24/11/08

ESTETIKA WAYANG CERPEN AHMADUN Y HERFANDA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika berbagai saluran komunikasi terhalang tembok besi kekuasaan, sementara segala aspirasi dan harapan mampat di tengah jalan, kesenian –khasnya sastra— kerap digunakan sebagai alternatif. Di sana, dalam balutan estetika, sastra coba bermain dan mempermainkan saluran yang mampat itu. Tembok besi kekuasaan dan pandangan orang terhadapnya, dapat disulap menjadi lelucon atau kisah-kisah yang terjadi di dunia entah-berantah. Jadi, sastra berpeluang memasuki wilayah apa saja, tanpa harus dibayangi kecemasan menghadapi kegagalan mencapai sasaran.

Sastra tak berpretensi mengubah tatanan sosial secara revolusioner. Ia dihadirkan dengan kesadaran menggoda rasa kemanusiaan, menyentuh secara halus, dan diam-diam menggerayangi hati nurani kita. Sastra coba menguak dan kemudian menyodorkannya kepada kita dengan cara yang khas. Dalam hal ini, sastra mencoba menyajikan dan memaknainya dengan caranya sendiri. Ia mungkin berbentuk kisah tentang kehidupan di dunia entah-berantah atau menyerupai potret sosial.

Dalam pada itu, jangan lupa. Di sana ada sesuatu yang berkaitan dengan nilai estetik. Tanpa itu, ia sangat mungkin akan menjadi sebuah dakwah agama, pamflet propaganda, atau serangkaian nasihat nenek nyinyir. Nilai-nilai estetik itulah yang menjadikan sastra dapat menyelusup jauh lebih dalam sampai ke ujung hati nurani; sampai ke dasar rasa kemanusiaan. Maka, ketika kita berhadapan dengan karya sastra, ada sebuah kenikmatan estetik yang bisa tiba-tiba menyergap kita. Ada sesuatu yang terasa menyenangkan—menikmatkan. Tanpa sadar, sesuatu itu secara diam-diam melepaskan kepedihan, keprihatinan, dan kedongkolan dalam memandang realitas sosial yang ngawur dan brengsek, dan kemudian membentuk sikap untuk juga terlibat dalam perlawanan terhadap kengawuran dan kebrengsekan itu.

Dalam tataran itu, sastra menempatkan fungsinya untuk menyentuh kepekaan kita atas problem kemanusiaan, atau bahkan menggugat apa pun yang tidak sejalan dengan jiwa dan hakikat keberadaan manusia.
***

Antologi cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Jakarta: Bening Publishing, 2004, 233 halaman) karya Ahmadun Yosi Herfanda ini pun tentu saja tidak terlepas dari persoalan itu. Antologi ini memperlihatkan kesadaran pengarangnya dalam menyikapi fenomena sosial yang terjadi di negeri ini. Dan Ahmadun dengan caranya sendiri menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya melalui kemasan estetika wayang. Sebuah cara yang mungkin lahir dari kesadaran atau ketidaksadaran kultur yang membentuknya. Ia menjadi tata nilai yang telah lama mengendap dalam ingatan individual atau ingatan kolektif masyarakatnya.

Dengan cara itu, Ahmadun telah melakukan pilihan yang aman—terkendali, sebagaimana yang juga dilakukan Putu Wijaya atau Danarto, meski dengan gaya dan style tang berbeda. Kritik social dan pesan kemanusiaan yang disampaikannya pada akhirnya tetap tersembunyi berada di balik peristiwa yang digambarkannya, meski ia berhadapan dengan tembok besi kekuasaan Orde Baru atau dengan kebebasan yang banyak dimanfaatkan sastrawan kontemporer kita dewasa ini. Lihatlah, dari 15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, hanya dua yang dihasilkannya pasca-Orde Baru, yaitu cerpen “Perempuan yang Menghunus Pisau” dan “Masjid Terakhir”. Jadi, dalam hal ini, tarikh penulisan dapat kita gunakan sebagai salah satu sarana mencermati potret yang hendak ditampilkannya berikut caranya memasang potret itu. Secara sosiologis ia penting untuk melihat fenomena sosial masyarakat dan semangat zaman. Tarikh menjadi signifikan dalam membangun potret zaman dan fenomena sosial.

Dari sudut itu, Ahmadun menyajikan potret itu dalam dua warna yang secara laten terkesan paradoksal. Ia menampilkan dua sisi karakter manusia yang saling berlawanan, dan keduanya bersemayam dalam satu jiwa. Maka, kita akan berhadapan dengan tokoh-tokoh yang mengeluarkan dan sekaligus juga menyembunyikan sesuatu. Bagaimana dalam satu jiwa muncul dua karakter yang saling menentang, kontradiktif, dan paradoksal. Uniknya, bipolarisasi itu tak hadir dalam konteks saling melengkapi dan komplementer, melainkan saling menyembunyikan. Keberpihakan pada tokoh tertentu, misalnya, sekaligus berarti ketidakberpihakan; sebagai bentuk perlawanan atau penentangan.

Contoh lain dapat pula dikemukakan. Bagaimana misalnya, kesucian berselimut kekotoran atau sebaliknya (“Pertobatan Aryati”). Bagaimana pula nilai-nilai kepahlawanan memendam pengkhianatan (“Ombak Berdansa di Liquisa”), solidaritas menyatu dengan egoisitas (“Perempuan yang Menghunus Pisau”). Selalu ada dua sisi; positif—negatif, kekayaan—kemiskinan, atau kelemahan—keunggulan. Semuanya menyatu dalam satu jiwa. Yang dihadirkan bukanlah tokoh hitam—putih, melainkan hitam dan putih sekaligus.

Bagaimana pula harapan—kecemasan, teror dan pengayoman dapat hadir secara bersamaan, serempak—sekaligus. Seperti sebuah senyum ketika tertimpa derita atau tertawa saat menghadap maut. Hampir semua tokoh yang digambarkan Ahmadun dalam antologi cerpen ini memperlihatkan karakter yang bipolar seperti itu. Niscaya penghadiran dua kutub karakter yang berlawanan yang mendiami satu tokoh itu, tidak berarti inkonsistensi dalam membangun karakter tokoh. Justru lewat cara itulah, ia telah menyerap estetika wayang dan coba mengangkatnya dalam bentuk cerpen.

Bipolarisasi itu tentu saja menuntut kita menyediakan perangkatnya yang sesuai dan tepat. Tanpa itu, sangat mungkin kita akan menuju pemaknaan yang sesat. Oleh karena itu, tidak dapat lain, antologi ini mesti didekati melalui perspektif estetika wayang. Lihatlah tokoh-tokoh wayang yang mencitrakan prototipe karakter tertentu. Tokoh Bima, misalnya, selalu akan tampil dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar, gagah, dan berangasan. Menghadapi musuh-musuhnya, Bima akan bertindak telengas dan cenderung kejam. Tetapi, ia juga bisa menjadi tokoh yang penurut, loyal, setia, jujur, dan lemah manakala ia menghadapi siapa pun yang tindakan dan tutur sapanya halus, penuh dengan tipu muslihat, dan bujuk rayu. Bima bisa menjadi sosok yang menjunjung tinggi solidaritas dan kesetiakawanan yang kadangkala berlebihan, tetapi juga bisa menjadi tokoh yang sangat pragmatis dan tidak taktis.

Demikian juga tokoh Durna, misalnya, yang kerap dicitrakan sebagai sosok pengadu domba, licik, dan culas, pada saat yang sama, bisa pula menjadi tokoh yang arif bijaksana dan berjiwa besar ketika tokoh lain tak mampu melahirkan gagasan-gagasan cemerlang dan tidak ada yang mau berkorban. Lihat juga para tokoh punakawan yang muncul dalam goro-goro. Mereka menghadapi dan menyikapi apa pun dengan cara santai, guyon, banyol, dan penuh kelakar. Seolah-olah hidup ini tidak perlu disikapi dengan cara berkerut kening, kaku, dan penuh perhitungan kalkulasi untung—rugi. Sesungguhnya, di balik itu, ketika negara dipandang berada dalam bahaya, mereka akan tampil dengan berbagai taktiknya yang cerdas, serius, dan penuh perhitungan yang matang. Bentuk fisik para punakawan yang jelek dan lucu itu, sama sekali tidak mencerminkan jiwanya. Dalam hal ini, tubuh tidak identik dengan jiwa atau sebaliknya, mereka yang gagah-ganteng, belum tentu berjiwa gagah dan ksatria.

Begitulah, karakter tokoh-tokoh dalam antologi cerpen ini tidak dapat dengan mudah dipilah-pilah secara tegas sebagai tokoh baik atau buruk, putih atau hitam. Selalu ada dimensi lain yang melatarbelakangi atau yang melatardepaninya. Pola ini jelas menyerupai tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Periksa misalnya para tokoh yang berperang dalam epos Mahabharata. Perang Baratayudha sebagai puncak epos Mahabharata itu menampilkan begitu banyak tokoh yang baik—jahat, benar—salah, bersemayam dalam satu jiwa. Lihatlah tokoh Karna, misalnya. Ia kakak seibu dengan Arjuna. Namun, karena Suyudana, Raja Kurawa, memberi kerajaan Awangga, Karna merasa berutang budi. Salahkah kemudian jika Karna membela Kurawa sebagai bentuk balas budi kepada Suyudana yang telah memberinya kerajaan? Salahkah loyalitas dan kesetiaan Karna yang ingin membalas budi?

Di samping itu, dilihat dari cara penyajian struktur ceritanya, Ahmadun seperti mengambil salah satu bagian dari struktur cerita wayang. Dalam hal ini, sindiran yang diangkat, kritik yang disampaikan, dan tokoh-tokoh yang dimainkannya mengingatkan kita pada apa yang disebut sebagai goro-goro. Salah satu bagian dalam struktur cerita wayang yang sering dimanfaatkan dalang untuk mengangkat berbagai persoalan aktual.

Kadangkala, dialog-dialog dalam goro-goro tak ada kaitannya dengan struktur utama cerita wayang yang bersangkutan. Tetapi justru pada bagian inilah seorang dalang akan menunjukkan kualitas dan kompetensinya. Oleh karena itu, bagian ini sering dimanfaatkan dalang untuk menyampaikan apa saja, mengkritik siapa saja atau ikut masuk dan mencoba terlibat memberi solusi atas berbagai persoalan aktual yang berkembang di masyarakat. Di dalam goro-goro, semua tokoh yang muncul di sana bisa dengan bebas menanggalkan karakter aslinya. Maka, seorang Bima, Arjuna, Yudistira, Cakil, atau Rahwana sekalipun, bisa menjadi bahan ledekan dan bisa pula saling membanyol. Mengingat dalam goro-goro, peranan para punakawan diberi ruang yang begitu bebas, maka mereka bisa saling mengejek, berkelakar, berbantah, atau berbuat apa saja –termasuk mengkritik siapa saja—dengan maksud memancing penonton untuk bersenang-senang dan tertawa. Di belakang tawa itulah sesungguhnya tersimpan pesan ideologis si dalang.

Sebagian besar cerpen dalam antologi ini, cenderung menyerupai bentuk goro-goro dengan tokoh-tokohnya yang menampilkan karakter tokoh dunia pewayangan. Cermati semua cerpen dalam antologi ini. Nyaris tak ada deskripsi awal. Ahmadun kerap memulainya langsung dengan pokok persoalan. Tiba-tiba saja, pembaca dihadapkan pada persoalan inti. Dari situlah kemudian rangkaian peristiwa dikembangkan, konflik-konflik antartokoh dihadirkan, dan tegangan demi tegangan dikelindankan silih berganti. Sebuah teknik yang banyak digunakan dalam cerita-cerita detektif, tetapi Ahmadun cenderung mengambil pola goro-goro yang mungkin, tanpa sadar, telah mengendap lama dalam ingatan individualnya. Oleh karena itu, perbincangannya juga mesti melalui perspektif itu: estetika wayang!

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita