24/11/08

CALCUTTA VAN JAVA

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

SINOPSIS

KASIYATI, seorang penghibur di gang mesum memutuskan melayani seorang saja tamunya. Seorang berkebangsaan Belanda, Gerritsen. Pria itu bekerja sebagai ahli mesin di perusahaan yang terancam diswastanisasi oleh negara.

Di Jawa, Gerritsen punya misi lain selain tentu saja mencukupi kebutuhan hidup Kasiyati dengan seorang putranya. Pria itu bertugas memuluskan jalan agar perusahaan itu kembali dikuasai orang Belanda.

Kenyataannya, di Jawa Gerritsen malah melunasi kebebasannya menjalin hubungan asmara dengan mahasiswi ilmu budaya, seorang putri induk semangnya. Namanya Umi Khalsum. Di luar dugaan, gadis itu ternyata punya sederet nama lain karena ia pencari jati diri.
Tepatnya gadis itu seorang pemburu masa lalu.

Ia menemukan diri dan kejayaan Jawa di masa silam. Juga cinta yang membebaskan pada diri Gerritsen berawal dari sihir tarian bulu ayam di lubang kuping pria itu.
Hal yang sama terjadi pada Kasiyati, seorang pendamba masa depan, terhadap Gerritsen. Hebatnya keduanya adalah perempuan pemuja cinta yang merindukan tersingkapnya rahasia keindahannya, keagungannya.

Lantas bagaimana misteri hubungan keduanya, Kasiyati dan Umi Khalsum? Jiwa dan raga? Juga masa lalu dan masa depan?[]

MULA-MULA adalah kata. Jagad tersusun dari kata. Demikian menurut penyair Subagio Sastrowardoyo.
Namun saya percaya da menyakini bahwa nenek moyang segala ilmu, juga tentu saja kata adalah mitos. Bahkan jauh sebelum kata-kata itu peras sampai apuh beban artinya, mitos telah lebih dulu menyingkap makna sampai akarnya yang purba, murni, asali. Mitoslah yang mengembalikan kepastian, kebenaran tak terbantahkan dan suci.

Saya percaya dan menyakini amanah pengarang itu terletak pada kemuliaannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu semulia kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta. Seperti laiknya partikel atau gelombang abstrak selaput jagad.

Jadi kata itu seperti manusia juga. Seperti juga manusia, ia tahu bagaimana harus hidup, bercinta dan menyusun pikiran besar melunasi hasratnya pada alam cita. Tentu saja laiknya pengalaman batin, hasrat yang demikian sangatlah subjektif. Bagai sajak dalam aku lirik.

Saya meneropong sedekat mungkin manusia dengan sudut pandang aku yang merdeka tanpa niat untuk menganiaya. Biarlah mereka bicara dengan bahasa mereka sendiri. Saya hanya menghormati sebagaimana saya angkat topi pada kejujuran dan kemurnian kata.

Tentang cinta, saya menyakini cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan apalagi kehilangan hak milik saya sebagai individu yang kreatif. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Justru saya menangkap bayang keindahan cinta itu dari salah satu versi mitos Cerita Panji—sebentuk foklor, cerita rakyat yang dihargai murah karena dinilai tidak bermutu dan rendah.



PROLOG: Candra Kirana

BIAS binar keajaiban cinta tetap nyala. Bagai lazuardi api yang berkobar tertiup angina. Semesta dibasuhnya, meski sang kekasih telah tiada. Atas nama cinta Dewi Anggraeni, yang terbang menghadap sang pencipta, Raden Panji Yudarawisrengga menolak kawin dengan saudara sepupunya, putrid Prabu Lembu Merdhadhu di Kediri. Pewaris tahta kerajaan Jenggala itu memilih menyingkir ke Ngurawan—tempat Prabu Lembu Pangarang, pamannya, bertahta. Raden Panji yang juga punya nama Jayakusuma itu pun berpetualang cinta dengan menikahi putri pamannya, Dewi Surengrana.

Sang pangeran muda itu pun telah melunasi takdir keajaiban cintanya, tatkala ruang waktu peristiwa berkubang pada peperangan. Ketika itu pecah pertempuran antara kediri dan Hindustan. Pemantiknya, harga diri yang terbeli lantaran lamaran raja Hindustan, Kelana Sewandana ditampik Dewi Candra Kirana. Perang berakhir dengan Prabu Kelana berkalang tanah bersimbah darah. Segera, sang pangeran muda memetik kesempurnaan bulan pada diri Kirana yang jelita.

Nun jauh di sana, selembar jiwa bernyanyi dalam duka. Surengrana musti mengisi hari-harinya yang dirobek senandung cemburu. Tangisnya seperti tembang. Perempuan itu membunuh sepi dengan menderak-derakkan jeruji giginya. Dia memarut geram sendiri. Ia pun menuai badai. Badai langu membungkus namanya, Dewi Thotok Kerot.


1. Pitutur Pengantar Tidur

DUHAI anakku tersayang,
Entah sudah berapa dongeng kuceritakan padamu. Kini sampailah pada kisah penghujung di usiamu. Sejenak lagi kau tumbuh remaja. Bila sebelumnya telah kukisahkan tentang dongeng binatang, cerita berikutnya adalah perihal manusia. Bukan maksud ibumu hendak menghentikan tradisi bercerita kita. Tapi semata-mata agar engkau belajar mencari, menemukan dan menyelami cerita-ceritamu sendiri. Sesukamu. Sekehendakmu. Sebebas merpati yang terbang dan kemudian kembali pulang.

Engkau punya rumah, anakku. Hanya inilah pesanku. Engkau juga punya ibu. Seburuk apapun ibumu. Sebrengsek dan senaif apapun dia.

Sekalipun orang lain menilai kehidupan kita tak bermutu, belajarlah mencari arti dari keadaan itu sesungguhnya. Karena dengan demikian kau tak terbiasa dalam kepalsuan, sebelum selanjutnya menolak kepalsuan itu. Sebab itulah sebagai anak yang hendak menginjak remaja, saatnya kini kukisahkan padamu dongeng tentang sesuatu yang dianggap orang tidak bermutu. Manusia yang kukuh sungguh melawawan kepalsuan itu.

Ibumu ini telah cukup melihat cerita ini banyak yang tidak masuk akal, hilang ingatan atau antara mimpi dan kenyataan. Ibumu hanyalah seorang tukang cerita bagi anak-anaknya seperti engkau, anakku. Agar tumbuh kuat dan hidupmu bermutu. Sekalipun kita dilahirkan di dekat air comberan dengan kondom beterbangan dikendarai busa sabun wangi dan sampah shampoo di komplek pelacuran berbau minyak srimpi ini.

Wahai putraku tercinta,
Ibumu memang seorang pelacur, tapi kisah ini adalah cinta yang besar bagimu, bagi hidupmu, dan bagi harapan-harapan kehidupan di masa mendatang. Agar engkau jadi tahu tak semuanya yang besar musti berawal dari kemewahan, kemegahan. Inilah misteri dari cinta, anakku. Tumbuh dimana ia suka. Sekarang, tiba saatnya kau perlu tahu gairah hidup ibumu yang demikian juga disemangati oleh dongeng yang abai. Tentang seorang wanita yang dikutuk karena kebiasaan buruk. Seorang pencemburu yang senantiasa menderak-derakkan giginya. Kerot-kerot mengunyah dendam dan benci. Mungkin semacam cinta juga. Bahkan dendam itu pun diabadikan dalam sebuah arca Dewi Thotgok Kerot. Luar biasa tinggi arca perempuan yang sedang sial itu.¬1)¬

Tentu saja ibu menyimpan banyak tanya, gugatan. Sedemikian buruk nasib sang dewi. Sementara pria punya selera, sang pujaan Panji Jayakusuma malah kian memprimadona justru karena sering berganti nama dan cintanya. Terlebih terhadap Dewi Candra Kirana. Seolah mereka sejoli penyelamat dunia.

Aku protes keras, anakku. Cinta itu misteri yang bukan cuma milik orang istana, putera raja-raja yang sempurna hanya dalam cerita. Kita tidak akan pernah sesempurna cerita itu, anakku. Tapi cinta itu tumbuh tidak pernah pilih kasih. Ia hadir pula bersama kita, di sini. Di dunia nyata maupun mimpi kita, cerita kita ini.



2. Senja Seorang Delicata2)

TAKUT? Ah, aku telah tak punya rasa itu lagi. Garis hidupku yang melabuhkan aku di gang mesum ini, telah suntuk bagiku. Menjadi orang buangan, tapi dibutuhkan. Jadi yang terhina tapi dipuja lelaki hidung belang, telah mendamparkan takdir kehidupanku yang sama sekali lain. Meski aku tak tahu persis apakah takdir itu kurebut atau hanya terseret arus yang menyebabkan aku demikian tak punya takut.

Katakanlah sesuatu kekuatan tumbuh dari bawah kesadaran jiwaku, bahwa hidupku kini yang sebenarnya, telah ada di ruang rongga tubuhku. Sedang jasad ini ternyata tak cukup berguna kecuali bagi lelaki yang perlu menenggelamkan batang tubuhnya.

Karena itu, aku tidak takut dengan garis keriput di raut mukaku. Aku tak gentar dengan usia senja yang bakal menyerang tubuhku. Apalagi hanya untuk hilang nyali bila mulai sepi dari penjaja tubuhku. Aku merasa punya hidup baru sebagai seorang wanita berjiwa pengembara yang meninggalkan jasadnya. Agar menikmati keluasan samudera alam cita, merasuk ke dalamnya, mendaki puncak-puncak gunung es di dasar lautan terdalam, terjauh. Aku tak peduli tubuh semenjak lelaki sedang butuh.

Meski aku tetap setia tinggal di gang sempit ini, kendati tak masuk dalam kamus pilihanku. Aku memang tak punya pilihan, seperti halnya aku setia pada jasadku yang tak tersisih sekalipun merepih. Pilihanku hanyalah aku punya obsesi yang besar pada kehidupan yang sederhana di gang sempit dan mesum ini. Gang yang cuma kenal ditindih atau menindih.

Ya, keberanianlah yang menggurat di nadi leherku. Keberanian untuk kembali lahir lagi, hidup lagi, tidak sekadar sebagai seorang pelacur miskin yang sentimental pada isi kantong lelaki. Aku ingin bernyali besar tumbuh sebagaimana jiwa seorang wanita, seorang ibu bagi anakku dan seorang manusia yang mengendarai sendiri mimpi-mimpinya. Bahwa menjadi manusia, menjadi wanita tidaklah sesederhana di gang mesum ini.

Ketika perempuan-perempuan sibuk menjemur kasur, mencuci sprei, atau upacara menelan pil anti hamil, aku berkelana selaku wanita tukang cerita bagi anakku. Aku memperkenalkan negeri asing yang entah itu dongeng, mimpi atau dunia nyata keadaannya. Aku tak peduli. Karena bagiku yang terpenting adalah aku sedang menciptakan suatu dunia baru yang sanggup melepaskan seluruh krisis yang mendera tubuhku. Bagaimana rupanya? Seperti apa wujudnya? Percaya atau tidak? Itu hanya semata urusan orang yang mencari-cari pekerjaan yang sia-sia. Paling-paling aku cuma dicap perempuan yang mati rasa, yang sakit jiwa atau putus asa akibat dagangannya nganggur percuma.

Tapi kalianlah sebetulnya yang sakit
“Satu-satunya kebusukanku, aku adalah seorang pelacur. Itu semata-mata urusan tubuhku sendiri. Aku sudah bermaksud menghentikannya dengan cara hanya menerima seorang tamu saja. Seorang saja. Selebihnya, jiwaku sehat walafiat. Bahkan belum pernah aku merasa sesehat ini. Aku punya anak, punya hidup, punya cinta, cita dan punya hak dan kuasa. Apa yang salah? Aku juga punya misteri yang kukejar, punya gairah yang memabukkan untuk kuburu. Apalagi? Salah satu kebrengsekanku hanya urusan jasadku.”

Setiap lelaki yang kuhardik dengan kasar seperti itu tak cukup pintar untuk mengerti. Lelaki paling cerdas hanya bersikap mundur teratur. Tapi yang bodoh biasanya mengajak bertempur. Sedang pria yang setengah-setengah seringkali berucap, “astagfirrullah.” Kata yang di gang mesum ini terbilang sangat kejam menggantikan kalimat, ”Tuhan menyembuhkan penyakit sosialmu dengan mengutuk jadi gila.”

Dengan makhluk pria, aku tak pernah berdebat. Cukup jelas bagi yang datang di gang ini, juga yang ke rumahku bukan lelaki yang punya jiwa petualang soal-soal kegilaan atau kemabukan. Yang datang Cuma sepenggal nafsu dengan bumbu perasaannya. Atau seonggok hati yang berekor birahi. Dan tentu saja uang atau perjanjian utang.

Selain itu, juga lantaran di pintu rumahku dan pintu jiwaku seakan tertulis pesan, “Tak ada tempat untuk berdebat,” atau, “Ceritaku tidak untuk digugat.”
Namaku Kasiyati. Ejaan yang benar Kasih Hati. Tapi penghuni gang mesum ini akrab memanggilku Mening. Bila ada lelaki yang senang dengan nama Kasiyati, sudah barangtentu dia bukan pria biasa. Dulu aku tersiksa dengan nama Mening. Kini tidak lagi. Aku punya seorang putra tanpa bapak, Jauhari. Panggilannya Jauhar. Aku sendiri yang memberinya nama. Seperti juga aku yang menentukan jalan hidupnya, juga jalan ceritanya.

Aku menjalin kasih dengan pria berkebangsaan Belanda, Edeleer L Gerritsen. Aku berharap dia bisa menjadi ayah yang baik bagi Jauhar. Karena keinginanku itu, aku sendiri yang menambahkan Edeleer di depan namanya itu. Artinya, tuan yang terhormat.



3. Kupunya Nama, Maka Aku Ada

ENTAH bagaimana mulanya, keberadaanku, kehadiranku begitu tiba-tiba saja ada. Aku lahir, hidup, punya masa silam, masa kini dan masa depan, maka aku ada. Aku sering berganti-ganti nama, tapi tak mengubah garis hidupku.
Dan yang kutulis ini kuyakin adalah perjalanan hidupku terlepas dari siapa pun namaku.

Semula aku punya nama Kiyato, agar tumbuh sebagai gadis yang tegar. Mbah Puteri yang memberi nama itu. Selain berbau Japanese, juga mencontoh kekuatan batin Mbah Puteri yang dulu sebagai jugun ianfu3) sebagai pemuas nafsu serdadu Jepang. Namun selang beberapa tahun, ibuku yang memang berdarah Jepang itu protes.

“Harusnya aku yang punya nama itu, karena akulah keturunan langsung serdadu Jepang,” sergah ibu suatu saat seperti dikenangkan Mbah Puteri.
“Nggak perlu. Justru karena kamu memang berdarah Jepang kamu kuberi nama Jawa—Jumanah. Akulah yang tahu ayahmu orang brengsek,” tepis Mbah Puteri yang masih menyimpan kekerasan hati buah dari dendam. “Kamu tak akan kuat. Tapi puterimu bisa jadi yang berani berhadapan dengan orang Jepang.”

Ucapan Mbah Putri memang terbukti. Bertahun lalu aku turut andil mendaftarkan nenekku sebagai penerima santunan korban kekejaman fasisme Jepang.
Ibuku sempat mengganti namaku dengan Maharani. Tapi keseharianku yang rusuh, liar dan tak pernah makan kitab suci agama, membuat ayahku Kiai Sholeh Mansyur jadi risih. Aku berganti nama Islam dari kitabnya, Umi Khalsum.

Aku bersikukuh menjadi diriku sendiri, keadaanku.
Tingkahku kian menghebat, kebat kliwat4) tatkala duduk sebagai mahasiswa Ilmu Budaya di Universitas Pawiyatan Dhaha. Aku makin merasa tangguh merekam di otakku konsepsi-konsepsi kebudayaan sebuah kota yang telah lama terkubur. Aku punya kepercayaan demi melukis gambaran bakal lahirnya kembali kejayaan kota ini.

Aku menciptakan kota Calcutta van Jawa, menjadi kota besar, kaya, megah yang terbelah peradabannya oleh sungai laiknya ular melingkar, Gangga. Dengan sisik-sisik berkilau di sisinya. Rumah abu, mantra dan doa peziarah yang hendak menghormat leluhurnya.

Bila matahari pagi menyusup, percikan kilau dari ombak kali menjadi kanvas emas perahu-perahu gethek5) penambang pasir. Di sisi timur bibir kali berdiri Klenteng terjepit pusat kota dagang, Dhaha. Di pinggir sebelah barat gereja yang lapang menghadap kubah masjid agung. Berdiri menjulang di atas pasar bandar kali.

“Ini sebuah kota pujaanku, impianku,” gumamku. “Betapa sejak dari sudut arteri hingga jantungnya membuat pikiran, perasaanku melesat ke peradaban dengan pelbagai kepahitannya, keangkuhannya bahkan keluguannya.”

Petang datang diintip mata dewa yang berbinar keemasan. Di sudut timur laut kota, petilasan Yang Mulia Maharaja Prabu Jayabaya tak pernah henti menghembuskan nafas kota. Sebuah spirit dan jiwa dari raga kota. Sebiji mata batin bagi seluruh warga yang memujanya.

Di sana tertanam rahasia masa silam, masa kini dan masa depan. Kami berlomba menangkap sumber dari segala sumber alamat, sasmita.

“Tentu engkau pun tahu aku memahatkan doa atas nama Gerritsen juga di sana. Aku ingin dengan segala cinta dan birahi menjadi satu-satunya kekasihnya. Aku mau dia menjadi pendamping hidupku. Dan aku baru kali ini mengucapkan doa yang begini simple, meski aku orang pintar. Bukankah cirri orang pintar itu berdoa dengan bahasa yang melayang tinggi melambung ke angkasa? Tapi tidak bagiku kali ini,” aku mencurahkan isi hati selaku wanita normal kepada kawan sebangku, Endang Pergiwati.

“Eh, kamu juga minta supaya kekasihmu itu tak sering bertandang ke gang mesum Proborini?” pinta Endang.
“Tidak. Kenapa? Mungkin jawabnya belum. Karena bule itu biasanya liberal. Ia tidak suka dilarang dari sesuatu yang memang haknya.”
“Hei..jadi kau pendamba cowok liberal? Penganut freesexs, sering gonta-ganti pasangan?? Ingat AIDS, sayang!”
“Huh! Aku tidak berkata begitu.”
“Lantas?”
“Karena aku tahu Gerritsen hanya bergaul dengan seorang pasangan saja yang aman di gang itu. Dia sendiri cerita padaku. Sebegitu terbukanya cowok liberal itu.”
“Kau akan menikahi pria yang menceritakan affair-nya dengan seorang pelacur?”
“Why not?”



4. Sepotong Rahasia

BUKAN maksudku tampil selaku diri yang gila misteri.
Kedatanganku memang membawa misi rahasia. Secara professional tak seorang pun boleh menyingkap tabirnya. Tapi secara pribadi tidak satu pun bagiku perlu menyimpan misteri hidup. Sepanjang berbatasan tipis dengan rahasia tertinggi dari Sang Khaliq, tidak pernah aku menutup-nutupi suatu soal. Apalagi menyangkut kehidupan pribadiku.
Seperti yang kututurkan ini adalah keberadaanku yang sebenar-benarnya. Bahkan yang tersimpan di bilik ruang dalam jiwaku. Menjadi rahasia bila berhadapan dengan orang lain, bagiku cuma terhalang selembar tirai. Tentang hidupku, cintaku, petualanganku, juga tentang kehidupan spiritualku. Terlebih pengembaraanku menembus keleluasaan padang alam citaku.

Sebelum terpaku di kamar kos milik keluarga Nyonya Jumanah dan Kiai Mansyur, aku punya latar belakang pekerjaan yang sama sekali tak menyenangkan untuk kuceritakan kendati itu terjadi di negeri sememikat itu, India. Aku diminta mempelajari seluk-beluk sukses berabad-abad maskapai perkebunan peninggalan Inggris. Dua tahun aku di negeri persemakmuran itu tapi tanpa hasil. Pikiranku terus melayang pada perempuan. Karena kukira penyebabnya lantaran tak ada wanita yang menyeretku jadi betah dan pintar di sana.

Kini sesuatu yang luar biasa mulai terjadi di sini. Aku merasa takjub, benar-benar tersihir keindahan India justru di wilayah peta ini. Sepenggal negeri yang dahulu bernama Hindia Belanda. Ketika aku menjadi seorang yang terhormat lebih dari sekadar anugerah Edeleer dilayani wanita tengadah pasrah di gang mesum bernama Kasiyati. Saat di lembaran hidupku yang lain aku dipuja gadis penuh gairah putrid nyonya rumah, Umi Khalsum.

Aku lahir di Wageningen, Nederland 28 tahun lalu. Aku tak punya nama kecil. Aku menyelesaikan pendidikan teknik di Technische Hogeschool Delf dengan spesialisasi mesin produksi Ketel Uap dan Boiler, menurut anjuran ayahku yang berharap aku bisa bekerja di maskapai perkebunan yang dirintis leluhurku, Deli-Batavia Maattschappij di anak cucu perusahaannya. Entah di turunan yang ke berapa.

Sampai kemudian oleh suatu sebab aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara X Pabrik Gula Ngadirejo, di Jawa ini. Sebelum dipersiapkan mengemban misi rahasia ini, aku harus terlebih dulu mendalami Bahasa Indonesia selama beberapa bulan di Universitas Leiden. Mengambil kursus singkat spionase di salah satu rekanan Akademi Militer Kerajaan di Breda.

Tapi baiklah untuk sementara aku belum perlu mengungkap misi rahasia apakah itu. Demi menjaga profesionalisme kerjaku sebagai seorang ingenier, ahli mesin. Aku perlu tunjukkan bahwa bule yang semenjak kecil dicap pemalas ini, karena kebiasaanku membersihkan lubang kuping dengan bulu ayam atau cottonbuds, berkelejatan lantaran geli keasyikan ke sekujur syaraf tubuhku ini, seorang pekerja yang beres,
Di pabrik tak ada ayam. Hanya kulit tebu atau paku. Kunci atau besi.

***

MESKI aku tak tahu jawaban persisnya, sayang dugaanku keliru ketika mengira wanita itu tak menyukai tetek mbengek soal mesin, oli dan rancang bangun pabrik.
Setidaknya itu kutahu dari gairah sorot mata Umi Khalsum bila mendengar paparanku. Gadis itu jadi paling kritis mengajukan Tanya seolah dialah insinyurnya, bukan aku.
Entahlah, semakin aku cuma merasa ada yang aneh saja. Selanjutnya terserah padaku. Biarpun tumbuh kecurigaanku mengapa Umi Khalsum gelisah sibuk mengatur duduk bila menyaksikan bulu ayam menari di cuping kupingku. Seakan aku yang menikmati tapi dia yang menggelinjang malang.

“Jadi Mr Gerritsen didatangkan khusu untuk menangani ketel pabrik yang meledak itu?” kedengarannya Umi bertanya sesuatu yang telah tahu jawabnya.
“Ya, begitulah kurang lebihnya.”
“Wah, hebat dong.”
“Kebetulan saja, aku yang ditunjuk mendampingi logi mendatangkan konstruksi pipa-pipa ketel uap dari Jerman atau Jepang atas rekomendasi banyak pihak yang tak perlu kusebut.”
“Sebegitu pentingnya bule ini?”
”Jangan kamu kira aku nggak ngerti kata bule, gadis Jawa yang nggak Jawa.”
Kami pun tertawa cekikikan. Desah angina penjambak bau sedap malam menerobos kehangatan canda kami.
“Huh, apa sampean ngerti orang Jawa yang Jawa?”
“Untuk mengerti Jawa tidak harus belajar pada orang Jawa. Nederland itu gudangnya pakar Jawa. Kamu mungkin nggak percaya orang Jawa sekarang justru belajar Jawa di Nederland. Lebih banyak professor ahli kebudayaan Jawa di Nederland ketimbang dari Jawa. Universitas Leiden itu istananya budaya Jawa. Paling yang kamu kenal cuma Neil Murder, Zoetmulder.”
“Aku percaya. Aku sudah tahu kenyataannya seperti itu. Jadi kata-katamu percuma. Lebih baik ceritakan yang tak aku tahu perihal pabrik,” pinta Umi Khalsum.

***

PABRIK itu dibangun pada menjelang akhir masa kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr ACD de Graeff sekitar tahun 1930. Jerih payah dari revolusi industri paling modern di zamannya, 40 tahun sesudah berakhirnya system tanam paksa tanaman tebu. Benarkah sungguh-sungguh berakhir?

Yang menakjubkan ketel uap pabrik sebagai dapur meski lebih setengah abad umurnya tetap berfungsi baik. Juga lokomotifnya penarik lori-lori baru belakangan saja diafkir. Justru ketel kedua yang baru dibangun lima tahun terakhir sering ngadat. Puncaknya bulan April 2007 pipa-pipa arus produksi meledak dan kebocoran tak bisa dihindari. Produksi mangkir total.

Setelah tender perbaikan digelar, biaya perbaikan nyaris menyentuh angka 10 miliar. Kerusakan ketel jelas berdampak pada ruginya petani tebu yang harus antri tebang jika pun beruntung tebunya tak mengering. Waktu tercepat yang dibutuhkan perbaikan ketel dua bulan.

Peristwa inilah yang mengantar percepatan insinyur Gerritsen dikirim ke Jawa. Meski sebetulnya ia hendak ditugaskan menyelidiki kebocoran-kebocoran lain terkait keuangan perusahaan. Kapasitas produksi sangat memadai, bahkan peringkat terbaik. Tapi kredibilitas perusahaan harus diselamatkan sampai tercium rencana swastanisasi dari pihak BUMN.

Sudah dapat diduga apa yang terjadi di dalam. Nenek moyang di Nederland hanya butuh kirim orang untuk menyiapkan laporan konkret dari Gerritsen. Tapi kini rencana sedikit berubah. Dia punya tambahan waktu untuk menggoda perempuan-perempuan Jawa.



5. Pengakuan Kasiyati

EDELEER, aku harus katakana tak cukup berucap terimakasih padamu. Kaulah pria yang membuka matapandangku, matahatiku, matabatinku tentang keindahan cinta di lembah nista ini. Kau seperti sengaja dikirim hanya untukku, untuk hidupku. Tidak untuk yang lain, tidak untuk kepentingan lain.

Bagiku engkau sesosok dewa yang terjun ke rawa-rawa, sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya olehku.

Kau sungguh nyata, Edeleer. Kau menembus lebih jauh dari hidupku selama ini yang cuma berkubang pada Lumpur, dan rumput basah di rawa-rawa ini. Hidup sederhana yang berkutat soal dapur, kasur dan sumur atau sandang, pangan dan papan. Hidup yang bahkan untuk menyentuh belahan jiwaku, anakku saja aku tak mampu. Aku tak kuasa dan tak sampai terjemah hatinya. Bagaimana bisa aku mencuri arti yang demikian ini?
Bahkan, jikapun itu suatu ujian, aku merasa tidak pernah lulus. Untuk pasrah saja aku tak rela. Apalagi harus memberontak keadaan. Apalagi harus bersyukur, betapa aku makhluk paling nista, bila itu terjadi: Bersyukur dianugerahi kebebasan menikmati gerak riuh gemuruh gang mesum ini. Lebih kejam dari rajam hujatan makhluk yang disucikan moral dan kitab agama atas nama dendamnya pada gang mesum ini.

Apakah itu pertanda puncak dari kematianku? Tujuan hidupku? Atau semacam tetenger bahwa aku telah tak memiliki apapun? Apalagi hak? Sebaliknya bahwa akulah yang sesungguhnya telah dimiliki belahan jiwaku, anakku. Begitulah aku sebagai perempuan sebagai ibu yang terampas, terenggut.

Pada titik tertentu, aku merasa diselamatkan putraku.
Kini aku berdiri di titik balik yang serupa garis cakrawala di tepi samudera. Kaulah samudera itu, Edeleer, dengan alunan ombak, angin dan kicau beburung di angkasa. Juga di balik pelipis laut yang terendam ada karang, palung terdalam sampai ruang gelap di dasarnya. Kekayaan yang tak ternilai harganya.

Jiwa yang membangkitkanku kembali dari matisuri pikiran, indera, imajinasi, perasaanku dan intuisi hati dan batinku.

Ah, mengapa aku demikian memuja dengan kata-kata begitu seolah-olah hidup seperti rumput—hijau segar tapi kerap dianggap pengganggu. Kutahu jawabnya demi hidup itu sendiri yang seringkali dicap tidak bermutu, meski sama-sama susah dimengerti, kejujurannya, keluguannya, keindahannya, apalagi rahasianya.

Padahal ini adalah sesuatu yang sederhana. Cinta, birahi, uang dan harapan. Atau sejenis belaskasih, nafsu, hiburan dan uang makan.

Kekasihku, Gerritsen, aku memujamu sebagai orang asing dari belantara jiwa yang perawan, suci dengan sinar gairah purba yang lugu dan murni yang kubutuhkan. Andaikata aku lelaki pengembara, kaulah Dewi Anggreini yang memikat hati sang Panji. Tapi kaulah pria itu dan aku bukanlah Dewi Anggreini, perawan lugu sesempurna cahaya rembulan, purnama yang bertengger di jarum-jarum cemara dan puncak rerimbunan bambu yang membayang diserpih air sungai.

Kau yang berkuasa atas kelelakianmu. Aku tidak punya kekuatan untuk menaklukkan cintamu, merebut rahasia jiwamu menjadi milikku. Aku hanya menunggu keajaiban berpihak padaku mendapatkan cintamu, kasihmu, birahimu, hidupmu.



6. Aku Berontak, Maka Aku Ada

“UMI, kamu seperti perempuan liar, tak bermoral. Kau perempuan penggoda yang tak tahu agama,” dingin, kebiasaan marah Abahnya, Kiai Mansyur. “Melihatmu, aku merasa telah menanggung beban dosa yang luput kumintakan ampun pada Allah. Kau berbeda dari tiga kakakmu yang selamat menempuh hidup bahagia. Tinggal kamu satu-satunya slilit di sela gigi Abah dan Ibumu.”

Biasanya, Umi diam. Dalam diam pikirannya bergolak. Sampai batas ujung tertentu, ia memberontak oleh arus darah yang menggelegak.

“Jangan salahkan terus aku, Abah. Aku punya pribadi dan Abah punya andil membuatku berbeda seperti ini. Bagaimana Abah terus membedakan aku dari saudaraku dengan sekeji ini. Aku memang harus beda, tanpa atau dengan campur tangan Abah,” Umi tersirap darahnya saat ia anggap selesai soal-soal pribadinya di usianya dewasa. “Persoalanku sudah sangat lain Abah. Masalah keilmuan. Kenapa Abah begitu bernafsu ingin aku seperti anak-anak lagi?”

“Anakku, Abah sekadar memantik hatimu akan moral dan agama.”
“Bagaimana bisa Abah punya hak menentukan seolah satu-satunya orang yang tahu moral, dan kukuh beragama? Hanya karena Abah punya mushala dan pernah nyantrik di pesantren paling mujarab menyembuhkan luka aklaq. Seoalah aku adalah dosa Abah dan harus mohon ampun bertobat padamu,” kata yang pengap sesumuk cuaca siang yang bimbang.

“Karena itu sebaik-baik jalan, anakku. Agama.”
“Anakmu memang tak bisa membaca huruf Arab apalagi kitab. Tapi bukan berarti aku terkutuk.”
“Tak ada orangtua yang tega mengatai anaknya demikian.”
Umi hampir saja menangis bila ayahnya tak mulai menyoal hubungan asmaranya dengan pria dari negeri kincir angina itu. Bahwa seorang ayah kini sedang khawatir dengan kehidupan pribadi putrinya.

“Mustinya kamu berlaku sopan sekalipun kepada pria yang kurang tinggi aklaqnya, Umi,” satir tapi telah biasa getir.
“Jadi Abah menempatkan Umi dan Tuan Gerritsen tak beradab?”
“Tidak. Abah hanya melihat kamu sedang terancam, mendekati bahaya perbuatan setan.”
“Sudah kusangka, Abah sangat kejam.”
“Abah cuma tidak ingin apa yang kubangun sebagai keyakinan lalu runtuh kembali.

Sesuatu yang berat. Sakit. Pengorbanan itu sangat pedih, Umi. Kecuali bagi orang yang ikhlas. Tapi ada yang lebih pedih dari itu, takdir yang tak sempat kita rebut. Bapakmu ini belum cukup ilmu ketika tidak sungguh-sungguh menyakini jalannya benar-benar ikhlas atau meragukannya. Dulu ketika Abah memilih menikahi ibumu, aku sedang berperang menaklukkan diri. Bagaimana aku bisa menjamin hidup seorang wanita yang tidak henti-hentinya merasa diri sebagai anak haram keberadaannya di dunia ini.

Ia menyebut diri putera setan. Abah bertarung waktu itu dengan batin sendiri. Lebih meradang ketimbang pergulatanku dengan keadaan zaman. Abah tak bisa berpaling karena kuanggap ini takdirku yang bisa kurebut. Aku memenangkan pertarungan itu, meski semuanya itu ternyata bukan semata-mata hasil jerih payahku. Seiring berlalunya waktu, lambat laun darah setan yang mengalir di tubuh ibumu terbuang. Anak. Ya, anak-anak telah lahir dan membersihkan kotoran yang bersarang pada tubuh ibumu. Aku bersyukur karena semua anak yang lahir dari rahim ibumu, perempuan. Siti Rodiyah, Siti Rofiah, Siti Fatimah dan kau ragilku, Umi Khalsum. Aku tak habis piker bagaimana Mbah Putrimu, ibumu dan aku punya nama sendiri-sendiri untukmu. Seolah-olah kamu hendak dibentuk demi untuk memenuhi perasaan-perasaannya sendiri. Ah, tapi sudahlah, kau juga tak akan mengerti perasaan Abah. Kau belum pernah dihujani panah takdirmu ke ulu hati antara yang tak bisa kau tekuk dan yang bisa kamu buat remuk. Sepenuhnya itu hakmu Umi, milikmu. Abah hanya tunjukkan batas-batas diriku, bahwa kuakui terkadang aku sangat ingin kau kembali seperti anak-anak lagi. Bukan. Jangan. Jangan artikan ini penyesalan. Ini cuma gambaran ayah yang tak mau hilang kekuasaannya.”
Beberapa butir air bergulir dari sudut mata Abah. Seperti halnya dia, aku tidak berduka. Dia kukira hanya sedang tidak mengenali puterinya lagi. Seorang wanita berdarah muda yang tengah menggugat hidupnya karena merasa ibarat di sarang laba-laba. Bahkan untuk menangkap gairah yang menggelegar dari binary matanya saja dia tak bisa. Kiranya, ia melihat puterinya terjebak permainan cintanya sendiri.

“Umi, kau sedang dikuasai nafsumu, anakku.”
“Tapi aku punya otak, Abah.”
“Hanya itu yang mengendalikanmu? Tidak cukup. Tidak adil. Kamu hanya akan jadi kekonyolan yang kau tertawakan sendiri kelak. Pergaulanmu dengan Gerritsen akan meruntuhkan spirit hidup ibumu bila kau tak hati-hati, Umi. Abah sedang mengingatkan. Jangan kau buat ayah ibumu punya hutang pertobatan yang belum lunas.”
Umi Khalsum tercenung. Berdiam diri. Berdamai diri.



7. Takdir Ibu

MEMANDANG Abah menuntun ibu ke kamar mandi saban pagi, telingaku serasa dibisiki sepenggal kata yang menggetarkan hati. Ibu lebih sepuluh tahun usia Abah tapi di tubuhnya sama-sama mengalirkan darah sejarah.

Lukisan itu bukan suatu alas an bagiku membenarkan atau menyalahkan argument Abah. Aku sebatas memahami serentetan bunyi yang ditembakkan dari rongga mulut Abah melalui sudut pandang sorot mata ibu. Kukira itulah satu-satunya usahaku menjangkau hati ibu. Perihalo takdir ibu aku tak sampai hati mengumbarnya.

Ibu tetaplah seorang ibu.
Bila menelan sesuap makanan, terlebih dulu ibu musti menjulurkan lidahnya ke depan, mengangkat dagu tinggi-tinggi, lalu memaksanya meluncur di batang tenggorokan. Kebiasaan itu abadi hingga kini, yang menurut Mbah Puteri sebuah gambaran dari semangat hidupnya yang melayu, memberat dan menyiksa diri.

Berbeda dengan Abah, ibu puasa bicara. Satu-satunya jendela yang menembus kalbunya cuma sorot matanya. Orang pertama yang sanggup mengintip ruang jiwa dari jendela itu adalah Abah. Dari sanalah tidak ibu punya garis-garis warna yang berbeda. Abah senantiasa menanamkan benih cinta dengan kata, “Kau bisa mengendalikan takdirmu, berawal dari matamu.” Mantra Abah ini ternyata mujarab. Syarat berat agar Abah menyembuhkan sakit jiwa ibu sebagai anak setan terlampaui. Setelah berkat doa, cinta, juga tatapan mata. Maafkan bila untuk yang satu ini aku susah menterjemahkan: Bagaimana mula pertama percumbuan ibu, percintaannya di ranjang saat saling memasuki dari jendela dua pasang matanya. Hampir pasti, Abah harus terlebih dulu main paksa.
Lantas, betapa hidup ibu jadi berubah semenjak awal mula menjatuhkan mata pandang ke dalam bayang terdalam bening mata bayi-bayi puteri buah kasih keduanya. Ibu mendapati cermin diri pada sebentuk nyala redup yang berkelebat menyusup di rongga mata anak-anaknya.

Untuk pertama kalinya ibu tersenyum, saat itu. Untuk kali pertama ibu memperkenalkan kepada kami, bayi-bayi ini, kebebasan seperti arus air mengalir. Lalu apa bedanya aku dengan saudara-saudaraku? Mengapa di mata Abah, aku pembawa sial? Jika Abah memintaku membaca ayat-ayat berbahasa Arab, mengapa kemudian kujawab dengan pertanyaan serupa agar Abah duduk di bangku kuliar mengambil filsafat, sejarah, sastra atau budaya? Mengapa engkau tidak menemukan jawabnya pada mata ibu, bahwa takdirku berbeda dengan takdirmu, Abah, yang berkawan maupun yang bergelut denganku?

Aku tidak mendapat alas an yang cukup untuk menyiksa Abah. Ibu mengikat kami. Tidak saja perasaan dan batin kami. Tapi juga hati yang tak terbantahkan kejujurannya, kebenarannya, kemurniannya.
Siapa berani berbantah, mengunyah, apalagi muntah?

Kenyataan bahwa kecurigaan Abah kelak aku akan merobohkan bangun spirit hidupnya, hanya dengan menjalin asmara pria asing itu kukira sangat berlebihan. Itu sama artinya,

Abah yang putera seorang terpandang, kukuh memegang ajaran agama, menganggap semua pria bule itu Yahudi atau kafir. Sungguh keji.

Kuakui, sadar atau tidak, sisi terdalam jiwaku yang sempat terlupakan terbias bayang bening sorot mata ibu. Jendela hati yang menghamparkan pandang segala keindahan hijau belantara cinta yang purba.



8. Bercumbu dengan Cemburu

“TAHUKAH kamu perihal cemburu, Edeleer Gerritsen? Pernahkah kau menyelami perasaan perempuan yang dikurung dalam diri seperti itu, seorang pelacur yang hanya mendamba cinta seorang lelaki saja?” pertanyaan ini bergemuruh di dada Kasiyati yang hampir pasti tak terjawab oleh kekasih hati.

Di depan pria pujaannya, hati Kasiyati seringkali rusuh—keadaan yang pernah dibayangkannya dan ia takuti, mula pertamanya, mencari makna dari keterasingannya, keganjilannya. Sama sekali tidak popular di gang mesum ini, ketika halaman rumah para wanita penghibur bisa dihitung berapa jumlah tamunya dalam sehari, sehari semalam atau seminggu.

Hebatnya, Kasiyati kian merasa dikuasai gila-gilaan olehnya. Hingga dia menggapai kenikmatan rasa buah dari emosinya itu. Kasiyati bercumbu dengan cemburunya pada pejantan asing berkulit roti merah yang matang. Puncak rasa itu nyaris membuatnya melenyapkan otaknya. Dia hampir hilang akal.

“Aku belum pernah punya rasa ini sebelumnya, Edeleer,” Kasiyati mengulang tanya, juga mungkin kepada dirinya sendiri.
“Aku menyukai tempat ini, menyukai kamu, memberiku daya hidup.”
Terang kata-kata Gerritsen tak menghunjam sampai ulu hati. Seperti roti tawar dengan mentega tanpa selai.

“Aku ingin mengatakan sesuatu yang semenjak engkau jadi tamuku, telah menyiksaku, Edeleer.”
“Ceritakanlah. Senang sekali aku mendengarmu, Kasiyati.”
“Aku kini dihinggapi perasaan yang sebetulnya tak dimiliki wanita penghibur. Kau yang memulai, Edeleer, kuharap kamu juga yang mengakhiri. Jika aku menjadi pelacur karena semata-mata demi uang, demi kehidupanku, aku sudah cukup mendapatkan hampir seluruh gajimu dari perusahaan. Jumlah besar yang mungkin tak seberapa dibanding kiriman komisi jasa baikmu dari negerimu sendiri. Aku sudah harus memenggal masa laluku yang menyerahkan keperawanan karena kemiskinan. Aku mesti mengakhiri dongeng Bombay6) ala India tentang seorang gadis yang menjual keperawanannya di atas alas kardus demi biaya pembakaran jenazah bapaknya. Barangkali ini serupa daya hidup dalam pikiranmu.

Hanya saja aku mendapati suatu kenyataan yang lain, Edeleer. Aku sudah harus meninggalkan lembah ini tanpa harus dibayangi ketakutannya merenggut kebebasan hidup seseorang. Bukankah kau datang ke gang ini didorong keinginan melunasi kebebasanmu? Ah, bagaimana mungkin aku mulai bisa mengutuk dan mengingkari kenyataan lembah nista yang telah jadi bagian hidupku. Edeleer, bertahun-tahun aku hendak melenyapkan akalku, tapi terbukti hari ini aku tak bisa. Agar tidak banyak mempertimbangkan seabrek perangkat pikiran, perasaan, nasib. Betapa hari ini ternyata aku masih hidup dan sanggup jatuh cinta kepadamu, Edeleer. Aku mencemburui kebebasanmu, cintamu.

Sementara aku masih terpaku pada keseharian hidup yang mengurungku di sini. Apakah aku salah? Aku tidak sampai hati menyalahkan diri sendiri atau menyesali diri karena jujur harus kuakui satu-satunya terjemah dari kebebasan yang kudapatkan terbaik ternyata ada di tempat ini. Ialah tatkala aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap beban tubuhku. Juga simpul yang tidak asing bagi kebutuhan tubuh: Uang yang kudapat dengan gampang. Terlentang di atas ranjang, melayang dan akhirnya dibuang. Edeleer, tentu kau tak bisa membayangkan dari anti klimak keadaanku yang telah terlupakan.”

Kasiyati mengapuh perasaannya, pikirannya, inderanya, sampai dengus nafasnya pun ia minta menyingkap isi hatinya. Sulit dibayangkan tidak menguap, bila itu ia ungkap kepada pria yang memuja pikiran, apalagi harus berkendara bahasa Indonesia dari hasil kursus tiga bulan. Sebab itu, Kasiyati lebih banyak bersandar pada hal-hal yang irrasional, yang tak terucapkan, dan yang asali, murni tak terbantahkan. Inilah yang ia percaya sebagai nenek moyang bahasa yang ia ucapkan.

Seorang Edeleer Gerritsen hanyalah manusia biasa. Ia berbicara dengan banyak sekali bahasa. Satu-satunya kamus mutakhir yang komplet menyerap makna adalah ketika kami sedang bercinta, bercumbu rayu dan bertubuh utuh memerah sperma menghisap darah, peluh dan melemparkan raga. Nafas kami yang hangat kaya nuansa, bahkan puisi. Juga aroma tembakau yang dihisap Edeleer, bau parfum murah hadiah pria-pria yang mencoba merayuku, minta diri tak mau dikebiri dari arti.

“Jika pun benar kamu sedang tersiksa, aku tak suka kamu menyiksa diri seperti ini, Kasiyati,” itu kata pertama yang Edeleer mengerti saat jasadku kembali. “Di tempat ini, di ruang dan pada orang yang kupilih sebagai pelabuhan hasrat cintaku.”
“Hei.. Bagaimana kamu bisa ucapkan kata-kata seindah itu, Edeleer?”
“Kamu yang mengajari aku, Kasiyati.”
“Ah, Tuan hanya memuji.”
“Tidak, perempuanku. Dari seluruh permukaan bumi paling tepi, ranjangmulah, kamarmulah pasak bumi yang memusat ujung temaliku. Lalu, kamulah titik dengan bilik-bilik kamar tempat istirahku. Pengelanaanku berpusar padamu, berkumpar di pusarmu.”
“Edan! Jangan-jangan ini rahasia terhebat dari ketangguhanmu di tempat tidur. Karena Tuan minum pasak bumi Kalimantan, ya?”
“Nggaaakk!!!” konyol sekali bila ia pertontonkan kepolosannya. “Aku cuma sedang belajar bahasa Indonesia saja. Dari tubuhmu.”



9. Voorloopig Verslag7)

NGADIREJO, suiker fabriek8), April-Mei 2007
Perbaikan ketel pipa air berkali-kali bongkar pasang. Kerusakan parah akibat ledakan pipa mungkin bisa diatasi. Tapi mencari kebocoran dalam jumlah besar seperti upaya menemukan jarum di tumpukan jerami. Jerami yang terbakar. Kebocoran masih terus terjadi.

Desas-desus dari luar berhembus pabrik bakal berhenti total beroperasi. Tapi kamu para inginier berkejaran dengan waktu memulihkan peralatan jantung pabrik. Ketel buatan Japan, merk yoshimine berkapasitas 75T/h itu, kerusakan boleh dikata total dari kedua jenis arus: pipa air downcomer maupun riser. Kontraktor yang memenangkan tender dan sanggup mendatangkan pipa khusus dari Japan berjenis searless carbon steel tube boiler 33. s-jis.6-3461-1978 (Ike tak yakin angka-angka ini berguna bagi anda, hei para bestuursleder9) ). Sanggup bekerja 24 jam. Sebab bila dalam sehari perusahaan untung bersih 2 miliar rupiah, berapa musti rogoh kocek dalam sebulan atau bahkan dua bulan?

Rupanya ini krisis paling hebat sepanjang sejarah pabrik. Melihat geliat kerja mandor perusahaan, karyawan pastel dan kampanye apalagi yang kontrak harian, seperti kucing kebanyakan makan. Krisis ini memudahkan bagiku menangkap isu praduga bersalah demi memuluskan project atasanku: Menguasai kembali maskapai melalui swastanisasi. Tentu saja sambil di sana-sini berteori. “Jelas ini akibat human error yang menumpuk. Standar perawatan ketel di luar dan dalam masa giling tidak diterapkan. Jelaga yang berlapis-lapis penyebab korosi berlebihan.”

Beragam tuduhan pun mulai melayang. Rasional maupun berbau supranatural. Krisis ini konon ibarat pecahan gunung es dari akumulasi pelbagai kejahatan misdrijf10) berwajah kolusi, korupsi dan nepotisme meski masih desas-desus perlu dibuktikan lebih dalam.

Kebocoran dana di sejumlah pos atau mark up pelbagai tender sonder pertimbangan biaya perawatan dan nilai penyusutan. Tuan pasti paling suka fakta ini agar “ayam jantan” segera lepas dari kurungan bolong BUMN ini. Ini sandi operasi yang tak boleh bocor kepada pers. Untuk masalah ini akan terus saya kejar sampai mendekati kebenaran.

Info lain: Mulai muncul gerakan protes petani akibat kerugian yang diderita tanpa kompensasi. Harga tebu jatuh tanpa kepastian kapan waktu tebang. Sebagian malah mulai menuding telah terjadi permainan atas rendahnya rendemen tebu. Pada saat kisruh, dari sisi kepercayaan gaib,itu semata-mata kesalahan administratur pabrik yang tak menghormati danyang-danyang penunggu desa. Upacara-upacara ritual dituding sengaja ditebas. Tak ada pertunjukan wayang, jaranan, apalagi ritual penyerahan binatang atau boneka korban.

Kelihatannya mulai banyak kepentingan yang bermain. Lebih banyak pula yang sibuk mencuci tangan. Soal yang ini, kiranya kawan yang bertugas nguping di jajaran direksi di kantor Jembatan Merah Surabaya banyak mengumpulkan data. Laporan untuk sementara sampai di sini. Kiriman komisi jangan sampai telat lagi. NB: Email baruku pasakbumi@mailcity.com. Daftar dugaan departemen-departemen yang potensi korup belum bisa kulaporkan. Aku masih melayani perempuan-perempuan di sini. Kau tahu bukan, aku seorang javanenliefde11) terutama kepada gadis-gadisnya.

Aku cuma berbekal sepotong sajak Tagore:
O, perempuan, kau bukan buah karya Tuhan semata, tetapi
buah karya lelaki juga12).



10. Klandestain13)

AKU benar-benar tak bisa sembunyi dari bayangan Mr Gerritsen. Ia menjadi semacam hantu yang mengikuti terus kemana aku pergi. Bahkan ia merasukiku.
Hanya dalam keadaan kosongku, ia menyisakan bayangan yang tak pernah pergi. Geliat tubuh, desis bibir tipisnya dan geli yang angslup di jurang birahi, bertempias melalui pori-pori kulitnya. Merinding ngeri. Saat ujung lembut bulu ayam menari melemparkan ribuan syaraf telinganya seperti bola bekel.

Tidak ada yang aneh bila aku merasa tak ada bedanya aku bersamanya atau tidak. Perasaan ini rupanya buah dari kecamuk ketakutan Abah dan keindahan mata ibu yang kini sebagian menjadi milikku.

Aku merasa telah hilang tubuh, bentuk dan remuk. Sebaliknya, aku menemukan keutuhan dari serpih ruh jiwaku yang tak terlacak sampai ujung terjauh mimpiku, igauku, alam bawah sadarku.

Batasnya cukup jelas: Jutaan syaraf kuping kekasihku yang seolah milikku. Seoalah punyaku. Juga tarian itu selain sepotong sajak Tagore yang telanjur dibenamkan padaku tentang kecantikan seorang perempuan. Sajak yang ditulis pengarang kelahiran Calcutta dan menetap di sana hingga senja usianya. Lalu tentang Jalan Niaga, kuil, laut, dermaga, sawah, hutan, bukit. Tidak sulit bagiku memindahkan itu ke wilayah peta kotaku. Menjadi semacam perpustakaan dengan rak-rak berderet tempat berdiamnya gemuruh ruh. Apalagi cuma soal sepele semacam kemiskinan, pelacuran.

Aku cukup tahu diri dimana tersembunyi kecantikanku, di lipatan segala peta itu. Siapapun namaku, apapun profesiku.



11. Fantasi Negeri Birahi

“AKU suka sama kamu karena kau gadis yang sangat bergairah, Umi. Kau gadis Jawa model terbaru. Pintar, terbuka, pemberontak, punya karakter dan yang lebih penting kamu kaya obsesi. Juga fantasi.”

“Ada lagi pujianmu yang tertinggal, Tuan Gerritsen?”
“Oya, ada. Kau sangat cantik. Maksudku, itulah segala kecantikanmu, Umi.”
Bagi Umi Khalsum yang terakhir ini tak sanggup menusuk ke dalam kalbunya. Betapa, meski ia cantik, ia telah meninggalkan jagad kecantikannya dari sisi jasmaniahnya. Ia tak mau undur ke belakang dari pencapaian dunia dalamnya. Tapi ia percaya rayuan Gerritsen bahwa kecantikan itu bias dari gelora cintanya pada ruh hidupnya yang sejati. Bahwa dirinya adalah misteri tersembunyi dan kini ia berenang di lautan bawah sadarnya itu demi dia sendiri.

Umi cukup memahami ajaran manunggaling kawula Gusti.14) Bahwa dirinya hanyalah gambaran mengenai Tuhan saja. Ia semata-mata tampil sebaik samarannya, nama-nama yang pernah dia punya. Termasuk gambaran cintanya kepada pria itu. Ia juga percaya pada seorang pria yang kelak akan menyingkap sisi terahasia hidupnya, mengenali cintanya dan tentu saja membuka tudung samarannya.

Ia yakin Gerritsenlah pria itu. Pria intelek didikan Eropa. Ahli mesin yang jatuh cinta pada puisi, tahu mistik, mengagumi Jawa dan tentu saja seorang petualang yang haus akan sesuatu fantasi baru, obsesi segar yang kira-kira simpulnya jatuh pada perempuan Jawa bernama Umi Khalsum.

“Bila aku bersamamu, aku seperti menziarahi hidup yang purba, yang primitive dan tanpa kepalsuan, Tuan Gerritsen.”

“Andai negeri ini dipenuhi sesak manusia berjiwa sepertimu, Umi. Setidaknya orang-orang pintar yang bebas punya kehendak seperti kau banyak hidup di kota ini. Apalagi jika para penguasa negeri ini punya jiwa sebebas kau, terlebih dengan spirit ibu yang ada padamu. Oh, kejayaan akan datang dan kehormatan kembali, enggan untuk pergi lagi, Umi,” mata Gerritsen menerawang dalam.

“Wow.. jadi kau tahu juga riwayat Jawa di masa tempo dulu, Gerritsen?”
“Aku hanya sedikit membaca permukaannya saja. Dari Lombard, Geertz, atau Magniz Suseno selain pakar-pakar Jawa dari negeriku sendiri waktu di perpustakaan Leiden.”
“Tapi kau sangat menukik dalam kalbumu perihal kejawaan. Seolah kau tahu banyak jiwa ksatria dan kesetiaan seorang perempuan pada diri Dewi Shinta atau pada Kunti yang dari rahimnya lahir Arjuna. Kau juga pemuja percintaan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih, bukan?” tiba-tiba Umi bicara wilayah jiwa yang antara hidup inheren di negeri kahyangan dan bumi pertiwi.

“Tentu Mahabarata dan Ramayana juga kubaca. Meski cuma sepenggal-sepenggal. Bagaimana bisa kamu puji aku luar biasa dalam kejawaan? Kau yang bertahun-tahun mendalami Jawa, tinggal di Jawa, berbahasa ibu Jawa. Pujian itu tepat untukmu.”
“Buktinya aku masih juga belum paham benar. Sebaliknya, aku mengerti justru dari uraianmu.”

“Semoga kau tidak sedang berfilosofi mikul dhuwur mendhem jero15) yang terjemahannya, memendam rasa sakit sambil mendorong orang lain celaka itu.”
“Tidak. Apalagi terjemahanmu itu salah kaprah,” Umi seperti melempar bola pingpong saja.

Sepanjang siang Umi menghabiskan hari bersama kekasihnya, Gerritsen. Keduanya saling menjelajah wilayah tak berpeta. Kota dan juga cinta. Kota yang bagi Umi persis rak-rak perpustakaan pribadinya, arsitektur, maupun tata letak rancang bangunnya. Sementara penduduknya adalah buku-buku budaya, agama, kepercayaan, sastra, ilmu jiwa dan sebagainya dalam deretan katalog secuil kertas.

Lalu tentang cinta, kami saling memasuki ruang-ruang jiwa yang belum terjamah, hutan-hutan perawan, saling menjadi tamu sekaligus tuan rumah di negeri fantasi kami sendiri tempat segala keindahan juga misteri kegaibannya. Kami sedang merasuk melalui pintu bahasa, bercengkerama, berkencan menciptakan sekaligus memecahkan mitos-mitos baru kami perihal cinta.

Bahwa cinta tak pernah tuntas bila dinalar sekalipun murni dari otak homo sapiens paling cerdas, intelektual suma cumlaude dari universitas terkemuka.

Ternyata cinta berdiam di sisi tersembunyi dari bilik bernama hati. Semacam institusi yang bersih, murni, suci tanpa kepalsuan dan kebenarannya tak diragukan. Ia merangkum seluruh gemuruh gairah pikiran, perasaan, inderawi juga intuisi batin kami.

“Pikiran akan gagal menerangkan cinta. Seperti keledai di lumpur. Cinta sendirilah pengurai cinta16),” tiba-tiba Umi ingat saja sepotong sajak penyair Rumi dari Afganistan.
“Huih…kau pengagum Rumi rupanya.”
“Ah, hanya membaca. Tapi itu tak akan membantuku jadi orang. Aku punya spirit sendiri tantang bulan. Aku berjanji kelak akan kuceritakan padamu bagaimana lelaki memuja cinta perempuan karena perempuan adalah kesempurnaan, kecantikan purnama. Kukira tak hanya perempuan yang mendamba purnama tapi juga kaum pria yang mabuk kemilaunya.”
“Candra Kirana?”
“Diancuk! Tuan tahu juga?”
“Kan sudah kubilang, aku diberitahu Romo Zoetmulder.”

Kami sama-sama pecinta. Kami sama-sama pemabuk tak peduli mata yang berpandangan, raga yang bergandengan, berpelukan, bahkan berciuman di dekat kuil bersebelahan dengan Jalan Niaga tengah kota. Diapit dua buah bukit ranum di sisi barat kota. Juga pelukan kali di tebing kuil menuju pasar bekas dermaga kapal masa silam.

Umi menghabiskan waktu belanja buku-buku dan sedikit keperluan wanita, parfum, snack, sofftex, susu pembersih, juga pembersih lubang kuping cottonbuds untuk kekasih agar tak perlu repot mencari bulu ayam, kendati dengan alas an khusus Umi tetap setia menyediakannya.
***

AROMA kecap merasuk ketika kami melenggang di gang kampong yang sebagian besar dihuni orang Tionghoa. Sebuah pabrik berdiri gugup di situ karena kedelai seperti lari sembunyi dari ladang. Lalu restoran cepat saji menyediakan aneka makanan murah rakyat seperti warung. Kami menyantap rupa-rupa masakan tauhu dibumbu tauge, taokwah manis hangat semangkuk. Kamu juga memesan taoco dan menyeruput segelas teh. Beberapa gethuk pisang kumasukkan kantung plastic. Bentuknya menyerupai jung-jung yang membawa pasukan Kublai Khan di masa akhir kejayaan Kediri lampau, mengangkut senjata api atau juru masak tentara yang kocar-kacir oleh tipudaya Widjaya. Kukira orang-orang ini musti berterimakasih pada Airlangga yang memuluskan jalan sejak Tuban, Ujung Galuh hingga pusat kota lepas dari nasib kelam sejarah di kemudian hari.

***

GERRITSEN bersikukuh menggiringku ke Poh Sarang. Tempat paling masyhur bagi arsitektur gereja Katolik bergaya Majapahit di dekat kaki bukit. Buah tangan Maclaine Pont.

“Bertahun-tahun aku ingin berkunjung ke tempat ini, Umi.”
“Bagaimana perasaanmu kini?”
“Luar biasa. Apalagi di sisi seorang perempuan sepertimu. Mudah bagiku membayangkan lekuk liku gerbang gereja dan menara kapel seperti tubuhmu.”
“Overdomme!17) rayuanmu maut juga.”

Sebuah ciuman mendarat mulus di emperan paras Umi.
Di muka bukit itu, tempat yang tepat bagi Umi Khalsum mengenalkan pada Gerritsen sosok pertapa Kilisuci. Konon tak jauh dari gereja itu pula tempat pertapaan putrid Airlangga menjadi orang suci yang menolak singgasana. Dialah penjaga negeri ayahandanya dan keturunannya sebagai titisan Wisnu di samping pendeta Hindu terkenal Mpu Baradah. Kesucian orang-orang ini tergambar dari cerita Panji dan dongeng Calon Arang, ketika Kediri diserbu wabah penyakit akibat ulah dukun teluh yang dendam lantaran putrinya, Ratna Manggalih tak juga berjodoh.

“Aku merasa dibesarkan spirit mitos itu. Cinta, nafsu, kuasa, juga pengembaraan batin sebagai pemberontak yang oleh orangtuaku telanjur dicap pembangkang,” tandas Umi yang menyerupai keluh kesah.

“Ceritakanlah padaku, Umi. Tentang dirimu sendiri. Hidupmu.”
“Aku kehilangan akar. Aku tak punya tokoh panutan. Aku hanya menangkap binary mata ibuku, satu-satunya yang masih terjaga berkat sepotong dongeng, selain tentu saja gairahku waktu aku selagi bayi yang menyusu. Selain itu aku bukan siapa-siapa. Karena itu hidupku kuhabiskan hanya untuk mencari masa silam semata-mata memberi arti masa kini sembari mempertimbangkan masa depan. Tentu ini sebuah kecelakaan. Ya, mungkin sebagian telah menjadi takdirku. Tapi sisa takdirku berkata lain. Aku beruntung sebagai perempuan dan hidup dari kekayaan hasil bumi warisan kakek yang tuan tanah dan kini giliran dikelola ayahku, Kiai Mansyur. Dua hal yang akhirnya memicu diriku menjadi pembangkang yang gampang tersulut api emosi masalah keluarga. Aku membabtiskan diri sebagai peziarah masa lalu semenjak di bangku Universitas Pawiyatan Dhaha. Harus jujur kuakui, belakangan hari, sehabis memerah otak memeras hati, kutemukan ujung simpul dari pencarianku selama ini. Yaitu cinta. Juga kau yang menjadi saksi hidupku tentang cinta yang kumaksudkan, hidup yang kumiliki,” Umi menghabiskan kata seperti hendak menyusutkan jiwanya sampai seolah ingin mencairkan tubuhnya.

“Ah, lagi-lagi kau melebihkan kehadiranku, Umi.”
“Tidak, kekasihku. Kau adalah sisi kedua mata uang emas yang terbakar gelora api cinta yang berkobar. Sementara sisi lainnya adalah sesuatu keindahan cinta yang universal pada tubuh mitos-mitos penjaga hatio dan batinku. Juga jiwaku. Sampai aku sulit mengenali lagi mana bagian tubuh dan mana jiwa mitos-mitos itu. Cinta yang selama ini tidak kutemukan dari kitab-kitab pelbagai agama, aliran, sekte-sekte yang luar biasa subur di sini laiknya dalam satu rak khusus. Aku tak bisa membaca kitab, tapi sekarang aku tidak buta. Bahkan aku mampu mengembalikan cinta itu kepada yang murni dan asali. Pengalaman batinku yang gaib hingga merasa hilang raga jadi kunci pembuka rahasia cinta. Juga kepercayaanku pada negeri dongeng sebagai kenyataan tinggi sangat membantuku menterjemahkan perihal cinta yang universal. Oya, hampir lupa kuceritakan, perihal cinta sesame manusia, alam, demi keseimbangan semesta, aku terilhami biografi Mahatma Gandhi yang ternyata seorang penganut Jainisme Mahavira.

Lihat cara berbusana Gandhi yang nyaris tak cukup disebut selembar kain adalah simbol kepapaan hidup di dunia, seorang vegetarian yang menghapus kasta lebih dari sekadar derajat arus dan warna darah. Andai dia bukan lelaki, tentu lain ceritanya bagiku. Dialah yang mengilhami aku sekaranga agar menjadi seorang pecinta sejati, sebebas burung terbang rendah atau menjulang tinggi. Cinta sebagai suatu pengalaman religius di louar batas-batas agama, kepercayaan atau sekte.”

“Kau tidak sedang mengenalkan diri sebagai seorang penganut penghayat kepercayaan kepada Tuhan, bukan?” ada nada gugatan pada diri Gerritsen.
“Pertanyaan itu tak perlu kujawab. Pertanyaan yang kurasa serupa dengan apakah seorang pelacur itu punya Tuhan. Kalau Sidharta tak malu berguru pada seorang pelacur seperti dalam novel pemenang Nobel Herman Hesse, lalu jawaban apa yang memuaskan bagimu?”

Tiadanya jawaban atau pertanyaan lagi membuat dialog kami terhenti. Ada yang mengeras atau mencair di dalam hati. Apapun itu, barangkali itu suatu cinta atau cinta yang sedang mencari bentuk.

Umi mulai diserbu rasa takut kehilangan ruang waktu bercerita. Hari menjelang sore saat Umi ragu Gerritsen bakal tersinggung bila diseret ke tempat Dewi Surengrana. Prasasti bagi kaum Hawa pencemburu buta yang menderak-derakkan dendam dengan giginya. Sedang pria itu punya kebiasaan nyleneh pula menikmati bulu ayam dari lubang kupingnya.

Boleh jadi ini cuma perasaan Umi saja.
Ternyata, lebih dari itu Umi juga tak punya cukup keberanian menceritakan kehebatan suluk asli Kediri, Gatoloco yang bernas beringas ketimbang teori cinta Kamasutra.
Bukti bahwa Umi masih wanita biasa.



12. Menabur Angin Menuai Badai

KASIYATI, bergegaslah mencari pengganti nama baru buat putramu. Bila kau tak ingin hendak mewarisi pemantik perpecahan antar umat. Jauhar, dalam tradisi Hindu berarti jalan bakar diri ketimbang duduk tunduk pada kekuasaan musuh. Dan musuh Hindu waktu tempo dulu adalah Islam, sesudah membinasakan Budha Hinayana maupun Mahayana. Namun Jauhar bagi dunia Arab berarti permata, yang kemudian biasa digunakan dalam sajak mistik Islam, Hamzah Fansuri.



13. Grihajuddha18)

BAGIKU, Jawa adalah persimpangan dua perempuan.
Ketika di India, aku pernah menonton film dari stasiun televise lokal. Sebuah film lama, Grihajuddha, garapan sutradara Busdhadeb Dasgupta, yang juga seorang penyair asal Calcutta. Aku sangat terkenang kisah persimpangan jalan tokoh-tokohnya saat negerinya sedang dilanda krisis moral dan politik kelas menengah.

Aku menggambarkan diriku berada pada situasi itu ketika berhadapan dengan Umi Khalsum dan Kasiyati. Bahkan lebih banyak lagi persimpangan menghantui terkait krisis suiker fabriek. Saat begitu rupa warna pilihan, aku musti menjatuhkan satu pilihan tanpa harus menafikan pilihan lainnya.

Aku resmi menikahi Umi Khalsum dengan cara Islam. Tapi aku menemukan kebebasan dan tanggungjawab tanpa embel-embel moral justru pada diri Kasiyati. Kukira barangkali karena Umi Khalsum terlampau dewasa karena pengembaraannya. Sementara pada diri Kasiyati justru kebebasan itu kuraih dari kekanak-kanakannya, yang tanpa aturan. Akulah baginya yang melengkapi fantasi kekanak-kanakannya, karena ia tak pernah lagi merasa terkurung satu-satunya jerat kelam hidupnya, kemiskinan dan lembah hitam. Bersamanya, aku menemukan seluruh sisi kemanusiaanku tanpa selembar kertas pun yang menyederhanakan hubungan cinta kami. Apalagi rupa-rupa surat nikah maupun Kartu Keluarga atau KTP.

Suatu ketika aku menangkap situasi jiwaku dari pantulan keinginan hasrat birahi Umi yang tak bisa kululuskan lantaran terbentur sebingkai dinding. Saat Umi mengungkap hasratnya yang kuat ingin bercumbu rayu di kebun tebu. Aku tak tahu persis alasannya meski kukira hendak melepas bebas suatu beban. Baru setelah kudesak karena aku menolak, ia mengurai latar belakangnya. Katanya, demi membantai ngeri gelitik gemerisik daun tebu. Angin berbisik tapi serbuk daun tebu bagi Umi membuat nyeri hati. Pobhia yang tak bisa kujelajahi. Aku hanya menebar janji bakal menutup kembali goresan luka hatinya itu. Kendati aku menyimpan bayangan gersang bila kami berkelejatan di kebun tebu.

Kukira hanya orang yang benar-benar sehatlah, atau yang berbatasan tipis dengan keadaan jiwa yang pathologis yang memahami situasi keindahan semacam ini. Lalu tidak keliru bila kemudian tumbuh benih kecurigaan pada diriku bahwa sekarang hubungan kami bertiga adalah hubungan orang-orang yang terjangkit psikopat dan mabuk oleh keindahan cinta.

Andaikata aku punya kemampuan bahasa Indonesia yang hebat, mungkin keadaanya akan lain pencerahannya. Beruntung aku memiliki dua perempuan yang kecerdasannya tak kutemukan pada diri orang lain, wanita lain. Meski tak pernah mengajukan tanya, Umi kukira memahami hubunganku dengan Kasiyati. Sebaliknya, demikian halnya pada diri Kasiyati.

Kami rupanya telah menjamah sedikit dari misteri tingkat tinggi perihal cinta.
Sebab itulah sebagai sebuah persimpangan, akhirnya dalam catatan harianku pun kujatuhkan pilihan pada Umi Khalsum, dalam selembar kertas hijau muda. Ini hal yang tak kuasa kulakukan pada Kasiyati. Catatan harian itu sebagai berikut:

Umi Khalsum. Nama ketiga ini pun sesungguhnya masih tidaklah tepat. Ia bukanlah pemeluk Islam teguh. Dia juga bukan pemilik suara indah. Keindahannya terletak pada kecantikannya. Kecantikannya tercium dari imajinya tentang sebuah kota.

Kepercayaannya, keyakinannya, obsesinya membangun pusat kota budaya di atas agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, Konghucu, dan agama lain penganut kepercayaan, dengan megah. Ia menemukan diri di tengah carut-marut kegaguan zaman.

Berkat pengembaraan terhadap diri, berpihak pada spiritualitas yang aneh, ganjil, liar bahkan cenderung subversif dan anarkhis, ke dalam semangat baru, arus baru juga kebangkitan baru. Ia pemburu masa lalu sebelum akhirnya menemukan ruh cinta dari salah satu versi cerita Panji dalam Babad Kediri.
Engkau tak perlu lagi ganti nama keempat, Umi Khalsum.



14. A m a r a h

MASIH tiada sehelai pun catatan harian Gerritsen tentang Kasiyati. Suatu misteri terdalam yang belum terpecahkan. Namun Kasiyati sungguh manusia biasa yang bisa terbakar amarah, kecewa atau duka ketika kekasihnya memilih menikahi Umi Khalsum.
Emosi Kasiyati pecah membuncah. Ia menangis meski lupa bagaimana mula caranya, karena tak pernah ia lakukan semenjak bertahun-tahun lalu. Sungguh pantangan baginya menangis apalagi di depan putranya. Tapi kali ini benar-benar terjadi dengan sedu-sedan menyayat yang sangat aneh.

Sebuah tangis dengan irama seronen19) mengiris. Ia menangis dengan begitu indahnya. Seolah memperjelas itulah hidupnya yang sebenar-benarnya. Sebuah tangis yang membuatnya menarikan ruh jiwanya sebagai seorang manusia kukuh tak mau menanggung beban badaniyahnya. Sepertinya ia sedang mengalunkan nyanyian-nyanyian kerinduan pada hidup yang abadi di alam cita.

Sayang, mata ini sering menipu diri. Geliat tubuh Kasiyati yang meronta, berkelejatan seperti cacing terpanggang terik, mengesankan ia sedang mendendam pada hidup, mengumpat pada Tuhan. Kasiyati membanting-banting pintu, memukul-mukul meja, membentur-benturkan kepalanya pada dindinya kayu.

Sungguh, betapa amarah Kasiyati sebetulnya tertuju pada dirinya sendiri, keadaanya dirinya. Atau lebih tepatnya keterbatasan diri atas penjara tubuhnya. Tubuh yang bahkan telah sejak lama ia jual atau gadai pun tidak ia lakukan.

Kelelahanlah, juga perasaannya yang menyendiri membuat tangisnya terhenti. Pagi masih cerah ketika ia mulai lagi menyenandungkan irama seronen yang mengiris, lalu menari, juga nyanyian kerinduan yang mengukuhkan keinginannya tak mengakui tubuhnya. Ia ingin melenyapkan tubuhnyta, sebab tahu diri percobaannya memberi arti padanya telah gagal. Bahkan tak cukup berarti bagi lelaki kekasihnya. Tiada suasana paling nestapa selain seperti ini. Tak ada keindahan paling menakjubkan dan tak bisa diceritakan kecuali terjadi pada pengalaman diri Kasiyati.

Kindahan dari pencerahan keadaan diri yang mirip supreme de gout de moi,20) –perasaan mual luar biasa terhadap dirinya.



15. Kecamuk Amuk

NGADIREJO, akhir Mei 2007
Pers makin sibuk memberitakan perbaikan ketel pipa air yang tak kunjung kelar. Sampai hal yang sulit diterima akal telah terjadi. Tekanan dari jajaran direksi tak henti-hentinya melumrahkan gebrakan meja. Bahkan Administratur pabrik mempertontonkan drama paling tragis sepanjang kepemimpinannya. Ia menangis seperti perempuan muda dijamah tubuhnya oleh lelaki. Ia tersedu di depan para staff. Sesuatu yang sama sekali tak berarti kecuali bagi dirinya sendiri.

Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus berlarut. Aku khawatir pers beralih isu mengarah pada merajalelanya tindak korupsi. Hal yang tak boleh terjadi sebelum aku melaporkan detil kejahatannya pada atasanku. Secara pribadi aku suka bila pers mencium ini. Proses swastanisasi tentu lebih cepat. Cuma justru di sinilah pekerjaanku, memotong kecepatan waktu sampai atasanku di Nederland benar-benar siap.

Maka rumus BUMN sarang koruptor itu benar. Aku berhasil mengumpulkan beberapa data tender proyek yang di-markup, pencurian besi tua secara besar-besaran, keterlibatan aparat keamanan, permainan rendemen yang melibatkan ketua paguyupan kelompok tani dengan orang dalam dan yang paling terbuka adalah suap dalam rekruitmen tenaga kerja.
Memang beberapa palaku yang sempat tercium aroma korup, jadi pelanggan pergeseran gerbong. Sayang, ini tampaknya hanyalah upaya arisan saja.

Ketika laporan ini ditulis, petani tebu protes keras karena tanamannya tak terurus. Sebagian yang lain mengamuk dengan membakar tebu-tebunya yang melinting kering.

Info terkini: Dikabarkan rencana pembelian vaporator, pemasak gula dari Jerman. Total anggaran mencapai 36 miliar rupiah. Silakan cek ulang kawan di Jerman, karena di sini diisukan cuma seharga 18 miliar.



16. Z i a r a h

JELANG petang. Aku datang ke dusun Menang bermaksud menjemput masa depan. Kubawa serta putraku, benih yang kutanam agar panen di hari belakang.

Aku tak hanya ziarah ke petilasan Eyang Jayabaya, tapi juga menziarahi seluruh gemuruh tubuhku yang menyimpan perasaan mual ini dengan sedikit melonggarkan kepercayaan pada akan datangnya masa depan. Aku menziarahi kembali mimpiku, tenaga gaibku, alam mistis yang diantar kembang kanthil dan aroma kemenyan juga japamantra juru kunci petilasan.

Menaiki tangga pamoksan aku melepas alas kaki. Menyerahkan doa pada juru kunci yang berlaku sebagai pintu menuju hari yang lebih menjanjikan. Ini tempat samadi yang tak pernah sepi dari dengung doa minta rezeki, jodoh, jabatan, pangkat bahkan keberuntungan hasil perjudian.

Entah bagaimana mulanya, aku menyakini tempat ini sebagai semacam gerbang melihat hari depan. Atau daun jendela yang setiap saat bisa terbuka bagi yang hendak ingin menatap riwayat dan semangat untuk membuka hari.

Anakku banyak bertanya, tempat apa ini dan untuk apa kemari. Aku pun menjelaskan dan menabur benih pengetahuan gaib dan penglihatan mistik padanya. Bahwa tempat pemujaan ini dibangun di atas mimpi seorang bernama Warsodikromo yang menyingkap sebagai petilasan Eyang Jayabaya. Mata air Mbah Sumber Buntung dijelmakan sebagai Sendang Tirtokamandhanu, tempat pemandian puteri kraton Kediri. Pesarean Mbah Ageng disebut-sebut sebagai loka muksa, pintu menuju surga bagi sang Prabu. Lalu makam ki Salepuk dijadikan loka busana, tempat busana sang raja semula ditanggalkan sebelum muksa. Kemudian makan Eyang Samsujen menjadi loka makuta, tempat Sri Aji Jayabaya meletakkan mahkotanya sebelum muksa.

Suatu keajaiban terjadi ketika aku merasa tak cuma masa depan yang datang, tetapi aku juga bertemu dengan masa lalu. Aku bertemu dengan sesosok perempuan yang entah kapan waktunya tiba-tiba saja datang petang itu. Aku serasa sangat mengenal perempuan itu.

“Bagaimana bisa kamu juga datang kemari? Sepertinya kau juga telah terbiasa. Untuk apa?” aku menegur sapa lebih dulu seakan-akan ini caraku menaklukkannya.
“Sama sepertimu. Aku mau menjemput masa depan.”
“Pasti urusan cinta, bukan?”
“Ya. Salah satunya. Kamu?” perempuan itu balik menyergap.
“Begitulah.”

Kami seperti sama-sama sangat mengenal kepribadian kami. Tapi kami tak pernah menyebut sepotong nama pun untuk dilekatkan di badan.

Aku pulang dengan kesegaran yang belum pernah terasa sebelumnya. Sekaligus dibalut mendung rasa takut, was-was menatap hari esok. Barangkali aku memang sedang menerima sasmita, tapi beban hidup yang menumpuk di badan ternyata masih cukup kuat menghalang.

Entah mengapaaku ingat ajaran leluhurku tentang sedulur papat, lima pancer. Kakang kawah, adi ari-ari, welat, kunir dan getih puser.



EPILOG:

Rahasia Waktu Peristiwa

SEBAGAIMANA setiap pertemuan, acapkali menyegarkan ingatan. Juga menyisakan gumpalan rahasia terpendam. Kuburannya adalah waktu. Kini aku jadi mengerti mengapa pertemuan kita yang ternyata bukan hanya sekali terjadi ini, senantiasa menggairahkan. Jawabnya karena kita punya cinta yang menyemangati hidup. Aku rindu pertemuan-pertemuan berikutnya denganmu, tempat kekinian memberi makna bagi waktu yang tepat menjadi suatu peristiwa.

Bagiku, perjumpaan denganmu yang menggendong masa lalu, juga kepingan masa silam, adalah peristiwa yang menakjubkan. Kukira demikian halnya bagimu bertemu seorang yang memburu masa depan sepertiku. Jadi satu-satunya kesamaan kita pada hari ini adalah sama-sama menciptakan peristiwa, menyingkap maknanya sambil mengubur usia atau mengejar alam cita.

Sebab itu, maafkan aku bila aku merasuki hari-harimu dengan beban yang kufetakompli sama denganku seperti itu. Aku tak bisa menilai diriku sendiri, apalagi ketika menjalani peristiwamu dengan sorot mata dari jendela hari depan. Harus jujur kuakui, bagiku, pencerita, penulis atau pendongeng dari jendela waktu itu, bahwa seluruh nama-nama dari peristiwa atau cerita ini memang pernah ada. Akan tetapi segala peristiwa di dalam cerita ini tidak pernah ada. Atau tepatnya mungkin belum sempat ada.

Satu-satunya peristiwa yang kita sadari ada, adalah upacara kematian insinyur Edeleer L Gerritsen. Lagi, aku memfetakompli peristiwamu, yang kuyakin benar lantaran kita memang sedang ada di sana saat itu, pertemuan itu. Gerritsen meninggal setelah menjalani perawatan intensif di RS Baptis akibat komplikasi dari bahaya tetanus di lubang kupingnya. Lagi, satu hal yang di luar pengetahuan kita, ternyata Edeleer L Gerritsen punya kebiasaan buruk selain menarikan bulu ayam, ia juga tak jarang menenggelamkan batang kunci atau paku ke kupingnya.

Semenjak itu aku mulai punya masa lalu, sehingga bisa kuceritakan seperti ini. Termasuk mengulang peristiwa keherananmu saat aku membawa surat wasiat Edeleer L Gerritsen agar jenazahnya dibakar bila ia meninggal dan ia minta abunya dilarung di kali Brantas. Ah, rupanya inilah terminal kita berikutnya bisa saling bertemu bukan? Aku sendiri terkesima ia berwasiat seperti itu. Tapi kesima yang tak menyurutkan sadarku dengan berusaha mencari jawab dugaanku sendiri. Bahwa kau akan melakukan satti21) karena cintamu yang luar biasa padanya. Semestinya, akulah yang melakukan itu karena telah mual dengan beban raga yang menyiksa.
Sampai sekarang aku tidak tahu, mengapa tidak juga kulakukan itu padanya, Saudaraku.

2008

---------------
CATATAN

1) Arca itu hingga kini masih berdiri kukuh di Desa Pulu Pasar, Kecamatan Pagu, Kediri. Tingginya mencapai 4 meter.
2) Sebutan untuk pelacur rendahan pada masa imperium Romawi yang sering dikenal dengan nama kuno Byzantium. Diambil dari novel Paul I Wellman, Wanita, Gramedia 1976, cetakan kedua.
3) Wanita pribumi yang dijual untuk menjadi budak nafsu serdadu pada masa pendudukan Jepang 1942-1945.
4) Melampaui batas tata kewajaran atau norma masyarakat umum.
5) Perahu tradisional yang hanya dijalankan dengan sebatang gala. Biasanya perahu ini terbuat dari bambu-bambu yang diikat.
6) Judul cerpen yang ditulis seorang pengarang terbaik Indonesia, Gerson Poyk. Mengisahkan seorang pelaut Indonesia yang membeli perawan gadis remaja Bombay. Saya membaca cerpen ini dari majalah sastra Horison beberapa tahun lalu.
7) Dari bahasa Belanda. Artinya, laporan sementara.
8) Pabrik Gula (Bld)
9) Para anggota pimpinan (Bld)
10) Kejahatan berat yang di sini dikanal dengan KKN.
11) Pecinta Jawa
12) Dipetik dari kumpulan sajak Tukang Kebun, Rabindranath Tagore, Pustaka Jaya, 1996 hal 94.
13 )Gerakan bawah tanah. Pengarang mengasosiasikan jiwa yang terlupakan dengan idiom ini.
14) Paham mistik Jawa yang terjemahan harfiahnya, menyatunya Tuhan dalam diri manusia.
15) Ajaran moral orang Jawa tentang etika tenggang rasa. Kuranglebih terjemahannya, menjunjung tinggi harkat martabat dan menutup rapat aib yang merendahkan.
16) Dari salah sebuah sajak sufi Jalludin Rumi, dalam Mastnawi.
17) Sejenis kata umpatan. Artinya, terkutuklah kau (Bld).
18) Artinya jalan persimpangan. Selain film yang ditontonnya waktu di India ini, tokoh Gerritsen juga terinspirasi kunjungannya ke Calcutta. Di sana ia mendengar cerita bahwa sebuah prasasti Airlangga ditemukan di sana oleh Raffles. Prasasti itu kemudian disebut Batu Calcutta berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Juga disebut-sebut sebagai batu perismian Biara Pucangan. Cerita ini juga diilhami oleh pesona penyair Rabindranath Tagore yang jatuh hati untuk menulis sajak tentang Jawa. Sayang, penulis belum menemukan sajak yang dimaksud.
19) Seruling khas gamelan Madura
20) Istilah ini digunakan pengarang Budi Darma untuk melukiskan kondisi kejiwaan tokohnya dalam Olenka. Sumber utamanya dari ungkapan Albert Camus pada novel La Nausee.
21) Tradisi Hindu kuno yang berlaku untuk perempuan-perempuan istri demi membuktikan pengabdian dan cinta pada suaminya. Caranya dengan ikut membakar diri bersama jasad suami bila telah mati.[]

Surabaya Pagi 22 November 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita