Damanhuri*
http://www.lampungpost.com/
SEBELUM para kritikus sastra berkali-kali mengelu-elukannya sebagai calon penerima Nobel Sastra, Adonis jelas bukan nama yang terlalu akrab di telinga kita. -lit
Sosok bernama asli Ali Ahmad Said Asbar itu barangkali baru mulai mencuri perhatian kita ketika salah satu karya terbaiknya, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Dirasah fi al-Ibda’ wa al-Itba ‘Inda al-Arab–menyusul penerjemahan beberapa puisinya dan dibukukan menjadi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (Grasindo, 2005)–diterjemahkan menjadi Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2007).
Popularitas Adonis kian menanjak saat awal November lalu menyampaikan ceramah budaya bertajuk Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama di Teater Salihara, Jakarta. Padahal, jika kritikus sastra Adam Shatz bisa dipercaya, konon tidak pernah ada seorang pun dari sastrawan Arab modern yang dikagumi seperti Adonis.
Dalam sebuah esainya, An Arab Poet Who Dares to Differ (The New York Times, 13-7-02), Shatz bahkan menabalkan sosok kelahiran Qassabin, Suriah, 78 tahun yang lampau itu, sebagai penyair terbesar dunia Arab modern.
Dalam nada agak hiperbolik, penyair Samuel Hazo yang menerjemahkan puisi-puisi Adonis ke bahasa Inggris, malah menjadikan Adonis sebagai penanda utama dinamika puisi Arab. Karena dalam pandangan Hazo, hanya ada tiga tonggak puisi Arab modern: puisi Arab era pra-Adonis, era Adonis, dan era pasca-Adonis.
Dua tilikan yang terkesan berlebihan di atas sebenarnya jauh-jauh hari sudah didahului Edward Said saat menyebut Adonis sebagai “penyair Arab paling provokatif dan paling berani” sepanjang sejarah Arab modern. Dalam buku Kebudayaan dan Kekuasaan (1995: 408), perintis tradisi kritik pascakolonial itu menunjuk Adonis sebagai eksemplar par excellence penafsir warisan sastra Arab dan hampir sendirian menantang persistensi dari apa yang dianggapnya sebagai tradisi Arab yang membelenggu.
Masa-Lalu-isme dan Modernitas Loakan
Adonis adalah sastrawan cendekia yang menempuh karier sebagai seorang penyair, aktivis politik, penggiat sastra, dan budaya, penyunting berbagai antologi puisi Arab klasik, kemudian memantapkan diri menjadi penyair cum kritikus sastra-budaya yang masyhur karena selalu memunculkan pemikiran baru, ganjil, sekaligus menyegarkan.
Sebagai seorang penyair, eksperimen estetik Adonis setidaknya bisa kita tengok dalam antologi puisi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta. Sedangkan pemikiran-pemikiran bernasnya dalam batas-batas tertentu terekam dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang semula merupakan disertasinya di Universitas St. Joseph, Beirut.
Dalam buku empat jilid (baru diterjemahkan dua jilid) itu, kita bisa menerka apa yang dipotret Adonis dengan detail seputar pertarungan dua kekuatan yang terus bersitegang dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam. Di satu sisi, menurut dia, ada kekuatan dominan yang berkeras terus merawat dan mengadiluhungkan tradisi serta mengandaikan seluruh warisan masa lalu itu sebagai panasea bagi segala. Kekuatan inilah yang disebut Adonis sebagai “yang mapan”, al-tsabit. Dan, di sisi lain, muncul arus berbeda yang meneriakkan keharusan perubahan.
Sayang, suara terakhir yang disebut Adonis sebagai al-mutahawwil (”yang dinamis”) itu selalu dianggap sebagai ancaman bagi kemapanan (al-tsubut) dan mengakibatkan perjumpaan antarkeduanya lebih bersifat kontradiktif dan represif ketimbang dialektis. Sehingga, setiap arus dinamis menuju perubahan selalu tenggelam ditelan gelombang pasang suara dominan yang lebih memilih kehangatan selimut warisan masa lalu–betapapun telah apaknya warisan yang terus dipuja itu.
Dengan begitu, apa yang disebut Adonis sebagai kecenderungan “masa-lalu-isme” (past-ism) akhirnya bersimaharajalela. Sementara itu, tiap upaya kritik atasnya disambut sebagai bidah yang dianggap anti-Arab dan bahkan anti-Islam. Padahal, menurut dia, tanpa “revolusi kesadaran” melepaskan diri dari belenggu tradisi sekaligus sikap kritis menyambut budaya asing, yang tumbuh subur dalam kebudayaan Arab tidak akan bergeser dari fenomena “modernitas loakan” (second-hand modernity) alih-alih sebuah pembebasan.
Kebudayaan Arab, menurut Adonis, memang telah menjadi “modern” dan bisa dibilang sepenuhnya ter-Barat-kan. Tapi cakupan makna kemodernan itu ironisnya belum beringsut dari tren konsumerisme yang mewujud dalam perayaan atas komoditas budaya apa pun yang datang dari Barat. Sementara itu, perkara-perkara krusial seperti kebebasan berpendapat atau etos pembaruan yang merupakan tulang punggung kemajuan dan kemodernan-sejati justru tidak kebagian tempat untuk diruangkan.
“Kami hidup dalam impitan budaya yang tidak memberikan sepetak pun ruang untuk bertanya,” ujar Adonis dengan masygul. “Sebab, kebudayaan kami seolah telah mengetahui semua jawab atas pertanyaan apa pun yang akan dilontarkan. Bahkan, Tuhan pun seakan tidak berhak lagi untuk bersabda.”
Yang menarik, sembari memekikkan “pemberontakan” atas tradisi yang dianggapnya meringkus kreativitas itu, Adonis bukanlah pencemooh tradisi yang teralienasi dari akar tradisinya. Penguasaannya atas khazanah sastra Arab klasik, seperti dicatat Kamal Abu-Deeb dalam Encyclopaedia of Arabic Literature (1998), adalah salah satu yang menonjol dan tak lain buah didikan sang ayah.
Sedangkan benih-benih pemikiran kritis serta warna baru dalam puisi-puisinya ditakik dari perjumpaan dengan, dan dipengaruhi oleh, Antun Sa’ada (aktivis Partai Sosialis Syiria) serta sensibilitas puisi baru yang dirintis para penyair seperti Jubran Khalil Jubran, Ilyas Abu Shabaka, Sa’id ‘Aql, dan Salah Labaki.
Dari Antun Sa’ada pula, menurut Abu-Deeb, muasal kesadaran Adonis ihwal keharusan merawat mitos dan sejarah dalam ekspresi puitik–khususnya ketika puisi dipandang wajib berperan penting dalam merespons tantangan Barat. Tidak mengherankan jika pada dekade 50-an Adonis menunjukkan ikhtiar keras memintal serakan sumber-sumber klasik dalam rajutan eksperimen puitiknya yang menggemakan keyakinan sosial-politik.
Namun, sembari menggelorakan pentingnya komitmen sosial, dalam satu helaan napas yang sama Adonis pun tetap berkukuh memandang urgensi hadirnya ruang yang otonom dan bahasa yang indah bagi puisi sekaligus menampik memerosotkannya jadi bahasa sehari-hari. Dan, corak paling nyata dalam gerak kepenyairannya itu dilihat Abu-Deeb memuncak dalam Aghani Mihyar al-Dimashqi (1961), ketika ia telah sampai pada “sebuah keseimbangan yang begitu padu dalam menyandingan peran sosial-politik puisi dan bahasa simbolik ketakhadiran yang diyakininya sebagai sebuah keniscayaan dalam puisi”.
Sebait puisi berjudul Bangsa dari analektanya itu menunjukkan kecenderungan estetik tersebut: untuk wajah bangsa yang merengut di bawah kepuasan impian-impian/ aku iba; pada tanah yang telah kulupakan tetesan airmata yang menggenanginya/…dan demi batu karang yang kucadaskan dengan rasa laparku/ dia adalah hujan yang tersimpan di balik kelopak mataku/ dan demi rumah yang kutinggalkan bersama debu yang sia-sia/ aku merasa iba—-semua itu adalah wajah bangsaku, bukan Damaskus.
Suara itu diulangi Adonis dalam Inilah Namaku saat ia menulis: telah kumasukkan selku ke dalam sebuah selat/ yang telah digali oleh jam-jam/ aku bertanya-tanya, apa bangsaku sungai tanpa muara?/ kunyanyikan bahasa mata belati/ kuberteriak, keabadian telah terlubangi/ dan dinding-dindingnya telah runtuh di antara usus-ususku/ aku muntah/ sejarah dan masa kini belum ada yang kembali padaku.
Puisi bagi Adonis adalah visi dalam menghadapi dan menciptakan masa depan. Penyair adalah “pendobrak kebudayaan” yang memosisikan diri sebagai penghancur aturan-aturan usang, pengubah kemapanan dan kebekuan, pemberontak serta penggugat aneka bentuk penindasan. Begitu simpul Issa J. Boullata dalam buku-esai Batu Cadas dan Segenggam Debu (2007).
Tapi sebagaimana buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang tidak ubahnya jejak dari ziarah intelektual Adonis ke dalam hampir semua lekuk khazanah pemikiran Arab-Islam yang paling jauh, eksperimen puitik Adonis pun begitu kompleks, subtil, dan berliku. Pada suatu ketika ia menyuguhkan warna anarki-revolusioner. Tapi di waktu lain tiba-tiba menyemburkan aroma mistik-sufistik. Atau melebur kedua kutub tersebut dalam sebuah harmoni yang menjadikan karyanya benar-benar menyuguhkan karakter khas.
Langkah dan pilihan dinamis (kadang-kadang eklektik) itu juga tampak dalam rambahan tematik puisi-puisinya. Tidak hanya berkutat dengan persoalan khusus menyangkut nasib bangsanya yang tidak kunjung usai dirundung rusuh itu, tema puisi Adonis pun sebenarnya menjamah tiap serpih pengalaman manusia yang bersifat universal: Penderitaan, kematian, cinta, dan seterusnya.
Nabi Pagan di Neraka Pengasingan
Itulah Ali Ahmad Said alias Adonis. Penyair yang dalam usia 16 tahun telah didapuk jadi redaktur sastra sebuah koran karena kecemerlangan puisi-puisinya. Kritikus sastra dan budaya Arab yang kerap bersuara lantang menggugat standar ganda politik Amerika, tapi juga tidak jarang dituding sebagai sang juru bidah perusak akhlak oleh bangsanya sendiri.
Begitulah kiprah Adonis. Penyair yang kerap diolok-olok rekan-rekannya sesama penyair–ia tidak begitu hirau dengan, dan bahkan menikmati, julukan–sebagai sang nabi pagan. Penyair yang terus dirundung gelisah karena melihat “segalanya telah menjadi lebih penting dari manusia. Segalanya, bahkan baju, bahkan sepatu”. (Pembuka Akhir Abad, 1980). Gundah menyaksikan saudara sebangsanya yang masih bergeming dalam pseudo-modernitas, dimabuk oleh–meminjam frase Adonis sendiri–”hidangan konsumerisme-dangkal sarat bahaya” (a dangerous brew of hollow consumerism).
Boleh jadi, sengkarut soal di atas itu pula yang mendorongnya memilih tinggal di Paris dan mengajar di berbagai universitas sejak 1985. Pilihan yang suatu waktu diungkapkannya, dengan nada getir, sebagai simalakama: Tinggal di “neraka pengasingan” sekadar untuk menghindari “neraka kehidupan sehari-hari” di negeri sendiri yang telah papa secara kultural akibat invasi budaya Barat yang terus menohok ke tiap arah mata angin. Proses pem-Barat-an yang sialnya, kata Adonis lagi, cuma memampatkan budaya bangsa Arab dalam kubangan konsumtivisme yang menangkarkan kebanalan dan menggagalkan tiap ikhtiar pembebasan.
*) Penulis, tinggal di Bandar Lampung.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar