28/11/08

SASTRA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURALISME*

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demo-kratis. Multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan melalui pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa dan antarbudaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan dalam posisi yang setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragamannya. Secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan adanya perbedaan budaya yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan kemasyarakatan.

Pusat perhatian dan titik tekan multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, maupun budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu sebagai bagian dari kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan budaya dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas.

Kesusastraan sebagai bagian dari kebudayaan, dan secara spesifik sebagai karya yang dihasilkan melalui proses panjang kegelisahan dan pemikiran sastrawannya, tentu saja tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dalam konteks multikultural, justru dapat dianggap sebagai representasi salah satu corak kebudayaan. Jadi, ia tidak hanya dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang menggambarkan corak individu di dalam interaksinya dengan sebuah kelompok masyarakat atau suku bangsa, tetapi juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya yang melahirkan, membesarkan, dan melingkarinya. Dengan demikian, karya sastra dapat pula persoalannya ditarik dalam lingkaran cultural studies atau multikulturalisme. Yang kemudian disoroti bukanlah teks, melainkan konteks budayanya yang mengagungkan perbedaan-perbedaan dan pluralisme kultural.
***

Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praksis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra Indonesia modern. Ada beberapa alasan yang melatari pemikiran itu. Pertama, sastra Indonesia modern lahir sebagai hasil pertemuan dengan kebudayaan Barat yang lalu wujud dalam bentuk sastra tulis. Dengan begitu, tradisi lisan (oral tradition), tersisih oleh berbagai ragam sastra tulis. Kedua, sastra Indonesia dilahirkan dari rahim sastrawan yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kultur etnik yang membesarkan dan membentuknya. Mengingat sastrawan Indonesia berasal dari pluralitas dan keanekaragaman etnik, maka niscaya khazanah sastra Indonesia mencerminkan juga kenekaragaman itu. Ketiga, sastra Indonesia ditulis dalam bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang diangkat dari bahasa etnis Melayu yang penyebarannya di wilayah Nusantara telah punya sejarah yang panjang. Ia juga sudah sejak lama menjadi lingua franca; bahasa perhubungan antarsuku-suku bangsa yang berbeda dan antara pribumi dan orang asing, baik dalam hubungan pemerintahan, maupun perdagangan.

Demikian, kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya sudah memperlihatkan dirinya sendiri yang multikultural. Ada pluralitas yang mendiami ruh sastra Indonesia, dan dengan demikian ada keanekaragaman, baik yang menyangkut tema yang diangkat, maupun gaya pengucapan yang disampaikannya. Dalam konteks yang lebih luas, sastra Indonesia merupakan representasi pluralisme budaya yang melatarbelakangi, melingkari, dan yang melekat dalam diri pengarangnya.

Di dalam perkembangannya kemudian, representasi pluralitas budaya tadi sering dilupakan atau sengaja dilalaikan. Akibatnya, sastra Indonesia seolah-olah lahir begitu saja, tanpa proses kultural. Ia seperti tak punya kaitan dengan problem yang berada di belakangnya. Ia juga seperti tak berhubungan dengan kegelisahan dan pergolakan kultural yang berkecamuk dalam diri pengarang, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat yang berkebudayaan. Dengan begitu, secara tersirat kesadaran mengenai identitas kesusastraan Indonesia, sepertinya ditiadakan dan yang muncul ke permukaan adalah wadah persamaan dan kesatuan keindonesiaan yang seolah-olah homogen. Sastra Indonesia jadinya tercerabut dari akar pluralitas kulturalnya.
***

Problem dasar sastra Indonesia dalam kaitannya dengan multikulturalisme adalah kenyataan bahwa lewat wadah bahasa Indonesia, berbagai perbedaan etnis dan budaya, dianggap telah selesai. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana; hanya alat bagi sastrawan kita untuk mengejawantahkan kegelisahan kulturalnya. Di dalam masyarakat-bangsa yang majemuk, pluralitas etnik adalah kenyataan. Dan kenyataan itu tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragamanan, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama.

Dalam kaitan itulah, para pendiri bangsa ini merumuskan butiran Sumpah Pemuda dengan kesadaran untuk tidak meninggalkan dan menanggalkan pluralitas etnik. Butiran kedua Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” tidaklah berhenti hanya sampai di sana, karena ada butiran ketiga yang mengikuti sekaligus yang melengkapinya. Cermati rumusan butir ketiga Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Demikian, secara politis-ideologis, berbagai perbedaan etnik dapat dipersatukan melalui kesadaran menjunjung bahasa persatuan dan tidak mengaku sebagai bahasa yang satu. Ini berarti ada pengakuan mengenai keberadaan bahasa yang lain. Secara kultural, masing-masing etnis tetap hidup dengan keanekaragaman perbedaan bahasanya. Tersirat, ada pengakuan kesetaraan terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang melekat pada keanekaragaman pluralitas etnik.

Bagian itulah yang mestinya dikembangkan sebagai bentuk pengakuan dan sekaligus apresiasi terhadap perbedaan yang memang sejatinya telah ada sebagai kenyataan. Jadi, pemaknaan terhadap butir kedua dan ketiga Sumpah Pemuda itu bukanlah dalam kerangka monokulturalisme yang menekankan penyatuan budaya-budaya sebagai sebuah kesatuan yang seragam, melainkan dalam kerangka multikulturalisme yang mengagungkan dan sekaligus mengakomodasi perbedaan-perbedaan kesukubangsaan .
***

Sejak awal kelahiran dan pertumbuhan sastra Indonesia, politik kolonial Belanda memperlihatkan cengkeraman hegemoninya. Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, secara efektif memperalat sastra Indonesia untuk kepentingan membangun citra positif bangsa Belanda. Langkah-langkah politis melalui kebijaksanaan pendidikan pun lalu dijalankan. Muncullah kemudian sastra Indonesia yang elitis, yang tidak menyinggung perbedaan etnis, yang dilarang mengangkat persoalan agama, dan yang tidak boleh membicarakan semangat kebangsaan.

Hegemoni politik kolonial pun diperluas dengan usahanya membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Dikatakannya, bacaan-bacaan itu sebagai produk agitator dari “Saudagar kitab yang tidak suci hatinya.” Bacaan-bacaan itu berbahaya karena dapat menghasut dan menyesatkan. Dengan menggunakan cap sebagai “Bacaan liar,” karya-karya sastra yang diterbitkan pihak swasta, selalu terhadang memasuki wilayah dunia pendidikan. Jadilah, karya-karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka bergulir dengan konotasi yang buruk sebagai bacaan yang menyesatkan.

Sekadar menyinggung beberapa karya, sebutlah buah tangan para pengarang peranakan Tionghoa, seperti Oey Se (1903) karya Thio Tjien Boen, Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, Tjerita si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Numa, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929) karya Kwee Tek Hoaij, Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929) karya Madame d’Eden Lovely, dan Njai Isah (1931) karya Sie Liplap. Selain itu, karya-karya bangsa pribumi macam Mas Marco Kartodikromo, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Medika (Hikajat Soedjanmo) (1924), Semaun, Hikajat Kadiroen (1924), Hamka, Didjempoet Mamaknja (1930), Soeman Hs, Pertjobaan Setia (1931), A. Hasjmy, Melaloei Djalan Raja Doenia (1938), A. Damhoeri, Depok Anak Pagai (1938), dan Merayu Soekma, Menanti Kekasih dari Mekah (1938) termasuk karya yang diterbitkan pihak swasta.

Lalu apa maknanya karya-karya itu dalam konteks pembicaraan multikulturalis-me? Sebagai akibat dijalankannya politik kolonial yang kemudian mengalir terus dalam dunia pendidikan kita selama ini, karya-karya itu secara apriori dimasukkan ke dalam kotak roman picisan --menurut Roolvink-- dan bacaan liar menurut versi kebijaksanaan Balai Pustaka pada masa awal berdirinya lembaga itu. Buku-buku sejarah sastra Indonesia juga tidak memasukkan karya-karya itu dalam kanon resmi perjalanan sastra Indonesia. Akibatnya, banyak nama dengan sejumlah karyanya, masih tetap tercecer, termarjinalisasi, dan tenggelam oleh kanon sastra yang resmi.

Lebih jauh lagi, persoalannya tidak hanya sampai di sana. Karya-karya yang ditulis oleh para pengarang peranakan Tionghoa, banyak yang mengangkat wacana asimilasi sebagai sebuah proses pembauran etnik minoritas ke dalam masyarakat mayoritas. Dalam novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, misalnya, proses itu tampak masih terbatas pada usaha menampilkan kultur masyarakat Tionghoa, pribumi, dan Belanda.

Hasrat mengangkat wacana pembauran itu lebih jelas lagi tampak dalam Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoaij. Percintaan antaretnis (Tionghoa dan pribumi) dibumbui pula gambaran budaya Cina dan Sunda. Di dalamnya termasuk juga persoalan kepercayaan (Konghucu dan Islam). Wacana yang juga dimunculkan Madame d’Eden Lovely dalam Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929). Dalam karya Mas Marco Martodikromo dan Semaun, konflik budaya feodal dan egaliterian dihadapkan pada persoalan sukubangsa dan kebangsaan.

Masalah kultur etnik dan kritik tajam terhadap feodalisme dan tradisi, memang paling mudah dicari dalam novel-novel terbitan swasta dibandingkan dalam novel-novel terbitan Balai Pustaka. Kecuali novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis yang menampilkan hubungan dua budaya melalui Corrie (Indo-Perancis, Barat) dan Hanafi (Minangkabau, pribumi) dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro yang juga menampilkan dua budaya melalui Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda), sebagian besar novel Balai Pustaka sebelum merdeka, tidak menjadikan kultur etnik dan pertemuan antarbudaya etnik sebagai persoalan atau tema penting. Oleh karena itu, dalam novel-novel Balai Pustaka, kita akan sulit menjumpai tema yang mengangkat konflik antarbudaya atau persoalan yang ditimbulkan lantaran perbedaan-perbedaan budaya, agama, kepercayaan, sukubangsa atau ideologi.

Persoalan itu tentu saja ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda. Nota Rinkes (1910) secara eksplisit menyebutkan tiga syarat penting yang digunakan Balai Pustaka dalam menyeleksi naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ketiga syarat itu adalah (1) tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu,dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu. Dengan adanya ketentuan Nota Rinkes itu, maka wajarlah jika novel-novel Balai Pustaka cenderung memperlihatkan tokoh-tokoh yang karikaturis dan hitam-putih dengan persoalan seputar perkawinan dan kehidupan rumah tangga.

Persyaratan model Nota Rinkes itu tentu saja tidak berlaku bagi penerbit swasta.
Dengan demikian, penerbit swasta lebih leluasa menerbitkan buku-bukunya tanpa harus mempertimbangkan masalah etnik, agama, kepercayaan, dan golongan. Bahkan, dalam beberapa novel, pengarangnya tampaknya justru sengaja mengeksploitasi konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan sukubangsa, agama, kepercayaan, etnik, dan golongan sebagai bentuk promosi, baik untuk bukunya itu sendiri, maupun untuk majalah tempat cerita itu dimuat secara bersambung. Peristiwa-peristiwa percintaan, kehidupan rumah tangga atau peristiwa apa saja yang menjadi berita, sering kali kemudian diangkat sebagai novel dengan menyebutkan bahwa cerita novel itu berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Novel Lo Fen Koei, misalnya, di halaman depannya ada keterangan sebagai berikut: “Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opioem di Res. Benawan ...”

Dengan memperhatikan tema-tema yang begitu beragam dari khazanah karya sastra terbitan di luar Balai Pustaka itu, maka di satu pihak, terbuka penelitian yang luas bagi cultural studies dan lebih khusus lagi melalui pendekatan multikulturalisme untuk mencari bentuk multikulturalisme yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk dan pluralis. Di samping itu, sudah saatnya bagi kita membuka lebar-lebar kesadaran tentang berbagai perbedaan dan interaksi kultural untuk menempatkan multikulturalisme sebagai sebuah wadah yang dinamis, ruh yang demokratis.

Meskipun demikian, tentu saja tidak semua khazanah karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka dapat digunakan sebagai bahan kajian. Karya-karya yang cuma sekadar mengeksploitasi konflik-konflik etnis tanpa dibarengi oleh eksplorasi literer-estetik, tentu saja tidak perlu dipertimbangkan. Nilai estetik dan literer, bagaimanapun tetap menjadi bahan pertimbangan, di samping sebagai salah satu usaha menghindar dari kepentingan ideologis tertentu.
***

Khazanah sastra Indonesia selepas merdeka, terutama di awal tahun 1950-an, sebenarnya lebih kuat mencerminkan semangat etnik kedaerahan. Dengan begitu, memperlihatkan juga semangat mengangkat kultur etnik. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut.

Pertama, pengaruh Balai Pustaka selepas merdeka tidaklah sekencang dan sekuat sebelumnya. Nota Rinkes dan persyaratan penggunaan bahasa Indonesia yang bersih dari unsur etnik, tidak lagi berlaku. Dengan demikian, sastrawan Indonesia selepas merdeka jauh lebih leluasa mengungkapkan kegelisahan kulturalnya.

Kedua, bersamaan dengan pudarnya pengaruh Balai Pustaka, muncul pula penerbit-penerbit lain yang juga cukup luas pengaruhnya.

Ketiga, pudarnya pengaruh sastrawan asal Sumatra dan munculnya sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah, terutama Jawa dan Sunda, makin memperkaya style, gaya pengucapan, serta tema-tema yang dikedepankan.

Keempat, masuknya pengaruh asing secara lebih leluasa, membuka ruang yang lebih lebar bagi pemerkayaan tema, gaya atau apapun yang berkaitan dengan usaha sastrawannya meningkatkan kualitas kesastrawanannya.

Keempat faktor itu terjadi pada dasawarsa tahun 1950-an ketika pemerintah Indonesia tidak lagi diganggu oleh militer Belanda. Kini, terjadinya gerakan Reformasi yang melengserkan rezim Soeharto, telah membawa ke dalam situasi yang dalam kesusastraan Indonesia kondisinya hampir sama dengan kondisi awal tahun 1950-an itu. Bahkan kini, arus deras globalisasi dan hilangnya sekat-sekat geografis dalam dunia telekomunikasi, makin meramaikan keberagaman dan kesemarakan budaya. Oleh karena itu, saatnya kini sastrawan kita mengeksploitasi keberagaman dan berbagai perbedaan budaya sebagai lahan garapannya. Ini tentu saja penting tidak hanya untuk menghindari terjadinya konflik etnik, tetapi juga menarik persoalannya dalam kerangka integrasi dan kebangsaan. Dalam konteks itulah, multikulturalisme dapat memainkan peranannya.
***

Kondisi saat ini sesungguhnya membuka kemungkinan yang sangat besar bagi laju perkembangan sastra Indonesia di kancah sastra dunia. Ada sejumlah faktor pendukung yang niscaya membawa kesusastraan Indonesia dengan mudah memasuki wilayah sastra dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Beberapa faktor pendukung itu dapatlah disebutkan di sini sebagai berikut:

Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Darman Munir lewat novelnya, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron dan dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan.

Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya pula karya-karya mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.

Kedua, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.

Ketiga, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik dari karya-karya mereka adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif multikultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas. Periksa misalnya dua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), Dewi Lestari, Supernova (2001), antologi cerpen Dorothea Rosa Herliany, Perempuan yang Menunggu (2000) dan antologi puisinya, Kill the Radio (2001), Helvy Tiana Rosa, Manusia-Manusia Langit (2000) dan Nyanian Perjalanan (2000), Fira Basuki, Jendela-Jendela (2001), Abidah el-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan antologi cerpen Menari di atas Gunting (2001), antologi cerpen Ratna Indraswari, Namanya, Massa (2001), dan dua novel Oka Rusmini, Tarian Bumi (2000) dan Sagra (2001).

Keempat, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan kita.
***

Menempatkan kesusastraan Indonesia dalam perspektif multikulturalisme pada akhirnya menggulirkan pertanyaan mendasar: peranan apa yang hendak dimainkan sastra Indonesia di dalam kerangka multikulturalisme?

Melihat kenyataan pahit bahwa di berbagai daerah terjadi konflik etnis dan agama serta munculnya benih-benih disintegrasi, sangat boleh jadi pemicunya lantaran hilangnya toleransi dan pemahaman budaya etnik yang lain. Dalam konteks itulah, sastra Indonesia yang merupakan salah satu bentuk representasi kultural sastrawannya, dapat menjadi alat yang efektif untuk saling mempelajari kebudayaan-kebudayaan lain. Jadi, melalui karya-karya sastra sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bangsa ini dapat memulai program pendidikan kebudayaan suku-suku bangsa lain yang tersebar di Nusantara ini. Bersamaan dengan itu, boleh pula dicobakan pendidikan multikultural yang bahan-bahannya, di antaranya, juga karya-karya sastra tadi. Persoalannya tinggal, bagaimana pendidikan kebudayaan-kebudayaan lain lewat karya-karya sastra itu disusun dan disiapkan guna menemukan format yang paling ideal. Barangkali, gagasan ini bolehlah dicobakan!

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita