28/10/08

SARKASME

Imamuddin SA

Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di kehdupan esok hari.

Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan. Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang dagangan.

Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah. Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif. Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.

Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai. Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.

Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka. Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.

“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah barat kantor. Di tepi jalan raya.”

Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan mendekatiku.

Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan. Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.

“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.

“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”

“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui dia!” desakku tegas.

Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.

Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu. Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi keberhasilan.

Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya. Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.

Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.

“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji. Sekarang kamu tunggu saja di sini.”

Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………! Yang penting berusaha dulu.

Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku. Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.

“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”

“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.

“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”

“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.

“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah disita akan dihancurkan. Titik!”

Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.

Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan. Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi. Bagaimana bisa belajar……?

Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.

Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah belajar empat jam. Ini benar”.

Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.

Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar. Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit. Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.

“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas, saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”

“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti ini.”

“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang, bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.” desakku bertubi-tubi.

“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas. Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”

“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini aturan yang mana Pak?”

“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat.”

“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri yang Bapak berikan.”

“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih, kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”

“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi orang yang semacam itu……”

“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”

“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan. Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.

“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan, kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.

“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu. Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia. Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang batin.”

“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya. Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak, saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku mengakhiri pembicaraan.

Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu bagiku tidak masalah.

Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”

“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata. Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja. Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.

Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.

Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum, orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku. Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata. Menghujankan kesedihanya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita