke apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” – ketika pengalaman estetik terjadi, dan kita mengalami pertemuan dengan sesuatu yang singular. Badiou telah menyebutnya juga sebagai “yang tak ternamai.” Dalam penafsiran saya, itu di dalamnya tersirat “yang tak terhingga” – yang jejaknya muncul dalam tiap karya seni, tapi hanya jejak yang sementara. Di sanalah kita mungkin berbicara tetang yang universal, yang terus menerus mengimbau tiap proses kreatif.

Saya menemukannya dalam Sudamala ketika lakon berakhir, ketika Manikmaya, yang juga Slamet Gundono, berseru memanggil-mangil nama seorang sahabat yang dikenalnya sebentar di jalan, tapi dengan dia terjalin pertemuan yang melintasi ruang dan waktu: “Monha…! Monha…!”. Yang dipanggil tak menyahut, tapi dalam keterbatasan Slamet Gundono, ia tak henti-hentinya menjangkau yang tak terbatas – yang universal itu.

Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.

Terima kasih.
*)Orasi Goenawan Mohamad untuk Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya, 25 Nopember 2007.

terowongan maut kohar ibrahim

http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=100508807545&ref=mf

Dari Penerbit :
Novel Sitoyen Saint-Jean : Antara Hidup Dan Mati ini berkisahkan seorang anak manusia, salah seorang putera kelahiran Jakarta 1942 yang mencintai tanah tumpah darahnya, bangsanya, kebudayaannya dan tentu saja Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Namun setelah keberangkatannya pada 27 September 1965 ke Tiongkok kemudian terjadi Tragedi Nasional 1965, anak tunggal pasangan Ibrahim & Maemunah yang memiliki cita-cita dan ragam impian ini terpaksa menjadi salah seorang yang oleh mantan Presiden R.I. Gus Dur sebagai « kaum kelayaban » di Mancanegara alias kaum eksilan.

Bagaimanakah jejak langkah dan warna-warni jalur jelujur kehidupan anak bangsa yang lahir dan dibesarkan serta kiprah dalam perjuangan hidup sampai usia 23 tahun tapi lantas harus terpaksa jadi pengelana buana selama lebih dari empat dasa warsa ? Bagaimana dia menjaga cita dan cinta serta impiannya sejak masa bocah ? Bagaimanakah dia menjawab pertanyaan dan memaknai Hidup dan Kehidupan bahkan Kematian ?

Kiranya pembaca bisalah memahaminya dengan menyimak novel pendek ini – sebuah karya prosa yang tergolong bergaya realisme romantis malah biografis – dari awal sampai akhirnya.

Novel ini terdiri dari serangkum kisah dengan masing-masing judulnya sendiri dan sebagian besar bisa disajikan atau dibaca secara tersendiri seperti cerita pendek. Salah sebuah dari padanya berjudul « Terowongan » ; pernah dipasang di beberapa blog, seperti Abekreasi Multiply.com. Salah seorang pembaca yang mengapresiasinya tak lain adalah sastrawan Hudan Hidayat, yang atas seizinnya kami sertakan dalam buku ini.

Kepada Hudan Hidayat, atas kemurahan hatinya kami ucapkan banyak terima kasih. Sedangkan kepada pembaca yang berkenan kami persilakan. *** (Penerbit)

*

Hudan Hidayat : Terowongan Kehidupan

cerita pendek ini menyapa hampir-maut dengan lembut sekali – nyaris sebuah kepasrahan dari seseorang yang telah sabar mengalami derita panjang, derita yang nampaknya bukan sekedar dalam makna pikiran, tapi derita pikiran dan derita fisik dari sebuah perjalanan hidupnya yang panjang.

saya adalah anak sejarah yang masa-masa lalu itu seolah sejarah itu sendiri. sejarah pahit yang gelap. hingga saat ini pun masih gelap. tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

ada pernah saya diberitahukan, bahwa karya sastra orang-orang lekra adalah tak lebih dari pamplet belaka. semua kata yang mengungkap peristiwa dan makna memuara ke satu arah : politik revolusi. sehingga cerita-cerita mereka, demikian sejarah itu memberitahukan, tak ada yang bermakna.

tapi waktu membaca pram, semua kesimpulan semacam itu pupus. apalagikah makna kalau kita berhadapan dengan cerita besar seperti bumi manusia itu misalnya.

lalu kini saya tertumbuk dengan sebuah cerita kecil hidup seseorang, yang dilambangkannya dengan terowongan. terowongannya, aduh, alangkah pas tanda ini untuk mengatakan hidup itu sendiri. hidup adalah terowongan panjang yang kita tak tahu ujungnya. sehingga berteriaklah orang seperti albert camus : absurd. dan karena absurd, aku memilih tak bertuhan saja.

tapi lihatlah cerita kohar ibrahim ini. tiap katanya adalah sapaan lembut kepada tuhannya. kata yang berlapis membentuk dan mencampur dari jenis kata yang sama, seolah menganya labirin, seolah memasuki dan terowongan kata itu sendiri.
seakan ia hendak berkata : sudah kulalui macam-macam terowongan fisik dan terowongan makna – seperti yang disebutkannya dengan mengutip beberapa cerita fiksi dari awal karangannya ini. lalu apa lagi yang harus kutakuti?

tentu saja takut bukanlah kata yang tepat. yang lebih tepat lagi asing. perasaan asing yang aneh seperti yang bolak-balik dikaitkannya dengan alat-alat medis agar ia selamat dari terowongan yang bernama operasi itu.

tapi dari cerita ini saya melihat sekali suatu ekspose dari manusia fakta dan manusia fiksi (yang lagi menuliskan ceritanya – seorang narator bernama aku) yang dengan terowongan itu seolah mengajak kita mengenang akan sepenggal kehidupan agar dari sepenggal kehidupan itu kita merenungkan apakah artinya dan apakah kesudahannya.

di ruang yang sangat kecil ini, perasaan itulah yang saya alami. mungkin kalau saya mengetik di ruang layar yang lebar komputer kelak beberapa denyar yang merasuki hati saya ini bisa saya elaborasi ke dalam detil-detil yang mungkin menjadi hak bagi peristiwa dan makna yang diletakkan, atau yang telah terjadi di sana.

saya kagum dengan cerita anda, bung kohar.
izinkan saya mengambilnya dan memasangkan ke blog saya. mungkin malam ini juga akan saya perluas untuk tulisan di milis-milis yang saya ikuti. bagi saya sebuah cerita adalah kebajikan hidup itu sendiri.

saya yang menggemari cerita ingin mengumpulkan sebanyaknya dan kalau bisa, menyuarakannya sebagai suara dari kehidupan itu sendiri. kehidupan yang penuh warna-warni dari manusia yang mengalaminya sendiri. *** (Hudan Hidayat)
*

Tentang Penulis :
A.KOHAR IBRAHIM

Nama lengkap : Abdul Kohar Ibrahim.
Nama pelukis (tandatangan karya lukis) : Abe.
Lahir : 16 Juni 1942, Jakarta, Indonesia.
Menerima pendidikan Seni Rupa di :
Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles,
Brussel, Belgia.

Alamat :
Belgia : Bruxelles, Belgique.
Indonesia : Batam ; Jakarta, Ciputat Banten, Indonesia.

Bibliographie. Biodata :
(1) Media massa, antara lain : Le Soir, La Lanterne, La Dernière Heure, Le Pourquoi Pas ?, Le Jalon des Arts, Gazet Van Antwerpen, Het Laste Nieuws, De Autotoerist, Sontags Kurier, Cellerche Zeitung. Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, KB Antara dan media online : SwaraTV, DepokMetro.net, Cybersastra.net, Cimbuak.net, Sastra Indonesia.net, Art Culture Indonesia Blogspot dan lainnya lagi.
(2) Spectraal Kunstkijkboek VI, éd. Spectraal, Gent 1984.
(3) 50 Artistes de Belgique, par Jacques Collard, critique d’art, éd. Viva Press Bruxelles 1986.
(4) Art Information, éd. Delpha, Paris 1986.
(5) Who’s who in Europe, éd. Database, Waterloo 1987.
(6) Who’s who in International Art, international biographical Art dictionary, éd. 1987-1996, Lausanne, Suisse.
(7) Dictionnaire des Artistes Plasticiens de Belgique de XIXe et XXe Siècles – Editions Art in Belgium 2005.
(8) Artistes Peintre Abe alias A.Kohar Ibrahim dan Karya Lukisnya oleh Lisya Anggraini, Batam, Indonesia 2005.

Sebagai Penulis:
Sebagai penulis, A. Kohar Ibrahim mulai banyak menulis prosa dan puisi serta esai atau kritik sastra dan seni sejak akhir tahun 50-an di beberapa media massa Ibukota, antara lain Bintang Timur, Bintang Minggu, Harian Rakyat, HR Minggu, Warta Bhakti dan Zaman Baru. Setelah Era Reformasi, berkas-berkas karya tulisnya ada yang disiarkan di media massa cetak dan online. Anatara lain : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, Majalah Gema Mitra, Majalah Budaya Duabelas (Penerbit : Dewan Kesenian Kepri), Cybersastra. net, Depokmetro.com, Swara.tv, Bekasinews.com, Art-Culture Indonesia, Sastra Indonesia.net, Apresiasi Sastra, Multiply.
Dari tahun 1989-1999, selama sedasawarsa mengeditori terbitan yang tergolong pers alternatip, terutama sekali berupa terbitan Majalah Sastra & Seni KREASI ; Majalah Budaya & Opini Pluralis ARENA dan Majalah Opini MIMBAR.
Berkas-berkas esai seni dan sosio-budaya lainnya berupa : (1) Catatan Dari Brussel : Dari Bumi Pijakan Kaum Eksil ; (2) Sekitar Tempuling - Kupuisi Rida K Liamsi ; (3) Sekitar Tembok Berlin : Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas ; (4) Hidup Mati Penulis & Karyanya : Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu ; (5) Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis ; (6) Sekitar Prahara Budak Budaya ; dan lainnya lagi.

Kumpulan tulisan individual maupun bersama yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku kucerpen, kupuisi dan kuesai, antara lain :
(1) Kumpulan cerpen : Korban, penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, 1989.
(2) Kumpulan puisi : Berkas Berkas Sajak Bebas, penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 37 1998.
(3) Kumpulan esei bersama: Lekra Seni Politik PKI, penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 10 1992.
(4) Kumpulan sajak bersama : Puisi, penerbit Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 11 1992.
(5) Kumpulan esei bersama : Kritik dan Esei, penerbit Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 14 1993.
(6) Kumpulan cerpen bersama : Kesempatan Yang Kesekian, penerbit Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 26 1996.
(7) Kumpulan sajak bersama : Yang Tertindas Yang Melawan Tirani I, penerbit Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 28 1997.
(8) Kumpulan sajak bersama : Yang Tertindas Yang Melawan Tirani II, penerbit Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 39 1998.
(9) Kumpulan sajak bersama : Di Negeri Orang, penerbit Yayasan Lontar Jakarta & YSBI Amsterdam, 2002.
(10) Buku Telaah Puisi : Sekitar Tempuling Rida K. Liamsi, penerbit Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004.
(11) Kumpulan esai bersama : Identitas Budaya Kepri, terbitan Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang 2005.
(12) Kumpulan Esai bersama : Identitas Budaya Kepri, penerbit Dewan Kesenian Kepri, 2005.
(13) Kumpulan tulisan bersama : Antologi Puisi-Cerpen-Curhat-Esai Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, penerbit Sastra Pembebasan, 2005.
(14) Kumpulan Esai bersama Lisya Anggraini : Kepri Pulau Cinta Kasih, penerbit Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri, 2006.
(15) Novel : Sitoyen Saint-Jean – Antara Hidup Dan Mati, penerbit Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri, 2008.
(16) Kumpulan Esai : Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu, idem segera terbit.
(17) Kumpulan Puisi : Untukmu Kekasihku Hanya Hatiku, idem segera terbit.
(18) Kumpulan Cerpen bersama Lisya Anggraini : Intuisi Melati, idem segera terbit.

Ganyang-mengganyang

A.S. Laksana*
http://www.jawapos.com/

When you got nothing, you got nothing to lose.- Bob Dylan

MUNGKIN kita diam-diam memiliki baya­ngan yang bersifat kuliner tentang Malaysia; mung­kin negeri jiran itu tampak di mata kita se­bagai seekor kambing muda –atau cempe me­nurut lidah orang Jawa– sehingga setiap kali kita terganggu oleh tabiatnya kita buru-bu­ru ingin mengganyangnya. Niat pertama untuk mengganyang si cempe muncul tahun 1963 dan di­suarakan sendiri oleh Presiden Soekarno da­lam cara yang, tentu saja, sangat menggelora.

Demokrasi Terpimpin sudah berjalan empat ta­hun saat itu dan perekonomian kita remuk di­guncang ‘’setan inflasi” yang melambungkan har­ga-harga ke tingkat yang sulit dijangkau. Na­mun Si Bung pantang kelihatan loyo. Ia meng­umumkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada bulan Maret, dan bulan berikutnya me­la­kukan pemancangan tiang yang menandai pem­bangunan Toko Serba Ada (Toserba) Sarinah, gedung tinggi pertama di Jakarta yang men­­julang ke langit setinggi 14 lantai.

Ada kritik bermunculan seperti hama, tetapi Si Bung punya tangkisan. ”Janganlah ada satu orang manusia mengira bahwa department store adalah satu proyek luxe, tidak!” katanya man­tap. ”Menurut anggapan saya, department store adalah satu alat distribusi untuk mendistri­busikan barang-barang keperluan hidup kepa­da rakyat jelata.”

Pernyataan itu mungkin sulit dibenarkan da­lam pengalaman kita hari ini, tetapi saat itu Pe­mimpin Besar Revolusi memerlukan Sarinah de­ngan alasan apa pun. Ia memerlukan sesuatu yang menjulang dan memancarkan cahaya ge­merlap di tengah masa suram yang menggiriskan. Selanjutnya, Mei 1963, setelah pembicara­an dengan IMF dan pemerintah Amerika Serikat, ia mengumumkan paket reformasi eko­nomi, yang nantinya tak bisa dijalankan karena ia bersikeras menolak pembentukan negara Ma­laysia.

Menurutnya, negara baru ini hanyalah proyek akal bulus neokolonial Inggris, jadi sudah se­pan­tasnya kita ganyang saja. Tak usah takut pa­da Inggris, jangan gentar pada Amerika. Ing­gris kita linggis, Amerika kita seterika. Lalu di­lancarkanlah operasi ke Sabah dan Serawak. Juga ada pertemuan pribadi di Tokyo antara Bung Karno dan Tunku Abdul Rahman, perda­na menteri Malaysia. Dan, bagaimanapun, se­telah pertemuan itu Si Bung tidak mengendur­kan semangat konfrontasinya dengan Malaysia.

Ia tetap ingin mengganyang Malaysia. Hanya sa­ja perekonomian kita agaknya tak sanggup me­nopang operasi tersebut dan justru semakin ko­car-kacir sampai mencapai tingkatan nyaris ka­ram dengan inflasi 650 persen. Dalam kondisi terburuknya, tahun 1965, nilai rupiah bah­kan sempat jatuh mengenaskan di mana 1 dolar AS melambung setara dengan Rp 30 ribu. Pun­cak dari seluruh kepahitan itu, Anda tahu, ada­lah me­letusnya Gerakan 30 September (atau Bung Kar­no menyebutnya Gerakan 1 Oktober), dan seluruh rangkaian bencana tahun itu ditutup dengan kebijakan sanering (pemotongan ni­lai mata uang) pa­da bulan Desember –seribu rupiah di­penggal ni­lainya menjadi hanya satu rupiah.

Bung Karno jatuh setelah itu dan Malaysia se­gar bugar sampai hari ini dan rata-rata warga­nya hidup lebih makmur ketimbang rata-rata ki­ta. Tak ada masalah. Tapi kita beberapa kali men­dengar kabar penyiksaan pembantu dari In­donesia oleh majikan-majikan Malaysia. Yah, sedikit banyak ada masalah di situ, itu tak bera­dab. Lalu kita mendengar kabar mereka me­ng­ang­kangi Pulau Ambalat, belakangan juga Pu­lau Jemur. Aih, memang tak banyak orang In­donesia yang tahu di mana kedua pulau itu, tetapi bisa dibilang tindakan Malaysia itu keter­laluan. Lalu kita dengar mereka mengklaim la­gu Rasa Sayange. Alamaaak, itu ngawur. La­lu mereka menyerobot reog Ponorogo. Apa bo­leh buat, itu gila. Lalu mereka mencatut Tari Pen­det. Oke, ”Ganyang Malaysia!”

Hasrat mengganyang jiran kali ini jelas berbe­da dari versi 1960-an; ia tidak terlontar dari mu­lut pemimpin negara, tetapi dari kegeraman orang-orang yang sudah tak tahan pada dua hal. Per­tama, tak tahan pada perilaku tetangga se­belah. Kedua, tak tahan menunggu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Saya tidak tahu apakah kemelut rumah tangga Manohara de­ngan bangsawan Malaysia ikut menyumbang perasaan tak tahan mereka. Saya juga tidak ta­hu apakah keadaan ekonomi kita hari ini turut mem­pernyaring seruan pengganyangan.

Saya tidak ingin serampangan mempersama­kan kondisi perekonomian waktu itu dengan kon­disi sekarang. Jelas bahwa sekarang Anda ti­dak harus menyaksikan orang-orang mengantre sembako setiap hari. Sekarang paling hanya se­sekali kita melihat pemandangan yang mirip-mirip itu; orang-orang berebut uang sedekah Rp 20 ribu dan beberapa tewas terinjak-injak; orang-orang berebut bantuan sembako dan be­berapa mati dalam antrean yang sesak; orang-orang tak berdaya ketika anak-anak mereka di­sandera oleh pihak rumah sakit karena tak sang­gup membayar biaya perawatan, dan sebagainya.

Pada orang-orang yang sudah terdesak seper­ti itu, yang tak bisa lagi maju atau mundur ke ma­na pun, Anda tak boleh main senggol semba­rangan. ”Sebahaya-bahayanya makhluk hidup ada­lah mereka yang tak punya apa-apa lagi… me­reka sungguh tak tertandingi,” kata James Baldwin, penulis dan aktivis hak asasi kulit hitam Amerika, dalam bukunya Nobody Knows My Name (1961).

Orang-orang yang tak tertandingi itu rela mati de­mi berebut sedekah dan bantuan sembako; saya kira mereka dengan riang akan menyedia­kan diri sebagai relawan untuk mengganyang Malaysia atau apa saja yang boleh diganyang. Ini pernyataan yang sungguh-sungguh. Anda ta­hu, aksi-aksi heroik seringkali merupakan hi­buran yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang nyaris putus asa. Amerika memerlukan sosok Rambo, yang terampil membabat Viet­kong seorang diri, ketika pada kenyataannya mereka compang-camping dalam perang Viet­nam. Amerika memerlukan Saddam Hussein yang harus ditumpas dengan dalih apa pun agar ada alasan untuk menegakkan kepala. Dan Bung Karno memerlukan Malaysia untuk diganyang.

Hari ini, 46 tahun kemudian, kita mendengar lagi seruan yang sama. Saya betul-betul terpe­sona beberapa hari lalu di depan pesawat te­levisi saat menyaksikan kesungguhan para ang­gota Relawan Ganyang Malaysia meng­gembleng diri mereka dalam latihan olah ka­nuragan di sekretariat mereka. Mereka me­mainkan jurus bam­bu runcing, senjata ampuh warisan nenek mo­yang, yang mereka hias dengan bendera me­rah putih kecil. Harap jangan memperbanding­kan latihan mereka de­ngan sandiwara tujuh-be­lasan, yang saya sak­sikan ini jauh lebih patriotik.

Mereka juga menunjukkan kekuatan batok ke­pala dan kekebalan tubuh; mereka mengunyah beling dan kaca seolah-olah menikmati ke­ripik singkong. Jika mereka betul-betul dibe­rangkatkan ke Malaysia, saya bayangkan me­reka pastilah akan membikin keder semua orang di sana. Dengan otot kawat, tulang besi, dan usus pipa ledeng, mereka niscaya akan mam­pu mengobrak-abrik seluruh gedung di sa­na dan memecahkan kaca gedung-gedung itu dan memakan habis belingnya. Saya yakin ne­geri jiran itu akan bangkrut seketika oleh aksi para relawan kita dan selanjutnya mereka pasti jera main serobot seenaknya. (*)

*) A.S. LAKSANA, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

Mengisukan Ekologi Pikiran

Audifax
http://www.jawapos.com/

SELAIN ekologi hayati yang berupa hutan, gunung, dan lautan, ternyata ada juga ekologi lain, yaitu dunia ciptaan manusia yang berupa abstraksi mental, gagasan serta cara mengolah realita. Inilah ekologi pikiran. Dalam ekologi pikiran, berbagai hal seperti tren, bahasa, ideologi, gaya hidup, dan sejenisnya, muncul, menghilang ataupun bertahan. Ekologi pikiran menjadi penting karena manusia hanya mampu memahami realitas sejauh apa yang mampu dipikirkannya. Tapi, di luar apa yang mampu dipikirkannya selalu ada sesuatu yang lain.

State of Fear, novel fiksi-ilmiah karya Michael Chrichton, menyoroti ekologi pikiran untuk membahas isu pemanasan global. Layaknya Dan Brown dengan Da Vinci Code-nya, Chrichton adalah penulis yang piawai mengombinasikan fakta dan fiksi sehingga keduanya menyatu dalam cerita. Dengan logika yang runut disertai puluhan catatan kaki yang merujuk berbagai data, jurnal, dan literatur, Chrichton mengajak pembaca untuk melihat secara lebih jernih isu pemanasan global.

Isu pemanasan global adalah bagian dari politik yang memanfaatkan ekologi pikiran. Dalam budaya modern, manusia bisa diatur hanya ketika ada suatu ancaman yang membuat mereka takut. Di era perang dingin, isu yang digunakan adalah ”komunisme” yang dikonstruksi sedemikian rupa agar orang takut dan dengan demikian berjalan di ”rel” tertentu.

Ketika perang dingin usai, dikhawatirkan manusia bebas dari rasa takut dan menjadi berani sehingga sulit dikuasai. Oleh karena itu, wacana baru perlu digulirkan. Dipilihlah isu pemanasan global. Masyarakat dikondisikan sedemikian rupa agar meyakini bahwa pemanasan global adalah ancaman terbesar bagi bumi kita saat ini. Dengan ketakutan yang ada, maka orang bisa diarahkan untuk berjalan di ”rel” tertentu.

Isu pemanasan global terutama mengangkat pelelehan es di Antartika karena meningkatnya panas bumi. Emisi karbon dioksida yang berlebih menyebabkan lubang di ozon sehingga bumi bertambah panas. Guna menurunkan kadar karbon dioksida –yang juga menjadi sumber polusi– maka negara-negara sepakat menandatangani Protokol Kyoto, kecuali Amerika.

Lewat tokoh-tokoh fiksi: Peter Evans (pengacara), George Morton (miliuner), Richard John Kenner, Sanjong Thapa dan lain-lain; Chrichton merangkai fiksi dengan data-data dari berbagai jurnal, literatur, dan situs yang juga bisa diakses pembaca lewat internet. Melalui data-data tersebut ditemukan bahwa pelelehan es di kutub bukan terjadi sejak era industri, melainkan sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Bahkan menariknya, volume es di kutub sebenarnya justru bertambah dalam beberapa tahun terakhir.

Sedangkan perihal suhu bumi yang meningkat, lewat sejumlah data ditunjukkan bahwa tidak ada peningkatan seperti digembar-gemborkan. Penelitian menunjukkan bahwa pada kota-kota kecil dengan penduduk sedikit dan relatif tidak ada penambahan penduduk, tidak ditemukan peningkatan suhu seperti halnya pada kota-kota besar dengan penduduk padat serta mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kesimpulannya, peningkatan suhu lebih disebabkan kepadatan penduduk dan bukan sebuah pemanasan yang terjadi secara global. Dengan demikian, ”kondisi ketakutan” (state of fear) atas pemanasan global adalah ekologi pikiran yang diciptakan lewat politik, legal, dan media.

Ekologi pikiran sebenarnya sudah sering dibahas tapi selalu saja menarik. Michael Foucault pernah melakukan penelitian mengenai bagaimana diskursus membentuk cara berpikir masyarakat mengenai kebenaran. Jacques Lacan juga pernah mengidentifikasi bahwa masyarakat tertata adalah masyarakat yang bisa diatur karena ancaman kastrasi (baca: konsekuensi hukuman). Demikian pula Jean Baudrillard yang mengemukakan simulakra (simulasi tanpa rujukan realitas).

Sederet pemikir postruktralis mulai Nietzche sampai Zizek, membahas ekologi pikiran dengan sudut pandang dan istilahnya masing-masing. Mereka ibarat Morpheus yang menawarkan pil merah atau pil biru pada Neo di film Matrix. Kau telan pil biru, cerita berakhir dan kau bangun di ranjangmu serta percaya apa pun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di Negeri Ajaib dan melihat sejauh mana lubang kelincinya. Ingat, mereka hanya menawarkan realitas. Tak lebih dari itu. (*)


Judul Buku : State of Fear
Penulis : Michael Chrichton
Penerjemah : Arif Subiyanto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I Maret 2009
Tebal : 627 halaman

*)Research Director di SMART Human Re-Search & Psychological Development

KESATRIA

D. Zawawi Imron
http://www.jawapos.com/

Ada seorang Italia bernama Silvio Berlusconi. Ia cerdik pandai, salah seorang paling terkenal di negerinya. Ia juga politikus andal. Karena itu, ia terpilih sebagai perdana menteri. Ia bukan hanya peduli negeri dan rakyat Italia, tapi juga peduli kepada rakyat Afrika yang miskin. Untuk itu, ia menandatangani dokumen KTT G 8 di Gleneagles, Skotlandia, pada 2005, yang isinya ia berkomitmen akan membantu rakyat Afrika. Tapi Berlusconi agaknya ingkar janji, sampai KTT G 8 akan digelar lagi bantuan itu tak sepenuhnya terealisasikan.

Ada orang lain lagi bernama Bob Geldof. Ia pemusik dari Republik Irlandia. Juga seorang yang peduli pada rakyat Afrika sejak 30 tahun yang lalu. Tahu akan janji perdana menteri Italia itu berbau gombal, ia kemudian menagihnya seperti yang diberitakan Jawa Pos, Selasa (7/7). Bob Geldof pun menyerang Berlusconi. Katanya, ”Bagaimana Anda akan memimpin sidang KTT G 8, sedangkan Anda tidak memiliki kredibilitas?”

Sambil memperlihatkan dokumen bantuan ke Afrika itu Geldof berucap, ”Di dokumen ini tercantum tanda tangan Anda, seorang lelaki yang mewakili kehormatan negaranya.” Dan Geldof melanjutkan, Berlusconi tidak pantas menjadi tuan rumah KTT G 8 di Italia, kecuali dia meminta maaf terlebih dahulu.

Orang Indonesia bilang, ”Ludah yang sudah jatuh ke tanah tidak bisa dijilat lagi.” Maksudnya, janji yang diucapkan tidak bisa ditarik lagi. Apalagi tanda tangan pada dokumen, tak mungkin untuk dihapus. Itu adalah pernyataan yang diucapkan dengan nyawa.

Kembali ke perdana menteri Italia yang tersudut oleh jurus jitu Bob Geldof itu. Ia hanya bisa mengepalkan tangan, kira-kira menyesali dirinya sendiri, tidak bisa berkilah sebagaimana umumnya politikus. Agaknya Berlusconi termasuk orang yang masih punya nurani dan naluri kemanusiaan. Dengan jantan ia berkata, ”Maaf, kami sudah melakukan kesalahan. Kami minta maaf karena sudah mengurangi jatah bantuan ke Afrika.” Berlusconi beralasan, tidak terpenuhinya bantuan itu secara utuh tak lain akibat krisis finansial global yang juga menerpa Italia.

Yang menarik dari peristiwa itu adalah sikap kesatria seorang yang berpangkat perdana menteri. Tidak banyak orang yang mau bersikap kesatria seperti itu, kecuali orang yang punya kejujuran nurani dan rasa malu. Itulah akhlak yang disarankan Sunan Drajat sebagai rasa isa rumangsa, bisa menyadari dan mengaku bersalah karena berkaca pada kejujuran nurani serta kerendahan hati.

Orang yang tidak punya rasa malu akan menangkis tuduhan dengan seribu kilah. Bisa kita perhatikan pada beberapa koruptor, meskipun sudah divonis dan masuk penjara, mereka masih berani menepis bahwa dirinya tidak bersalah. Dan, otomatis tidak mau meminta maaf kepada negara dan rakyat yang telah dikhianatinya.

Yang mengherankan, para koruptor itu bukan cuma telah menandatangani dokumen, lebih dari itu ia telah bersumpah atau berjanji kepada Tuhan, bahwa tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan siapa pun. Jika Tuhan sudah digombali, apalagi bangsa dan negaranya.

Jangankan kepada Tuhan, kepada seorang seniman musik bernama Bob Geldof saja, Berlusconi mengaku bersalah, dan dengan legawa meminta maaf. Ia merasa tidak gagah untuk berkilah, karena itu ia memilih kemuliaan jiwa dengan cara minta maaf.

Saya pikir-pikir, memang sudah jarang sekali saya mendengar istilah ”kesatria”. Istilah itu seperti istilah asing yang sudah hampir lenyap tertimbun debu sejarah. Tetapi, seandainya nilai-nilai ”kesatria” itu diajarkan kembali, lalu ditanamkan kepada anak didik, dan bisa merasuk ke dalam kalbu dan tulang sumsum, serta membentuk integritas moral, tentu lebih mudah nanti kita menemukan banyak pahlawan yang akan menolong bangsa dan negara ini. (*)

Rendra, Puisi Pamflet, dan Gairah

Moh. Samsul Arifin
http://www.jawapos.com/

''Rendra tak pernah takut pada kekuasaan, termasuk tank dan panser, yang coba menundukkan akal sehatnya.''

DI manakah tempat kritik dalam ke­penyairan Willibrodus Surendra Broto Rendra yang dipanggil Tuhan pada 7 Agustus lalu (Senin besok 40 harinya)? Ja­wabnya, pada bentuk dan muatan puisi-puisinya. ''...Saya sang­si apa ini (sa­jak-sajak Rendra) bisa di­sebut puisi? Sajak Rendra demikian keras sehingga ka­dar puisinya tu­run,'' ujar Dick Hartoko (saat itu pe­mimpin BASIS) setelah Si Burung Merak tampil di Sport Hall Kri­do­sono, Jogjakarta, Desember 1978.

Kala itu dia membacakan sejumlah sa­jak seperti, Sajak Seonggok Jagung, Potret Keluarga, Sajak Pertemuan Ma­hasiswa, Sajak Joki Tobing untuk Widuri, Sajak Widuri untuk Joko Tobing, Bu­rung-burung Kondor, Sajak

Se­­batang Lisong, dan Sajak Orang-orang Miskin hingga Aku Tulis Pamflet Ini. Gara-gara sajak yang disebut terak­hir itu, Rendra ditahan polisi, Mei 1978. Penguasa takut sang penyair bi­sa menyulut instabilitas dengan larik-la­rik sajaknya yang magis -namun te­tap berkorespondensi dengan kondi­si politik, sosial, dan ekonomi masa itu.

Cermatilah sepenggal sajaknya yang me­nyebut perhelatan pemilihan umum jadi kehilangan makna. //Aku­ tulis pamflet ini/karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba// Orang-orang bicara dalam kasak-ku­suk// Dan ungkapan diri ditekan/ men­jadi peng-iya-an//

Kritik -kalau bukan intimidasi- juga datang dari aparat negara. Setelah pen­tas di Jogja itu, Kolonel Sarwono (Dan­rem 072 Jogjakarta) berbisik ketus ke­padanya, ''Saudara membaca puisi de­ngan bagus, tetapi puisi yang Saudara baca baru pelemparan masalah, yang pen­ting sekarang jalan keluarnya.''

Amboi, sang penyair pun dituntut le­bih dari sekadar pintar melancarkan kritik, tapi mencari jalan keluar (solusi) bagi persoalan yang disoal. Itu cara penundukan lewat diskursus untuk mengikuti logika kekuasaan. Sebentuk ope­rasi penundukan yang teperdaya untuk mengerangkeng sajak agar berge­nit-genit dengan kata, jauh dari per­soalan sehari-hari masyarakatnya.

Ihwal sematan pamflet pada sajaknya itu, Rendra menjawabnya lewat sepenggal larik ini. //Aku tulis pamflet ini/kare­na pamflet bukan tabu bagi penyair//

Di kesempatan lain, dia berujar lantang, ''Saya tegaskan bahwa masalah po­litik serta ekonomi itu bukan mono­poli persoalan para raja dan kelompok yang berkuasa saja seperti yang ada pa­da masyarakat feodal... Lha sekarang ti­ba-tiba kalau seniman melihat kepincangan dalam pembangunan dan meru­gikan rakyat jelata pada umumnya, la­lu tak boleh berbicara, ditabukan bi­la hal tersebut dibicarakan dalam kese­nian. Apakah seniman hanya boleh meng­ungkapkan masalah kejiwaan serta filsafat saja?'' ujar Rendra (Horizon No 11 Tahun 1982).

Suatu kali Rendra bahkan mencibir pe­nyair yang bergenit-genit dengan cin­ta semacamnya, ''Saya itu berpikir apa gunanya membuat sajak tentang ang­gur dan rembulan, sementara ke­mis­kinan dan ketidakadilan terjadi di se­kitarnya.'' (Editor, 7 November 1990).

Tapi, di masa awal kepenyairannya, Rendra juga bergelut dengan tema cin­ta, filsafat, dan religiusitas. Tengoklah beberapa larik Surat Seorang Perantau (1959) yang ditujukan kepada pujaan hatinya di rumah. //Istriku yang tercinta...//Kenanganku akan lari padamu/rindu di rumah bersamamu//Hujan di genting/ angin di pintu//Kita rapat bersanding/dan kutatap matamu//...Aku ini burung sekarang/dan rumah kita sarang// Ke mana pun si burung terbang/ lelah dan ajal pasti pulang//

Bahasa Grafis

Dalam dunia kepenyairan Rendra, dia me­nempatkan diri sebagai kitab yang terbuka. Saat zaman memintanya, Ren­dra tergerak untuk menyuarakan apa yang menimpa rakyat kecil -mereka yang dimarginalkan atau tak beruntung da­lam setting politik dan ekonomi Orde Ba­ru. Dia menjadi suara zamannya.

Rendra membangun puisinya dengan ba­hasa grafis. Kata Rendra, bahasa itu digunakan untuk menundukkan per­soal­an analitis yang melingkupi persoalan eko­nomi, politik, sosial, dan se­te­rusnya. Bahasa grafis adalah sesua­tu yang jelas, gambaran yang jelas, ken­dati tetap imajinatif. Rendra tak sekadar menyalin dan menggambar persoalan-persoalan di sekitarnya dalam sa­jak-sajaknya. Dia menyaksikan, me­ngen­dapkan, dan lalu menerjemahkannya dalam bahasa-bahasa grafis (Keti­ka Ren­dra Baca Sajak, November 2004).

Perhatikan Sajak Sebatang Lisong yang dibacakan Rendra di depan mahasiswa ITB pada 1977: Menghisap lisong// Melihat Indonesia Raya//Mende­ngar 160 juta rakyat// Dan di langit/dua tiga cukong mengangkang/ berak di atas mereka// Matahari terbit// Fajar tiba/ dan aku ­melihat 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan// Aku bertanya// Tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet/ dan papan-papan tulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan//

Tak ada eufemisme di sana. Rendra berteriak sekeras-kerasnya. Kritiknya membuncah hebat. Tubuhnya memang di depan mahasiswa ITB, tapi jiwanya melintas jauh hingga ke langit. Dengan begitu, dia ingin meninju langit kesa­dar­an penguasa -seperti seorang de­monstran di tengah terik matahari. Apa yang diteriakkan Rendra itu masih manifes.

Rendra tak pernah takut pada kekuasaan, termasuk tank dan panser, yang coba menundukkan akal sehatnya. Dia per­caya betul pada kata. Namun, dia sadar bahwa sajak tak bisa mengubah keadaan karena sajak bukan organisasi -seperti halnya partai politik atau organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan. Sajak hanya mengubah kesadaran. Hanya membantu, menyumbang ke arah yang menyadarkan masyarakat. Itu­lah fungsi katarsis sosial alias penyadaran terhadap masyarakat, baik itu kor­ban maupun publik luas, yang menjadi misi kepenyairan Rendra.

Bukan tanpa alasan jika Paus Sastra In­donesia H.B. Jassin menyanjungnya setinggi langit. Menurut kritikus sastra itu, Rendra menyuarakan batin ma­syarakat. Karyanya makin luas. Sudah meliputi alam semesta. ''Dia punya kon­sep, puisinya bertakhta di atas a­ngin... Rendra adalah Chairil Anwar yang lebih matang. Lebih luas jangkauannya,'' puji Jassin (Mutiara, 14-17 Desember 1985).

Zaman yang meminta Rendra mengisi sajaknya dengan pamflet. Tapi, cara itu terbukti manjur di tengah rezim re­presif yang menghendaki penyeragaman. Buat saya, perjalanan kepenyairan Rendra bertumbuh. Dia menjawab tantangan zaman dengan kesatria. Ren­dra bukanlah penyair salon. Dia kepala batu, menerjang segala klise. Dengan itu, dia mewariskan satu hal: gairah -se­suatu yang ia sebut sebagai daya hidup!

Bangsa ini seyogianya belajar dari je­jak-jejaknya. Saya mengajak kita se­mua keluar dari ''jalan lurus'' dalam me­mahami Wahyu Sulaiman Rendra dan karyanya. (*)

*) Anggota Klub Buku dan Film SCTV

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita