30/01/09

Hantu, Perempuan Sundal, dan Kebohongan Bramanto

Fakhrunnas MA Jabbar
http://www.lampungpost.com/

Akulah hantu itu. Tertiup angin aku datang ke pulau yang mulai gemerlapan ini. Tersebab lupa, aku tak tahu darimana aku tiba. Aku bisa berumah di awang-awang atau berhimpun dalam gemuruh hujan dan petir. Tak usahlah aku berterus-terang ihwal asalku. Orang-orang Melayu kebanyakan agak berpantang membincangkan soal itu. Kecuali, para batin dan bomoh yang sewaktu-waktu bisa saja memanggilku tanpa surat perintah sekali pun. Aku hanya takluk pada mantera dan bacaan gaib serta bau-bauan kemenyan atau ramuan kembang para batin atau bomoh tadi.

Oleh karenanya, aku bisa diperalat oleh siapa saja yang mengimpikan suatu pengharapan dan cita-cita. Ya, aku mengalir dalam takhayul-takhayul orang kesurupan akan harta dan jabatan. Maaf, tak mungkin aku berterus-terang siapa saja yang pernah menggunakanku untuk mencapai ambisi-ambisi pribadinya. Sssttt...off the record-lah gitu...!

Seperti angin dan bau-bauan, aku pun bergentayangan begitu saja di pulau ini. Aku datang tanpa permintaan siapa pun. Tak ada batin atau bomoh yang memperalatku. Tak ada maksud-maksud khusus di balik kehadiranku. Aku hanya ingin bersaksi di sebuah kawasan baru yang selama ini tak tertera di peta. Sungguh, sebelumnya aku sudah kenal kota-kota besar yang bertumbuh bagai meteor yang melesat ke langit biru malam hari. Bahkan aku sudah beranak-pinak di kawasan-kawasan semacam itu menyebarkan ketakutan dan kecemasan di tengah kegerahan kehidupan malam.

Aku baru tahu di pulau ini ada kehidupan yang mulai asing. Dunia hiburan tanpa batas tiba-tiba menjadi ratu di kegelapan malam. Ini yang aku suka. Meski aku juga tahu kalau orang-orang Melayu penghuni asal pulau ini telah berkeringan air mata meratapi perubahan yang mengoyak-ngoyak tabir budayanya yang santun. Dentum suara musik di diskotek-diskotek sejak malam hingga pagi hari membenamkan dengung azan di menara-menara masjid yang senantiasa jadi tumpuan doa orang-orang Melayu di sini. Bar dan karaoke yang dipenuhi kepulan asap dan bau maung pil nipam, ineks, rohipnol serta cekikikan perempuan sundal tengah malam menguburkan rengek-tangis anak-anak Melayu yang hidup bersahaja di ceruk-ceruk tanjung dan selat nan jauh dari keramaian. Kesepian mereka lebih diam dari bintang di kejauhan. Aku faham....aku faham sungguh!

Malam-malam kujalani di tiap jengkal pulau harapan ini. Terang-benderang kota di luaran berbancuhan dengan ruang remang-remang yang dijejali asap dan bisingnya suara musik. Aku ikut larut dalam hentakan musik yang membuat ribuan orang terkulai dan menahan dingin di pojok-pojok diskotek dan bar. Orang-orang berpelukan semaunya. Dunia tanpa kata-kata. Orang-orang hanya mengandalkan gendang telinga untuk menikmati irama musik yang tak beraturan lagi. Itu juga yang aku suka. Aku sudah terbiasa dengan suasana-suasana seperti itu. Bagi makhluk semacam kami, ketakutan dan kecemasan adalah santapan penuh gizi. Aku datang ke pulau ini pun sebisanya menularkan ketakutan dan kecemasan itu. Orang-orang yang kesetanan adalah sahabat sejati kami.

Kucoba mengenali orang-orang di pulau ini sebisaku. Kucoba mengakrabi wajah mereka. Tak peduli apakah dia orang tempatan atau tamu yang berdatangan dari luar pulau ini. Sudah lama kudengar, banyak orang yang datang ke pulau ini setelah urusan dinasnya menikmati malam-malam panjang dan perempuan sundal yang bisa "dibeli" dengan harga lebih murah. Bahkan, perempuan semacam itu jadi bagian proses bisnis atau urusan dinas mereka. Ha ha ha... (maaf, aku jadi tertawa berlebihan).

Malam ini aku bersendirian saja. Seperti biasa aku berkelana kian-kemari. Dari tempat yang remang di luaran hingga keremangan diskotek dan karaoke. Entah bagaimana, kehidupan kami lebih dominan ditakdirkan berada di keremangan. Hanya bedanya, dulu aku hidup di keremangan rimba belantara. Tapi kini kucoba menikmati keremangan lain. Keremangan yang dijejali kerlap-kerlip lampu dan hentakan musik.

Aku melihat seorang perempuan muda yang menggigil di sudut ruangan diskotek. Aku kasihan melihat kegetiran hidupnya malam itu. Aku ingin berbicara dengannya. Tentu bukan dalam bahasa hantu. Tentu juga dalam wajah kami yang selalu berubah dan mengerikan. Seperti tabiat kami yang bisa berubah rupa, aku pun akan mendekatinya dengan wajah seorang lelaki tampan.

"Hai, manis! Kenapa sendiri?" sapaku.

Perempuan itu semula diam saja. Menatapku penuh keheranan. Tampak di wajahnya ia mulai berbagi perasaan. Satu sisi ingin menolakku karena aku masih asing baginya. Di sisi lain, ia juga sangat bersimpati padaku, tersebab aku cukup tampan malam itu.

"Hai, manis! Perlu ditemani?" sapaku mengulang.

Ia mulai tersenyum. Manis sekali.

"Boleh aku duduk di sini?" pintaku.

Ia beraksi dan menyempurnakan posisi duduknya. Pakaiannya yang berkerutan karena melampiaskan rasa kesal akhirnya dirapikan tergesa-gesa. Ia tampak berusaha melayaniku dengan prima. Tampaknya ia mulai tertarik padaku.

"Abang dari mana?" tanya perempuan itu singkat.

"Aku dari pulau ini. Aku penduduk sini. Kau, mengapa di sini sendirian saja?"

Ia mulai bercerita. Katanya, ia sedang kesal karena menunggu seorang lelaki yang menjadi tamu istimewanya. Pak Bramanto, namanya. Seorang tamu yang bertugas dan menetap di Jakarta. Persisnya pejabat di dinas atau kantor apa, perempuan yang mengaku bernama Prili itu tak pernah tahu pasti. Walaupun sebenarnya, sang lelaki sudah menjadikannya sebagai "istri piaraan" selama lebih tujuh tahun. Biasanya Pak Bram, begitu ia senang dipanggil, akan mengunjungi 3--4 kali setahun, sejalan dengan tugas dinas luarnya di pulau itu.

"Kamu suka hidup seperti ini?" desakku.

"Gimana lagi, Bang. Sebenarnya aku tak mencintainya. Apalagi bagi perempuan di tempat hiburan seperti aku, dijamin tak punya tambatan hati. Tapi Pak Bram memelas dan memohon agar aku tetap jadi isteri simpanannya. Ya, aku terima juga. Yang penting bagiku...ya duitnya. Aku sudah dihadiahinya sebuah rumah mewah lengkap dengan isinya. Lebih dari itu, pada ulang tahunku yang ke-24 tahun lalu, dia juga hadiahkan buatku sebuah sedan BMW. Tentu aku suka...," derai tawa Prili terdengar manja sambil menyandarkan wajahnya di bahuku. Sebagai hantu, tentu aku tak nafsu.

Kencan kami malam itu sampai larut malam. Meski dentuman musik house masih terus mengalir sampai pagi, tapi aku memutuskan pembicaraan sampai pukul 02.00 dini hari. Aku tak menawarinya untuk menemaninya antar pulang. Sebab, aku tak menghendaki ia sampai mengajakku tidur bersama. Aku tak biasa melakukannya.

Di malam-malam berikutnya, Prili masih mengajakku datang dan bertemu di diskotek yang sama. Di malam yang kebelasan kalinya, saat aku duduk mendampingi Prili, tiba-tiba ponsel di genggamannya berdering. Ia tampak gelagapan dan bicara berbisik. Bagai ada yang disembunyikan. Tapi aku persis tahu semua apa yang dibicarakannya. Bahwa, Pak Bramanto sebentar lagi akan datang karena pesawatnya baru mendarat agak kemalaman dari Jakarta.

"Bisa kutinggal sebentar, aku ada keperluan lain...," ujar Prili berhati-hati.

"Tak usah repot. Aku juga mau pergi. Pak Bramanto sedang ada di sini kan?" selidikku. Prili tersengak.

Tokoh Prili bagiku jadi menarik begitu kutahu hubungan gelapnya dengan Pak Bram. Oleh sebab itu, selama tiga hari pertemuan mereka, selalu tak luput dari intaianku. Aku selalu menyaksikan hari-hari kemanjaan mereka di pusat belanja, kamar tidur, restaurant sea food hingga lancongan mereka ke Singapura. Aku hanya menangkap wajah kebohongan pada kedua tubuh itu. Pak Bram menjual kebohongan-kebohongan pada anak-istrinya yang jauh. Sementara Prili membohongi Bram tentang kesetiaan dan kejujurannya.

Sebagai hantu, aku menerobos ruang dan waktu tanpa batas. Oleh karenanya, saat Pak Bram kembali ke Jakarta, aku mendahuluinya. Kumasuki ruang mimpi anak-istrinya. Kubisikkan semua yang dilakukan Pak Bram sejak tujuh tahun berlalu. Aku tak ingin kebohongan Pak Bram lestari sepanjang usianya. Mestinya ia lebih punya tanggung jawab di usia yang kian senja.

Ketika Pak Bramanto sampai di rumah, istri dan anaknya menyambut dingin. Pak Bram jadi ketar-ketir. Ia mencoba seolah tak terjadi apa-apa dengan menyuguhkan oleh-oleh yang beragam.

"Ada apa, Ma?" tanya Pak Bram saat bertemu sang istri di kamarnya.

Sang istri makin cemberut. Pak Bram jadi salah tingkah. Apalagi saat anak-anaknya yang sudah dewasa mengerumuninya.

"Saatnya, Papa berterus terang pada kami. Papa punya perempuan simpanan kan di Batam? Itu yang membuat Papa sangat senang dinas luar ke sana..." serang ketiga anaknya serempak.

Pak Bramanto terdiam.

"Bagaimana kalian tahu?" suara Pak Bram meluncur pelan.

"Kami bagai dibisikkan sesuatu. Kami menyaksikan semuanya lewat mimpi. Seolah-olah ada yang memberitahu kami akan kejadian yang sebenarnya...," tanggap sang istri berapi-api.

"Tapi, mimpi tak lebih dari bunga tidur. Bukan fakta..bukan realita. Bagaimana bisa dipercaya...?" Pak Bram masih mencoba mengelak.

Aku menyaksikan perdebatan di rumah tangga itu sambil tersenyum geli. Saat suasana hening di dalam kamar itu, aku mengubah jasadku menjadi Prili. Aku langsung mengetuk pintu. Pak Bramanto yang berdiri paling dekat ke pintu langsung menekan gerendel.

"Selamat malam... Hai, Pak Bram! Maafkan aku mengganggu...," sapaku dengan memakai jasad dan suara Prili dengan senyum ramah.

Pak Bram benar-benar tersengat dan terkejut. Dadanya berguncang hebat. Tak lama kemudian ia rubuh ke lantai karena serangan jantung. Semula nyaris tak ada yang peduli. Tapi setelah aku berterus terang dan mengenalkan diri sebagai Prili, perempuan simpanan Pak Bram, barulah anak laki-lakinya yang bungsu memberikan pertolongan pada Pak Bram. Sementara istri dan dua anak perempuannya mencoba menyeretku ke luar. Mereka tiba-tiba kesurupan ingin meremas wajahku.

"Sabar dulu, Bu. Aku datang untuk memberitahu ihwal sebenarnya agar Pak Bram tak membohongi kalian lagi. Permisi...," aku langsung gaib dan menghilang membuat semuanya tercengang.

Aku kembali ke Pulau Batam menyaksikan ribuan kebohongan para lelaki. Kuberitahu Prili bahwa Pak Bramanto tak akan datang lagi karena ia sudah meninggal dunia sejak mendapat serangan jantung dulu. Hati Prili berbunga-bunga.

Pangkalan Kerinci, Agustus, 2003

*) cerpenis tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita