19/03/09

Cerpen Versus Puisi

Alex R. Nainggolan*
http://www.hupelita.com/

SEJAK Seno Gumira Ajidarma membedah melalui gaya penulisan cerpennya, terutam dengan diterbitkannya kumpulan Cerpen “Manusia Kamar”, dunia kepenulisan Prosa Indonesia mengalami metamorfosa yang sangat liar. Remy Novaris DM, dalam salah satu esai menulis kalimat di atas. Saya justru melihatnya dalam dunia prosa ada sebuah perubahan yang berlanjut.

Semacam ada sebuah energi yang mendesaknya untuk melakukan sebuah pembaruan “radikal”. Begitu dashyatnya peta perjalanan prosa Indonesia. Apabila Sutardji berulang kali menafsirkan peta perpuisian Indonesia dianggap sudah mencapai pembaruannya, dengan menuliskan sebuah “Kredo Puisi”, yakni pembebasan sebuah kata dari makna maka tamatlah riwayat perjalanan perpuisian Indonesia.

Apa yang ditempuh para pendahulu di bidang puisi telah mencapai tahapan yang masimal. Permulaan tahun 1945, Chairil Anwar dianggap merombak diksi-diksi yang konon begitu sakral, dan dipercayai Pujangga Baru, sebagai aturan yang tak bisa diubah.

Diksi-diksi puisi yang berirama, semacam a-b-ab, harus diikuti kaidahnya. Dengan gayanya sendiri Chairil tak lagi bisa menerima itu semua. Pendedahan mulai dilakukan, dengan melakukan sebuah pelafalan baru. Mencoret kata-kata yang tak perlu. Meski, jasa penemuan akan kepenyairan Chairil tersebut tidak terlepas dari H.B. Jassin.

Jassinlah yang mempromosikan Chairil, dengan menjelaskan sajak-sajak Chairil, melalui teori sastranya. Peta pembaruan puisi dilanjutkan Sutardji. Penyair “meong” ini melafalkan sajak-sajak mantranya yang abai dari makna. Dalam salah satu esainya Subagio Sastrowardoyo dalam “Pengarang Sebagai Manusia Perbatasan”, menjelaskan puisi-puisi Sutardji masih bermakna, walau kadang terasa janggal.

Simak saja salah satu sajaknya dengan penulisan lirik semacam, “Walau Penyair Besar, alif ba ta ku tak sebatas Allah”. Yang menjadi pertanyaan disini: Adakah Allah mempunyai batas? Lalu, dimana batasannya. Atau dalam, sajak lain semacam “Mesin Kawin”, atau “Kalian”-yang hanya berisi satu lirik ‘pun’.

Untuk sementara, peta perpuisian Indonesia berhenti di tangan Sutardji. Penggebrakan generasi sebelumnya terasa belum banyak berarti. Afrizal Malna yang dianggap lokomotif Angkatan 2000 di bidang puisi, hanya mencari kedalaman kata. Gejala mempengaruhi antargenerasi memang kerap terjadi, dalam bidang apapun.

Bisa dilihat, bagaimana Afrizal yang mengakui dirinya terpengaruh sajak Goenawan Muhammad, di awal kepenyairannya. Hal ini, berbeda dengan dunia Cerpen atau agar lingkupnya lebih luas, saya lebih enak menyebutnya sebagai dunia prosa. Gaya kepenulisan yang disuguhkan senantiasa berbeda.

Berbagai macam gaya penulisan disini, sebut Danarto, dengan gayanya yang berkiblat ke mistis. Dengan penawaran cerpen-cerpen bertemakan Malaikat Jibril. Surealis dari kenyataan yang disuguhkan, membenturkan kaidah logika. Sebab, siapa yang bisa bercakap-cakap dengan Malaikat, ataumenjaringnya.

Realitas

Dunia prosa berlanjut dengan meluaskan diri pada kenyataan persoalan sekitar. Putu Wijaya saya anggap memiliki corak tersendiri. Prosa yang ditulis Putu, bertemakan dunia suram dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Putu bisa dengan jenaka meninabobokan pembacanya, sambil menyiapkan energi untuk menutup prosanya, dengan hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.

Dalam kata pengantar yang ditulis sendiri, Putu selalu bermaksud melakukan teror bagi pembacanya. Bukan hal yang mustahil, jika kenyataan-kenyataan yang ditulisnya begitu abai pada logika. Sebagai contoh, dalam cerpen “Mayat” yang dimuat di Horison, Putu memaparkan bagaimana seongok Mayat yang mati. Tiba-tiba terbangun dan merasa hak “matinya” sebagai mayat telah dicolong penerbitan.

Meskipun, Putu tidak serta-merta menyelesaikan prosanya dengan bahagia. Hal ini, diakui dalam “Blok” semua prosanya dilakukan disela sebagai wartawan saat itu. Regenerasi prosa terus berjalan. Seno dengan gayanya yang baru, menggabungkan gaya penulisan jurnalistik dan sastra. Belakangan, saya menduga, sebenarnya gaya tersebut lama dilakukan Majalah Tempo, sekarang dikembangkan secara lebih nyata lagi dalam Pantau, juga Kalam. Hal ini, barangkali tidak terlepas dari peranan Goenawan Muhammad, sebagai pemimpin redaksi. Corak-corak Seno, seusai menerbitkan “Penembak Misterius”, jelas terlihat. Seno selaku wartawan, menuliskan dengan sudut pandang sebagai penyaksi. Simak saja, novelnya “Jazz, Parfum, dan Insiden”-yang memakai banyak kaidah-kaidah penulisan suatu berita.

Prosa Indonesia senantiasa memdedah sendiri. Tak ada kritik yang sanggup menahan laju pergerakannya. Kritik yang tertulis media massa, semuanya dianggap “gertak-sambal”. Semua penulis tetap dengan gayanya masing-masing. Di era 80-an ke atas, seiring dengan bermunculan sejumlah sastrawan baru, prosa Indonesia, mengalami pergulatan baik mental dan fisiknya. Pengangkatan isu seputar gejala masyarakat urban, keluarga, cinta yang begitu buram maknanya, terlihat nyata.

Sebut saja sejumlah prosa yang ditulis Bre Redana, Agus Noor, Gus Tf Sakai, Joni Aridianta, Teguh Winarsho AS, Yanusa Nugroho, Anton Kurnia, Helvy Tiana Rosa, Kurnia Effendi, Satmoko Budi Santoso, Djenar Mahesa Ayu, Puthut EA, Eka Kurniawan, Jujur Prananto-sekadar menyebut beberapa nama. Prosa kian tumpang-tindih, makin beragam gaya yang bermunculan.

Hal ini, barangkali, disebabkan tidak adanya teori yang menetapkan gaya kepenulisan prosa. Ketika saya membaca karya Djenar Mahesa Ayu, “Wong Asu” (sebenarnya Cerpen ini merupakan tanggapan dari cerpen Seno sebelumnya “Legenda Wong Asu”). Saya melihat tanda-tanda baca dialog antar tokoh yang hanya dibuka dengan tanda “+” dan “-”, tidak sebagaimana lazimnya “”. Keadaan ini mengingatkan saya pada gaya kepenulisan lama, sekitar tahun 50-an, dimana prosa yang berkembang banyak menggunakan tanda baca semacam itu.

Hal ini pula yang selalu berulang, ketika Danarto selalu menuliskan prosanya dengan gaya sufisme. Kemudian, dilanjutkan dengan sebuah prosa dari Agus Noor “Pemburu”, yang menggambarkan, adanya keterpengaruhan bentuk, meskipun secara makna berbeda. Generasi-generasi terbaru di bidang prosa bermunculan.

Batasan yang disebut prosa makin berkesinambungan. Kita bisa menemukan prosa yang benar-benar pendek, hanya satu halaman bila diketik dua spasi. Sapardi Djoko Damono pelopornya, di pertengahan tahun 2001 Sapardi menerbitkan antologi prosa berjudul “Matinya Seorang Pengarang” (Indonesia Tera), dengan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas.

Menceritakan peristiwa dengan bahasa yang singkat. Bisa juga menemukan prosa yang panjang, bahkan sampai 30 halaman, 100 halaman, bahkan 1.000 halaman. Remy Silado, menulis prosa panjang, mengenai sejarah etnis Cina dalam peta sejarah Indonesia “Cau Bau Kan” (Gramedia). Atau beberapa prosa lainnya yang menggebrak gaya penulisan baru dalam jagat sastra semacam “Saman”, “Larung”, dan “Supernova”.

Puisi jelas berbeda dengan prosa. Puisi dianggap memiliki daya magis. Walaupun puisi yang berkembang saat ini hanya sebatas seni merangkai kata. Selayak yang diucapkan Sutardji di Bentara April 2002, “Jika saat ini puisi bisa bersifat tak abadi. Semacam taik kuda,”. Namun, tingkat yang dicapai puisi, barangkali karena ketuaan usianya.

Puisi dianggap lebih energik dan liar dari prosa. Meskipun, terkadang saya masih gamang membedakan antara prosa yang benar- benar pendek dengan puisi yang juga 1 halaman itu. Puisi sebagai seni olah kata, barangkali, akan tetap mendapatkan tempatnya.

Mengingat usia puisi jauh lebih tua dibandingkan dengan prosa. Puisi begitu sakral dan diagungkan, sebagai mitos. Ucapan-ucapan yang dibentuk dalam sebuah puisi begitu memiliki corak, tentunya dalam kadar sebagai mantra. Penyair merupakan sosok individu sejati yang paling “arrogan” dalam melahirkan sebuah karya. Bila dibandingkan dengan prosa. Walau terkadang, tidak tertutup kemungkinan seorang penyair juga bertindak selaku penulis prosa.

Gus Tf Sakai salah satu contoh, bagaimana penyair dapat bertindak sebagai prosais. Atau sebut Sutardji yang telah meluncurkan antologi cerpennya “Hujan Menulis Ayam” (Indonesia Tera, 2001). Meminjam ucapan Sutardji, tentang kondisi dalam dirinya, apabila dia menulis puisi maka ia akan meliarkan imajinasinya. Sedangkan, bila menulis prosa ia akan mencoba menentramkan imajinasi tersebut.

Di tengah perkembangan dunia prosa kita. Di era berkembangnya kebudayaan secara universal, gaya penulisan prosa cenderung meliarkan imajinasi. Bahkan, meniadakan batasan moralitas yang berkembang di masyarakat. Gaya penulisan prosa mencapai momentum ledakannya yang dashyat, kita bisa menangkap kesemuanya apabila menangkap gaya dari penulis Agus Noor, Indra Tranggono, Triyanto Triwikromo, Oka Rusmini, Ayu Utami, atau sebutlah generasi terbaru yang tengah hadir semacam Djenar Mahesa Ayu, dan Puthut EA. Aroma mistis, persinggungan dari aspek psikologis, begitu kental dan terasa dalam karya kreatifnya.

Prosa Indonesia, boleh melakukan pembaruan maksimal, dengan cara menurutkan sejarah lama, kemudian menggabungkannya dengan suatu hal yang baru. Toh, tidak ada yang bisa mencegahnya. Prosa Indonesia, semacam suatu kebimbangan tersendiri dari penulisnya, yang siap menetas menjadi apa saja, setelah diperam cukup lama. Ia bisa serius, bercanda, atau main-main.

*) Alex R. Anggota Komunitas Sastra Pelangi.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita