04/05/09

Sitor Situmorang, Karena Sastrawan Bukan Malaikat

Sitor Situmorang. Pewawancara: Bagja Hidayat, Qaris Tajudin
http://www.ruangbaca.com/

Suaranya masih bergemuruh di usia yang menanjak 82. Gayanya juga masih khas: menggebrak, menunjuk, atau mengguncang pundak lawan bicara sambil terkekeh—terutama jika menyangkut soal politik di sekitar tahun 1965. Sitor Situmorang memang tak bisa dipisahkan dari situasi politik ketika itu yang membuat dua kubu seniman berhadapan secara tegas. Di satu sisi ada seniman-seniman realisme-sosialis yang mendukung kebijakan Presiden Soekarno dan di seberangnya berdiri para seniman muda yang kemudian disebut kelompok Manikebu (Manifes Kebudayaan). “Situasi dunia akibat perang dingin antara Amerika dan Soviet yang membuat politik seperti itu,” katanya.

Banyak yang mengkritik, atau menyayangkan, terjunnya Sitor ke politik sehingga “mengganggu” bakat kepenyairannya. Pada awal-awalnya, puisi-puisi Sitor membawa gaya sendiri dengan menengok kembali tradisi lama berupa pantun, dengan renungan personal yang sublim. Setelah Sitor aktif di Lembaga Kebudayaan Nasional sajak-sajaknya lebih banyak menyuarakan pujipujian politik, terutama setelah ia melawat ke Tiongkok. A. Teeuw dan Asrul Sani menyebut Sitor sebagai “penyair yang hebat tapi politikus picisan.”

Karena aktivitasnya itu, Sitor kemudian mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun sejak 1966. Selepas dari bui, ia melanglang ke berbagai kota di dunia. Terakhir ia menetap di Belanda dan mendapat istri seorang diplomat di sana, sambil mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden dari 1978 sampai 1988. Sitor berseloroh, kepulangannya ke Indonesia kali ini untuk mengantarkan teman-temannya ke alam baka. Sejak ia di Indonesia, para sahabatnya meninggal dunia: Ramadhan KH disusul Pramoedya Ananta Toer.

Menurut Ajip Rosidi, Sitor mungkin penyair yang paling banyak menghasilkan sajak. Dari dua jilid kumpulan sajak yang terentang antara 1948 hingga 2005, ada 605 sajak yang pernah dibuat Sitor. Belum lagi sajak yang tercecer sebagai hadiah ulang tahun seseorang atau kado di sebuah pesta. “Kalau dilihat dari umur seharusnya saya bisa menghasilkan puisi dua atau tiga kali lipat lebih banyak,” katanya.

Berikut ini perbincangan Bagja Hidayat dan Qaris Tajudin dari Tempo dengan penyair Angkatan 45 ini. Percakapan dilakukan tiga kali, dengan tidak berangkat dari satu pokok, tetapi menampung pelbagai segi. Percakapan pertama di MP Book Point ketika dua jilid kumpulan sajaknya diluncurkan dua pekan lalu, kedua di rumah salah seorang anaknya di daerah Sawangan yang sepi tempat Sitor selama ini tinggal sepekan kemudian, lalu dilengkapi dengan percakapan lewat telepon.

Apa yang anda lakukan sekarang?

Saya sedang mengumpulkan data sejarah tentang perang Batak antara 1883-1907. Keluarga besar saya ikut langsung dalam perlawanan di baratlaut Danau Toba. Belanda maju dari Sibolga tahun 1878 dan mulai ke Aceh tahun 1872. Jika Pramoedya menulis periode itu di Jawa, saya di Batak, ha-ha-ha. Ternyata kolonilaisme itu satu pola saja. Jadi, perlawanan budaya lokal itu harus ditulis.

Bagaimana mencari bahan-bahannya?

Di Belanda itu bahannya lengkap sekali. Dokumentasi penjajah itu efesien. Tiap pelor harus dipertanggungjawabkan. Laporan sampai tingkat kecamatan itu ada. Sangat lengkap jika ingin menulis soal sosial, ekonomi, pemerintahan, bencana alam. Semua ada. Seluruh Indonesia.

Akan jadi novel sejarah?

Saya belum tahu bentuknya seperti apa.

Kapan selesai?

Wah, kalau pakai target saya bisa senewen. Lihat saja nanti.

Novel sejarah sekarang sedang diminati. Apakah sastra yang baik harus mengaitkan diri dengan realitas?

Sastra yang baik itu harus bermanfaat bagi pembaca. Pembaca mendapat kesempatan menghayati keragaman manusia. Pram sudah mempraktekkannya dengan sangat baik. Ia mengolah sejarah dan hidup manusia Indonesia yang bisa bicara ke dunia luar. Dia lahir dari sejarah manusia Indonesia.

Sebagai penyair Angkatan 45, apa sesungguhnya yang digarap angkatan ini?

Angkatan 45 ingin merintis jalan sendiri. (Sitor berdiri sambil menunjuk-nunjuk) Chairil Anwar teriak-teriak, “Apa itu Takdir Alisjahbana? Polemik Pujangga Baru bukan urusan kami lagi. Kami punya jalan sendiri.” Tapi itu kelancangan remaja saja meskipun ada artinya. Kami lebih diilhami oleh semangat kemerdekaan. Semangat pemberontakan.

Chairil dianggap sebagai pelopor modernisme. Dia menggarap sajak bebas, citraan baru, kekuatan bahasa, kenapa anda malah balik ke tradisi lama di tahun 1950-an?

Chairil itu orang kota, saya pedalaman, ha-ha-ha. Kalau modern sudah pasti diterima. Modernitas di Pujangga Baru itu baru tahap ambisi. Angkatan 45 memang meninggalkan gaya sajak sebelumnya. Tapi itu hanya di antaranya saja. Dalam budaya ada perhitungan faktor penerimaan bentuk baru. Menerima pengaruh dari luar dengan daya cipta sendiri. Tidak sekadar nyontek. Penghayatan generasi 45 itu terungkap jelas dalam karya mereka, terutama sajak-sajak Chairil. Ada yang terlewat, yaitu Amir Hamzah yang meskipun berakar pada sastra klasik melayu, dia sudah masuk dunia modern. Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantunpantun. Saya menggarap itu, meskipun saya juga bikin puisi bebas.

Sajak anda banyak sekali ditujukan untuk seseorang, tidak cuma satu, tapi banyak…

Sebuah tema bisa dikembangkan berkali-kali.

Terutama sajak untuk perempuan. Apakah perempuan memang ilham anda?

Bayangkan saja bagaimana sajaknya. Perasaan ke perempuan itu beraneka ragam: kasih sayang dan syahwat-erotik. Saya sekarang lebih berminat ke mistik. Menyatu dengan asal. Kematian. Mungkin karena sudah dekat, ha-ha-ha. Memandang gunung. Alam yang mengacu kepada jagatraya. Gunung itu perlambang budaya lokal kita. (Sitor kemudian membacakan sajak 1 Syuro dan Parangtritis 1 Syuro sembari menjelaskan maksudnya).

Kabarnya anda menulis sajak karena pesanan?

Pesanan hati saya. Bukan pesanan orang, meski boleh saja. Kalau berkenan saya tulis. Yang penting pesanan hati itu selalu yang utama. Ada juga yang pesan secara main-main. Kalau mampir ke rumah teman, kemudian ada yang ulang tahun lalu meminta dibuatkan puisi, kadang-kadang saya buat. Perkara mutu, silakan nilai sendiri.

Anda juga bisa mengubah sebuah sajak yang sudah jadi sewaktu akan diterbitkan kembali sehingga orisinalitasnya sudah tak ada…

Umumnya membuat sajak itu seperti menggubah lagu. Kalau saya, pergulatan dengan tema bisa satu-dua hari. Saya menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Lalu menyembul katakata. Setelah itu sambungannya biasanya mengalir. Dalam 12 jam jadi. Besoknya ketika dibaca lagi sudah mendapat bentuk yang final. Tapi sebuah sajak yang dianggap sudah selesai masih mungkin diubah lagi setelah sekian tahun dibaca dan kurang pas. Ada juga pembaca yang lebih senang versi pertama, itu terserah saja.

Pantas anda sangat produktif…

Lima-belas tahun terakhir sudah tinggal menetes saja, dulu itu mengalir deras.

Kenapa?

Susah menerangkannya. Ini tidak berlaku umum. Ini berhubungan dengan bahasa. Soal kepekaan. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Kalau makin tambah umur, kepekaan menerima suara-suara, nada-nada, dan irama itu menurun.

Karena tinggal lama di luar negeri?

Tidak juga.

Apa sih kriteria sebuah puisi dikatakan berhasil?

Jika sudah menyentuh hati pembaca. Kepekaan membaca itu merupakan hasil pengalaman dan penghayatan setelah secara rutin main-main dengan bahasa.

Ada yang menilai kualitas sajak anda menurun setelah beranjak ke puisi bebas…

Sajak itu banyak bentuknya. Saya menerima segala bentuk. Waktu itu, saya berpikir kita punya warisan pantun kenapa itu tak dipakai. Bukan karena saya memilih sebuah gaya, tapi memang suasana puisinya menuntut seperti itu. Saya pelopor pemakaian pantun dengan isi baru. Sajak saya yang paling banyak dibincangkan adalah Lagu Gadis Itali. Itu memang saya menggunakan kekuatan pantun. (Lihat Asal Usul Gadis Itali).

Lebih menurun lagi setelah anda berpolitik…

Saya tidak bisa dipisahkan dari politik. Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politiknya. Saya memang menulis puisi politik, ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Tapi banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal dia juga baca puisi saya yang baik, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak bagus. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi itu bukan karena aktivitas saya di politik.

Terutama sejak anda berkunjung ke Tiongkok (periode 1956-1967)?

Sekarang kita lihat, Tiongkok besar dan mengancam Amerika. Karena mereka berjuang dengan caranya sendiri. Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita. Jika ada ekonom yang menilai ekonomi Tiongkok bakal rusak karena menganut komunisme, omong kosong itu. Orang Tiongkok menganut komunis itu hak mereka. Lihat, sekarang mereka bangkit.

Apakah karena pandangan itu, anda ikut bergabung dengan kelompok yang berhadapan dengan seniman Manifes Kebudayaan?

Begini. Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika.

Bukankah Bung Karno memang berkiblat ke Soviet?

Itu penilaian Amerika. Padahal itu tidak ada. Prasangka ini yang dibakar-bakar oleh Amerika di Indonesia. Boleh kami dituduh. Tapi kalau Bung Karno disamakan dengan komunis, itu tuduhan konyol.

Kenapa kisruh itu merembet ke dalam kesenian?

Karena sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh berlagak tak ada urusan dengan politik nasional. Kalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan. Bagi kami imperialis itu Amerika. Sebab Cina dan Soviet itu negara besar, tapi untuk dirinya sendiri.

Manikebu menolak politik sebagai panglima, termasuk dalam kesenian…

Boleh saja. Tapi jangan berlagak politik itu tidak perlu. Itu naif namanya. Karena mereka juga sebenarnya sudah berpolitik. Tapi tidak terang-terangan seperti kami ini. Kalau mau melawan politik komunis, lawanlah dengan sikap politik juga. Bukan lantas mengaku-ngaku tidak berpolitik padahal sebenar iya.

Kenapa sampai ada bredel membredel karya seni?

Situasinya berkelahi. Mereka juga omong kosong. Ketika buku Pram dilarang, orang-orang Manikebu diam saja. Wiratmo Sukito, kapten Manikebu itu, katanya kirim surat ke Jaksa Agung supaya tak melarang buku Pram. Kenapa dia tak kumpulkan itu orang-orang Manikebu, bikin tanda tangan seperti dulu, lalu melawan pembredelan? Kenapa tak dilakukan? Itu sikap sangat memalukan dari seorang intelektual paling militan. Apakah ada yang bersuara ketika saya dan ratusan ribu orang dipenjara tanpa pengadilan? Tidak ada! Mana humanisme universal itu. Kalau mereka diam, berarti mereka setuju dengan cara-cara seperti itu. Apakah saya ini tidak dianggap human? Karena itu dalam satu tulisannya, Goenawan Mohamad merasa malu dengan uraian Wiratmo ketika merumuskan filsafat humanisme universal. Malu karena tak cukup kuat alasannya.

Kalau saya tanya, apakah Sitor Situmorang seorang komunis? Apa jawab anda?

Berarti saudara belum tahu saya. Tapi kalau pertanyaan itu untuk menguji, saya katakan saya ini tokoh PNI. Semua orang yang mendukung Soekarno bisa saja komunis. Tapi itu bahasa perang dingin.

Apakah Pramoedya juga seorang komunis?

Mana ada karya-karyanya yang menyuarakan komunisme. Tidak ada. Dia hanya ingin menyuarakan kaum tertindas. Bagaimana melawan penjajah, dan seterusnya. Dan itu sangat dipengaruhi oleh kehidupan pribadinya waktu di Blora. Dia itu baca buku-buku Marxisme saja tidak tamat, ha-ha-ha

O ya? Kalau anda sendiri?

Saya baca Marxisme lewat saringannya Bung Karno.

Kenapa anda tak menulis situasi ketika itu sekarang dari perspektif kelompok anda?

Saya tak punya kecakapan sebagai sejarawan. Menulis sejarah itu harus netral menyampaikan fakta dari dua sisi.

Sebagai korban Orde Baru, apa yang sebaiknya dilakukan kepada Soeharto?

Ada dua, yaitu pengadilan sejarah dan pengadilan hukum. Harus diungkap apa yang terjadi selama 33 tahun dia berkuasa. Harus terbuka dan didebat oleh para pendukungnya. Kesalahan Orde Baru itu membangun rezim dengan sistem kediktatoran, mengkhianati cita-cita Undang- Undang Dasar 1945. Peristiwa Tanjung Priok, siapa yang memerintakan penembakan? Lalu penembak misterius. Pasti ada yang punya pelor dan senjata. Siapa? Ini tak pernah jelas. Pengadilan harus membuka itu. Dari awal kami sudah omong, Soeharto ini bakal jadi diktator dengan fasisme-militerisme. Perlu dimaafkan? Memaafkan ya. Tapi memaafkan atas kesalahan apa? Harus dibuka dulu apa kesalahan Soeharto di depan hakim. Ada kelambanan dalam budaya kita, yaitu budaya bapakisme. Ini terjadi sekarang. Seorang bapak itu tak pernah salah. Kalaupun salah harus dimaafkan. Ini budaya bapakisme yang tidak pada tempatnya.

Kalau diminta hakim, apakah anda mau jika dipanggil sebagai saksi?

Kalau dipanggil saya siap.

Sampai kapan berada di Indonesia?

Mungkin sampai September. Setelah itu saya kembali ke Belanda.

Omong-omong, sekeluar dari Salemba anda punya impian mengguncang Paris. Apa sudah tercapai?

Sebelum masuk penjara saya sudah ke Paris. Mengguncang itu urusan tahun 1950-an. Setelah masuk penjara urusan sudah lain.

Mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir?

Sangat sedikit. Saya cuma baca buku seorang penyair dari Jogja. Tetapi kalau sastra ingin berkembang kita harus meniru apa yang sudah dilakukan Takdir yaitu menerjemahkan karya dunia. Kita harus sebanyak mungkin mencerap khasanah sastra dunia. Ini untuk mengimbangi globalisasi negatif dalam bidang lain. Sekarang, sastra sangat ditentukan oleh pasar. Orang bebas menulis apa saja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita