27/10/08

Upaya Mengelola Spirit Neo-Primitif

Sebuah Gagasan Teater Tutur
S.Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MENYAKSIKAN tiap bentuk pertunjukkan, seringkali kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan—apa pesan yang dituturkan pertunjukan tadi? Lebih aneh lagi apabila pertanyaan itu kerap muncul justru di akhir pagelaran. Kalau mau jujur boleh dikata, pertanyaan semacam itu tak lebih dari pengakuan (disertai tuntutan) memperoleh kegunaan dari setiap menonton pertunjukkan.

Di sinilah kemudian pesan jadi barang mahal untuk di dapat, apalagi bagi tontonan yang kurang berhasil karena tidak adanya kesadaran yang tinggi untuk menuju ke sana. Begitu mahalnya sehingga makin sulit untuk menggerakkan pesan-pesan seperti itu ke arah yang lebih dalam ke dalam bentuk kesan.

Menghadirkan pesan dan menghidupkan kesan tampaknya hingga kini terus dijadikan pergulatan dalam tradisi tutur kita—dan barangkali bermula dari sini pulalah cikalbakal kesulitan akan berkembangnya seni tradisi kita. Sehingga Tradisi Tutur seperti jadi bulan-bulanan sebagai korban yang menyebabkan seni tradisional berpotensi mati yang sebenarbenarnya mati tanpa sebutir pun bekas—kalaupun ada tak lebih hanya nostalgia yang fatalnya cukup laris dijual di pasar pariwisata bagi orang yang sebetulnya tengah kebingungan mencari dirinya sendiri berada di tengah hirukpikuk zaman.

Lagi, sulit berkembangnya seni tradisi tutur kita akibat serbuan model dan sarana penuturan lain yang lebih efektif makin mengubur dalam dalam nasib buruk tradisi tutur itu sendiri. Belakangan yang muncul ke permukaan adalah pertanyaan bagaimana memperjuangkan tradisi tutur yang notabene telanjur memilih menggunakan media bahasa lisan sebagai ‘penyambung lidah’ pesan tersebut?

Lantas apakah pesan dan kesan itu penting dan tepat diwujudkan dengan kosakata sebagai barang mahal? Memperjuangkan—bukan berarti membela mati-matian—tradisi seni tutur kita boleh dikata diawali dari berpegang pada pentingnya pesan dan kesan tersebut sebagai kunci. Karena tradisi tutur atau oral tradition sebetulnya lebih bertitik tolak secara historis dari adanya pesan tersebut yang dikemukakan dalam konteks tahap kebudayaan mitologis menurut istilah Van Peursen.

Meski demikian tradisi tutur, oral tradition alias tradisi lisan tak melulu berupa hal-hal yang berkaitan dalam gaya penyampaian tutur (verbal) belaka. Terlebih pada saat tradisi lisan itu memasuki ranah seni yang pada mulanya tumbuh subur sebagai sebuah upacara ternyata ada bentuk tarian di samping syair serta wayang dan kemudian menuju teater. Tentang yang terakhir disebut ini, banyak dituding mulai adanya campur tangan pola pikir barat ditandai sejak sandiwara (sandi dan swara?) Dardanela, meski di sisi lain orang barat macam Antonim Artaud justru menggali teater tradisi di Bali. Kesemuanya terus hidup hingga di zaman yang bukan lagi pre-historis tetapi pada saat orang mulai gemar menulis.

***

TEATER TUTUR adalah cerita itu sendiri adalah dongeng, mithologi, monolog dari colectif-conciusnes (kesadaran kolektif). Pertanyaannya, bagaimana itu terjelaskan di atas pentas? Sedyawati (1998) mengklasifikasikan tradisi lisan sejak dari yang paling murni bersifat sastra hingga ke pertunjukkan teater, antara lain: pertama, murni pembacaan sastra, seperti mebasan pada orang Bali dan macapatan pada orang Jawa, kedua pembacaan sastra disertai gerak-gerak sederhana atau iringan musik terbatas, seperti pada Cekepung dan Kentrung, ketiga, penyajian cerita disertai gerakan-gerakan tari seperti randai pada orang Minang dan keempat, penyajian cerita-cerita melalui aktualisasi adegan-adegan dengan pemeran-pemeran yang melakukan dialog dan menari disertai iringan musik.

Berawal dari catatan singkat bahwa tradisi tutur tak musti dengan bahasa verbal, tampaknya bisa lebih menajam bila memakai teropong pada perbincangan dari tinjauan bahasa sebagai alat penyampaian pesan (komunikasi). Bahasa kemudian bisa berwujud sebagai bahasa dalam pengertian teater, ada tari dan gesture (body language). Dengan kata lain, di dalam masyarakat yang belum mengenal tradisi menulis sebagai bagian dari kebudayaannya, tradisi lisan menjadi alat atau sarana yang sangat penting dalam transmisi nilai, norma dan hukum dari generasi ke generasi yang lain. ”Mithos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok orang (pemiliknya) yang tidak hanya dituturkan, tapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang,” kata Van Peursen. Tak cuma itu, dalam perkembangan selanjutnya atau tahap kebudayaan fungsional bahasa terkait dengan alat penyampaian pesan bukan mustahil bisa terus dicoba ke wilayah lebih luas termasuk di dalamnya film—seperti pernah dicoba sineas ternama Garin Nugroho ke dalam bahasa gambar. Satu hal yang ditawarkan di situ film minus bahasa verbal akan tetapi sukses tidak meninggalkan nuansa tutur sebagai tradisi.

Pertanyaan berikutnya, lantas dimana teater atau khususnya monolog bisa mengambil peran? Melalui penelusuran epistemologis dan etimologi maupun terminologi simpul pelbagai gagasan yang terkait tutur atau lisan, teater dan monolog adalah pada semangat untuk kembali menyampaikan pesan. Kalau zaman baheula, mitologi hidup subur justru karena keterbatasan-keterbatasannya, bagaimana sekarang bisa memaknai kembali sebuah mitologi dan sejenisnya—ada upacara ritual maupun mistik? Terang saja yang tersebut belakangan ini sulit untuk hidup kembali di ranah ini meski di sejumlah wilayah dalam kontek tertentu masih nyata-nyata begitu dipercaya kelompok masyarakat.

Kelompok masyarakat dalam catatan ini jadi semacam syarat mutlak untuk bisa memahami bahasa-bahasa mereka sendiri dalam sebuah kesepakatan. Jadi makna hanya dapat dipahami dan ditangkap masyarakat penciptanya sebagai konteks sosial teater itu lahir dan kemudian hidup. Seolah kelompok itu berkata ‘Ini hanya untuk kami sendiri, yang lain silakan tak perlu ikut-ikut. Percuma saja.’ Di sinilah kemudian pemahaman kontektual teater jadi lebih memiliki arti yang sulit untuk didekati kelompok lain di luarnya, tetapi gampang menggugah semangat bagi mereka yang ‘senasib sepenanggungan.’ Di situlah tranformasi makna dan pesan dalam Teater Tutur dari pelaku ke audiens (penonton) mengalir melalui proses komunikasi baik verbal maupun non-verbal pada saat sadar diri menjadi seni pertunjukkan—bentuk komunikasi yang sudah dikombinasikan dengan aspek visual, kinesthetic dan aesthetic dari gerakan manusia. Dalam bahasa lainnya seni yang seperti ini mustahil bisa didekati secara universal, meskipun seni teater itu sendiri bukan hal yang muskil kemunculannya memang universal. Sehingga dari aspek komunikatifnya, konsekuensi pilihan mutlak teater seperti ini audiensinya harus memahami pesan budaya yang dilakukan dengan gerakan manusia di dalam waktu dan ruang. Terkait dengan hal ini, makna teater tidaklah didapatkan dengan sendirinya oleh masyarakat pendukungnya, akan tetapi melalui suatu proses sosialisasi atau proses kontinuitas dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun konteks ruang, waktu dan sosial (audience) yang berbeda akan memberikan kontribusi bagi perubahan makna untuknya.

Tentu saja catatan ini dengan penuh kesadaran, mengatakan teater yang dihidupkan petani, peladang, buruh atau pengangguran cq mahasiswa jurusan kesenian sekalipun, bisa diganti dengan teater yang digagas seniman, intelektual dan ilmuwan. Titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas. Perjuangan seperti ini pun telah dilakukan manusia primitif sejak zaman baheula untuk memecahkan kerumitan hidup sejak sebelum ada religi, ritual atau agama dan pengetahuan lain seperti seni dan moral. Dengan kata lain proses budaya mereka adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses kreativitas yang digerakkan oleh badan manusia di dalam ruang dan waktu tertentu.

***

ENTAH ini sebuah pandangan yang tepat ataukah tidak, jadi masih semacam dugaan-dugaan yang sifatnya perlu analisa dan eksperimen lebih lanjut. Bahwa di samping problem yang sudah melekat dalam diri manusia di semesta ini, lantas perasaan senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan bangsa yang bertahun-tahun didera akibat masa kelam, penderitaan, tekanan dan kepahitan, secara tidak langsung juga turut membentuk sebuah tradisi lisan dalam arti kita lebih suka “diceritai” dari pada jadi “pencerita yang analitis.” Atau kita lebih terbiasa jadi “pendengar” atau jadi “pendongeng” saja dengan segala percikan-percikan yang dalam perkembangan hebatnya bisa dipelihara sedemikian cerdik. Tanpa bermaksud memposisikan “pendongeng” ke dalam makna efimisme, jika pun benar betapa teater tutur yang lahir dari “zaman gelap” seperti itu sanggup berjuang dan mendapat tempat kuat di tengah masyarakat. Sebaliknya tentu saja tak memperoleh simpati jika ditinjau dari tahap fungsionalnya Van Peursen. Kita tentu masih dibuat terkagum-kagum bagaimana paiwainya Kartolo Cs atau Markeso, Cak Durasim yang sanggup memperjuangkan tradisi lisan justru di abad supercanggih seperti sekarang—menyampaikan pesan dengan rupa-rupa basa-basi verbal yang justru menurut Sindhunata mampu menghidupkan spirit hidup rakyat kecil dari hempasan penderitaan beban hidup.

Masih tentang dugaan, deraan nasib bangsa dalam “zaman gelap” seperti ini dengan kata lain turut menumbuhsuburkan monolog. Kita bisa menjumpainya bagaimana banyak penulis kita yang begitu dahsyat apabila menceritakan tentang penderitaan itu sendiri, meski tanpa suatu analisa tertulis dari disiplin keilmuan yang dalam. Yang mau saya katakan, menjadi wajar apabila tradisi tutur itu amat sulit dimusnahkan tanpa berniat untuk mempertahankan secara mati-matian tradisi yang dalam sejarahnya kini memang hidup enggan, mati tak mau itu. Pertanyaan berikutnya, jika ini benar adanya, akankah monolog itu sebuah ikatan ideologis yang bukan kebetulan di sini dipicu oleh perasaan senasib dalam sejarah? Kiranya ini sebuah persoalan amat komplek seperti halnya masalah manusia atau pelaku-pelaku budaya itu sendiri dan keseriusan berproses budaya menjadi titik tolak untuk menemukan jawabannya kendati pun sulit untuk benar-benar terpecahkan. Tentu saja hal ini termasuk di dalamnya problem budaya dengan segala tetek bengek hambatan bahkan teror kita sendiri yang jelas turut membangun berdirinya imperium tradisi tutur—yakni sulitnya memecahkan persoalan secara rasional sebagaimana tradisi barat—atau seringkali kita dicap berbelitbelit karena banyak bicara melalui simbolisasi (surrealis?) basa-basi guyonan parikeno dan tidak pragmatis. Saya tidak hendak mengatakan simbolisasi itu buruk dan rasional itu jelek atau sebaliknya rasional itu baik dan simbolis itu bagus. Keduanya bisa ada dan ditiadakan. Sama halnya dalam pertunjukkan teater saya yang tanpa mempedulikan keharusan realisme, absurditas atau simbolik, surrealisme. Kesemuanya niscaya bisa ada dan bisa pula ditiadakan. Kesemuanya punya hak untuk secara terbuka hadir dalam sebuah proses panjang berteater.

***
TEMA BESAR pertunjukan ini adalah perlawanan terhadap segala bentuk korupsi. Upaya ini sengaja dimulai dengan mengurai peristiwa terdekat diri kita yakni keluarga—menghadirkan tokoh yang mengasingkan diri untuk menjaga kebersihan hidupnya karena ia sadar mengemban misi mulia dari sang pencipta dengan segala konsekuensinya hidup dalam kemiskinan. Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat. Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi. Pilihannya ternyata sekaligus jadi sebuah cara agar bisa berbicara banyak tentang ancaman dunia luar. Utamanya perihal kebobrokan. Cara tokoh menutup pintu jelas sudah berbekal kunci bahwa segala bentuk korupsi dan kebobrokan adalah kejahatan dan bukan budaya. Pilihan tokoh seperti itu didorong kesadaran dirinya “sungguh tak mampu” mengikuti arus besar di luar rumah. Melawan pun tak bisa. Karena itu satu-satunya bentuk lain dari perlawanan adalah menjaga keluarganya sendiri dari bahaya luar, menumbuhkan sikap tak peduli, cuek dan apriori. Tema kecil pertunjukan ini adalah tentang kemiskinan dan penderitaan hidup orang biasa. Bahwa orang tak perlu takut hidup miskin dan menderita. Justru keberanian itu terletak pada kukuh mempertahankan spirit hidup untuk tidak “merusak tatanan kehidupan kosmos,”—sekecil apapun perbuatan yang disebut kejahatan.

Lelaki itu anak haram jadah. Lahir dari rahim seorang pelacur, bukanlah penghalang baginya untuk mencintai ibunya. Lelaki itu punya anak dan istri. Punya keluarga membuatnya sadar, cinta kepada ibunya telah menumbuhkan Spirit hidup lelaki itu untuk jadi manusia—bertanggungjawab pada diri, ilmu dan keluarganya—sebagaimana ajaran ibunya. Demi tujuan itu, ia menjatuhkan pilihan dengan keluar dari pekerjaan dan “menutup pintu” rumahnya kuat-kuat. Ia memilih mengurus sendiri hidup keluarganya dan menolak campur tangan siapapun, tetangga maupun negara.

Mengapa dunia luar sebagai ancaman? Tanpa sedikitpun bermaksud menganggap dunia luar itu remeh temeh, kiranya ini adalah cara pandang yang mempertimbangkan betul sisi dalam manusia itu sendiri—pengalaman sejak kecil hingga tumbuh dewasa. Dunia luar itu bukan satu-satunya ancaman, karena sebaliknya pengalaman masa kecil yang buruk bukan mustahil sanggup mendorong manusia menjatuhkan pilihan pada “merusak tatanan kehidupan kosmos”—inilah ancaman sesungguhnya yang benar-benar ancaman. Bila karena itu Nietzsche mengaku kesulitan memahami manusia dari spesies hewan, karena dorongan kodrat manusia sebagai makhluk yang selalu berkeinginan berkuasa, tapi tidak bagi saya karena di situ ada perbedaan mendasar antara “kodrat” dan “fitrah”—bahwa manusia hidup dan hadir di bumi ini sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban.

Celakanya, semua itu ada dalam diri manusia dan karena itu perjuangan untuk itu terus ditumbuhkan termasuk kepada dirinya sendiri. Begitu dahsyatnya pertarungan ini sampai kemudian Nietzsche melalui tokohnya, Zarathustra melihat kehendak berkuasa bekerja secara diam-diam di mana saja dalam sejarah moral—dalam asketisme orang-orang suci dan kecaman para tokoh moral, serta brutalitas legislator primitif. Saya tidak hendak menyalahkan Nietzsche, tapi seperti halnya kata Al Ghazali begitu banyak pandangan-pandangan filsuf yang tidak banyak berguna alias sia-sia kurang lebih ada benarnya, termasuk salah satunya kepada saudara Nietzche ini. Bagi saya, di sinilah pentingnya mengajak (mendidik) siapapun manusia untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri sebagai sebuah jalan ke arah primitif baru—proses kesenian sebagai buah tangan dan pikiran manusia tak luput dari tugas itu. Memang kedengarannya pilihan terminologi primitif baru (neo-primitif) cukup arogan. Namun mengelola sesuatu arogansi itu menurut saya adalah suatu kesenian, tentu saja dengan mempertimbangkan secara matang seluruh bentuk dan isi pikiran. Syukurlah Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, cukup lumayan ketika menyesalkan terjadinya kesalahan berpikir bahwa orang yang sungguh jahat dan destruktif pastilah setan—berwajah jahat, punya taring, tidak punya kualitas positif, dan sebagainya. Koreksi Erich Fromm, setan-setan ini memang ada, tapi celakanya, sangat jarang berpenampilan demikian. Yang lebih banyak justru setan yang memperlihatkan wajah manis dan menarik. Maka, sejauh percaya orang jahat pasti bengis dan bertaring atau bertanduk, tidak pernah akan menjumpai orang jahat di dunia.

Cukup menarik bagi saya adalah pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu. Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Hal ini saya lebih cenderung menggunakan terminologi sikap terbuka dan membocorkan diri atas bahwa manusia memang memiliki sisi gelapnya sendiri, yakni kemampuan untuk melakukan kejahatan yang justru merendahkan dirinya sendiri. Ada pandangan yang “spiritualis” atau “mistis” mengemuka dari pernyataan Jung, bahwa manusia memiliki kekuatan kompleks yang memungkinkannya untuk melakukan tindakan yang meniadakan kebaikannya sendiri. Dengan membocorkan diri tentang ruang-ruang gelap, dosa-dosa, kejahatan-kejahatan, keburukan-keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti aktif menciptakan kondisi ektrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan pojokkan. Karena menurut saya, dengan cara seperti ini saya amat meyakini sebagai upaya untuk mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada gilirannya barangkali justru akan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya.

***

MENJAJAGI kemungkinan bentuk teater dan wayang kampung sebagaimana selama ini saya terlibat di dalamnya dengan menyadari pelbagai kendala kemiskinan—fasilitas, dana, pekerja teater dan lainnya—jelas bukanlah penghalang utama sebuah kerja kreativitas. Saya menghadirkan elemen-elemen jagad perwayangan sejak dari dalang, lampu blencong, layar dan sebagainya meski tanpa sepotong pun sosok wayang. Kemewahan sosok wayang hanyalah perkara tokoh dan penokohan. Saya cukup mengganti tokoh wayang dengan kostum-kostum yang dipajang di depan layar. Sehingga di situ pulalah pemain bisa keluar masuk dengan ide-idenya atau “penokohan jiwanya” dalam kostum yang untuk itupun ia harus sering berganti di atas panggung. Pemain bisa jadi cuma pemain dan bisa pula jadi dalang sekaligus bagi dirinya sendiri. Pemainlah yang punya beban ide atau ideologi, bukan yang lain. Wujud wayang hanyalah soal baju saja. Selanjutnya tergantung bagaimana “mengisinya.” Bukankah kita sudah biasa dengan berganti baju lalu tiba-tiba sikap hidup kita jadi sering pula berganti? Dasar Teater Tutur bukan berarti menilai disiplin teater barat sesuatu yang abai. Mempertimbangkan Eugine Ionesco yang biasa menampilkan lelucon dan simbolik, atau Bertolt Brecht yang cenderung berpikir, lalu Grotowsky yang berusaha mempengaruhi penonton bahkan teater Rusia Okhlopkov yang sangat sosialis juga perlu. Jadi jangan heran bila pertunjukan ini mengajak menciptakan kegembiraan atau semacam pesta dengan penonton gilirannya sebagai pemain. Semuanya tidak mustahil ada di pertunjukan ini dengan penuh kesadaran menghadirkannya—ini sebuah cara untuk kemungkinan kami bisa lebih bersikap terbuka.

Untuk itu, sebelum menutup tulisan ini, sebagai sebuah gagasan teater, saya amat yakin berdiri di suatu “koma” dan jauh dari sebuah “titik.” Karena itu, alangkah baiknya kalau di tempat pencarian ini, sekaligus mengurai kerendahan hati dan mengurangi beban arogansi, saya kembali mengajukan pertanyaan penting, mungkinkah sebuah pertunjukkan mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater? Lalu, akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit dan detik makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas menawarkan bentuk lain monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti point of view (sudut pandang)? Lantas efektifkah bila “menyebarkan” sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak? Sebagai penutup saya hanya bisa menukil satu jawaban sementara yang kami yakini dengan apa yang kami lakukan, bahwa sudut pandang kami melalui teknik tertentu dalam pertunjukkan ini sanggup menekankan pentingnya menyebarkan informasi kemungkinan bisa diterapkannya asas pembuktian terbalik di dunia hukum kita untuk memerangi korupsi. []
-----------------------

Kutisari, 7 Desember 2004

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita